Seorang pemuda pemalas dan pengangguran terlihat asyik menatap layar ponsel di sebuah gubuk tengah sawah. Usianya sudah dua puluh lima tahun, tetapi justru selalu memainkan sebuah game slot.
Pemuda itu bernama Pradita Mahendra. Setiap hari selama setahun terakhir, dia kecanduan game slot. Bahkan sampai membuat harta orang tuanya ludes habis tidak tersisa.
“Ki, petir Ki!” teriak Pradita dengan sangat tegang melihat layar ponselnya yang menunjukan permainan mesin slot yang berdenting sangat kencang.
“Yah, kalah lagi. Sial, kesal banget ama gua sama lu, Ki!"
Mukanya langsung ditekuk saat dirinya kalah lagi. Padahal ia baru saja deposit uang senilai seratus ribu dan itu adalah hasil menjual lima ekor itik milik tetangganya yang telah dicuri Pradita.
Rambutnya terlihat acak-acakan, bau badannya tidak karuan lagi karena ia sudah tidak mandi selama satu minggu. Wajahnya yang begitu kesal semakin terlihat kusut.
Meski kesal, ia tetap melangkahkan kedua kakinya menuju rumahnya yang berada di selatan Desa Jagapura. Pradita terus bersiul seperti orang yang tak punya salah.
Padahal harta kedua orang tuanya sudah habis akibat ulahnya. Sikapnya sudah tidak terkontrol lagi, bahkan dia tega menggadaikan sertifikat rumah dan tanahnya ke bank hanya demi memenuhi nafsu agar bisa memenangkan game slot.
Saat ia sampai di depan rumah terasa janggal. Kedua matanya mencari dua sosok yang biasanya kedua duduk di teras, tetapi hari ini tidak terlihat. Mereka adalah orang tua Pradita, yang setiap kali Pradita datang langsung mengomelinya.
"Tumben, sepi amat. Kemana Bapak dan Ibu?" pikirnya sambil terus melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. "Pak! Bu! minta uang lagi donk!"
Dulu Yudis dan Nina memang selalu memanjakan putranya, Pradita. Meskipun Pradita dimanja, dia menjadi lulusan terbaik di kampus. Alasan yang membuat Pradita berubah dan kecanduan game slot adalah ketika ia mengetahui bahwa tunangannya justru menikah dengan sahabat sendiri.
Kini Pradita menyusuri ruang tamu, dapur, dan kamarnya sendiri. Akan tetapi, dia tidak menemukan siapa-siapa.
"Bapak! Ibu!" panggilnya lagi, tetapi masih tidak ada sahutan.
Pradita melangkahkan kaki menuju kamar kedua orang tuanya. Salah satu tangan menggapai daun pintu hingga membuatnya terbuka. Kedua matanya langsung membelalak, "Bapak! Ibu!"
Raut wajahnya panik. Pradita mendapati kedua orang tuanya tengah gantung diri disana. Mereka sudah meninggal dunia. Pradita langsung memeluk sang ibu dan menangis sejadi-jadinya.
"Bu, bangun!"
Semua sudah terlambat, nasi sudah menjadi bubur. Yudis dan Nina memutuskan bunuh diri bersama, karena tidak kuat dengan sikap Pradita.
Apalagi tetangga selalu mencemooh mereka. Belum lagi para penagih hutang yang datang silih berganti dan meminta agar mereka segera melunasi hutang-hutang Pradita.
Seketika ia langsung frustasi dan depresi. Pradita lari keluar rumah untuk menuju sungai Jagapura yang memiliki kedalaman sepuluh meter untuk mengakhiri hidupnya juga.
Tentu saja para tetangga kebingungan, melihat Pradita melepaskan semua pakaian dan berlari menuju sungai sambil berteriak-teriak seperti orang gila.
"Emak! Bapak! Aku menyusul kalian!"
Pradita pun terjun dari jembatan setinggi dua puluh meter dalam keadaan tanpa sehelai benang. Suara riak air terdengar sangat keras, karena tubuh Pradita menghantam derasnya arus sungai yang kebetulan sedang banjir.
Pemuda itu langsung tenggelam dan hampir mencapai dasar sungai yang memiliki arus sangat deras. Pandangannya mulai buram dan akhirnya ruh Pradita keluar dari jasadnya. Ruhnya sampai di sebuah ruangan berwarna putih. Sejauh mata memandang hanya warna putih yang tampak.
“Di-dimana aku?” ucapnya dengan tubuh gemetar.
“A-apakah aku di alam kubur? Apakah malaikat Munkar dan Nakir akan datang?”
Pradita tambah ketakutan saat ada bola cahaya putih dan cukup besar mendekatinya, “Jangan pukul aku! Jangan!”
Bola cahaya putih itu masuk ke dalam tubuh Pradita. Seketika terjadi rasa sakit yang luar biasa, sama seperti ditusuk ribuan pedang pada tubuh Pradita, “Aaaaakh!”
...[Tongteng ... tongteng!]...
...[Selamat datang di System Kekayaan Ngupil]...
...[Sistem telah menyatukan diri sistem dengan tubuh host]...
...[Level host saat ini: pemula(0/1000)]...
...[Host hanya perlu melakukan gerakan ngupil dan setiap host mengupil dihargai Rp,200]...
...[Untuk menaikan level sistem, host akan diberikan misi apapun dari sistem]...
...[Selamat menjalankan misi dari sistem]...
...[Selamat, host mendapatkan kotak pemula]...
...[Tongteng ... tongteng!]...
...[Status]...
...<>...........<>...........<>...
...[Nama: Pradita Mahendra]...
...[Umur: 25 tahun]...
...[Saldo: 0]...
...[Level sistem: Pemula(0/1000)]...
...[Inventaris: Kotak pemula]...
...[Skill:-]...
...<>..........<>...........<>...
Setelah rasa sakit itu mereda, pandangan mata Pradita kembali buram dan sudah tidak sadarkan diri. Berkat adanya sistem dari alam baka, ruh miliknya telah kembali lagi ke jasad Pradita.
......................
Satu bulan kemudian, RSUD Arjawinangun.
Pradita terbangun dan mendapati dirinya di dalam ruang perawatan Rumah Sakit. Ada banyak selang, serta kabel-kabel menempel di hidung juga dadanya.
Dokter Anji yang ditunjuk oleh Polisi sektor Arjawinangun terkejut saat melihat mata Pradita telah terbuka lebar. Dia langsung menaruh stetoskop ke dada Pradita untuk mengecek kondisi Pradita saat ini.
“Apa! Bagaimana bisa?”
Dokter Anji melebarkan matanya saat dia mengecek kondisi Pradita yang koma selama satu bulan ternyata baik-baik saja. Padahal Pradita divonis oleh dokter akan koma selama-lamanya.
Pradita benar-benar lupa ingatan. Keberuntungan di dapat olehnya karena ditemukan oleh seorang artis perempuan yang sedang naik daun dari Jakarta. Saat itu ia sedang syuting di sekitar bantaran sungai yang terhubung dengan sungai Jagapura.
“Dok, si-siapa yang membayar biaya perawatanku selama di Rumah Sakit ini?” tanya Pradita dengan kepala masih agak pusing.
Dokter Anji hanya mengulas senyum dan memberikan sebuah kartu nama pada Pradita, “Aku tidak tahu, tetapi dia hanya memberikan ini!”
Pradita menerima kartu nama tersebut dengan tangan masih gemetar, "Te-terima kasih, Dok. Oh ya, apakah aku sudah boleh pulang, Dok?"
"Sama-sama. Sudah, kok. Akan tetapi nanti sekitar jam lima sore. Sekali lagi saya ingin memastikan kembali kondisi kesehatan Anda."
"Kenapa? Apa ada masalah lagi?"
"Tidak, hanya untuk memastikan jika Tuan Pradita sudah baik-baik saja atau belum," jawab Dokter Anji dengan tersenyum tipis.
Aktris itu menamakan Pradita Mahendra dengan nama mantan pacarnya yang sudah meninggal karena terkena penyakit Leukimia. Bahkan ia benar-benar menganggapnya sebagai Pradita. Apalagi wajah sangat mirip dengan mantan pacarnya itu.
...[Tongteng ... tongteng]...
...[Misi Utama muncul dan tidak bisa ditolak]...
...<>...........<>............<>...
...[Misi Utama: Temui Sang Aktris yang telah menyelamatkan diri host]...
...[Batas waktu: 15 hari]...
...[Hukuman: Otak host akan disetrum listrik]...
...[Hadiah: Kecepatan lari seperti Cheetah, Ingatan sebelumnya host, dan uang 1 juta Rupiah]...
...<>..........<>.........<>...
Mata Pradita membulat sempurna saat melihat sebuah panel hologram. Ternyata mimpi yang dialaminya itu sungguh nyata. Buktinya dia sekarang melihat panel hologram berwarna biru tepat di hadapan matanya.
Dokter Anji pun melepas beberapa perangkat yang menempel di tubuh Pradita. Hal itu menandakan jika kondisi Pradita semakin pulih juga membaik.
“Ada apa, Tuan Pradita?” tanya Dokter Anji yang bingung melihat mata Pradita tiba-tiba melebar.
“Ti-tidak apa-apa, Dok."
"Sejujurnya aku lupa tentang jati diriku, Dok,” jawab Pradita sambil menarik nafas pelan-pelan.
Dokter Anji memaklumi hal tersebut.
“Maaf, saya hanya tahu bahwa Tuan telah ditemukan di pinggir sungai oleh orang yang telah menitipkan kartu nama itu padaku."
“Selebihnya aku kurang paham dan yang memberikan nama Tuan dengan Pradita Mahendra juga orang tersebut.”
Pradita tampak masih melongo, tetapi Dokter Anji mencoba mengatakan semua kebenarannya secara perlahan.
“Sepertinya, dia tidak mau mengungkap jati dirinya dan hanya memberikan kartu nama tersebut padaku,” jelas Dokter Anji dan membuat Pradita tambah penasaran.
"Oh, ya. Orang tersebut juga menitipkan ini padaku,” sambung Dokter Anji sambil memberikan amplop putih berisikan kartu atm dan sebuah surat dari sang aktris.
“Terima kasih, Dok.” Pradita pun menunduk hormat, karena sudah bisa duduk diatas tempat tidurnya.
Kedua matanya menatap langit-langit kamar, "Sebenarnya siapa dia?"
Akhirnya sore itu Pradita benar-benar keluar dari Rumah Sakit. Ia diberi baju oleh Dokter Anji yang merasa kasihan padanya.
Saat itu Pradita hanya memakai kaos putih, dan celana training. Sekarang ia sedang berada di pinggir jalan lalu lintas Provinsi, untuk menunggu bus dengan tujuan Jakarta.
"Aku harus bisa menemukan orang yang telah menyelamatkanku di Jakarta," gumam Pradita.
Kedua matanya terus menatap ke arah timur, takut jika mobil bus yang akan menuju Jakarta sudah lewat. Ia pun bertanya pada lelaki di sampingnya, tetapi rupanya ia juga tidak paham dengan tujuan Pradita.
"Waduh, kalau BSD City aku kurang paham, Mas. Maaf, ya. Taunya cuma Jakarta Kampung Rambutan doang."
"Nggak apa-apa, terima kasih, Mang."
Selepas mengobrol kebetulan ada sebuah bus yang lewat. Pradita segera berdiri agak dekat dengan bahu jalan dan naik ke bus tersebut.
"BSD City, Bang?"
"Oh, BSD City bisa, tetapi nanti berhenti sampai Terminal Cikokol. Nanti lanjut naik angkot lagi atau naik ojol, Mas."
"Ok, nggak apa-apa."
Tangan kernet langsung memapah tubuh Pradita yang kelihatan rapuh. Wajar, karena raut muka Pradita masih terlihat pucat pasi.
Pradita duduk di kursi paling depan, berdampingan dengan seseorang yang tua renta. Kakek itu melihat ke arah Pradita yang tiba-tiba duduk di sampingnya dan mengulas senyum tipis.
“Kenapa wajahmu pucat sekali? Apa kau punya beban mental yang terselubung, Nak?”
Ucapan sang kakek berhasil mengalihkan pandangan mata Pradita, yang semula lurus ke depan, kini tengah menengok ke arah kakek tua renta yang berada di samping kirinya.
“Ti-tidak apa-apa, Kek." Pradita masih mengatur nafasnya. Lalu sesaat kemudian kembali melanjutkan ucapannya.
"Mungkin, karena aku baru keluar dari Rumah Sakit. Dokter juga mengatakan jika aku terkena am-am … am apa ya, lupa. Oh iya, amnesia,” jawab Pradita lugu.
Sontak ucapan Pradita membuat kakek tua renta itu terkekeh pelan.
“Lalu Mas ini mau kemana?” tanya Sang Kakek tua renta tetapi masih mempunyai suara yang jelas.
“Aku mau ke BSD City, Kek. Kalau nggak salah di Tangsel. Aku hanya ingin berterima kasih pada orang yang telah menyelamatkanku dari kematian. Bahkan ia rela merogoh koceknya dalam-dalam untuk membiayai perawatanku,” jawab Pradita jujur.
Sang kakek tentu merasa kasihan dan ingin membantu Pradita, “Ya, sudah. Kebetulan Kakek turun di terminal Cikokol. Rumah kakek di Alam Sutra, jadi dekat dari BSD City. Nanti kakek hantar, Nak—”
“Namaku Pradita Mahendra, Kek,” potong Pradita sambil menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan.
Sang kakek pun menyambut uluran tangan Pradita dengan tersenyum ramah, tetapi beliau tidak menyebutkan namanya.
......................
Enam jam kemudian, Terminal Cikokol.
Pradita pun sampai di terminal Cikokol dan membayarkan uang seratus ribuan kepada kernet Bus Sahabat. Untungnya dia sempat mengambil uang di ATM RSUD Arjawinangun sebanyak satu juta sebelum pergi.
Ternyata uang yang diberikan oleh sang aktris yang bernama Nabila Salsabila itu cukup banyak, sekitar sepuluh juta. Meskipun begitu Pradita hanya mengambil seperlunya saja.
Kebetulan Sang Kakek berdiri di belakang dan hendak membayar.
“Sudah, Kek. Aku saja yang bayar,” kata Pradita sambil memberikan uang pecahan seratus ribu kepada sang kernet Bus.
Kondisi Terminal Cikokol pada jam 00.30 ini tergolong sepi. Terlihat dari kejauhan sudah ada beberapa preman yang sedang mengawasi para penumpang yang turun dari Bus Sahabat tersebut.
Saat Pradita dan Sang Kakek sedang mencari ojek atau taksi online di pinggir jalan. Dari arah samping dua orang preman itu menghampiri mereka.
“Cepat serahkan uang kalian! Atau kalian berdua kami tusuk!” ancam salah satu preman dengan mengeluarkan pisau lipat ke arahnya.
Sang Kakek menyunggingkan senyum ke arah kedua preman tersebut dan bertanya, “Kalian anak buah siapa?”
“Sudah, jangan banyak cingcong! Berikan uang kalian!” ancam preman yang lain sambil mengeluarkan pisau lipat yang lebih panjang.
Pradita terlihat ketakutan. Raut wajahnya seputih kertas, bahkan tubuhnya gemetar. Reflek ia memberikan uang delapan ratus ribu ke salah satu preman, “Ini, Pak. Ta-tapi biarkan kami pergi!"
Sang Kakek menahan tangan Pradita untuk tidak memberikannya pada preman itu, “Tidak usah, Nak."
"Kalau dikasih, nanti mereka akan terbiasa melakukan hal seperti ini, lagi dan lagi. Sebagai seorang manusia sejati itu harus bekerja, bukan mencopet!"
"Ada pepatah yang mengatakan jika bekerja adalah surga yang dilupakan.”
Tentu saja kedua preman itu marah besar. Bahkan menusukkan pisau lipat yang sudah terhunus ke arah Sang Kakek. Akan tetapi dengan sigap dan hanya memajukan satu langkah kakinya, kedua pisau itu hanya melewati kedua bahu sang Kakek.
Sang Kakek segera mengayunkan tongkat miliknya secara diagonal, untuk menghantam dahi kedua preman satu persatu. Suaranya terdengar begitu keras, ketika kayu tersebut berhasil mengenai dahi kedua preman itu.
Cairan kental berwarna merah segera mengucur dari dahi mereka yang terluka. Sontak keduanya
preman itu meringkuk di permukaan aspal dengan raut wajah meringis kesakitan.
“Ampun, Kek. Ampun! Maafkan kami! Jangan pukul kami lagi,” teriaknya kedua preman serentak sambil memegangi kepalanya.
“Kalian itu hanya preman kelas teri. Jangan tampakkan muka kalian disini lagi!” bentak Sang Kakek dengan sorot mata tajam dan aura membunuh yang sangat pekat.
Kedua preman yang terluma tadi dan ketiga teman-temannya segera lari terbirit-birit karena ketakutan. Apalagi mereka telah melihat lengan kiri Sang Kakek yang memiliki motif tato tuju kepala naga.
Pradita hanya bisa melongo melihat aksi sang kakek. Jika dugaannya benar mungkin usianya sekirar tujuh puluh lima tahun. Anehnya ia bisa menghajar kedua preman berbadan tegap dengan cepat dan tanpa terluka.
Tiba-tiba mobil Toyota Alphard berwarna putih menghampiri Sang Kakek. Dari dalam sama muncul dua orang pria yang memakai jas hitam. Keduanya langsung membungkuk hormat pada Sang Kakek.
Seorang gadis muda memakai atasan kimono putih dengan belahan gunung kembar yang menonjol besar keluar juga dari dalam mobil. Ia bahkan langsung memeluk Sang Kakek.
“Kakek, kenapa kakek kesini seorang diri? Kakek tinggal telpon aku dan aku akan jemput Kakek di Cirebon,” gerutu Nira.
“Loh, Kakek 'kan masih sehat cucuku yang paling demplon. Sudah-sudah, lepas! Apa kau tega menyiksa Kakekmu ini sampai masuk angin?"
"Lagi pula Kakek juga ingin buat kejutan atau apa-an itu? Subrek atau surprise buat cucu kakek. Apa salah?”
Sang Kakek melepaskan perlahan pelukan Nira padanya. Usianya sudah dua puluh dua tahun, tetapi masih sangat manja pada kakeknya itu.
Pradita langsung minder saat melihat Sang Kakek yang ternyata orang kaya. "Mobilnya saja mewah, bagaimana dengan rumahnya nanti?"
“Kek, terima kasih sudah mengantarku sampai kesini. Nanti aku naik ojek saja—”
“Nggak bisa, ikut Kakek saja! Lagi pula ini sudah malam."
Kakek terlihat keras kepala. "Besok Kakek antar kamu ke Perumahan Griya Loka Satu. Kamu tenang saja, anggap saja aku sebagai Kakekmu sendiri."
Kakek melirik ke arah Pradita yang tidak berkedip ketika melihat Nira, "Akan tetapi, kalau kamu mau menikahi cucu kakek yang demplon ini, usaha sendiri ya, hehehe …,” canda Kakek sambil terkekeh pelan.
“Ih, Kakek. Nggak banget, deh! Aku 'kan sudah punya pacar,” keluh Nira yang digoda Sang Kakek.
Pradita pun sudah tidak bisa punya alasan untuk mengelak lagi. Akhirnya ia pun ikut ke dalam mobil Toyota Alphard yang dimiliki oleh Sang Kakek yang ternyata bernama Astra.
Pradita duduk di kursi paling belakang sambil tertunduk malu. Di dalam mobil itu, ia terdiam seribu bahasa. Ini adalah pertama kalinya Pradita naik mobil mewah dengan golongan orang kelas atas.
“Mas, nama kamu siapa?” tanya Nira dengan tersenyum ramah.
Meski kaya, Nira tetap ramah pada siapapun. Meskipun orang itu belum dikenalnya sama sekali.
“Pra-pradita Mahendra, Nona,” jawab Pradita gugup.
Nira malah menggoda Pradita dan berkata, "Santai saja, Mas. Aku gak gigit, Kok. Hehehe ...."
Mobil Toyota Alphard berwarna putih tersebut berhenti di depan sebuah mansion yang cukup besar berlantai tiga. Pradita terus memandangi bagian depan mansion dengan mata berbinar. Baru pertama kalinya dia melihat bangunan yang sangat mewah dengan penjagaan yang lumayan banyak.
“Mas dari mana?” Nira menepuk pundak Pradita dan membuyarkan lamunan indahnya.
“Sepertinya senang sekali melihat rumah Kakek.”
“Maaf, Nona. Kalau saya terlalu udik. Saya dari Cirebon dan hanya orang kampung. Tidak bisa dibandingkan dengan Kakek dan Nona—”
“Tidak boleh bicara begitu, Mas. Kakek membangun semua ini dari nol dan Kakek dulunya juga sama seperti Mas."
"Namun, kakek adalah pekerja keras, walaupun dulu Kakek harus menjaga Nira yang masih bayi seorang diri, karena kedua orang tua Nira sudah meninggal dunia,” potong Nira menyemangati Pradita.
Pria berambut acak-acakan tersebut sedikit mendapat pencerahan. Bahwasanya setiap orang bisa merubah hidupnya.
Akan tetapi apakah Pradita akan kuat jika ingatannya dipulihkan oleh sistem? Apalagi sebuah kenyataan yang mengatakan jika kedua orang tuanya meninggal akibat dirinya.
Pintu gerbang terbuka secara otomatis. Barisan penjaga yang memakai jas berwarna merah serempak menunduk hormat ke arah mereka.
Nira pun menarik tangan Pradita, karena disuruh oleh Kakek Astra agar melayani Pradita yang dianggapnya sebagai tamu penting. Gadis berambut pirang tersebut memerintahkan para pelayannya untuk melayani semua keperluan Pradita. Mulai dari merapikan rambut, memberinya baju yang cocok dan juga membersihkan tubuhnya.
Pradita sangat senang sebab dirinnya dilayani bak seorang raja oleh para pelayan di Mansion milik Kakek Astra. Akan tetapi dia sadar setelah esok hari pelayanan seperti ini akan hilang. Apalagi dia harus segera meninggalkan mansion untuk mencari keberadaan Nabila Salsabila.
Setelah Pradita membersihkan diri, penampilannya akan dirapikan. Rambut yang cukup panjang dirapikan dengan gaya rambut harajuku style milik Minato. Meskipun mempertahankan warna rambut yang hitam.
Kini ia memakai kemeja putih lengkap dengan celana panjang berwarna hitam. Setelah selesai ia turun ke ruang makan untuk menemui Nira dan Kakek Astra.
Nira dan Kakek Astra mengernyit karena cukup kaget melihat perubahan besar wajah pada wajah Pradita. Kini jauh terlihat tampan dan terkesan lebih segar. Raut wajah yang semula pucat tidak terlihat lagi.
“Lihat, Pradita tampan kan? Kakek yakin pacarmu pasti kalah tampan sama dia,” goda Kakek Astra sambil berbisik ke telinga kanan Nira.
“Kakek, diam! Cinta itu tidak memandang uang dan ketampanan. Akan tetapi ya, itu memang juga dibutuhkan,” gerutu Nira dengan mengerucutkan bibir, tetapi matanya tetap memandang lekat ke arah Pradita.
Akhirnya Pradita duduk berdampingan dengan Nira dan langsung dilayani dengan baik olehnya. Sama seperti seorang istri yang melayani suaminya.
“Terima kasih, Nona Nira,” ucap Pradita dengan mengulas senyum ramah dan berhasil membuat Nira salah tingkah.
“Dit, apa yang kamu lakukan setelah bertemu dengan orang yang menyelamatkanmu? Kakek tahu dia itu seorang artis yang terkenal, tetapi punya banyak masalah,” tanya Kakek Astra dengan sorot mata yang tajam.
“Setelah bertemu dengannya aku ingin membuat janji kepadanya. Aku berjanji akan mengembalikan semua yang digunakan untuk membiayai perawatanku dengan tanganku sendiri. Aku juga berjanji akan membantunya menyelesaikan masalah. Aku berhutang budi banyak padanya, Kek,” jawab tegas Pradita.
Kakek Astra melihat keteguhan dari sorot mata Pradita. Dia memang bukan pria sembarangan. Sorot mata itu mengingatkan dirinya yang waktu masih muda dan pekerja keras.
“Apakah kamu mau bekerja di perusahaan Kakek?” tawar Kakek Astra.
“Perusahaan Kakek bergerak di bidang intelijen dan juga keamanan? Kalau kamu mau bekerja di perusahaan Kakek, wajib sekolah dulu dan kelulusannya kamu sendiri yang menentukan. Kakek juga tidak ingin memaksamu.”
“Baik, Kek. Terima kasih, untuk tawarannya. Biarkan aku memikirkannya lagi setelah bertemu dengan Nona Nabila,” jawab Pradita.
Setelahnya ia mulai makan dengan agak jaim. Dikarenakan sangat grogi. Apalagi saat ini ia makan dengan orang yang bukan berasal dari kalangannya sendiri yang miskin dan termasuk kaum marjinal.
......................
...Keesokan paginya....
...[Tonteng ... tongteng!]...
...[Selamat pagi host]...
...[Mohon maaf host pagi ini tidak mendapatkan uang dari akumulasi mengupil, karena kemarin host sama sekali tidak melakukannya]...
...[Selamat mengupil sebanyak-banyaknya hari ini]...
“Eeeeh.” Pradita mengernyit, menatap panel hologram yang tiba-tiba muncul saat dirinya membuka mata.
“Jadi i-itu benar? Cuma ngupil dapat uang?”
...[Tongteng ... tongteng!]...
...[Iya host]...
...[Sistem menawarkan misi sampingan]...
...<>...........<>...........<>...
...[Misi: Lakukan latihan fisik selama 30 hari (Push up 50 kali, Squat jump 100 kali, Knee Drive 200 kali, Running in place selama 10 menit]...
...[Batas waktu: 30 hari]...
...[hukuman: Singkong premium memendek 1 cm setiap hari selama 7 hari]...
...[hadiah: 10.000 poin sistem, skill otot super, dan 10 poin skill, 10 poin stamina, dan 10 poin kecerdasan]...
...<>...........<>..........<>...
...[Apakah host mau menerimanya?]...
...[Ya/Tidak?]...
Pradita menatap panel hologram dengan menopang dagu dan terus memandanginya secara seksama.
"Baiklah, aku menerimanya. Aku juga perlu penguatan fisik."
Pradita langsung menekan tombol ‘Ya’ tanpa ragu dengan hukumannya yang sangat aneh.
...[Tongteng ... tongteng]...
...[Baik, host telah menerima misi sampingan] [Selamat menjalankan misi]...
...[Progres misi (0/30)]...
Pradita keluar dari kamar tamu mansion Kakek Astra dengan masih mengenakan piyama. Ia melangkahkan kakinya secara perlahan menuju bagian belakang mansion yang memiliki lapangan tenis, kolam menang, lapangan futsal dan juga lapangan Volley.
Kemudian berhenti di salah satu lapangan yang masih kosong dan memulai latihan fisiknya. Ternyata Nira yang memakai pakaian olahraga sangat ketat sedang jogging di jogging track yang mengelilingi ke-empat lapangan tersebut.
“Nona Nira memang sangat cantik. Aku saja sampai stres kalau berdekatan dengannya. Sudahlah sadar Pradita! Dia itu cantik dan kaya, kamu itu hanya debu di matanya,” gumam Pradita menepuk jidatnya sendiri untuk menyadarkan pikiran-pikiran yang terlalu halusinasi ingin memiliki Nira.
Pradita memulai latihan pertamanya yakni latihan Knee drive sesama 50 kali. Tapi baru saja 10 kali gerakan Knee Drive, dia sudah tumbang, sebab tubuhnya masih agak lemah karena pemulihan dari koma selama sebulan lebih.
“Mas Pradita, Mas!” teriak Nira sambil berlari cepat ke arah Pradita yang sudah terkapar di tengah-tengah lapangan.
Dada Pradita kembang-kempis dan raut wajahnya pucat pasi. Dia tidak mau sampai Nira menyentuh tubuhnya, karena takut konslet, lalu langsung duduk dan berkata, “A-aku tidak apa-apa Nona. Aku hanya salah gerakan saja, hehehe ….”
“Olahraga juga jangan dipaksakan, Mas. Kalau gak kuat jangan. Mas lebih baik istirahat saja. Kalau masih lemah, lebih baik tunggu Mas Pradita sehat untuk pergi menemui artis Nabila Salsabila.
Nira memapah tubuh Pradita dan membuat mata Pradita jelalatan tertuju ke satu titik yakni belahan gunung kembar milik Nira yang sangat tampak jelas di depan matanya.
Pradita meneguk salivanya dalam-dalam melihat panorama yang terlalu indah itu dan membatin, “Kalau kau begini terus, aku bisa khilaf. Tidak!”
Pradita pun dipapah menuju kursi yang berada di samping kolam renang untuk dibaringkan.
"Sebentar ya, Mas ! Aku ambilkan teh manis dahulu."
Nira pun masuk ke dalam mansion dan baru pertama kalinya semua pelayan melihat seorang Nira mau melayani laki-laki. Walaupun itu mantan pacarnya, Nira tidak pernah melayani mereka dengan tangannya sendiri, pasti selalu menyuruh para pelayannya.
"Ada yang aneh?"
......................
Bocoran visual Nira😅
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!