Quinn meletakkan proposal yang baru saja selesai ia kerjakan. Pekerjaan hari ini sudah selesai. Sebagai sekretaris, Quinn memang mendapatkan pekerjaan baru satu bulan. Sebuah kebebasan yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya.
"Wah, pekerjaanmu sudah selesai? Cepat sekali. Apa kau mau berkencan setelah ini," ledek Sherly.
Teman Quinn yang bekerja sebagai manajer keuangan itu tiba-tiba muncul entah dari mana. Ngomong-ngomong, Quinn bekerja di perusahaan Luca. Hanya saja, seperti biasa Luca sangat tidak ingin membeberkan identitas keluarganya begitu saja.
Selain menghindari musuh, Luca tidak suka privasinya diusik. Namun, belakangan ini Quinn lepas kendali. Quinn mungkin sangat ingin bebas seperti anak remaja lainnya. Selama 4 tahun ini Quinn sudah mendapatkan kebebasannya.
Akan tetapi, baru belakangan ini Quinn didesak untuk bekerja di perusahaan Luca. Sebelumnya Quinn bekerja di perusahaan lain. Luca ingin Quinn mengamati para karyawannya. Sebab, terkadang ada korupsi di antara para karyawan yang nakal.
"Tugas apanya? Papa hanya ingin mengawasiku. Bukan perkara aku harus mengawasi para karyawan. Hebat sekali papa mencari alasan. Dengan dalih supaya kalau aku bekerja tidak sia-sia. Padahal aku sudah mengancamnya. Si*l! Seharian ini aku terlalu fokus pada kamera CCTV yang ada di sekitarku. Kenyataannya papa masih belum membebaskanku bahkan hingga detik ini. Kebebasan apa?" Quinn mengumpat dalam hati.
Quinn kesal dengan Luca tapi Quinn tidak memiliki kuasa lebih untuk membantah. Sebab, perjanjian sudah ditetapkan. Walaupun pada akhirnya Luca yang berkhianat dengan masih memata-matai Quinn secara sembunyi-sembunyi.
"Hei! Kok diam? Wah jangan-jangan kau ingin merencanakan acara menginap ya sama pacarmu," goda Sherly .
"Hmm? Acara menginap?" tanya Quinn.
"Hah? Tunggu, kau jangan-jangan tidak tahu arti kata menginap?" balas Sherly.
"Menginap apa? Maksudmu piknik? Keluargaku tidak mungkin memiliki uang untuk menginap. Anggota keluargaku ada 5 orang. Aku baru bekerja di sini satu bulan. Besok baru dapat gaji. Apa yang kau pikirkan?" Quinn sudah menutup rapat tentang anggota keluarganya.
Tidak ada yang tahu siapa anak dari Luca dan Tiffany. Walaupun ada yang tahu, itupun hanya untuk mereka para konglomerat yang pernah hadir di acara milik Luca.
Terlihat Sherly menepuk jidatnya. Gadis itu menggelengkan kepalanya. Lalu Sherly menatap Quinn dalam-dalam.
"Bisakah kau biasa saja menatapku?" kesal Quinn.
"Usiamu sudah 25 tahun, Quinn. Kau itu mau apalagi? Dengar, mengajak laki-laki menginap itu merupakan cara terbaik untuk mengikat laki-laki supaya kekasihmu mau menikahimu. Kau kemana saja selama ini? Aku lihat nih ya. Kekasihmu memiliki wajah tampan. Apa kau tidak takut kalau kekasihmu berselingkuh darimu?" kata Sherly .
"Tinggal mencari kekasih baru. Dia kan sudah mengkhianati cintaku. Kau jangan berpikir kalau aku akan bertahan," sahut Quinn dengan enteng.
"Kalau dipikir-pikir memang benar. Semua mantan kekasihku selalu berselingkuh dariku. Sekarang hanya Zio saja yang masih abu-abu. Aku juga baru berpacaran 3 bulan. Benar. Aku tidak tahu keinginan Zio bagaimana." Quinn membatin gelisah.
"Kau ini. Kalau kau seperti ini terus, kapan kau akan menikah? Dengar, ajaklah kekasihmu pergi menginap saat malam natal nanti. Siapa tahu, hubungan kalian menjadi lebih mesra, Quinn. Ayo, kita pulang. Rasanya tidak sabar menikmati steak malam ini, Quinn." Sherly memang mengajak Quinn untuk makan malam bersama.
Akhirnya Quin bersiap-siap. Gadis itu juga tidak lupa untuk membawa laptopnya. Setidaknya sebelum Quinn mengajak kekasihnya untuk menginap, Quinn harus memastikan Luca tidak mengintipnya lagi. Entah sudah berapa lama Luca masih terus menempelkan para penjaga untuk mengikuti Quinn. Bahkan saat Quinn sedang bekerja.
"Papa memang keterlaluan. Bagaimana caraku harus melepaskan diri dari mereka untuk kencan dengan Zio?" batin Quinn dalam hati.
"Ayo, aku sudah selesai berkemas. Restoran itu baru buka 3 hari lalu. Katanya semua teman kita yang pernah ke sana sih enak. Recomended banget. Makanya itu kita harus coba! Pekerjaanmu banyak sekali? Kau kerjakan di rumah?" Sherly membantu membawakan tas milik Quinn.
"Quinn, aku tidak habis pikir. Mobilmu saja sangat keren begini. Bisa-bisanya kau mengatakan kalau berasal dari orang biasa." Sherly sedikit curiga karena mobil Quinn merupakan mobil sport. Yang mana berharga lebih dari 1 milyar.
"Sudah kubilang, perusahaan orang tuaku collapse. Jadi aku kan harus tetap bekerja supaya keluargaku bisa makan," timpal Quinn.
Dua gadis itu pun masuk ke dalam mobil. Dengan cepat, Quinn melajukan mobilnya membelah jalanan ibu kota yang beraspal dan berdebu. Di samping Quinn, Sherly terus mengoceh.
Meski begitu, Quinn juga menanggapi ocehan Sherly . Walaupun Quinn sesekali juga terus mengawasi kaca spion. Yang mana menunjukkan adanya mobil anak buah Luca. Para penjaga itu berada di dalam satu mobil.
Quinn memutar bola mata kesal karena mengetahui bahwa Luca tidak menyerah untuk menjaganya. Luca memang terlalu overprotective.
"Apa papa berpikir kalau aku ini masih anak sekolah? Kalau itu adik-adikku, baru aku tidak akan protes. Tapi, aku sudah berusia 25 tahun. Sepertinya aku tahu harus berbuat apa." Quinn membatin sambil terus berpikir bagaimana membuat anak buah Luca itu pergi.
Quinn pun mengirimkan pesan untuk Luca. Ah, bukan. Melainkan sebuah ancaman. Quinn menyimpan kembali ponselnya setelah ia mengirim pesan kepada Luca.
"Hati-hati, Quinn! Kau membuatku takut. Kenapa kau menyetir mobil sambil bermain ponsel?" tegur Sherly .
"Aku sudah menyimpannya, Sherly . Tenang saja. Aku cukup bisa diandalkan." Quinn menyeringai.
Quinn senang karena ternyata Luca sudah membaca pesannya. Terbukti dari Luca yang langsung menelpon Quinn saat itu juga. Entah sudah berapa kali Luca menghubungi Quinn tapi Quinn tak juga menjawabnya.
"Siapa itu, Quinn? Minggir dulu deh. Siapa tahu itu penting." Sherly menjulurkan lehernya untuk mengetahui siapa yang menelpon Quinn berulang kali. "Apakah itu pacarmu?"
Quinn tidak menjawab. Gadis itu melirik kaca spionnya. Quinn menyeringai. Ia berhasil membuat para anak buah Luca itu mundur. Tentu saja Quinn sangat puas.
"Aku mengancam papa dengan catatan akan membeberkan rahasia perusahaan papa ke perusahaan lainnya. Cukup ampuh ternyata. Salah sendiri. Itu juga papa yang mencari masalah denganku. Hanya membobol data perusahaan, mana mungkin aku tidak bisa?" Quinn membatin puas. Gadis itu benar-benar lega karena tidak ada lagi yang memata-matainya.
"Quinn, hampir saja terlewat restorannya!" Sherly terkejut ketika restoran tujuan mereka sudah sampai.
Quinn memarkirkan mobilnya. Gadis itu sangat ahli sehingga membuat Sherly merasa takjub pada Quinn. Sherly langsung menatap Quinn yang sudah mematikan mesin mobil.
"Kau hebat, Quinn." Sherly ikut turun dari mobil.
Kini keduanya berjalan menuju ke restoran yang ternyata sangat ramai. Quinn dan Sherly mencari-cari meja yang kosong.
"Quinn, sebentar. Bukankah itu pacarmu?" Sherly menarik tangan Quinn.
Sherly memaksa Quinn supaya ikut menoleh ke arah sepasang kekasih yang sedang bercanda mesra. Melihat sosok yang dikenalnya, Quinn berjalan cepat mendekati meja itu.
"Zio? Kau bilang malam ini lembur bukan?" Quinn langsung berbicara tanpa basa-basi.
"Quinn?" Laki-laki itu berdiri begitu mengetahui Quinn datang. "Kenapa kau di sini? Bukankah kau bilang juga akan lembur?"
"Oh, maksudmu jika aku lembur, mungkin aku tidak akan tahu kalau kau selingkuh dengan wanita lain? Zio, kau brengs*k!" Quinn mengumpat.
Setelah mengumpat dan meluapkan amarahnya, Quinn berniat pergi meninggalkan restoran itu. Akan tetapi, Zio memegang lengan Quinn sehingga Quinn urung beranjak.
"Quinn, kau jangan menyalahkanku! Itu semua karena kau sangat kaku! Bagaimana bisa aku berpacaran dengan gadis yang kaku? Aku juga ingin diperhatikan, Quinn!"
Quinn menatap Zio dengan tatapan tidak percaya. "Kau!"
"Kenapa Quinn? Apa yang ingin kau katakan lagi?" Zio semakin senang meledek Quinn yang kini sedang patah hati.
"Zio, kau pria hebat. Sangat hebat. Aku masih tidak menyangka kalau aku pernah berpacaran denganmu. Ini seperti mimpi! Wanita miskin sepertiku tidak pantas berpacaran denganmu!" Quinn merendah. Seperti itulah cara dia melukai hati Zio.
"Sayang, biarkan saja wanita ini. Ayo pergi denganku. Kita bersenang-senang di hotel." Wanita itu terlihat manja dengan Zio. Dia merangkul tangan Zio dan terlihat mengejek Quinn.
Zio pun sama halnya. Laki-laki itu tersenyum puas begitu melihat ekspresi Quinn. Seolah ingin Quinn menangis. Namun, Quinn malah tersenyum.
"Kenapa masih tidak ingin pergi dari sini? Laki-laki pengkhianat memang sangat cocok dengan wanita murahan bukan?" Quinn membalas ejekan dari Zio.
"Apa? Kau? Wanita si*alan!" Selingkuhan Zio berjalan mendekati Quinn.
Wanita itu melayangkan tangan yang mungkin saja ingin memukul Quinn. Beruntung Quinn dapat menahan tangan wanita itu. Bahkan Quinn tidak melepaskan tangan wanita itu ketika ia berusaha melepaskan tangannya dari cekalan tangan Quinn.
"Lepas!" teriak selingkuhan Zio.
Plak!
Plak!
Plak!
Tak diduga Quinn melayangkan tamparan sebanyak 3x di pipi wanita itu. Suasana restoran menjadi ramai. Quinn menjadi pusat perhatian di sana.
Melihat selingkuhannya ditampar, Zio tidak terima. Laki-laki itu membantu selingkuhannya karena terlihat sempoyongan.
"Yuna, kau tidak apa-apa?" tanya Zio.
"Hiks, Zio. Kau lihat tadi? Dia menamparku! Sakit sekali, Zio." Yuna merengek pada Zio. Bahkan wanita itu mulai menangis.
"Si*l! Quinn, apa yang kau lakukan? Wanita kasar! Kau memang sejak dulu aneh! Kau tidak bisa bermanja, kau bahkan sangat kaku! Bagaimana bisa aku tertarik padamu? Dibandingkan Yuna, kau memang tidak ada apa-apanya! Kalau kau ingin putus, ya putus saja. Memangnya aku takut? Aku justru bersyukur bisa berpisah denganmu!" Zio membentak.
Terlihat Quinn mengepalkan tangannya. Rasa sakit hati di dalam hatinya terasa sangat perih. Di depan orang-orang Quinn dibilang aneh, dan bahkan di depan selingkuhannya. Quinn menatap datar Zio tanpa berkedip dan ekspresi apapun. Membuat situasi berubah.
"Begitu ya? Memang tidak rugi juga. Silahkan nikmati hubungan kalian yang indah itu! Ngomong-ngomong, kalian merekam? Kalau ada yang merekam nanti aku bisa marah lo!" Quinn tersenyum pada orang-orang yang mengarahkan ponsel ke arah mereka. Selanjutnya, Quinn memberikan tatapan intimidasi ke semuanya.
"Aku harap kalian menghapus semua video yang ada di ponsel kalian. Jika aku tahu kalau ada yang memviralkannya, aku bisa mencari kalian sampai ke rumah kalian. Aku bisa menyerang balik dan bahkan menghancurkan kalian berkeping-keping!" ancam Quinn.
"Kau pikir siapa?" Seorang laki-laki yang bersuara bariton menyela kata-kata Quinn.
Satu-satunya laki-laki yang bahkan tidak bergerak dari tempatnya. Laki-laki itu melirik ke arah Quinn. Ia saat ini sedang duduk di kursi dan tengah memotong steaknya. Bahkan dia dengan santainya memasukkan potongan steak itu ke dalam mulutnya.
"Kau pikir siapa, berani mengancam mereka?" tanya laki-laki itu.
"Bukankah uang bisa menyelesaikan segalanya?" jawab Quinn.
"Begitukah? Hanya karena masalah pribadi saja kau sampai seperti itu? Mengancam orang dan berkata dengan enteng ingin membeli hukum? Seolah-olah kau memiliki kekuasaan yang hebat." Laki-laki itu bernama Dimitri Huberg.
Kebetulan Dimitri hari ini sedang melihat-lihat bisnis barunya dan memang sangat ramai. Kerajaan bisnis Dimitri tersebar sampai di seluruh pelosok. Bagi orang awam memang Dimitri bukanlah siapa-siapa. Tapi, dibalik sosok Dimitri ada rahasia besar yang tersimpan rapi.
"Kau benar. Aku mungkin tidak memiliki uang banyak. Tapi, maaf. Aku juga tidak akan merendahkan harga diriku hanya untuk laki-laki. Terlebih, untuk seorang bajing*an seperti dia. Kalau ada video tentangmu tersebar, apa kau juga akan diam saja? Orang-orang akan meremehkanmu dan menilai bahwa kau begitu bodoh karena cinta terhadap lawan jenis. Tanpa mereka tahu, siapa kau sebenarnya tapi mereka bisa berasumsi sembarang. Kau yakin akan diam saja? Sekali lagi kubilang, ini tentang harga diriku sebagai seorang wanita. Bukan seberapa besar uang yang kau miliki." Quinn menantang Dimitri.
Quinn menatap Dimitri nyalang. Dingin dan menusuk. Tatapan Quinn berhasil membuat Dimitri terkesima. Bahkan saat ini mimik wajah Quinn datar. Seolah dia bukan wanita yang baru saja merasakan sakit hati karena dikhianati kekasihnya.
Setelah itu, Quinn pergi meninggalkan restoran. Diikuti oleh Sherly tanpa banyak berbicara. Sherly cukup tahu kalau Quinn pasti membutuhkan ruang untuk sendiri.
"Jika ada yang menyebarkan video tadi, aku akan mencarinya sampai ke lubang semut sekalipun! Ada yang ingin mencobanya?" ancam Dimitri.
Suasana restoran kembali seperti biasanya. Tidak ada yang bersuara lagi. Mereka kembali menikmati makanannya. Kejadian tadi pun tidak ada yang membahasnya lagi. Terlihat Zio dan selingkuhannya itu juga pergi.
"Gadis tadi…siapa ya? Pemikiran yang bagus," batin Dimitri.
"Wah? Kau mengancam orang-orang itu untuk wanita tidak dikenal? Ini luar biasa, Dimitri. Sejak kapan kau tertarik untuk hal-hal seperti ini?" Ega, sahabat Dimitri menepuk pundak Dimitri berulang kali.
"Kau tidak ingat restoran ini baru saja dibuka?" tanya Dimitri.
"Eh? Hehe. Iya ya. Maaf. Aku lupa kalau kau perlu menjaga nama baik restoran ini. Tapi, keren juga ya tadi? Sepertinya dia wanita yang kaku. Jadi kekasihnya pergi bersama wanita lain. Padahal dia cantik banget." Ega bersemangat ketika membahas Quinn.
"Kalau kau banyak berbicara maka aku akan mencek*k lehermu," ancam Dimitri.
***
"Hah!" Quinn merenggangkan tubuhnya di bangku kayu taman kota.
Dada Quinn terasa sesak. Di sampingnya Sherly hanya duduk termenung sambil menikmati jajanan di kotak makanan sekali pakai. Sherly menemani Quinn yang terlihat lelah.
"Hari sudah malam, Sherly. Sepertinya kita tidak bisa melanjutkan acara makan malam. Maafkan aku, Sher," sesal Quinn.
Sherly menepuk punggung Quinn. Ia menenangkan Quinn supaya Quinn merasa lebih baik. "Tidak masalah. Aku sudah memesan taxi online. Sekarang bukan kau yang harus khawatir padaku. Bukankah seharusnya kau khawatir pada dirimu sendiri?"
Hening. Quinn tidak menjawab. Wanita itu hanya mendesah. Tidak ada lagi yang bisa membuatnya lebih buruk dari hari ini. Kekasihnya telah berkhianat. Apalagi yang bisa ia harapkan?
"Oh! Taxi online pesananku sudah datang! Quinn, aku pergi dulu ya! Kalau kau sudah sampai rumah, kabari aku ya!" Sherly berpamitan dengan terburu-buru pada Quinn.
"Oke!" balas Quinn.
Sherly sudah masuk ke dalam mobil. Quinn terus menatap kepergian mobil itu dengan senyuman tipis. Quinn juga tidak ingin membuat Sherly khawatir.
"Sepertinya aku harus pulang." Quinn pun bangkit pergi meninggalkan taman kota.
Hari sudah malam. Banyak pasangan muda-mudi yang berkencan di sana. Quinn juga terkadang pergi ke taman kota bersama Zio. Hah, lagi-lagi teringat laki-laki kurang ajar itu.
Di sisi lain di suatu apartemen mewah, seorang laki-laki merebahkan tubuhnya di ranjang. Matanya menerawang ke langit-langit kamar. Ingatan itu terus mengganggu. Pikirannya hanya tertuju pada gadis yang membuat onar di restoran barunya.
"Menarik sekali. Uang memang segalanya. Tapi uang tidak bisa membeli harga dirinya. Baru kali ini aku menemukannya. Tapi… siapa dia? Seharusnya tadi aku mencari tahu siapa dia. Mungkinkah kita akan bertemu lagi hei wanita menarik?"
"Kenapa kau pulang terlambat, Quinn?" tanya Luca.
Quinn memutar bola mata kesal. Ia baru saja menjejakkan kakinya ke mansion, tapi Luca sudah menantikannya. Terlihat juga Tiffany baru saja datang ketika Quinn sampai di ruang tamu.
"Sayang, kau jangan bertanya yang aneh-aneh. Quinn juga ingin bermain di luar sana. Lagipula Quinn sudah sampai di rumah. Ini juga masih jam 8 malam. Masih belum terlalu terlambat untuk pulang ke rumah." Tiffany menenangkan Luca.
"Apa kau tahu apa yang sudah dia lakukan? Sayang, kau jangan membenarkan tindakan Quinn! Kita tidak tahu bagaimana musuh mengincarnya. Aku sedang berusaha menjaga anak gadisku! Kenapa kau malah melarangku marah? Dia sudah membuat 7 orang-ku mundur!" bentak Luca.
"Quinn sudah besar, Sayang. Kau jangan membuatnya kesal. Quinn, masuk ke kamarmu. Biar Daddy, mommy yang urus." Tiffany menyuruh Quinn untuk segera masuk ke kamar.
"Baik, Mom. Terima kasih. Mommy memang sangat mengerti aku. Tapi, Mom. Hari ini Quinn hanya berjalan-jalan dengan teman Quinn di taman kota. Jadi, Mommy tidak perlu khawatir. Quinn ke kamar dulu, Mom." Quinn mengikuti perintah Tiffany. Ia pun pergi ke kamarnya dengan hati yang lega.
Kebiasaan Luca tidak berubah. Luca akan mengintrogasinya ketika Quinn terlambat pulang. Padahal Quinn hanya ingin bersenang-senang menikmati masa mudanya. Tetapi, karena status sosialnya membuat Quinn harus terkurung di mansion besar ini.
"Kakak baru pulang? Tidak lihat chat dariku?" Seorang remaja laki-laki berjalan mengikuti langkah kaki Quinn.
"Aku bersama teman, Nichole. Jadi aku tidak pegang ponsel. Kenapa? Tunggu, kenapa kau mengikutiku?" Quinn membalikkan badannya. Kini dia berhadapan dengan adiknya yang berusia 17 tahun itu.
"Kakak kan yang paling bebas di sini. Aku mengirimkan pesan. Apa Kakak tidak lihat?" Nichole melebarkan mata. Ia kesal pada Quinn yang tidak membawa apapun. Termasuk pesanan makanannya.
"Aku di pusat kota Seattle. Tepatnya di taman kota. Aku sedang bersantai di sana. Kau pikir aku punya waktu untuk melihat ponsel? Menikmati sunset di sana cukup menyenangkan," bohong Quinn. Padahal sebenarnya dia sedang patah hati dan kecewa.
"Hah? Argh! Kak Quinn! Kakak tahu aku ingin menitipkan makanan? Aku ingin makanan ala-ala negara Korea!" Nichole berseru tertahan. Remaja itu menjambak rambutnya dan menyesali sang kakak yang tidak melihat ponselnya. "Kakak tidak bisa diharapkan. Jika kakak tidak membawa makanan pesananku. Lalu sekarang aku harus makan apa?"
"Bukankah kau bisa minta tolong pada koki di mansion? Kau tinggal mengatakannya pasti akan dibuatkan, Nichole. Sudahlah. Kakak mau mandi sebentar." Quinn kembali menaiki anak tangga. Ia harus segera terlepas dari manusia yang suka merengek itu.
"Halo, Kak." Kali ini remaja laki-laki yang lebih muda dari Nichole tersenyum. Ia berdiri tepat di ujung tangga. Usianya 2 tahun lebih muda daripada Nichole.
"Malvin, minggir. Kakak mau istirahat!" ketus Quinn.
"Kakak pulang terlambat dari biasanya. Bersenang-senang sendiri? Tidak ingat padaku dan Kak Nichole? Setidaknya sedikit jajanan itu lumayan." Nada suara Malvin seperti berbisik. Membuat Quinn melirik ke arah sekitar. Ternyata ada penjaga yang mengawasi.
"Tidak ada. Kakak ini hanya bersantai sejenak. Pekerjaan yang diberikan Daddy sangat banyak, Malvin. Kakak butuh udara segar bukan untuk pergi bermain. Sudah paham? Tolong minggir, Malvin. Besok pagi kakak harus bekerja keras untuk menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh Daddy. Kalau kau ingin membantu pekerjaan kakak, kakak pasti akan senang, lo!" Quinn sengaja mengungkit tentang pekerjaan.
Akhirnya Malvin bergeser. Ia memberikan tempat untuk Quinn lewat. Tiga anak itu memang memiliki pekerjaan yang sudah ditetapkan oleh Luca. Untuk itulah meski sebagai anak terakhir Malvin cukup mengerti bagaimana Luca akan memberikan mereka pekerjaan.
"Sepertinya memang pekerjaan Kak Quinn menumpuk. Dia sampai terlihat lesu begitu," kata Malvin.
Dua kakak beradik itu terus mengamati Quinn yang berjalan menuju ke kamarnya. Di mata mereka Quinn berjalan lesu karena pekerjaan yang menumpuk. Sedangkan kenyataannya Quinn lesu lantaran ia baru saja dikhianati.
***
Keesokan harinya, Quinn sudah bersiap di pagi buta. Ia harus bekerja lagi. Padahal dirinya masih lelah. Terlebih, hatinya masih belum membaik.
"Selamat pagi, Dad, Mom." Quinn duduk di kursi. Seperti biasa Quinn dan semua anggota keluarga akan sarapan bersama. Dua adik Quinn sudah datang.
"Ada masalah di kantor?" tanya Luca.
"Tidak ada. Satu minggu lalu baru saja memecat satu karyawan yang melakukan kecurangan. Mungkin sebentar lagi perusahaan akan menemukan penggantinya. Perusahaan kita yang paling terkenal di kota ini kan?" jawab Quinn.
"Apa kau hari ini akan pulang terlambat lagi? Kita harusnya menikmati makan malam bersama." Luca berbicara sambil menikmati roti panggang di piringnya.
"Alasan Daddy saja bukan? Lagipula masih ada Malvin dan Nichole. Harusnya Daddy tidak masalah." Quinn menimpali.
Brak!
"Kalau di meja makan seharusnya kalian mematuhi aturan! Jika masih ada yang berdebat, akan aku hancurkan meja makan ini!" teriak Tiffany. Wanita itu semakin berubah menjadi singa sekarang.
Terlebih lagi ketika ketiga anaknya yang sekarang memiliki sifat yang hobi berdebat. Terutama Quinn. Tiffany harus sabar-sabar menghadapinya. Quinn memiliki sifat keras kepala seperti Luca. Jika mereka berdua sudah berdebat, rasanya kepala Tiffany mau pecah. Tidak akan pernah ada solusinya kecuali salah satu dari mereka pergi.
Hening. Baik Quinn maupun Luca tidak ada yang berdebat lagi. Pun juga dengan Malvin dan Nichole yang terus diam. Di mansion ini pemegang tahta tertinggi adalah Tiffany. Tidak ada yang berani melanggar aturan-aturan buatan Tiffany.
"Aku sudah selesai, Mom. Sudah waktunya aku berangkat bekerja. Terima kasih atas makanannya." Quinn berdiri dan mencium pipi Tiffany. Barulah setelah itu Quinn pergi bergegas meninggalkan mansion.
Sebelum pergi wanita 25 tahun itu melirik kedua adiknya. Dia tahu betapa menderitanya dua anak laki-laki itu di masa sekolah mereka yang seperti ini. Dulu Quinn juga pernah merasakannya. Dimana-mana ada pengawal. Bahkan ada yang ngajak berdebat aja pengawal sudah keluar untuk membela. Kebebasan yang sangat dibatasi.
"Nanti setelah tamat kuliah, kalian pasti bisa bebas seperti kakak. Untuk saat ini lebih baik kalian ikuti aturan Daddy dan Mommy. Musuh Daddy belum habis. Bahkan sampai detik ini. Kakak juga tidak akan tenang jika kalian bergaul dengan teman seusia kalian," batin Quinn sebelum pergi.
Tidak butuh waktu lama, pengawal pribadi Malvin dan Nichole muncul membawa perlengkapan sekolah mereka.
"Mom, Dad. Malvin pergi ya." Pria itu mengecup pipi ibu kandungnya sebelum Luca. Begitupun dengan apa yang dilakukan oleh Nichole.
Pria berbadan tegap itu menunduk hormat di depan Luca. Mereka segera membawa Malvin dan Nichole ke mobil masing-masing karena memang sekolah mereka berbeda.
Setelah selesai sarapan, Luca meletakkan alat makannya dengan hati-hati. Wanita itu memandang istrinya yang hari ini terlihat tidak bersemangat.
"Kau memikirkan sesuatu sayang?" Luca memegang tangan Tiffany.
"Waktu aku seusia Tiffany. Aku tuh sangat senang bermain. Meskipun aku juga harus bekerja keras demi mendapatkan uang. Tapi, hidupku bebas. Aku lihat kau terlalu membatasi Quinn. Bahkan tidak mempercayainya dengan memata-matainya. Sayang, anak kita itu seorang wanita. Jika sikapmu seperti ini terus. Kapan anak kita menemukan jodohnya?"
Luca hanya diam. Dia tahu kalau apa yang dikatakan Tiffany ada benarnya juga. "Kita bahas ini lain kali saja." Luca memilih pergi. Sedangkan Tiffany hanya bisa tarik napas.
Sesampainya di kantor, seperti biasa Quinn disambut oleh Sherly yang terus mengoceh. Hingga Quinn harus menabrak seseorang.
"Aduh!" Quinn mengaduh. Gadis itu berdiri dibantu oleh Sherly.
"Ma-maafkan saya, Nona. Seharusnya saya memperhatikan jalan. Maafkan saya!" Terlihat seorang laki-laki memunguti kertas-kertas yang berjatuhan di lantai.
"Tidak apa-apa. Aku juga minta maaf. Karena tidak melihat jalanan. Temanku ini sangat cerewet. Jadi aku harus memperhatikannya. Nah sudah. Apakah ada yang hilang?" Quinn memberikan kertas-kertas yang tadi berserakan di lantai kepada laki-laki berkacamata.
"Te-terima kasih." Laki-laki itu berterima kasih kepada Quinn yang sudah membantunya.
"Hei, Jefri! Kenapa kau lama sekali? Aku memintamu hanya foto copy saja lama sekali!" Sebuah teriakan dari seseorang membuat laki-laki bernama Jefri itu kalang kabut. Ia meninggalkan Quinn tanpa berpamitan.
"Sepertinya dia karyawan baru itu. Wah, dia kayaknya sedang menjalani magang dari seniornya tuh," kata Sherly.
Mata Quinn terus mengawasi dua karyawan itu. Di mana seorang wanita terus memarahi laki-laki berkacamata. Bahkan menghina Jefri yang memang berpenampilan culun.
"Quinn, lebih baik pergi yuk. Tidak ada gunanya juga di sini. Itu si tante-tante kan memang sudah kebiasaannya marah-marah sama semua orang. Jangan ikut campur, Quinn!" Sherly melebarkan mata saat Quinn malah berjalan mendekati satu orang yang sedang berteriak.
"Permisi, apa kau tidak merasa kalau itu berlebihan?" Quinn menyela perdebatan itu.
"Quinn, tolong pergi! Jangan ikut campur!" usir wanita itu.
"Tenang, Nela. Aku akan membawa Quinn pergi." Sherly datang ingin membawa pergi Quinn.
"Tidak! Lagipula dia salah apa? Hari masih panjang, Nela. Pekerjaan juga belum banyak-banyaknya. Kau jangan seperti itu. Dia orang baru di perusahaan kita. Bagaimana kalau dia tidak betah di sini?" Quinn berbicara dengan ramah. Ia menahan amarahnya karena tidak ingin membuat keributan.
"Hih! Awas kau ya!" Nela pun pergi.
"Te-terima kasih, Nona. Kau sudah membantuku dua kali," ucap Jefri.
Sherly dan Quinn terkesima. Laki-laki itu memang terlihat culun. Tapi bila diperhatikan tidak seburuk itu. Mata Quinn beralih pada id card yang ada di baju Jefri. Anak magang.
"Kau Jefri? Aku Quinn. Dan ini Sherly. Maaf, ya. Kalau hari pertamamu di sini sangat buruk." Quinn berusaha menghibur Jefri.
"I-iya. Tidak apa, Nona. Terima kasih. Karena setidaknya di sini ada yang menghargai keberadaan saya," timpal Jefri.
Setelah itu, Jefri pun berpamitan dan pergi meninggalkan Quinn maupun Sherly. Dua gadis itu mematung di tempatnya.
"Kasihan sekali," kata Sherly.
"Dia sepertinya laki-laki yang baik," batin Quinn.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!