Bab 1
Albert Amborse yang saat ini masih dalam perjalanan menuju Victoria menggunakan kereta api jurusan Chicago -Victoria. Ia baru saja menyelesaikan studinya di salah satu universitas di Chicago dengan harapan ia dapat membanggakan ayahnya. Dengan sabar ia duduk tenang, menikmati perjalanannya dan berharap ayahnya akan menjemput di stasiun Victoria.
Suasana di dalam kereta api itu sangat ramai dan riuh. Ia sangat berhati-hati dalam menjaga kakinya. Khawatir akan kakinya terinjak atau terdepak dari kaki orang lain, ia menyembunyikan kakinya di lebih dalam untuk berlindung.
Albert Amborse. Seorang lelaki yang dikaruniai tubuh tidak sempurna yang di dapatnya dari lahir. Ia memiliki kaki yang terlahir cacat pada kaki kirinya yang menyebabkan kakinya pengkor ke dalam dengan bentuk yang tidak wajar sehingga apabila ia berjalan, akan terlihat pinggulnya terseok-seok ke atas dengan aneh dan kesulitan untuk berjalan.
Di sisi lain dirinya yang terdapat cacat pada tubuhnya, tetapi tidak dengan otaknya yang sangat brilian dari pada sang Abang yang akan mendaftar sebagai seorang prajurit perwira tinggi di kota kelahirannya. Ia telah menyelesaikan studinya, dan akan menjadi guru muda di suatu universitas yang ada di Victoria.
Peluit panjang tanda berakhirnya perjalanan yang ditempuhnya menandakan bahwa ia telah sampai pada kota tujuan. Dirinya menunggu antrian untuk keluar dari kereta api yang padat untuk berlomba-lomba tak sabar keluar dari gerbong kereta api yang panas dan penuh sesak.
Albert perlahan berjalan menuju pintu exit dari gerbong kereta api itu. Dengan kaki yang sedikit terasa sakit padahal ia baru saja berjalan tak jauh dari gerbong kereta api yang baru saja ditinggalkan di belakangnya. Ia berusaha keras untuk mencapai ruangan kedatangan penumpang di dalam stasiun. Jauh memandang, ia tak melihat sosok ayahnya untuk menjemput dirinya.
"Apakah ayah lupa menjemputku?" gumamnya pada diri sendiri. Ia tak sadar bahwa dirinya di perhatikan oleh salah satu poter, kuli barang yang biasa membawakan koper-koper atau barang para penumpang.
"Maaf, Tuan, apakah ini adalah koper anda?" tanya poter itu menghampiri Albert.
"Tidak. Itu bukan koperku. Aku hanya membawa satu tas saja," ucapnya.
Poter itu berlalu pergi menjauh, mencari seorang pelanggan baru yang mau menggunakan jasanya. Di jarak yang cukup jauh, Albert melihat ayahnya berdiri di samping pintu keluar tepat di depan loket pembayaran tiket kereta api.
Ayahnya dari jauh sudah melihat dirinya dan langsung mengangkat tangannya, menyambut anaknya yang baru saja pulang dari kota yang jauh. Albert yang melihat itu pun mengangkat tangannya, dan tersenyum senang. Kakinya bergerak-gerak perlahan untuk segera mencapai ayahnya yang berdiri di sana.
"Hai, Ayah,' ujar Albert menyapa ayahnya dengan pelukan.
"Kau semakin sehat. Ayah baik. Bagaimana kabarmu?" tanya Ayah kembali.
"Seperti yang kau lihat sekarang ini, Ayah," seraya menguraikan kedua tangannya menyudahi pelukan kerinduan antara ayah dan anak.
"Baiklah, apakah kau sudah siap?"
"Ya. Kurasa begitu. Ayo," ajak Albert berjalan di belakang ayahnya dengan terseok-seok. "Bagaimana kabar ayah selama aku tidak ada? Apakah ada yang berubah?"
"Tidak berubah secara signifikan, tetapi ada. Yah, seperti yang kau lihat ini lah kabarku. Yang pastinya aku baik-baik saja dan aku juga merindukan dirimu berada di rumah. Ayo..," ajak Roberto.
Roberto, ayah dari Albert yang sekarang ini berprofesi sebagai pebisnis. Ia salah satu pemilik toko bangunan di ruko-ruko yang berada di Victoria. Tokonya akhir-akhirnya sangat ramai dengan adanya beberapa pelanggan yang ingin membangun lumbung baru di ladang pertanian milik mereka.
Memang ada beberapa kejadian sebelum Albert pulang ke Victoria. Di beberapa ladang pertanian milik warga di sebelah selatan mengalami kebakaran lumbung yang hebat. Dari kejadian inilah tak ayal, toko bangunan Roberto dibanjiri pesanan material dan bahan-bahan perlengkapan bangunan.
...****************...
Hi... Hi... Selamat membaca ya.
Jangan lupa klik hatinya. Terima kasih.
Bab 2
"Kita sudah sampai," ujar Roberto mematikan mesin mobil pikupnya. "Biar kubawakan tasmu. Kau bisa turun sendiri?" tanya Roberto lagi.
"Kau tak perlu mengkhawatirkan diriku, Ayah. Aku bisa turun sendiri dengan kakiku," sahut Albert.
"Baiklah." Roberto segera membuka pintu kemudi dan turun dari sana sekalian membawakan tas Albert.
Sedangkan Albert berusaha untuk mengeluarkan dahulu kakinya dan turun perlahan dari mobil itu. Setelah berhasil menginjakkan kakinya ke tanah, dirinya lantas menutup pintu mobil. Menyusul ayahnya yang sudah terlebih dahulu memasuki rumah yang telah lama ditinggalkan oleh dirinya.
Tak ada yang berubah dari rumah itu, baik bangunan maupun kenangan yang ada di dalamnya. Ia rindu ibunya yang telah meninggal karena sakit. Keadaan ekonomi mereka waktu itu tidak sebaik sekarang. "Ibu, maafkan aku. Aku berjanji akan menjadi kebanggaan keluarga kita," gumamnya dalam hati.
"Apa kau lapar?" tanya Ayahnya yang menuju ke meja dapur.
"Aku bisa memasak untukku, Ayah," sahut Albert lagi.
"Kalau kau lapar, bukalah di dalam kulkas. Banyak sekali persediaan yang bisa kau masak. Aku akan ke atas, ke kamarku untuk beristirahat sebentar." Roberto meninggalkan Albert yang masih berdiri di ruang tengah. "Biarkan aku yang meletakkan tasmu di dalam kamarmu."
"Terima kasih, Ayah." Albert menatap punggung ayahnya yang pergi meninggalkan dirinya. Tak ada pembicaraan di antara mereka. Selain Roberto yang memang sudah lelah bekerja di tokonya.
Albert pun mengangkat kakinya dengan pelan, bergerak menuju ke arah dapur. Dilihatnya semua tak ada yang berubah, baik tata letak barang yang ada. Ayah sangat mencintai Ibu sampai-sampai dirinya tidak ingin semua yang diperbuat oleh tangan Ibu berubah tempat. Samar-samar Albert mengukir senyuman di bibirnya.
Bayangan ibunya nampak jelas berjalan mondar-mandir dengan sibuk menyiapkan hidangan untuk keluarga agar bisa makan bersama. "Aku sungguh merindukanmu, Ibu..." raungnya dalam hati. Albert membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa makanan cepat saji. Tak butuh waktu lama untuk menyiapkannya. Ia dengan pelan menyantap makanan itu sendiri.
Di sisi lain, Roberto terbayang dengan istrinya yang telah lama meninggalkan dirinya. Ia pun tak kalah merindu. Albert adalah cerminan dari istri tercintanya, hanya saja tak memiliki tubuh yang sempurna. Walaupun Roberto mengakui bahwa Albert mewarisi mata indah istrinya, biru terang bagaikan air laut cerah di bawah sinar matahari.
...****************...
Dengan adanya musibah yang menimpa salah satu keluarga petani di Victoria, membuat beberapa petani lainnya waspada dengan kebakaran yang terjadi. Malam itu, lumbung Herman telah terbakar dikarenakan kelalaiannya dalam menaruh lentera. Tak sengaja kakinya menyandung lentera yang tak digantung pada tempatnya. Bisa dibilang, mereka mengalami kerugian yang tidak sedikit.
Herman memiliki dua orang anak, yang pertama putri tunggalnya, Gadis. Dengan perawakan seperti istrinya, Maria, Gadis yang masih berusia dua puluh dua tahun itu memang mewarisi gen istrinya. Mata hazelnya yang berbinar berubah menjadi ketakutan dan kepanikan akan kejadian malam itu. Tak ingin membuat Gadis ketakutan dan panik, Herman pun menenangkan Gadis.
Max, adik Gadis yang berbeda dua tahun dengannya sama dengan Gadis. Ia pun panik dan ketakutan akan hilangnya hewan-hewan peliharaannya, kuda dan beberapa domba. Api yang melahap malam itu sangat dahsyat dan meraung-raung bagikan lidah yang menjilati langit-langit.
"Ayah, apakah besok kita mulai membangun lumbung baru lagi?" tanya Gadis yang berada dipelukan Herman sambil tersedu.
"Biarkan toko bangunan milik Tuan Roberto datang kemari. Max akan membantuku untuk membangun lumbung baru. Kau tak perlu khawatir. Kudamu aman bersama Max," sahut Herman menenangkan.
Gadis melepaskan pelukan ayahnya dan kembali kepada Maria, Ibunya. Ibu membalas, mendekap erat pelukan sang gadisnya.
...****************...
Tbc
Bab 3
Keesokkan harinya, Gadis yang sudah bersiap untuk pergi ke ladang pertanian milik ayahnya itu mengingat sesuatu bahwa persediaan dapur seperti rempah-rempah untuk kelengkapan memasaknya sudah habis. Terpaksa dirinya yang harus ke kota untuk membeli perlengkapan rempah-rempah tersebut.
"Ibu..., kau di mana? Ibu?" panggil Gadis.
"Iya, Sayang," Maria keluar dari ruang keluarga dan menghampiri Gadis yang berada tepat di lorong samping ruang keluarga. "Ada apa, Sayang?"
"Ibu, perlengkapan memasak kita sudah hampir habis. Apa kau tidak mengeceknya? Aku hampir tidak bisa memasak sesuatu untuk kalian nanti," ujar Gadis mengeluh.
"Oh, astaga! Ibu lupa. Maafkan Ibu, biarkan ibu mencatat semuanya dan akan pergi bersamamu untuk membeli perlengkapan memasak kita," ujar Ibu seraya menepuk jidatnya sendiri karena lupa.
"Tidak usah, Ibu. Biarkan aku saja yang pergi membelinya. Kalau tidak ada orang di rumah rasanya aku khawatir akan terjadi sesuatu. Bisakah kau tetap tinggal di rumah saja?" sikap dewasa Gadis selalu ditunjukkan ketika dirinya merasa khawatir akan ada sesuatu yang berbahaya menimpa keluarganya.
"Tenang saja, Sayang. Ayah ada. Max juga ada. Kau tak perlu khawatir. Yang ibu khawatirkan saat ini adalah dirimu yang berani untuk pergi sendiri ke kota," sahut Ibunya lagi sambil menuliskan rempah apa saja yang telah habis.
"Ibu tidak perlu khawatir, oke? Aku bisa menjaga diriku. Ngomong-ngomong, apakah ibu sudah selesai menulisnya? Aku tak mau terlalu siang untuk pergi ke kota. Panas terik matahari akhir-akhir ini sangat tidak wajar."
"Hampir selesai, Sayang. Uluh... uluh... Anak gadis, Ibu. Bagaimana bisa kau takut panas sementara kau selalu ke lahan pertanian untuk membantu ayah dan Max?"
"Itu pengecualian, Ibu. Sudahlah, mana kertasnya. Aku akan segera pergi," pintanya.
"Ini. Jangan lupa untuk membawa keranjang belanjaan," ingat Ibunya kepada Gadis.
Gadis mengambil kertas itu lalu kemudian ia mengambil keranjang khusus berwarna cokelat tua yang menggantung di dinding. "Ini, kan?" sambil menunjukkan keranjang itu kepada ibunya. Seketika itu juga ibunya menganggukkan kepala tanda mengiyakan. "Baiklah kalau begitu, Gadis pergi dulu, Ibu." Ia berlalu meninggalkan ibunya yang mengantar dirinya sampai di depan pintu.
"Hati-hati, Sayang."
...****************...
Sesampainya di supermarket yang dituju oleh Gadis, ia bergegas memasuki Farmers market yang ada di depannya. Perlengkapan untuk memasak memang tak bisa dibeli dengan jumlah sedikit, karena minimal satu bulan sekali dirinya atau pun ibunya yang membeli perlengkapan memasak ini.
"Baiklah. Salt sudah. Papper... Di mana? Apakah di sini barangnya sudah habis stoknya?" ujarnya mencari-cari barang itu.
Tak kunjung menemukan, Gadis memanggil seorang petugas yang bekerja di toko itu. "Apakah kau dapat mencarikan aku papper? Aku sudah mencarinya tetapi tidak menemukannya," adu Gadis.
"Sebentar, Nona. Mohon ditunggu." pinta petugas itu bergegas untuk mengecek persediaan barang yang diminta oleh pelanggannya.
"Maafkan kami, Nona, persediaan barang kami untuk produk itu masih belum datang, Nona. Diperkirakan akan sampai dua hari lagi," terang petugas itu.
"Ya ampun, lama sekali. Kalau begitu terima kasih, ya." Gadis berlalu meninggalkan petugas itu yang telah pamit untuk kembali mengerjakannya tugasnya.
"Aku harus bergegas. Ini sudah hampir makan siang. Aku sudah merasakan lapar di perutku," monolog Gadis sembari melangkah menuju kasir untuk melakukan pembayaran.
Selesai transaksi, dirinya langsung keluar dari Farmers Market itu dan menuju toko kecil untuk membeli paper yang dibutuhkannya.
"Semoga saja ada. Aku tak ingin mati kelaparan."
...****************...
Tbc
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!