Relea Melati, gadis cantik nan lugu, tinggal di rumah yatim pintu Kasih Bunda sejak dia berusia 10 tahun yang lalu dan kini dia berusia 18 tahun, masih ingat di benaknya kecelakaan yang merenggut kedua orang tuanya.
"ihik hik hik, sakit, sakit sekali!" teriak bocah berumur sepuluh tahun itu, perlahan membuka matanya, terlihat olehnya punggung lelaki tinggi nan tegap itu berdiri membelakanginya.
"Tuan, saya ada di mana?" tanya bocah perempuan berusia 10 tahun itu.
"Kamu ada di rumah sakit," jawab pria itu tanpa membalikkan tubuh ke arah sang bocah.
"Kemana papa dan mamaku? kenapa dia tidak menungguiku?" tanya bocah perempuan itu lagi.
"Aku tidak tahu, yang penting kamu sembuh dulu, jangan pernah pikirkan dan tanyakan ke mana orang tuamu lagi, istirahatlah," kata pria Itu sambil melangkah pergi meninggalkan ruang perawatan gadis kecil itu.
Relea tidak pernah tahu siapa pria itu hingga sekarang. Setelah sembuh dia di bawah kepada bunda Dea dan mendiami panti asuhan ini. Bunda Dea selalu sayang padanya, tetapi saat menatapku lebih lama ia selalu menarik nafas dalam dan menghembuskan dengan sangat kasar, seperti menghilangkan rasa sesak dan beban yang ada di dadanya.
"Apa kamu, tidak ingin meneruskan kuliahmu? Bukankah ayah angkat mu masih mau membiayaimu?" tanya bunda Dea.
"Aku tidak enak, Bun, bahkan sampai sekarang aku tidak pernah tahu siapa beliau, dia tidak pernah mau bertemu denganku, kenapa Bun?" tanya Relea.
"Bunda, tidak tahu, memang apa yang ingin kamu lakukan jika bertemu dengannya Lea?" tanya Bunda Dea.
"Aku ingin memeluknya, seperti memeluk ayah pada waktu, kecil aku rindu momen itu, Bun," jawab Relea.
"Bunda tahu kerinduan mu itu maaf Bunda tidak bisa memberikan mu kasih sayang seorang ayah. mengenai kau ingin bekerja, baiklah, terserah kau saja, tapi ingat jangan kecewakan ayah angkat mu itu, kau tetap harus kuliah dan meraih nilai terbaik," kata bunda Dea.
" Iya, Bun, aku akan ingat itu selalu dan apakah dia mau menemuiku, Bun?" tanya Relea.
"Bunda tidak tahu Lea, apa ini penting bagi mu, Nak?" tanya bunda Dea.
"Sangat penting, Bun, aku ingin tahu orang yang telah berbaik hati padaku, Bun, setiap kali datang ke sini dia tidak menemuiku, aku panggil pun tidak mau menoleh, kenapa Bun?" tanya Lea.
Mungkin dia sangat sibuk jadi tidak mendengar panggilanmu," kata Bunda Dea.
"Kau tidak usah berfikir yang aneh-aneh Lea selama Ayah angkat mu sanggup dan mau membiayai sekolah mu fokus saja dengan pendidikanmu," celetuk Rizki teman sesama pantinya, dia duduk bergabung di sofa ruang tamu bersama Relea dan Bunda Dea.
"Aku itu malu sama kamu, Ki, kamu bekerja sambil sekolah untuk bantu adik-adik, sementara aku hanya diam saja tanpa bisa lakukan apa-apa," jawab Lea pada lelaki itu.
"Tidak apa-apa aku ini laki-laki pelindung bunda dan adik-adik, kasihan Bunda harus kerja sendirian," jawab Rizki sambil tersenyum.
"Keputusanku sudah bulat, Ki. Aku akan bekerja, aku sudah memasukan CV, di perusahaan ternama dan tinggal menunggu panggilan saja," kata Relea
Bunda Dea menghelah nafas lalu menatap Rizki seolah berbicara biarkan saja apa yang Lea ingin lakukan lalu beranjak pergi meninggalkan mereka menuju kamarnya, sambil mengusap air matanya.
'Mas Arga, Sinta, putri sudah dewasa, aku tidak bisa melukai putri kalian walau kalian telah menghancur hatiku berkeping. Namun, aku tidak tahu dengan Setta, bisakah dia memaafkan kalian, bukan hatinya saja yang kalian hancurkan bahkan seluruh hidupnya telah kalian rampas dan tanpa belas kasihan kau titipkan putri kalian satu-satunya padanya, bahkan ku tahu dia tak sanggup melihat wajah Lea yang mirip dengan mu Sin,' hati berbisik sendu menatap keluar jendela, terbayang pengkhianatan itu, tawa Arga yang menghina dirinya dan Setta.
Rizki menghembuskan nafas berat, dia bangun dari duduknya dan pergi meninggalkan Relea sambil berkata, "Terserah lo."
Relea menatap punggung Rizki, dia tidak sampai hati membiarkan pemuda itu berjuang sendirian untuk adik-adik pantinya.
"Bun, Riski, biarkan aku berjuang untuk kalian dan adik-adik, aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku andai pria itu tidak menolongku. Aku sebatang kara sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain kalian dan dia. Namun, sepertinya dia tidak bisa ku jangkau dengan tanganku ini,' batinnya
Ingin sekali Relea memeluk Pria yang selama ini menjadi penolong hidupnya, selalu berlari mengejar langkah pria yang keluar dari pintu rumah yatim piatu setelah memberikan santunan pada kepada bunda Dea. Namun, kaki kecil dari gadis itu tak sanggup menyusul langkah pria yang berjalan dengan cepat dan masuk kedalam mobilnya meninggalkan gadis yang termangu menatap kepergiannya dengan sedan berwana hitam itu.
Di kursi kerja seorang pria menatap map yang beri CV anak angkatnya itu, Pria berusia 38 tahun itu menghembuskan nafas beratnya. "Apa sudah saatnya aku muncul di hadapannya?' pikirnya
Setta Pramana, itu namanya. Luka yang bertahun-tahun dihatinya yang belum kering membuat dia enggan menjalin hubungan dengan wanita mana pun, meski kesuksesan sudah di genggamannya, tetapi hal itu tidak membuat dia percaya akan cinta, hatinya sudah membeku saat dia dikhianati oleh calon istri dan sahabatnya sendiri.
Ingatan melayang jauh ke masa silam.
"Kenapa Om lakukan semua ini, aku sudah menuruti semua permintaan Om bahkan harta satu-satunya milikku telah ku gadaikan," tanyanya pada Om Indra Ayah Sinta.
lelaki paru baya itu menatap tajam. "Agar kau tahu siapa dirimu beraninya melamar putriku dan bersaing dengan Arga, aku hanya ingin mengingatkan padamu kau hanya gembel dan putriku tidak sungguh-sungguh mencintai mu, sekuriti usir dia dari rumahku!" perintah lelaki paruh baya.
Setta membuang bayangan buruk dari masa lalunya dan menekan Interkom yang menghubungkan ruangannya ruangan asistennya Zain.
"Zain tolong ke ruanganku sebentar!" perintah Setta
Zain yang duduk di ruangannya pun menerima panggilan interkom. "Baik, Tuan," jawabnya lalu dia bangun dari duduknya dan berjalan keluar ruangannya menuju ruangan CEO, dia mengetuk pintu ruangan itu terdengar sautan dari dalam.
"Masuk!" perintah Setta.
Zain masuk keruangan bosnya dan berdiri di depan meja kerja bosnya.
"Duduk Zain!" perintahnya kembali. Pria itu duduk berhadapan dengan Setta sang bos dan juga sahabatnya itu.
"Begini, aku ingin panggil gadis ini besok ke ruangan ku dan atur posisinya sebagai sekertarisku," perintahnya pada Zain sambil menyerahkan CV salah satu pelamar di perusahaannya.
Tadi pagi dia mendapatkan telepon dari Dea yang mengatakan bahwa Relea ingin bekerja dan sudah memasukan CV-nya ke perusahaannya, itu sebabnya dia meminta HRD untuk mengantarkan CV atas nama Relea Melati ke ruangan kerjanya.
"Dia hanya lulusan SMU, Pak, apa Bapak tidak ada orang yang lebih kompeten untuk mengisi lowongan pekerjaan ini," tanyanya pada atasan itu.
"Kerjakan saja, aku punya alasan lebih penting dari itu," jawab Setta.
"Apa dia putri dari Sinta dan Arga?" tanya Zain mulai mengubah percakapannya menjadi tidak formal, sebagai seorang sahabat yang tahu betul bagaimana saat Setta terpuruk, membuatnya mengerti mengapa selama ini bosnya menghindari gadis ini.
"Hemm," jawab Setta sambil membuang muka ke arah lain menghindari tatapan sahabatnya.
"Apa yang ingin kau lakukan padanya? Apa kau tidak bisa berdamai dengan masa lalu?" tanya Zain pada sahabatnya itu.
"Jika kau mengalami hal yang sama denganku apakah kau bisa melupakannya Zain? Bahkan dengan entengnya mereka menitipkan putrinya padaku seolah mereka tidak punya salah apa pun pada ku Zain, dan tololnya aku tak sanggup membiarkan gadis kecil itu hidup sendirian," kata Setta sambil menyipitkan matanya menatap pria yang menjadi sahabatnya itu yang selalu mendampinginya saat suka dan duka itu.
"Baiklah, akan ku urus ini dan aku tidak akan ikut campur dengan apa yang ingin kau lakukan padanya, hanya ingatlah dia juga sama dengan mu, kehilangan ke dua orang tuanya, bahkan di saat dia tidak bisa melindungi dirinya sendiri, mungkin di hatinya kau lah pelindungnya," kata Zain sambil berdiri meninggalkan ruangan itu.
Zain melangkah dengan cepat kembali ke ruangannya, lelaki itu menghela napas panjang, masih teringat olehnya kisah cinta mereka berempat Dea dengan Arga dan Setta bersama Sinta.
"Aku iri dengan kalian selalu bersama kemanapun kalian pergi sedangkan aku masih menjomblo, kadang jadi malas jalan dengan kalian," kata Zain pada mereka.
"Makanya lekas cari pasangan dan menikah di hari yang sama pasti seru," timpal Arga sambil melirik Sinta
"Mana serunya seperti itu, yang ada justru tidak bisa menghadiri pernikahan satu sama lain," jawabku pada Arga yang memeluk Dea tetapi tatapan matanya pada Sinta yang bergelayut manja.
"Serunya saat kita melakukan pesta sendiri di sebuah Vila dengan pasangan masing-masing, setelah kita berpesta bersama keluarga kita, betulkan sayang," kata Arga sambil mencium pipi Dea.
"Kalian kenapa sih, tidak bisa berhenti bermesraan, jika ada aku, kalian sama sekali tidak menghargai ku sebagai seorang yang masih jomblo," protes ku pada mereka.
"Maaf ya, Zain, kita memang sengaja agar kamu cepat cari pasangan, apa kau tak ingin di belai seperti ini," jawab Sinta sambil membelai pipi Setta lalu mengecup dengan sangat mesra.
"Ahh, setan kalian semua, yaa!" protes ku pergi meninggalkan mereka.
Zain memejamkan matanya, dia tidak pernah mengira bahwa persahabatan mereka akan hancur menjadi serpihan dan melukai dua orang yang begitu dalam.
Dea menatap jendela kaca kamarnya hujan membasahi bumi. Namun tak sanggup membasahi hati yang kering karena luka, kenangan indah bersama sang kekasih dan badai itu terus mengusik relung hati yang paling dalam.
Tak sanggup membenci dan tak sanggup mencintai putri dari kekasih dan sahabatnya sendiri. Namun itu yang harus dia lakukan bahkan luka itu tak sempat kering karena tersayat lagi dan lagi, setiap melihat Relea luka itu seperti terbuka kembali.
"Dea aku mencintaimu apa kau tak percaya? Hanya ini yang bisa kita lakukan agar orang tuaku setuju aku menikahimu kau harus hamil anakku dulu baru mereka akan terpaksa menikahkan kita," kata Arga pada Dea dan saat itu mereka berada di sebuah kamar di hotel.
"Bagaimana kalau orang tuamu tidak setuju dan aku terlanjur hamil anak mu? Aku takut Ar," kata Dea menatap Arga kekasihnya itu.
"Aku akan berusaha mempertahankan mu Dea, percayalah aku sangat mencintaimu dan ingin memilikimu seutuhnya," kata Arga sambil membuka kancing kemeja Dea, Dea menghentikan tangan Arga sambil menatap dengan sendu.
"Aku takut, setelah ini kau akan meninggalkan ku, Ar, hanya ini yang ku punya," jelasnya.
"Karena hanya itu yang kau punya maka buktikan cintamu padaku Dea dengan apa yang kau punya, jika kau mencintaiku Kau akan dengan sukarela memberikannya padaku sebagi tanda cinta dan perjuangan menuju restu dari orang tua kita," kata Arga menyingkirkan tangan Dea.
lelaki itu mencium bibir kekasihnya dan berbisik," jangan takut aku juga sama ini yang pertama untukku."
Dea menerima ciuman hangat dan menuntut hingga dia tak sadar sudah dalam keadaan polos dan terkungkung oleh tubuh kekasihnya yang sama-sama polosnya, terjadi sesuatu yang seharusnya tidak boleh terjadi.
Setelah kejadian di hotel itu setiap kali ada kesempatan Arga memintanya kembali, dan itu menjadi sebuah rutinitas yang biasa mereka lakukan.
"Ar, sepertinya aku hamil," kata Dea disaat mereka hanya duduk berdua di taman sekolah sambil menunduk tajam dan air matanya terus menetes membasahi pipi putihnya itu.
"Hai, jangan menangis, aku akan bertanggung jawab kita sudah lulus tidak ada alasan untuk melarang kita menikah, aku akan segera mengurusnya, percayalah Dea dan aku sudah bicara dengan Setta, dia setuju menikah di tanggal yang sama dengan kita," kata Arga pada Dea.
Dea memejamkan matanya dan mengelus perutnya.
'Aku menyesal kenapa aku mencintaimu Ar, tetapi apa gunanya, aku kehilanganmu dan anak kita kau yang membunuh anak kita Ar, aku berusaha mempertahankannya andaipun kau telah membuang ku,' rintihnya dalam hati.
Ketukan pintu membuat Dea segera menghapus air matanya, terdengar suara dari luar kamarnya. "Bunda ini Lea, boleh aku masuk."
"Masuklah, Nak," kata Dea sambil berusaha menentramkan hatinya.
Pintu terbuka Relea tersenyum manis dan duduk di samping Dea.
"Bunda nangis? Bunda marah pada Lea?" tanya Lea pada Dea.
"Enggak, Bunda hanya teringat dengan putri bunda saja, dia setahun lebih tua darimu Lea, setiap kali melihatmu bunda selalu ingat akan putri Bunda," jawab Dea sambil menatap Relea dengan sendu.
"Bunda jangan sedih, kan sudah ada Lea, Lea selalu akan jadi anak bunda, walaupun bukan terlahir dari rahim bunda," kata Lea sambil memeluk Dea.
"Trimakasih, kau memang putri Bunda sejak kau di bawah ke sini, Lea," kata Dea sambil membelai rambut indah Lea.
Dea menatap lekat pada gadis itu. "Apa yang ingin kau katakan padaku, Lea? Katakan saja!" pinta Dea.
"Bunda, Lea dapat panggilan kerja, tetapi Lea tidak punya baju dan sepatu," katanya sambil menunduk memainkan jemari tangannya.
Dea terkekeh. "Bunda kira apa hanya minta baju dan sepatu saja kenapa takut? Sebentar bunda ambilkan ya," katanya sambil bangun dari tempat duduknya dan berjalan menuju lemari pakaiannya, Dea membukanya dan mengambil amplop berwarna coklat lalu menutupnya kemudian dia kembali menghampiri Lea yang duduk di bibir ranjangnya.
Dea membuka amplop itu dan mengambil sepuluh lembar uang seratus ribuan dan di berikan pada Lea.
"Belilah Beberapa stel baju," kata Dea.
Ini terlalu banyak, Bun, aku belanja di toko dekat sini saja, Bun, harganya lebih murah, malah kemarin Lea di tawarin untuk bantu jualan pakaian kalau Lea tidak terpanggil di perusahaan itu." katanya sambil tertawa
"Tidak apa-apa bawa saja, sisanya untuk pegangan kamu, jawab Dea.
"Trimakasih, Bun, Lea sayang Bunda," ucapnya sambil memeluk dan mencium pipi Dea, lalu berlari keluar kamar bundanya itu.
Dea tersenyum beranjak dari tempat duduknya lalu menyimpan kembali uang pemberian Setta, semenjak tragedi itu terjadi, Setta begitu memperhatikannya dan mencukupi kebutuhannya dan anak-anak panti, bahkan telah menganggapnya sebagai saudara perempuannya sendiri.
...----------------...
Hari masih pagi Relea mematut dirinya di cermin dengan rambut sepanjang bahu yang digerai indah lalu bibir merah alami dipoles dengan dengan lipstik warna nude, semua nampak kelihatan mempesona, alis tebal dan mata besar nan indah serta bulu mata yang lebat nan lentik menambah penampilan nampak sempurna di mata pria yang memandangnya.
Dia pun melangkah keluar kamarnya dengan menenteng sepatu di tangannya menuju ruang tengah, semua sudah berkumpul dan duduk di atas karpet yang telah tersaji menu sarapan sederhana di sana, ikan gabus goreng yang di ambil di kolam belakang dan sambel terasi buat mbok Gina yang luar biasa sedapnya serta lalapan selada yang di tanam sendiri di kebun belakang rumah membuat perut ku semakin menjerit untuk minta di isi.
Lea meletakan sepatunya di lantai yang tak tertutup karpet dia bergabung dengan adik-adik juga bunda dan Rizki.
"Masyaallah cantik sekali anak Bunda ini, sini sarapan dulu sebelum berangkat," ajak Bunda.
"Iya, Bun, nanti siapa yang antar Bunda ke kantor atau berangkat bersama dengan Lea bagaimana?" tanya Lea.
"Bunda sama Rizki dia kan sekantor dengan Bunda," jawab Dea sambil mengambil makanan kedalam piring dan diberikan pada Lea lalu dia mengambil kembali untuk dirinya sendiri, mereka pun makan dengan tenang.
Setelah selesai Lea mencuci tangan di wastafel di ruang tengah lalu kembali dan untuk berpamitan pada Bunda Dea yang saat ini pun, sedang bersiap berangkat kerja.
"Bun Lea berangkat dulu, ya," pamitnya. Lalu dia memakai sepatunya dan bangkit dari duduknya berjalan keluar rumah menoleh sebentar pada Rizki yang baru keluar kamarnya sambil menenteng tas punggungnya.
"Ki, hati-hati bawa motornya, yaa!" teriaknya lalu berjalan keluar menuju motornya sendiri.
"Beres! Jangan kawatir, itu Bunda aman berada di sampingku," kekehnya.
Lea menaiki motor beatnya dan menjalankan dengan kecepatan sedang menuju tempat kerjanya hari pertama, dadanya berdebar dengan cepat berulang kali dia menghembuskan nafas membuang rasa gugup di hatinya.
Setelah tiga puluh menit berlalu dia pun sampai ke gedung perusahaan tempatnya bekerja, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang IT kliennya tidak hanya di dalam negeri tetapi di luar Negeri, sesaat dia terkagum dengan bangunan yang besar menjulang tinggi.
Gadis itu melangkahkan kaki menuju meja resepsionis dan bertanya. "Maaf kak saya mendapat panggilan dan disuruh keruang CEO, di mana tempatnya, ya?"
"Apa nama mbak bernama, Relea Melati?" tanya resepsionis itu padanya.
"Betul, kak itu saya," jawab Lea dengan cepat.
"Sudah di tunggu Bapak di ruang ruangannya, mbak langsung ke lantai atas saja mbak hanya dua ruangan di sana ruang CEO dan wakilnya," jawab resepsionis.
"Baik mbak, trimakasih banyak," ucap sambil berlalu dan berjalan memasuki lift.
Sementara itu Setta ruangannya sedang menelpon seseorang yang tidak lain adalah Dea.
"Apa di sudah berangkat?" tanyanya di panggilan telepon selulernya.
"Sudah, kenapa? Apa dia belum sampai?" tanya Dea yang saat ini baru saja turun dari boncengan motor Rizki.
"Belum, tapi bukan itu yang akan aku bicarakan padamu. Dea aku sudah siap untuk bertemu dengannya tolong nanti kau hubungi dia untuk datang jam delapan malam, di restoran western katakan padanya untuk naik taksi saja karena aku ingin mengajaknya ke suatu tempat," kata Setta panjang lebar pada Dea.
Dea terkekeh. "Kenapa tidak kau katakan sendiri? Kau katakan sendiri saja, sebentar lagi kamu akan bertemu dengannya bukan?" tanya Dea.
"Itu beda lagi, aku sekarang sebagai atasannya dan nanti aku sebagai Ayah angkatnya," jawabnya sedikit ketus.
"Baiklah akan ku sampaikan, Apa lagi yang harus ku lakukan?" tanyanya sambil terkekeh.
"Kau jangan tertawa terus, Dea! Jangan lupa belikan dia baju yang bagus akan kirim uangnya ke rekening mu," katanya.
"Tidak usah, Ta, masih ada yang kemarin kau sudah banyak membantuku," kata Dea.
"Tidak usah kau pikirkan aku telah menganggap mu sebagai saudara ku, ya sudah kau akan bekerja kan, selamat bekerja," ucapnya lalu menutup telpon.
Tak lama kemudian, terdengar ketukan pintu.
"Masuk!" perintahnya.
Pintu terbuka dan seorang gadis dengan balutan seragam kerja masuk kedalam ruangan, Setta mendongakkan kepalanya dan terpukau, ia seperti melihat bayangan Sinta 21 tahun yang lalu ada rasa sesak di dada dan kemarahan yang seperti mendesak ingin keluar. Namun logika berusaha meredam perasaan itu.
"Duduklah!" perintahnya pada gadis itu.
Relea sesaat tertegun, dia sangat terpesona dengan calon bosnya itu, begitu tampan dan bersahaja, dia terpaku beberapa saat dan tersadar saat suara terdengar bariton calon atasannya.
"Apa kau akan berdiri di situ saja, kemarilah dan duduklah!" perintahnya kembali.
"Ba--baik, Tuan, maaf," jawab Relea sambi berjalan menuju kursi di depan meja kerja sang calon atasan.
"Kenapa gugup, apa aku terlihat menakutkan buatmu," tanya Setta pada gadis itu.
"Tidak, Tuan, sepertinya saya perna bertemu Anda," jawab Relea.
"Benarkah, jika benar kau perna bertemu dengan ku, maka dimana itu?" tanya Setta pada gadis itu dengan lembut.
"Maaf, apa ini bagian dari interview?" tanya pada pria yang di depannya itu.
"Hemm," jawab pria itu.
"Ok! Maaf, saya bertemu Anda di mimpi," jawabnya sambil menundukan wajahnya tajam.
Lelaki itu tergelak mendengar penuturan gadis itu.
"Itu artinya aku sangat familiar sehingga engkau sampai sudah mengenalku dalam mimpi," jawabnya tanpa menghentikan tertawanya.
Relea tertegun, dia menikmati wajah yang semakin rupawan saat dia tertawa, hatinya mulai tergelitik degup jantungnya mulai berdetak, entah kenapa dia lebih tertarik dengan pria matang yang seumuran ayah jikalau masih ada di dunia ini.
"Ok! Aku tanya kenapa melamar pekerjaan padahal kamu masih usia sekolah?" tanya pria itu pada Relea.
"Karena saya kasihan sama Bunda, jadi saya ingin bekerja untuk membantu beliau," katanya lagi.
"Apa dia setuju?" tanya Setta lagi pada Relea.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!