NovelToon NovelToon

Terpaksa Menikahi Pria Cacat

Bab 1. TMPC

"Happy birthday to you ... Happy birthday to you ... Happy birthday ... Happy birthday ... Happy birthday to you ... "

Pasangan parubaya bernyanyi sambil membawa sebuah kue yang sudah dihiasi sebuah lilin menyala membentuk angka 21 terlihat berteger di tengah-tengah.

"Mamah, Papa ... " Gladis menangkubkan tangan di kedua pipinya. Ia terkejut sekaligus terharu mendapatkan kejutan dari kedua orang tuanya itu.

"Selamat ulang tahun anak gadis Mamah dan Papa, semoga panjang umur, sehat selalu, doa yang terbaik untuk kamu sayang," ucap sang Mamah seraya merangkul putri semata wayangnya itu.

Gladis langsung menghambur memeluk wanita yang sudah melahirkan itu. "Makasih Mah."

"Tiup lilinnya dulu dong," ucap sang Papa.

Gladis mengurai pelukannya pada sang Mamah, kemudian ia mengikuti permintaan sang Papa untuk meniup lilin tersebut.

"Jangan lupa berdoa dulu sayang," ucap sang Mamah.

Gladis mengangguk, sesaat ia memejamkan matanya, berdoa, lalu meniup lilin tersebut.

"Gladis kita Mamah sama Papa lupa kalau hari ini ulang tahun Gladis," ucap gadis itu.

"Enggak doang sayang, mana mungkin kami lupa. Kami emang sengaja ingin membuat kamu kesal dulu," sahut sang Mamah sambil tersenyum merekah.

Sejak kemarin Mamah Tia dan Papa Santoso memang sengaja membuat Gladis kesal, mereka mengacuhkan Gladis. Kerena memang mereka sudah berencana memberikan surprise pada anak gadisnya itu.

"Maafin Papa sama Mamah ya sayang. Oh iya, apa kamu ingin mengadakan pesta?" tanya sang Papa.

"Enggak ah, males. Cukup merayakan sama Papa dan Mamah aja Gladis udah bahagia. Asal jangan lupa aja hadiah ulang tahunya," jawab Gladis sambil tersenyum cengengesan.

"Tentu saja, coba lihat ke garasi sana," titah Papanya.

Gladis terlihat bersemangat, ia langsung menuju ke garasi. Alangkah terkejutnya Gladis, dengan mata yang membulat sempurna gadis itu terlihat sangat riang gembira.

"Aaa ... ini serius buat aku Pa?" tanya Gladis tak percaya.

Papa Santoso langsung menganggukkan kepalanya.

"Makasih Papa ... " teriaknya, lalu menghambur memeluk sang Papa.

"Sama-sama anak Papa." Papa Santoso dengan senang hati membalas pelukan putrinya.

"Boleh, aku coba?"

"Tentu saja." Papa Santoso langsung memberikan kunci mobil tersebut padanya.

Gladis langsung berlari kembali menuju garasi, ia langsung masuk ke dalam mobil.

Dengan semangat Gladis menyalakan mesin mobil tersebut bersiap untuk mencobanya.

"Hati-hati sayang," teriak sang Mamah saat mobil Gladis mulai melaju.

"Siap Mah," sahut Gladis berteriak seraya terus melajukan mobilnya.

Raut wajah penuh kebahagiaan terpancar jelan dari wajah cantik gadis itu. Mobil tersebut adalah mobil yang selama ini diingankannya. Sebuah mobil sport keluar terbaru, jangan ditanya harganya berapa. Tentu saja mobil tersebut harganya sangat fantastis.

Gladis memang terlahir dari keluarga kaya raya. Papanya seorang pengusaha ternama. Gladis sudah terbiasa hidup mewah, apa lagi ia anak tunggal, ia selalu di manja.

Gladis semakin mempercepat laju mobilnya, ia terlalu bersemangat, sehingga tidak melihat ke sekitar.

Hingga tiba-tiba sebuah motor dari melaju dari arah samping, tepatnya motor tersebut baru saja keluar dari sebuah jalan kecil yang yang terhubung dengan jalan raya.

Gladis yang melihat langsung panik, segara ia menginjak pedal rem mobilnya, akan tetapi kerena kecepatan mobilnya sangat tinggi, membuat mobil itu tidak langsung berhenti.

BRAK!!

Suara sangat keras terdengar, Gladis membanting setir sehingga menabrak pembatas jalan. Bagian depan mobilnya terlihat langsung penyok.

Sementara itu, di belakang sana. Terlihat banyak kerumunan orang-orang, sepertinya mereka tengah menolong pemotor yang barusan tertabrak oleh mobil Gladis.

Gladis yang masih panik, seluruh tubuhnya terasa sangat gemetar. Apa lagi saat seseorang mengetuk kaca mobilnya.

"Keluar kamu!" teriak orang tersebut.

Bersambung ...

Bab 2. TMPC

"Keluar jangan kabur, tanggung jawab kamu!" Lagi, pria tersebut berteriak sambil terus mengetuk-ngetuk kaca mobil Gladis.

Kini jumlah orangnya bertambah, mendesak Gladis untuk segara keluar dari mobilnya. Dengan perasaan yang bercampur aduk, antara takut, panik, Gladis tidak tahu harus berbuat apa.

Kabur? Tidak mungkin, kerena mobilnya sudah di kepung oleh orang-orang. Tapi, jika Gladis keluar, apa mungkin nanti mereka akan membawanya ke kantor polisi?

Tidak! Gladis tidak mau di penjara. Lagian semua ini murni kecelakaan, Gladis benar-benar tidak sengaja menabrak pengendara motor itu. Ya walaupun sebenernya ia memang salah, Gladis tidak berhati-hati dan tidak memperhatikan ke sekitar saat ia melajukan mobilnya. Dan lagi, ia melajukan mobilnya dalam kecepatan yang tinggi.

"Tidak, aku tidak mau dipenjara, Mamah, Papa tolong Gladis!" gumamnya gemetar.

"Hey, kenapa masih diam di dalam. Cepat keluar, kalau kamu tidak mau keluar, jangan salahkan kami kalau kamu akan memaksa kamu dan merusak mobilmu ini!" seseorang berteriak kembali dari luar sana.

Gladis mencoba menenangkan dirinya sejanak. Ia pun sangat merasa bersalah. "Aku harus bertanggung jawab, aku tidak boleh takut, jika aku bertanggung jawab, mereka tidak mungkin melaporkan aku ke polisi 'kan?"

Beberapa kali Gladis mengatur nafasnya, hingga beberapa saat kemudian Gladis pun membuka kaca mobilnya.

"Akhirnya, cepat kamu keluar!" titah seorang Bapak-Bapak dengan raut wajah yang sama sekali tidak bersahabat.

"Baik Pak, maaf. Saya benar-benar tidak sengaja. Saya akan bertanggung jawab," ucap Gladis mencoba memberanikan diri membuka suaranya.

"Jangan ngomong aja dong Mbak! Cepetan keluar, bawa korban ke rumah sakit!" teriak Bapak-bapak yang satunya lagi.

Gladis segara menganggukkan kepalanya. Ia pun keluar dari mobil tersebut. Tak sedikit orang yang memaki dirinya, Gladis mencoba tidak menanggapi walaupun sebenernya hatinya terasa nyeri.

Andai saja Gladis tahu kejadiannya akan seperti ini. Ia tidak akan langsung mencoba mobil tersebut, andai saja ia tadi berhati-hati mungkin semuanya tidak akan seperti ini. Namun, waktu tidak mungkin bisa diulang kembali, semuanya sudah terjadi.

***

"Pa, kok Gladis belum kembali juga? Perasaan Mamah juga mendadak gak enak kaya gini," ucap Mamah Tia pada suaminya.

"Mungkin Gladis main dulu Mah, kaya gak tau aja anak muda gimana," sahut Papa Santoso. Padahal ia sendiri pun sebenarnya merasa tidak enak hati. Tapi, demi menangkan sang istri, ia tidak menampakkan kerisauan hatinya itu.

"Apa Mamah telepon saja ya, Pa?"

"Ya di coba aja Mah, coba telepon dia."

Mamah Tia pun segera mengambil ponselnya, tak menunggu lama. Mamah Tia langsung menghubungi putrinya.

"Hallo, Gladis kamu di mana Nak?" tanya sang Mamah, saat panggilan telepon terhubung.

"Ha-hallo Mah, Ma-mah Gladis lagi Rumah sakit Mah," jawab Gladis dari sebrang sana sambil terisak tangis.

Mamah Tia terkejut. "Kamu kenapa, Nak? Sedang apa di Rumah sakit? Kamu baik-baik sajakan Gladis?"

Papa Santoso yang mendengar ucapan istrinya refleks langsung menatap sang istri, wajah istrinya terlihat dipenuhi khawatir.

"Gladis gak apa-apa, Mah. Ta-tapi ... Gladis, Gladis ta-tadi ... "

Ucapan Gladis terbata-bata. Membuat kedua orang tuanya itu semakin merasa khawatir. Papa Santoso langsung mengambil ponsel istrinya.

"Gladis apa yang terjadi?" tanya Papa Santoso, dengan suara penuh penekanan.

"Gladis menabrak orang Pa, sekarang orang itu keadaanya kritis," jawab Gladis diiringi dengan isakkan tangis yang samakin nyaring.

"Apa?" teriak Papa Santoso dan Mamah Tia secara bersamaan, tentu saja mereka terkejut.

"Kirimkan alamat rumah sakitnya, Papa dan Mamah akan segara ke sana sekarang," pinta Papa Santoso, lalu mematikan sambungan telepon tersebut.

Beberapa detik kemudian, Gladis sudah mengirimkan alamat rumah sakit tersebut. Kedua orang tuanya langsung meluncur menuju ke sana.

Sekitar menempuh perjalanan kurang lebih 20 menit, mereka pun akhirnya sampai. Mereka langsung menuju UGD di mana Gladis saat ini sedang berada di sana menunggu kedua orang korban yang tadi ditabraknya.

"Mamah, Papa ... " Gladis langsung memeluk kedua orang tuanya itu.

"Gladis takut, Mah, Pa," sambungnya.

"Tenangkan dirimu, semoga semuanya baik-baik saja," ucap sang Mamah.

"Bagiamana cerita bisa seperti ini Gladis?" tanya sang Papa.

Gladis pun langsung menjelaskan semuanya pada kedua orang tuanya. Gladis mengakui juga kalau dirinya lalai berkendara serta ia merasa bersalah juga.

Kedua orang tuanya terlihat menyimak, mau merah pun rasanya mereka percuma. Apa lagi kecelakaan seperti ini, celaka siapa yang tahu. Mereka hanya berharap dan berdoa semoga kedua orang yang ditabrak oleh putrinya itu baik-baik saja.

"Lalu bagaimana keadaan mereka?" tanya sang Papa.

Gladis menggelengkan kepalanya, yang ia tahu keadaan mereka kritis. Tapi, saat ini Dokter yang menangani mereka belum keluar lagi.

"Sudah, sebaiknya kita tunggu Dokternya," ujar sang Mamah.

Mereka pun menunggu di depan ruangan UGD. Mamah Tia mencoba menenangkan Gladis masih terlihat ketakutan.

Hingga beberapa saat kemudian, Dokter terlihat keluar dari ruangan tersebut. Gladis dan kedua orang tuanya langsung menghampiri Dokter tersebut.

"Bagaimana kondisi mereka, Dok?" tanya Papa Santoso.

"Kondisi pasien yang masih muda sudah stabil, beliau sudah melewati masa kritisnya. Hanya saja, beliau mengalami cedra di kedua kakinya, yang mengakibatkan beliau tidak akan bisa berjalan, dalam arti beliau mengalami kelumpuhan," jelas sang Dokter.

"Apa?" Gladis dan kedua orang tuanya terkejut.

"Lumpuh, Dok. Apa tidak ada cara untuk mengobatinya? Lakukan apa saja agar dia bisa berjalan, saya akan membayar berapa saja biayanya!" ucap Papa Santoso.

"Ini bukan masalah uang, Pak. Mohon maaf, tapi tidak yang bisa kami lakukan untuk saat ini, tapi tenang saja kelumpuhannya hanya bersifat sementara saja. Nanti bisa menjalankan beberapa terapi agar bisa kembali berjalan."

Mereka terlihat sedikit bernafas lega. Setidaknya masih ada harapan.

"Lalu, bagaimana dengan yang satunya lagi?"

"Sudah stabil juga."

"Apa kami bisa menemui mereka?" tanya Papa Santoso.

"Silahkan." Dokter tersebut mempersilahkan mereka masuk.

Gladis dan kedua orang tuanya pun langsung masuk ke dalam sana. Di lihatnya pasien Bapak-bapak yang bernama Rusli tersebut sudah siuman.

"Pak, saya selaku orang tuanya Gladis, saya benar-benar meminta maaf sebesar-besarnya atas apa yang menimpa Bapak dan Anak Bapak, atas kelalai putri saya. Kami berjanji akan bertanggung jawab atas semuanya, kami pun akan memenuhi semua permintaan Bapak, asalkan Bapak tidak melaporkan semua ini ke pihak yang berwajib," ucap Papa Santoso, tulus memohon pada Pak Rusli.

"Memang itulah yang saya inginkan! Lihatlah, atas kelalaian putri Bapak Putra saya sekarang menjadi cacat! saya tidak akan melaporkan putri Bapak ke polisi, asalkan ... "

"Asalkan apa, Pak?" sela Papa Santoso.

"Jika Bapak benar ingin bertanggung jawab pada kami. Saya minta Bapak menikahkan anak gadis Bapak dengan putra saya! Dia sudah cacat kerena kecelakaan ini, tidak akan ada yang mau menerima putra saya dalam kondisinya!" lanjut Pak Rusli.

Gladis dan kedua orang tuanya tercengang mendengar ucapan pria tua tersebut.

"Me-menikah?"

Bersambung ...

Bab 3. TMPC

Pak Rusli terlihat menganggukkan lemah, lalu detik kemudian pria tua itu menutup matanya. Papa Santoso segara memanggil Dokter untuk memeriksa keadaan Pak Rusli, namun siapa sangka, ternyata pria tua tersebut sudah tidak bernyawa.

Pak Rusli menghembuskan nafas terakhirnya usai menyatakan permintaannya pada Gladis dan keluarganya, agar Gladis mau menikah dengan putranya Pak Rusli yaitu Zidan, yang kini keadaannya masih terbaring cukup lemah, bahkan pria itu tidak bisa menggerakkan kakinya. Dokter memvonis Zidan mengalami kelumpuhan.

Singkat cerita, pemakan Pak Rusli pun di laksanakan. Keluarga Gladis yang menanggung semuanya.

Beberapa hari berlalu, tepatnya sudah seminggu berlalu. Zidan sudah diperbolehkan untuk pulang. Gladis di minta orang tuanya untuk mengantarkan Zidan pulang, awalnya Gladis menolak, namun ia tidak bisa membantah saat sang Papa sudah mengeluarkan gurat kemarahannya. Bahkan Papanya sudah memberikan keputusan, jika Gladis akan dinikahkan dengan Zidan, seperti apa yang diinginkan oleh mendiang Pak Rusli.

"Gak! Apa Papa gila? Aku harus menikah dengan pria cacat seperti dia. Pa, ayolah! jangan konyol seperti ini! Cukup bertanggung jawab membiayai dia sampai sembuh saja, aku rasa itu sudah lebih dari cukup! Bukankah Dokter juga bilang, kalau dia cacat hanya sementara, kita rawat dia sampai dia sembuh saja! Tidak harus ada pernikahan bukan?" protes Gladis tempo hari lalu, saat sang Papa mengatakan tentang keputusannya.

"Tapi, kita sudah berjanji akan melakukan permintaan yang diinginkan oleh mendiang Pak Rusli, Gladis! Keputusan Papa sudah bulat, setalah Zidan keluar dari rumah sakit, Papa yang akan bicara dengannya! Tidak ada penolakan, kamu akan menikah dengan Zidan secepatnya!" tegas sang Papa.

"Ingat! Janji itu hutang, bukankah hutang itu harus di bayar! Papa gak mau kalau sampai membawa hutang itu sampai akhir hayat nanti!" lanjutnya.

Gladis mendengus kesal mengingat perkataan Papanya tempo hari itu.

"Aaa! Kenapa semuanya jadi kaya gini sih?" gumam Gladis kesal. Beberapa kali ia memukul setor mobilnya.

Gladis memikirkan cara bagaimana agar lolos dari semua masalah yang menimpanya ini. Gladis memang merasa sangat bersalah atas apa yang menimpa Zidan dan Pak Rusli, yang kini sudah tiada. Tapi, semua itu benar-benar tidak di sengaja, Gladis sama sekali tidak berniat ingin menghilangkan nyawa orang.

"Baiklah, jika aku tidak bisa menggagalkan rencana Papa, aku yakin kalau pria itu bisa menggagalkannya! Aku juga yakin, dia tidak akan mau menikah denganku! Lagian, kita kenal aja enggak, gak mungkin tiba-tiba harus menikah! Ayolah Gladis, bawa santai aja, dunia kadang suka bercanda," gumamnya lagi.

Dalam benak gadis itu kini sudah tersusun sebuah rencana.

Tak lama kemudian, Gladis pun sampai di rumah sakit. Ia segara menuju ke ruangan rawat Zidan.

Saat sampai di sana, Gladis melihat Zidan sudah duduk di kursi roda. Sepertinya pria itu sudah bersiap untuk pulang.

"Sorry, aku telat," ucap Gladis seraya berjalan menghampiri Zidan.

Tak ada sahutan dari pria itu, raut wajah Zidan nampak datar tanpa ekspresi, bahkan kedatangan Gladis seperti tidak dianggap olehnya. Gladis merasa sedikit kesal, tapi ia mencoba untuk bersabar.

"Baiklah, ayo kita pulang. Biar aku bantu," ucap Gladis lagi, ia berniat ingin mendorong kursi roda yang diduduki oleh Zidan.

Akan tetapi, belum saja Gladis menyentuhnya, Zidan sudah terlebih dahulu mengayuh kursi rodanya terlebih dahulu.

"Sialan!" gerutu Gladis.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!