Tahun ke-empat pelarian, Jogjakarta.
Keramaian yang tersuguh di Malioboro dan sekitarnya sudah bukan menjadi sesuatu yang asing bagi Biru dan Baskara. Ini adalah tahun ke-empat pelarian mereka. Setelah melewati banyak drama dan terus menghindar dari kejaran Jeffrey selama melewati tahun pertama hingga ketiga, kota ini menjadi tujuan pemberhentian mereka selanjutnya.
Hampir setiap malam, mereka akan datang ke sini, mencari spot nyaman untuk menikmati alunan lagu yang dimainkan oleh para musisi jalanan. Di tempat ini mereka melepas penat yang mengungkung seharian, sejenak menanggalkan identitas palsu yang mereka bawa agar tetap bertahan hidup.
Tepatnya dua tahun lalu, ketika mereka masih hidup bersama di Bali, Baskara memutuskan untuk mengubah identitas mereka agar lebih sulit bagi Jeffrey untuk melacak keberadaan mereka. Bermodalkan koneksi dengan seorang kenalan yang ahli dalam persoalan menyediakan identitas palsu, Baskara menguras banyak tabungan demi mendapatkan kehidupan baru untuk dirinya dan Sabiru.
Abimanyu dan Anindia. Alih-alih sepasang kekasih, mereka menjelma menjadi saudara kandung yang merantau ke luar kota setelah kedua orang tua mereka tiada. Dua tahun menggunakan identitas itu, terbukti efektif karena Jeffrey sudah jarang menunjukkan tanda-tanda bahwa lelaki itu mulai berada di kota pemberhentian mereka.
Baskara menarik napas dalam-dalam, lalu kembali mengedarkan pandangan pada seluruh penjuru Malioboro yang selalu megah tiap malam.
Jogjakarta cantik, ia memiliki pesona yang tidak bisa ditemukan di kota-kota lain. Namun bagi Baskara yang sedang berusaha merawat lukanya agar lekas sembuh, segala keindahan yang ada di sana tak ubahnya angin lalu. Ia tampak, tapi tak cukup mampu untuk membuat Baskara sembuh.
“Mas Abi!”
Baskara menoleh kala suara jernih seorang perempuan memanggil. Senyum palsu lantas dia sunggingkan kala matanya menemukan sosok gadis berambut ikal sepunggung tengah melambaikan tangan ke arahnya. Namanya Kumala Lintang, putri pemilik rumah kontrakan tempat ia dan Sabiru tinggal selama tujuh bulan. Lintang berlarian menghampirinya. Kerumunan diterobos, penuh dengan semangat yang menggebu-gebu.
“Mas Abi sama siapa?” tanya gadis itu lagi sesampainya ia di depan Baskara.
“Mbak Anin, tapi dia lagi ke toilet sekarang.” Jawab Baskara. Tangannya terulur, membenahi poni Lintang yang morat-marit menutupi mata.
Diperlakukan begitu, Lintang hanya senyum-senyum sendiri. Perasaannya pada laki-laki yang dia panggil Abi itu telah tumbuh semakin besar dari hari ke hari. Dia yakin, Abi pun sebenarnya tahu, hanya saja lelaki itu tetap bersikap cool agar tidak membuat pertemanan mereka menjadi canggung.
“Kamu sama siapa di sini? Cah ayu kok keluyuran di tempat ramai malam-malam begini.”
Cah ayu. Kata ajaib yang langsung membuat pipi Lintang merah merona. Senyumnya kini sudah tidak lagi malu-malu. Terang-terangan dia perlihatkan pada laki-laki berambut semi-gondrong di hadapannya itu.
“Sendiri. Habisnya bosan di rumah, Bapak sama Ibu juga lagi ndak ada di rumah.”
“Bapak sama Ibu ke mana?” tanya Baskara. Angin yang berembus cukup dingin, dan sebagaimana sikap seorang gentleman, Baskara tidak perlu berpikir lama untuk menanggalkan jaket kulitnya lalu menyampirkannya ke kedua bahu Lintang yang terbuka. Gadis itu mengenakan dress terusan motif floral dengan warna kuning mentereng, hanya ada seutas tali yang tersampir di bahunya, membuat bahu mulus itu terekspos dengan bebas.
Lintang menerima jaket itu dengan senang hati. Diam-diam mulai mengendus aroma parfum milik Mas Abi kebanggaannya itu dalam-dalam, menyimpannya dengan apik di dalam memori.
“Di rumah Bude Sartini, Mbak Dyah kan mau menikah besok lusa.” Jawaban itu terlambat Lintang berikan selama beberapa detik karena dia terlalu asyik membaui jaket Baskara.
“Oh ya?”
Lintang mengangguk, “Harusnya Lintang juga ada di sana, tapi malas, soalnya ada Mas Bagas. Mas Abi tahu, kan, kalau Lintang anti banget sama manusia satu itu?” ia mengadu, perihal Bagas Adiwijaya, laki-laki—yang katanya—keturunan ningrat yang tak gentar mengejar cintanya sejak ia masih SMA hingga kini sudah kuliah jurusan ekonomi semester 5.
“Kamu pernah dengar istilah, ‘benci jadi cinta’ nggak?”
“Terus maksud Mas Abi, Lintang ndak boleh terlalu anti sama Mas Bagas, karena nanti bisa jadi cinta, gitu?”
Baskara mengangguk seraya terkekeh pelan. “Exactly.”
“Ihhh... amit-amit!” Lintang kelihatan antipati. “Jangan sampai, deh. Mas Abi ndak tahu aja, Mas Bagus itu freak parah!”
Melihat ekspresi Lintang yang seperti habis melihat penampakan, Baskara pun tergelak. Baginya, kehadiran Lintang ini cukup menghibur. Segala tingkah polahnya yang masih seperti bocah tak jarang membuat Baskara mampu tertawa lepas, sejenak melupakan masalah yang sedang dia pukul sendirian.
“Mas Abi,”
“Hmm?”
“Gimana kalau Mas Abi bantuin Lintang biar Mas Bagas ndak gangguin Lintang lagi?”
Raut wajah Baskara menjadi serius seketika, dahinya mengkerut memikirkan hendak berlanjut ke mana permintaan Lintang itu.
“Bantuin gimana?” tanyanya.
“Jadi pacar Lintang. Kalau Mas Bagas tahu Lintang udah punya pacar, kayaknya dia ndak akan berani dekat-dekat lagi, deh.” Pinta Lintang.
Baskara tahu permintaan itu datang dari hati, namun dia memutuskan untuk mengambilnya sebagai sebuah candaan dan kembali tergelak.
“Kok Mas Abi malah ketawa, sih?! Lintang serius, tahu!” Rajuk si gadis.
Tawa Baskara mereda, tergantikan dengan sebuah senyum manis yang mampu membuat jantung Lintang dag-dig-dug tak keruan di dalam dada sana.
“Mas Abi nggak mungkin macarin kamu, Sayang.” Ucapnya lembut.
“Ya kenapa? Kenapa ndak mungkin?” Lintang menuntut penjelasan.
“Karena kamu udah Mas Abi anggap seperti adik sendiri. Adik bontotnya Mas Abi sama Mbak Anin.” Tangan besarnya kemudian terangkat, mendarat di kepala Lintang yang tengah merengut. “Pasti ada cara lain buat bikin Mas Bagas itu nggak gangguin kamu lagi, kok. Nggak harus dengan cara pura-pura pacaran sama Mas Abi.” Sambungnya.
Lintang menghela napas pasrah. Ini bukan kali pertama percobaan mengajak berkencan yang dia tawarkan kepada Abi ditolak. Total sudah enam kali, tetapi dia masih tidak berniat untuk berhenti. Besok, dia akan mencobanya lagi. Terus mencoba sampai Abi mau menerima gundukan cintanya yang sebesar gunung Fuji.
“Udah malam, kita harus pulang.” Tahu-tahu, Sabiru muncul—entah dari mana. Wajahnya yang judes membuat Lintang menghela napas dengan cara yang berbeda. Tidak seperti kakaknya, Abimanyu yang ramah, si Anindia itu memang selalu terlihat judes dan tidak bersahabat. Tentu, Lintang yang dasarnya dibesarkan dalam lingkungan penuh keramahtamahan tidak bisa terbiasa dengan sikap judesnya Anindia itu.
“Bentar, gue masih ngobrol sama Lintang.” Baskara menarik tangannya dari kepala Lintang. Sorot mata Biru yang menunjukkan ketidaksukaan itu adalah indikator penting bahwa dia harus segera menarik diri.
“Lo besok harus kerja.” Biru tidak mau tahu. Ditariknya lengan Baskara menjauh, lalu tak lupa juga dia ambil jaket Baskara yang tersampir di bahu Lintang. “Jaket ini juga udah waktunya dicuci.”
Lintang kian merengut saat aroma parfum yang menempel di jaket lelaki itu tak lagi bisa dia endus sesuka hati. Memang, ya, Anindia itu jahat sekali!
“Kalau gitu, kita pulang bareng Lintang. Kasihan dia sendirian.” Ucap Baskara.
Akan tetapi, Biru langsung memberikan penolakan. “Dia bisa datang ke sini sendiri, jadi pulangnya pun bisa sendiri.” Ketusnya.
“Anin,”
“Pulang, Abimanyu. Jangan bikin gue ngamuk di sini.” Biru berkata dengan penuh penekanan.
Karena tidak ingin menimbulkan keributan, Baskara pun akhirnya mengalah. Dengan berat hati, dia harus meninggalkan Lintang sendirian.
“Mas Abi sama Mbak Anin pulang duluan, ya, cah ayu. Kamu juga jangan keluyuran lama-lama, kalau bisa langsung pulang aja.” Ucap Baskara seraya menyunggingkan senyum penuh permintaan maaf.
“Iya, Lintang juga mau pulang kok.” Lintang bersungut-sungut. Padahal sedang asyik, kenapa Anindia harus datang mengganggu?
“Ya udah, hati-hati pulangnya ya. Sampai rumah kabarin Mas Abi.”
Lintang manggut-manggut saja. Lalu dia hanya bisa pasrah melihat Abi diseret paksa oleh Anindia meninggalkan posisi terakhir mereka berada.
“Adik yang ndak ada sopan santunnya sama sekali sama kakak. Kalau muka mereka ndak mirip, aku ndak akan percaya kalau mereka itu kakak adik.” Gerutu Lintang, lalu dia berjalan meninggalkan keramaian dengan langkah yang mengentak-entak.
Bersambung
Absen duluuuuu yang kangen sama Baskara!!!
Nih, udah nongol nih anaknya!
Tujuh bulan di Jogja, Baskara dan Biru tinggal di sebuah rumah kontrakan satu lantai dengan dua kamar tidur, satu kamar mandi, ruang tamu, dan dapur. Tidak ada garasi, hanya ada halaman yang luas berhias rumput hijau yang tumbuh secara alami. Di halaman itulah biasanya Baskara memarkirkan motor matic yang dia beli secara cash menggunakan sisa tabungan yang dia miliki setelah dipakai untuk membeli identitas baru.
Motor matic berwarna putih dengan semburat warna biru itu yang menjadi moda transportasi untuk dirinya dan Sabiru. Meski harus kepanasan dan sesekali kehujanan ketika menggunakannya, Baskara bersyukur karena setidaknya dia masih memiliki kendaraan untuk berangkat dan pulang kerja. Karena kalau harus menggunakan transportasi umum, itu akan sangat merepotkan dan boros uang.
“Gue duluan.” Sabiru melompat turun dari motor yang mesinnya belum dimatikan. Jaket yang dia rampas dari bahu Lintang dan dia dekap selama perjalanan pulang dia kembalikan kepada si empunya dengan cara yang tidak sopan—dilemparkan.
Baskara tidak sempat menyahut karena Biru sudah langsung masuk ke dalam rumah. Langkah kakinya yang mengentak-entak adalah pertanda bahwa perempuan itu masih marah atas interaksi yang terjadi antara dirinya dengan Lintang di Malioboro tadi.
Ini adalah sesuatu yang baru. Sebab ketika mereka terus berpindah dari satu kota ke kota lain, Biru hampir tidak pernah menunjukkan ketidaksukaan yang sampai seperti itu. Dan ketika Baskara bertanya mengapa Biru kentara sekali tidak menyukai Lintang, perempuan itu tidak akan pernah menjawab dan malah mengalihkan pembicaraan.
“Perempuan itu memang makhluk Tuhan yang paling susah ditebak.” Ucap Baskara, kemudian dia menyusul Biru setelah memastikan motornya terkunci dengan baik. Tak lupa juga dia mengecek ulang apakah Biru sudah mengunci pagar kembali atau belum.
Sementara itu, di dalam rumah, Biru sudah sibuk berkutat di dapur untuk menyiapkan makan malam. Lengan kemeja yang dia kenakan digulung sampai ke batas siku. Dia baru saja pulang kerja ketika Baskara mengajaknya jalan-jalan ke Malioboro, jadi dia belum sempat berganti baju.
“Mau masak apa, Yang?” suara Baskara muncul dari arah belakang tubuhnya.
“Nasi goreng.” Biru menjawab singkat dan kembali sibuk mengiris cabai dan perbawangan serta beberapa macam sayuran, tak lupa juga dia tambahkan sosis dan bakso sebagai pelengkap.
“Mau gue bantuin nggak?” tawar Baskara. Helm dan jaket yang masih dia pegang kemudian diletakkan di atas meja makan. Sudah siap-siap juga dia berjalan menghampiri Biru sambil melepaskan kancing di bagian ujung lengan kemejanya, serius berniat membantu kekasihnya menyiapkan makan malam.
“Nggak usah, lo langsung mandi aja. Lo hilangin tuh bekas yang digrepe-***** sama Lintang.” Sabiru menjawab ketus, masih sambil sibuk dengan kegiatan memasaknya.
“Gue nggak ada digrepe-***** sama Lintang.” Baskara tetap nekat maju. Dia kemudian berdiri di samping Biru, mengambil alih pisau yang tengah perempuan itu gunakan untuk mengiris butir terakhir bakso.
Biru melirik tajam. Dari sana saja, sudah tersirat dengan jelas amarah yang siap diledakkan. “Lo pikir gue percaya?” ucapnya seraya melipat lengan di depan dada. “Si Lintang itu gatal, kayak ulat bulu. Mana mungkin dia bisa anteng nggak *****-***** badan lo selagi ada kesempatan?” ia menyambung.
Semua bahan untuk nasi goreng telah selesai diiris. Baskara menyimpan pisau jauh dari mereka, kemudian berbalik menatap Biru sambil mengubah posisi lengannya serupa dengan apa yang kekasihnya itu lakukan.
“Let me ask you a question, dan lo mesti jawab.” Katanya.
Biru menaikkan sebelah alisnya, “Apa?”
“Kenapa lo nggak suka banget sama Lintang? Gue tahu ini bukan sekadar rasa cemburu.”
Kalau biasanya Biru akan menghindar dan segera mencari topik pembahasan yang lain, kali ini perempuan itu telah memutuskan untuk memberikan jawaban. “Cuz she’s so annoying. Dia gatal, cerewet, dan yang lebih penting, dia terlalu mau tahu urusan kita. Lo tentu nggak lupa kalau sekarang ini kita hidup sebagai Abimanyu dan Anindia, bukan Baskara dan Sabiru seperti sebelumnya.”
“I know, tapi apa hubungannya sama Lintang?”
“Jelas ada!” Biru menyergah. “Lintang terlalu masuk ke hidup kita, Bas, dan itu bahaya. Makin dekat dia, makin besar kemungkinan kalau identitas kita bakal kebongkar. Dia itu kepo abis, dan gue yakin dia sekarang juga lagi gencar cari-cari info soal Abimanyu dan Anindia.”
“Lo benar, gue kayak gini bukan karena cemburu. Gue khawatir sama hidup kita ke depannya kalau Lintang terlalu banyak ikut campur.”
Baskara menghela napas rendah, “Gue tahu, tapi kita juga nggak mungkin jaga jarak sama Lintang. Kita tinggal di rumah orang tua dia, Bi.”
“Kita bisa pindah.”
Tak sampai sedetik, Baskara menggeleng. “Nggak segampang itu.” Ucapnya. “Nyari rumah kontrakan yang sesuai sama budget kita nggak gampang, lo sendiri tahu itu. Gaji gue juga nggak seberapa, belum bisa nyisihin banyak kalau tiba-tiba lo minta kita pindah buat cari kontrakan baru. Sadar, hidup kita nggak seenak dulu. Kita nggak punya cukup banyak tabungan buat request ini itu.”
Tertampar fakta, Biru semakin kesal. Lintang benar-benar membuatnya merasa tidak nyaman, tetapi apa yang Baskara bicarakan soal uang juga memang benar adanya. Tabungan mereka sudah tidak sebanyak dulu, tidak bisa gegabah untuk memutuskan ini itu.
“Untuk sementara, kita bertahan dulu di sini, oke? Gue usahakan supaya Lintang nggak melewati batas. Lo juga tahu kalau gue nggak akan biarin itu terjadi, kan?” Baskara berusaha menenangkan.
Tidak ada jawaban yang bisa Biru berikan. Perempuan itu hanya diam seribu bahasa, malah sibuk berkutat dengan isi pikirannya yang penuh dengan hal-hal acak.
“Biar gue aja yang masak, lo mandi duluan sana.” Kata Baskara lagi setelah hening sesaat.
Namun, Biru menggeleng. “Gue aja yang masak. Gue emang udah niat buat masakin lo pas kita balik kerja.”
Malas ribut, Baskara pun mengalah. “Ya udah kalau gitu. Hati-hati, jangan sampai terluka.” Ucapnya. Lelaki itu kemudian pergi meninggalkan Sabiru setelah mendaratkan usapan pelan di puncak kepala kekasihnya.
Selepas kepergian Baskara, Biru kembali menghela napas panjang. Semoga saja dia bisa segera mengumpulkan lebih banyak uang agar bisa pindah dari sini. Dia benar-benar memiliki firasat buruk soal Lintang. Seperti pepatah, anak bau kencur itu diam-diam menghanyutkan.
Bersambung
“Yang,” Baskara bergerak mendekat, tanpa izin melingkarkan kedua lengannya di pinggang Sabiru, memeluk kekasihnya yang tengah berkutat dengan piring-piring kotor bekas makan malam itu dari belakang. Ia menyandarkan bahu di pundak kekasihnya, menghirup aroma sampo yang menguar dari helaian rambut Sabiru yang lolos dari jepitan.
“Gue lagi nyuci piring, Baskara.” Biru berontak. Tangannya yang penuh busa sabun dia gunakan untuk menepis lengan Baskara yang melingkar posesif di lengannya. Perempuan itu juga mendelik, pertanda bahwa dia sedang tidak ingin diganggu dengan kegiatan mencuci piring yang—menyebalkan. Dari sekian banyak pekerjaan rumah tangga, dia paling tidak suka yang itu.
“Nggak peduli.” Keras kepala, Baskara tetap melingkarkan kembali lengannya. Dagunya kembali bersandar di bahu Sabiru, mengundang decak kesal lolos dari bibir perempuan itu.
Biru yang tidak punya lagi tenaga untuk mengempaskan Baskara akhirnya membiarkan saja lelaki itu melakukan apa pun yang dia mau. Walaupun itu berarti gerakannya dalam mencuci piring akan sangat terbatas.
“Yang,” panggil Baskara lagi. Saat itu, Biru sedang membilas piring terakhir sehingga yang bisa perempuan di lakukan sebagai respons adalah berdeham pelan.
“Malam ini gue tidur sama lo, ya?” pinta Baskara.
Biru terlebih dahulu menyelesaikan pekerjaannya, meletakkan piring yang sudah bersih ke dalam rak, barulah dia membalikkan badan sehingga mereka bisa saling tatap.
“Kenapa?” tanya Biru.
Baskara menggeleng pelan seraya tersenyum tipis, “Cuma pengin aja tidur sama lo. Udah lama kita nggak tidur bareng.” Tuturnya.
“Ya udah, tapi jangan ngorok.” Kata Sabiru, lalu perempuan itu melepaskan diri dari pelukan Baskara kemudian berjalan meninggalkan lelaki itu, masuk ke dalam kamarnya.
Baskara langsung mengekor, namun dia berhenti di ambang pintu sambil melipat kedua lengan di depan dada. “Emangnya sejak kapan gue ngorok?” tanya lelaki itu dengan raut wajah yang dibuat sedemikian rupa agar terlihat seperti sedang merajuk.
Biru yang dasarnya sudah kelelahan setelah aktivitas seharian pun enggan menanggapi. Sebagai gantinya, ia menepuk-nepuk ruang kosong di sebelah ranjang, bentuk undangan agar Baskara segera bergabung dengannya.
Awalnya, Baskara masih kekeuh meminta jawaban, namun pada akhirnya lelaki itu mengalah lalu berjalan sambil bersungut-sungut menghampiri ranjang.
“Tutup pintunya!” teriak Sabiru.
Baskara terpaksa balik badan, mendorong pintu kayu di depannya kemudian memutar kunci sebanyak dua kali. “Tuh, udah.” Gerutunya, lalu dia kembali berjalan menghampiri Biru.
“Gue cuma minta ditutup, ngapain pakai segala dikunci?” Biru memprotes.
“Biar lo nggak kabur.” Jawab Baskara sekenanya. Lelaki berkaus hitam polos itu kemudian naik ke atas ranjang, segera menyelundupkan diri ke dalam selimut, lalu menarik tubuh Sabiru untuk dia peluk erat-erat.
Seperti bayi, Baskara meringkuk di dekapan Sabiru. Menyandarkan kepalanya di dada sang kekasih selagi matanya mulai terpejam.
Bak gayung bersambut, Biru pun balik mendekap Baskara. Dia usap-usap kepala lelaki itu lembut, menyalurkan kasih sayang yang tidak ada habis-habisnya.
Tak ada percakapan yang terjadi di antara mereka. Setelah semua badai yang mereka lewati dengan susah payah, mereka memang cenderung lebih sedikit bertukar suara. Mereka lebih senang seperti ini. Membagikan energi melalui sentuhan-sentuhan lembut, yang sekaligus untuk meyakinkan diri mereka masing-masing bahwa mereka masih saling memiliki.
Detik demi detik berlalu, napas Baskara mulai kelihatan teratur. Pelukannya pun terasa mengendur sehingga Biru meyakini bahwa kekasihnya itu sudah jatuh tertidur. Itu adalah sebuah anugerah, Biru akan merayakannya semegah apa pun yang dia bisa. Karena sampai beberapa bulan yang lalu, kekasihnya itu tidak akan bisa tidur dengan nyenyak kecuali dengan bantuan obat yang diresepkan oleh psikiater yang rutin dia temui setiap satu bulan sekali.
“Semuanya akan berjalan ke arah yang lebih baik,” bisik Sabiru, lalu dia mendaratkan kecupan di puncak kepala Baskara. Sebagai bekal agar tidur kekasihnya itu bisa lelap hingga lagi datang menyapa.
...🌻🌻🌻🌻🌻...
Entah pukul berapa, Sabiru terbangun dari tidurnya karena dia mendengar suara tangis yang begitu menyayat hati. Ketika membuka mata, dia menemukan kekasihnya masih terlelap, namun wajahnya sudah basah oleh air mata. Tubuhnya yang sesekali bergerak gelisah dan kerutan yang berkali-kali muncul di keningnya membuat Biru mengerti bahwa Baskara sedang mengalami mimpi buruk. Mimpi buruk yang entah apa isinya, yang tidak pernah sekalipun lelaki itu bersedia membagi kepada dirinya.
Kalau sedang dalam kondisi itu, yang bisa Biru lakukan hanyalah mendekap tubuh Baskara, memberikan usapan-usapan di lengan dan kepala lelaki itu secara terus-menerus untuk membantu menenangkannya. Jika sentuhan-sentuhan fisik tak cukup ampuh, dia akan mulai membisikkan kalimat yang sama secara berulang-ulang.
“Nggak apa-apa, itu cuma mimpi.”
“Nggak apa-apa, itu cuma mimpi.”
“Nggak apa-apa, itu cuma mimpi.”
Begitu terus sampai dia merasakan Baskara tidak lagi bergerak dengan gelisah dan isakannya pun mereda.
Malam ini pun, dia melakukan hal serupa. Sambil mengusap air mata yang membanjiri wajah Baskara, dia berkata, “Nggak apa-apa, Bas, itu cuma mimpi. Semuanya akan baik-baik aja, ada gue di sini.” Meskipun tak lama setelahnya, justru air matanya sendiri yang mulai deras membasahi pipi.
Sudah empat tahun. Kota demi kota mereka tuju. Segala cara telah mereka coba untuk mengobati luka Baskara yang tersembunyi jauh di dasar hatinya. Akan tetapi, masih tidak ada kemajuan yang cukup signifikan. Bahkan ketika kini mereka sudah hidup dengan identitas baru sebagai Abimanyu dan Anindia sekalipun, kenangan buruk dari masa lalu masih terus menghampiri, seakan tidak rela jika mereka memiliki kehidupan baru yang lebih baik.
Biru sudah hampir frustrasi. Lelah sudah dia meyakinkan kekasihnya bahwa apa yang telah terjadi di masa lalu bukanlah kesalahannya. Tapi tak peduli seberapa banyak dia meyakinkan lelaki itu, rasa bersalah yang Baskara bawa masih saja terus tumbuh dari hari ke hari.
“Nggak apa-apa, Sayang, itu cuma mimpi.” Dengan suara yang bergetar, Biru mengulangi ucapannya. Berbanding terbalik dengan isakan Baskara yang mulai berhenti, milik Biru malah semakin menjadi. Dia dekap erat-erat tubuh Baskara, dia ciumi seluruh sisi wajah lelaki itu sebagai satu-satunya cara untuk menenangkan dirinya sendiri.
“Nggak apa-apa. Nggak apa-apa, Sayang, itu cuma mimpi.” Dan jika Biru boleh berharap, dia juga ingin bahwa apa yang telah terjadi kepada mereka selama ini juga hanya sebuah mimpi. Dia harap, ketika membuka mata esok pagi, dia akan berada di dunia yang lebih baik. Dunia di mana mereka tidak perlu lari dari apa pun, dari siapa pun. Dunia di mana mereka hanya akan saling jatuh cinta, sejatuh-jatuhnya jatuh cinta tanpa harus memikirkan yang lain.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!