Lamajang 1406
Bhre Wirabhumi sedang berada di Paseban menerima 200 orang rombongan utusan Kaisar China yang
dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho untuk menjalin kerjasama di bidang perdagangan. Kegembiraan terlihat di wajah Bhre Wirabhumi ketika menerima kedatangan delegasi dari China.
Ketika pertemuan sedang berlangsung tiba-tiba dari luar istana terdengar keributan. Suara kentongan tanda bahaya dipukul bertalu-talu dan teriakan para prajurit jaga dan denting senjata membahana diluar keraton. Para prajurit Keraton Majapahit Timur sama sekali tak menyangka akan diserang secara mendadak di saat mereka sedang kedatangan tamu dari China. Sontak suasana di dalam Paseban gaduh, para hadirin terkejut dan bersiap menyelamatkan diri.
"Majapahit Barat menyerang, lindungi Raja dan para tamunya!" Teriak seorangpengawal kerajaan
Hari itu pasukan Kerajaan Majapahit Barat dibawah pimpinan Bhre Tumapel, berhasil menembus pertahanan istana Majapahit Barat. Pasukan Bhre Tumapel menuju Majapahit melalui hutan belantara, sehingga kedatangan mereka tidak terdeteksi pasukan Majapahit Timur di pos jaga di pedesaan,
“Kurang ajar kau Wikramawardhana, kerahkan seluruh pasukan kita untuk menghadang mereka!” Seru
Bhre Wirabhumi dengan Marah.
Pasukan Bhayangkara yang berdatangan ke Paseban dengan sigap melindungi Bhre Wirabhumi dan permaisuri dari serangan dadakan itu.
"Gusti Prabu, kita pergi lewat jalan rahasia!" Ajak pasukan Bhayangkara yang mengawalnya.
Namun, belum sempat mereka berlari menyelamatkan diri, tiba-tiba datang serombongan pasukan Majapahit Barat menyerbu Paseban. Pasukan Bhayangkara segera menyongsong kedatangan pasukan Majapahit Barat. Laksamana Chengho dan 200 anggota delegasinya tak menyangka mendapat serangan dari KerajaanMajapahit Barat. Mereka kebingungan, tidak tahu menahu mengenai permasalahan yang terjadi di kedua kerajaan tersebut.
Bhre Tumapel bertindak ngawur, semua yang ada dilibasnya. Termasuk delegasi dari China pimpinan Laksmana Chengho juga ikut di serang.
“Laksamana Cheng Ho, ternyata mereka juga menyerang kita!” Seru Ma Huan sekretaris Chengho.
“Tidak ada jalan lain, kita harus lari dari sini kembali ke kapal!” Laksamana Cheng Ho menghunus pedangnya bersiap melarikan diri bersama sisa rombongannya keluar istana.
“Kita kembali ke kapal sebelum musuh menyerang kita!” Seru Laksamana Chengho mengajak anggota rombongannya lari menyelamatkan diri.
Laksamana Cheng Ho menghunus pedangnya menerjang pasukan Majapahit Barat yang menyerang
mereka.
“Kuharap mereka tidak akan menyerang kita karena kita hanya tamu,” ujar Ma Huan berusaha menenangkan rombongannya.
Tetapi perkiraan Ma Huan salah, pasukan Bhre Tumapel telah menghadang mereka. Chengho berseru kepada Bhre Tumapel
"Jangan serang kami, kami tidak tahu menahu dengan urusan kalian. Biarkan kami pergi, kami
juga negara sahabat Majapahit Timur!" Seru Laksamana Chengho berusaha mencegah Bhre Tumapel menyerang rombongannya.
Namun Bhre Tumapel tidak peduli dan berkata kepada Chengho
"Jangan mencoba menipu kami, kalian pasti datang untuk membantu Keraton Majapahit Timur
menyerang Keraton Majapahit Barat!"
Tanpa banyak bicara Bhre Tumapel memerintahkan pasukannya untuk menyerang rombongan dari China. Karena
kedatangan mereka hanya untuk kunjungan perdagangan, maka tidak banyak pengawal yang dibawa oleh Chengho. Para anggota rombongan Chengho sebagian besar adalah pejabat kerajaan dan pebisnis dari China, sehingga tidak banyak dari mereka yang menguasai ilmu beladiri.
Rombongan Laksamana Cheng Ho tidak mampu menahan serangan pasukan Majapahit Barat. Serangan pasukan Majapahit Barat memakan korban sebanyak 170 anggota delegasi dari China. Mereka gugur dalam serangan itu sedangkan sisanya terluka parah. Rombongan Laksamana Cheng Ho yang tersisa
pulang kembali ke China membawa berita duka.
Sementara itu Pasukan Bhayangkara dan Bhre Wirabhumi berhasil meloloskan diri lewat jalur rahasia. Kini sampailah mereka di tepi sungai Brantas dan bersiap naik sampan menuju pelabuhan Tuban untuk kemudian lari ke Madura meminta bantuan pada sekutu mereka di sana. Ketika akan naik perahu tiba-tiba Bhre Tumapel dan
pasukannya telah menghadang Bhre Wirabhumi.
“Mau kemana Gusti Prabu? Kalian sudah tidak dapat melarikan diri lagi!”
Terkesiap Bhre Wirabhumi melihat pasukan Bhre Tumapel sudah mengepung dirinya dan pasukannya. Saat ini dia sudah dalam keadaan terdesak dengan hanya beberapa pasukan Bhayangkara saja yang mengawalnya. Sementara pihak lawan membawa begitu banyak pasukan mengepungnya. Tanpa banyak bicara Bhre Tumapel memerintahkan pasukannya menghabisi pasukan Bhre Wirabhumi.
"Serang mereka!" Perintah Bhre Tumapel pada pasukannya. Serempak pasukan Bhre Tumapel langsung menyerbu Pasukan Bhre Wirabhumi. Pertempuran sengit yang tidak seimbang terjadi di tepian sungai Brantas.
Bhre Tumapel dan Wirabhumi kini saling berhadapan dengan pedang terhunus. Tanpa membuang waktu,
dia segera menyerang Wirabhumi. Bayangan tubuh dan pedang mereka berkelebat berusaha melukai lawannya. Terkesiap Bhre Wirabhumi ketika Bhre Tumapel berhasil melukai tubuhnya membuat pertahanannya semakin melemah karena luka yang dideritanya.
"Ha ha ha, Wirabhumi percuma saja kau gunakan segala ajian ilmu kebalmu karena aku tahu cara melumpuhkannya. Bukankah kita belajar ilmu kanuragan dari sumber yang sama," ejek Bhre Tumapel.
Bhre Wirabhumi
baru menyadari bahwa mereka menimba ilmu dari guru yang sama di istana karena sejatinya dia dan Bhre Tumapel masih ada hubungan kekerabatan. Perbedaan tujuan politik mengakibatkan mereka menjadi
musuh.
"Pengkhianat, kau lupa bahwa kita adalah saudara sepupu. Harta dan jabatan telah membutakan
mata hatimu!" Seru Bhre Wirabhumi sambil menerjang Bhre Bhre Tumapel.
Di akhir pertarungan pedang Bhre Tumapel berkelebat memenggal Bhre Wirabhumi. Darah menyembur
membasahi tubuh Bhre Tumapel. Sungai Brantas menjadi ajang pembantaian Bhre Wirabhumi dan pasukannya. Sungai Brantas kini menjadi merah darah karena darah prajurit yang mati. Perlahan mayat para prajurit yang mati mulai terbawa aliran air menuju kelaut. Usai mengalahkan Bhre Wirabhumi, Bhre Tumapel berseru
“Kita menang,
Bhre Wirabhumi sudah mati!”
Sorak-sorai pasukan Majapahit Barat bergemuruh, bunyi tetabuhan gong dan kendang ditabuh bertalu-talu merayakan kemenangan mereka.
Hari itu sebuah peristiwa Mahapralaya menimpa Keraton Majapahit Timur. Perang Paregreg, perang
saudara antara Keraton Majapahit Barat dan Majapahit Timur yang sudah berlangsung selama 4 tahun, telah menyeret Majapahit dalam jurang kehancuran. Beberapa kerajaan-kerajaan bawahan di luar Jawa banyak yang telah melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit. Rakyat semakin menderita,hidup mereka tak tenang karena situasi negara kini sudah tidak aman. Perampokan, kelaparan dan wabah penyakit terjadi di mana-mana. Perang itu pada akhirnya dimenangkan oleh Wikramawardhana dari Keraton Majapahit Barat.
Berita kematian170 anggota delegasi dari China cukup memusingkan Raja Wikramawardhana. Dia
mendengar kabar bahwa Laksamana Chengho dan Kaisar Yongle sangat kecewa dengan tindakan Keraton Majapahit Barat yang telah membunuh 170 rombongannya dalam perang Paregreg. Di masa itu, China adalah sebuah negara super power yang cukup berpengaruh dalam peta politik kerajaan-kerajaan di wilayah Asia
Tenggara.
Raja Wikramawardhana tak ingin hubungan bilateral yang selama ini sudah terjalin baik antara Majapahit dengan China rusak karena tragedi tersebut. Maka pagi itu dia mengundang Batara Sapta Prabu, Mapatih
Amangkubumi, Dharmadyaksa dan para Pengageng di Paseban. Termasuk Bhre Tumapel juga diundang ke istana untuk dimintai pertanggungjawaban atas insiden terbunuhnya 170 utusan China dalam Perang Paregreg.
Pagi itu Sang Nata yang sedang murka membuka pertemuan itu dan berbicara dengan nada marah
“Kita telah melakukan kesalahan besar ketika penyerbuan ke Keraton Majapahit Timur dengan membunuh 170 rombongan Laksamana Cheng Ho. Padahal mereka tidak tahu menahu mengenai permasalahan kita. Aku akan mengirim utusan untuk meminta maaf kepada Kaisar Yongle. Atas insiden ini.”
Suasana hening, semua orang tertunduk tidak berani menatap
wajah Sang Nata yang sedang murka.
“Lalu siapa yang akan Gusti Prabu perintahkan sebagai utusan
kita ke China?” tanya Patih Gajah Lembana.
Wikramawardhana tampak berpikir.
“Siapa diantara para pejabat kita yang biasa kita perintahkan
berhubungan dengan China?”
Patih Gajah Lembana tampak berpikir sejenak kemudian dia
berbicara sebentar dengan beberapa Nayaka Praja di sampingnya
“Kukira Wiraksara adalah orang yang tepat. Dia bisa mewakili
kita untuk menyampaikan permintaan maaf kita ke China. Selama ini Wiraksara
sudah sering mewakili delegasi kita ke China. Dia sangat fasih berbahasa
China,” kata Patih Gajah Lembana.
“Wiraksara? Ah, mengapa kau tidak memilih orang lain saja
yang lebih senior?” Tanya Wikramawardhana.
“Ampun Gusti Prabu, saya
kuatir Kaisar Yongle akan mengambil tindakan kepada kita. Bagaimana jika Kaisar
Yongle kemudian menawan utusan kita untuk membalas dendam kematian para utusannya? Kalau kita memerintahkan utusan yang lebih
senior berangkat ke China, saya kuatir dia tidak mampu menanggung resikonya. Wiraksara masih muda dan kuat, seandainya terjadi sesuatu di sana dia
mampu menghadapinya. Biar dia saja yang berangkat ke China.”
Wikramawardhana berpikir sejenak lalu bertitah
“Baiklah, kita akan memerintahkannya pergi secepatnya ke
China mumpung angin muson Utara masih ada. Panggil orangnya kemari!”
Gajah Lembana tertegun, ada satu hal yang lupa
disampaikannya
“Mohon amoun Gusti Prabu, hamba lupa menyampaikan, hari ini Wiraksara
tidak masuk kerja,” jawab Patih Gajah Lembana dengan suara perlahan.
Prabu Wikramawardhana tertegun sejenak
“Hah … apa maksudmu tidak masuk kerja?”
“Iiyaa … Gusti Prabu, kemarin dia pamit cuti pulang ke
Lasem.”
“Lalu mengapa kau mengijinkannya cuti di saat kita habis
perang begini, waduuh, bukankah aku sudah mengatakan tidak boleh ada pejabat
yang cuti dalam keadaan darurat ini?” Prabu Wikramawardhana mulai marah.
Patih Gajah Lembana kembali menjawab
“Ampun Gusti Prabu, saya memang tidak mengijinkannya pergi,
tetapi anak itu ngeyel nekat tidak masuk. Dia memang lebih suka mengurus bisnis
perdagangannya dengan para saudagar mancanegara di Lasem daripada mengurus
negara. Itulah sebabnya saya merasa lebih baik dia saja yang berangkat ke
China, karena di sinipun dia tidak banyak berguna.”
“Kalau begitu berarti anak itu membolos tidak masuk kerja
bukan cuti karena kau tidak memberinya izin untuk cuti. Ah sudahlah aku tidak
mau tahu, jemput anak itu kemari. Kalau tidak mau, seret paksa dia kemari. Aku
mau dia yang menangani masalah ini sampai beres!”
Para Nayaka Praja di paseban hanya bisa geleng-geleng kepala
mendengar kelakuan Wiraksara. Anak itu memang cerdas namun terkadang sikapnya
kurang disiplin membuat teman-temannya yang lebih senior merasa kesal. Tetapi
berhubung dia masih keponakan Raja Wikramawardhana, tidak ada yang berani
memarahi atau menegurnya.
Wiraksara adalah seorang diplomat dengan sebutan jabatannya
di Majapahit adalah Arya Dwipantara, menguasai sedikit ilmu beladiri sekedar
untuk memenuhi kewajiban saja. Karena sebagai seorang pejabat negara, dia harus
menguasai ilmu bela diri. Wiraksara bukanlah seorang yang memiliki ilmu
kanuragan yang tinggi. Dia mendapat jabatan Arya Dwipantara semata-mata karena
kecerdasannya yang trampil dalam berdiplomasi dan bernegosiasi dengan
negara-negara asing.
Ketika pihak istana sibuk mencari dirinya di Trowulan, sore
itu Wiraksara asyik bersantai di bawah pohon Nyiur sambil menggigit sebatang
bunga ilalang, merenung di tepi pantai Lasem sambil menikmati keindahan
matahari yang sedang tenggelam di ufuk barat dan mendengarkan suara deburan
ombak pantai Lasem yang selalu dirindukannya.
“Indah sekali pemandangan sore ini, aku bosan berada di istana
bersama pejabat-pejabat korup yang hanya tahu mencari muka saja. Lebih baik di
sini bisa bersantai di pantai dan berdagang, bertemu dengan teman-teman
mancanegara di pelabuhan,” gumamnya.
Menjelang maghrib, dia memutuskan pulang karena dia ingat,
dia ada janji bertemu dengan teman-temannya di kedai tuak. Pantai itu bukanlah
pantai yang ramai, tidak banyak orang yang berkunjung di situ, namun pantai itu
adalah pantai favoritnya, Pantainya bersih dan banyak pepohonan yang rimbun.
Air lautnya bening sehingga jika berlayar sampai ke tengah lautan, dia bisa
melihat ikan dan udang yang berenang di sela-sela terumbu karang.
Selagi dia berjalan pulang, dari kerimbunan semak-semak
terdengar suara orang mengeluh kesakitan. Wiraksara tertegun mendengarnya, segera
dia menghampiri sumber suara tersebut dan alangkah terkejutnya dia ketika
melihat seorang laki-laki berusia 40 tahunan. Tubuhnya berlumuran darah duduk
bersandar di bawah pohon. Kulitnya penuh luka cacahan pedang yang terus menerus
mengalirkan darah, dan mungkin juga dia menderita luka dalam yang parah karena
di beberapa bagian tubuhnya terdapat lebam-lebam berwarna biru kehitaman tanda
dahsyatnya pukulan yang dialaminya. Wiraksara dengan cemas segera menghampiri
orang itu dan berseru
“Ki Sanak, Ki Sanak apa yang terjadi? Mari aku bantu antar
ke tabib,” kata Wiraksara berusaha membangunkan dan memapah orang itu.
Namun orang itu menggeleng dan berkata
“Tidak, tidak perlu, sebentar lagi aku akan mati, tak ada
gunanya membawaku ke tabib. Aku seorang pendosa yang memang tidak pantas hidup,
Para pengeroyokku para pendekar berilmu tinggi itu sudah menghajarku tanpa
ampun,”katanya sambil menatap Wiraksara dengan pandangan tajam.
Terdengar suara orang misterius itu berbicara lagi.
“Tulangmu tubuhmu bagus dan kepalamu bentuknya juga bagus,
kau adalah tipe tubuh pendekar yang ideal yang hanya dimiliki sedikit manusia
di dunia ini dan otakmu pasti cerdas.”
Wiraksara kebingungan lalu bertanya kepada orang itu
“Apa maksudmu dengan tubuh pendekar yang ideal dan bentuk kepala
yang bagus? Kurasa kepalaku biasa-biasa saja seperti kepala orang pada umumnya
dan aku juga bukan seorang petarung yang tangguh. Tapi memang sih orang bilang
aku orang yang cerdas dan tampan, he he he.”
Namun orang itu tidak peduli dengan kata-kata Wiraksara, dia
berbicara lagi dengan sisa-sisa tenaganya yang masih tersisa.
“Kemarilah mendekatlah padaku dan duduklah di depanku Ngger,
aku sudah tidak punya waktu lagi.”
Tiba-tiba tangan orang itu meraih bahunya dan
mencengkeramnya dengan kuat membuat Wiraksara marah dan berteriak
“Hei, apa yang kau lakukan? Hentikan atau aku akan
membunuhmu!”
Wiraksara tidak meneruskan kata-katanya karena dia merasakan
bahunya seperti di sengat ribuan tawon.
“Aaaarrrggghh…!”
Wiraksara berteriak keras tetapi tidak ada orang yang
mendengarnya karena hari sudah menjelang maghrib dan tidak ada orang di pantai
itu. Setelah itu tubuh Wiraksara lunglai tak bertenaga, Dia sudah pasrah jika
kemudian orang itu membunuhnya.
“Aku telah mewariskan ilmu tenaga dalam Maha Aji itu
untukmu. Kini kau menjadi seoprang pendekar yang memiliki tenaga dalam yang
sangat besar, Tetapi kau harus mampu mengendalikannya,” ujar pria misterius
itu.
Pria itu kemudian duduk bersila dan menangkupkan tangannya,
tiba-tiba dari tangannya munculah sebuah pedang yang bersinar. Wiraksara terkejut melihatnya,
Orang ini seperti penyihir, tiba-tiba saja tangannya sudah
menggenggam sebuah pedang, batin
Wiraksara dengan kagum.
“Ngger, orang-orang
itu mengejarku karena pedang Maha Aji ini, aku tidak ingin pedang ini jatuh ke
tangan yang salah. Terimalah pedang Maha Aji ini, pedang ini terbuat dari batu
bintang berusia ribuan tahun dan sudah menyatu denganku selama bertahun-tahun.
Aku tahu kau adalah orang yang baik yang tidak memiliki sikap tamak, iri dan
dengki. Maka aku memilihmu untuk mewarisi ilmu Maha Aji ini. Terimalah pedang
ini Ngger,” kata laki–laki itu.
Wiraksara menerima pedang Maha Aji, pedang itu terasa berat
di tangannya. Ketika menerima pedang dari tangan orang misterius itu, hampir
saja pedang itu terjatuh dari genggamannya. Dilolosnya pedang Maha Aji dari
sarungnya yang terbuat dari kulit ikan pari. Pedang itu tampak seperti pedang
biasa saja tidak ada hiasan emas permata seperti layaknya pedang pusaka yang
hebat.
Setelah itu, laki-laki misterius tadi menempelkan tangannya
ke dada Wiraksara. Dada Wiraksara terasa sesak sebuah gelombang energi dahsyat
yang panas memasuki tubuhnya. Wiraksara tak tahan lagi dengan panasnya energi
itu, di saat rasa sakit yang dialaminya kian memuncak, tubuhnya tiba-tiba
terasa ringan, dan terlempar di sebuah ruangan kosong yang sangat terang.
“Tempat macam apa ini? Tidak ada benda apapun di sekitar
sini yang ada hanyalah sebuah cahaya terang serba putih. Apakah aku sudah mati
dan berada di perbatasan dunia dan akherat,” gumam Wiraksara sambil berkeliling
melihat-lihat ruangan itu.
“Ruangan apa ini, begitu terang, luas dan tidak ada
batasnya,” gumam Wiraksara sambil mondar-mandir mengelilingi ruangan.
Tiba-tiba terdengar suara
“Ngger, kemarilah, aku ingin memberi sesuatu untukmu,” ujar
suara itu.
Wiraksara menoleh ke arah suara itu, dilihatnya sebuah sosok
berpakaian serba putih seperti pakaian seorang Brahmana. Namun betapa
terkejutnya Wiraksara manakala melihat wajah sosok itu. Wajah sosok itu begitu
mirip dengan dirinya.
“Siapa sebenarnya dirimu Ki Sanak, mengapa kau menampakan
wujudmu dengan wajah yang mirip dengan diriku?” Tanya Wiraksara dengan heran.
Laki-laki itu hanya tersenyum kemudian berkata
“Aku adalah Mpu Sengkala, penguasa seluruh Tanah Jawa. Tidak
masalah jika aku menampakan diriku dalam wujud yang mirip denganmu. Aku dapat berwujud menyerupai siapa saja yang
kuinginkan. Kemarilah aku akan mengajarkanmu jurus-jurus untuk menggunakan pedang
Maha Aji ini.”
Usai berkata tiba-tiba di tangannya tergenggam sebuah pedang
yang diberikan orang misterius tadi.
Tanpa sadar Wiraksara meraba pinggangnya, bingung mencari pedangnya. Melihat kelakuan Wiraksara,Mpu
Sengkala tertawa terkekeh
“Pedang itu ada di
sini, ini ambilah!” Katanya sambil melempar pedang ke arah Wiraksara.
Wiraksara terkejut, barulah dia sadar ketika tubuhnya
terlempar dalam ruangan yang terang, dia tidak membawa pedangnya. Pemuda itu gelagapan saat menerima lemparan pedang Maha
Aji. Ketika pedang sudah berada di tangannya, tangannya terasa
kesemutan, pedang itu terasa berat seperti membawa besi puluhan kilo, hampir
saja Wiraksara menjatuhkan pedang itu karena sudah tak kuat.
“Ki Sanak, pedang apa ini, mengapa berat sekali?” Tanya Wiraksara
sambil memegangi pedang dengan kedua tangannya agar tidak jatuh. Wiraksara merasa
heran, dia sendiri merasa pedang itu sangat berat dan harus dipegangi dengan 2
tangan, namun laki-laki didepannya itu memegangnya dengan mudah seperti memegang
sapu lidi saja.
“Ah, masa sih berat? Pedang pendek ini tidak berat, biasa
saja,” kata orang itu lagi.
Wiraksara terbengong-bengong mendengar jawaban laki-laki itu
“Ini Pedang yang ringan?” Tanya Wiraksara.
Mpu Sengkala mengangguk
“Ya benar, kau harus menyatukan jiwamu dengan pedang ini
maka pedang ini akan terasa ringan. Wiraksara, separuh jiwamu sudah berada di
dalam pedang ini, jangan anggap ini hanya sebuah benda, tetapi pedang Maha Aji
itu adalah dirimu sendiri. Jangan
kuatir, aku akan mengajarkanmu cara menggunakan pedang ini.”
“Darimana aku harus memulainya?” Tanya Wiraksara.
“Tadi muridku telah membuka jalur tenaga dalammu yang
tersumbat, itulah sebabnya tenaga dalammu selama ini tidak dapat mengalir
dengan lancar,” kata orang itu.
“Oh begitu, jadi selama ini tenaga dalamku tidak dapat
mengalir dengan lancar ya. Pantas saja Guruku bilang pukulanku tidak cukup
berenergi dan mengatakan akuu adalah muridnya yang paling tidak becus berkelahi,”
kata Wiraksara.
“Setelah aku
memberimu ajian Maha Aji dan membuka jalur utama untuk aliran tenaga dalammu,
sekarang kau memiliki kekuatan yang sangat besar. Tapi kau harus bisa mengendalikan
kekuatan itu, jika tidak kekuatan itu akan menghantam dirimu sendiri,” kataMpu
Sengkala.
Mereka duduk bersila saling berhadapan,Mpu Sengkala mulai
memberinya pengarahan.
“Coba kau rasakan hawa murni yang terkumpul di pusarmu,
terasa hangat kan? Sekarang pikiranmu harus bisa memerintahkan energi itu
mengalir ke tempat yang kau mau,” kataMpu Sengkala.
Wiraksara mencoba mengikuti petunjuk orang itu, tetapi yang
terjadi adalah aliran hawa murni itu hanya berputar-putar saja di dalam
badannya tanpa bisa diperintah untuk di arahkan ke tempat tertentu. Hawa
murninya memang terasa lancar mengalir namun aliran itu tidak terkendali dan Wiraksara
tidak dapat mengendalikannya dan mengarahkannya sesuai keinginannya.
“Ki Sanak, aku tidak bisa mengarahkannya sesuai yang
kuinginkan,” keluh Wiraksara.
Kusumowicitro memperingatkannya lagi
“Coba pusatkan lagi
keinginanmu, kemana kau ingin mengalirkan tenaga dalam?”
Wiraksara mencoba mengikuti arahan Mpu Sengkala dengan susah
payah. Akhirnya dia bisa mengendalikan
energinya yang meledak-ledak membuat tubuhnya terasa panas dan meriang. Ketika
dia membuka matanya,Mpu Sengkala melemparkan pedangnya ke arah Wiraksara yang
segera menangkapnya dengan kedua tangannya.
“Coba rasakan apakah pedang ini masih berat untukmu?” TanyaMpu
Sengkala.
Wiraksara menimang pedangnya, sekarang. Betapa terkejutnya Wiraksara
ketika merasakan pedang itu kini berubah menjadi lebih ringan.
“Hei, lihat pedang berat ini sekarang jadi ringan,” ujar Wiraksara
sambil mengayunkan pedangnya dengan gembira.
Setelah itu mulailah orang itu mengajarinya jurus-jurus Maha
Aji. Wiraksara mengikuti semua gerakannya
dengan seksama sampai hafal. Dengan kecerdasannya Wiraksara dapat menghafalkan
jurus-jurus itu dengan mudah. Mpu Sengkala tersenyum puas melihat kemajuan yang
diperoleh Wiraksara.
Sekarang coba kau serang aku!” Perintah Mpu Sengkala.
Wiraksara segera menyerang dengan pedangnya menggunakan
jurus-jurus yang diajarkan tadi. Melihat caranya bertarung, kembaran Wiraksara
itu tampaknya cukup puas melihat kemajuan yang diperoleh Wiraksara.
“Bagus seranganmu sekarang sudah lebih terarah. Tetapi kau
masih belum dapat menggunakan potensi energimu yang sangat besar itu. Sehingga
sambaran pedangmu terasa kurang berenergi. Kau harus sering berlatih mengendalikan
tenaga dalammu,” kata Mpu Sengkala.
Wiraksara yang merasa senang karena memperoleh peningkatan
dalam ilmu kanuragannya, berlutut di depan Mpu Sengkala dan berkata
“Mulai sekarang, aku akan memanggil anda dengan sebutan
Guru, terimakasih sudah memberiku pelajaran yang berharga ini.
Mpu Sengkala mengangguk gembira dan berkata
“Tidak semua orang dapat memperoleh ilmu ini Ngger, ilmu ini
diturunkan tidak berdasarkan keturunan dan tidak bisa diajarkan kepada
sembarang orang. Hanya orang-orang yang terpilih yang bisa menguasai ilmu ini.
Kau adalah pemuda yang baik, cerdas, memiliki tulang dan otot yang bagus, tidak
memiliki sifat jahat, iri dan dengki. Sebelumnya ilmu ini dikuasai oleh muridku
Singasardhula, pria yang kau temui di pantai kemarin. Akulah yang membawa dia menemuimu di pantai. Kasihan Singasardhula, dia harus mati di
keroyok para pendekar, dicurangi dengan racun karena keserakahan orang-orang di
dunia persilatan yang memburu Pedang Maha Aji itu,” tuturMpu Sengkala.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!