Pukul satu dini hari, hujan mengguyur desa kecil di pinggiran kota, gadis berusia sembilan belas tahun itu menangis terisak meratapi nasib pedih yang harus dia alami, kehilangan sosok kakak satu-satunya yang menjadi pelindung dia selama ini.
"Kak, mengapa kau harus pergi meninggalkanku, kenapa kau tega menemui ibu dan ayah tanpa aku, kemana lagi aku harus pergi saat tidak ada siapapun lagi yang bisa kupintai pertolongan hiks hiks hiks, aku ingin ikut denganmu kak." Ringisan Olivia dengan memeluk mayat kakak laki-lakinya yang terbujur kaku kala itu.
Sebuah kebakaran rumah yang sangat besar menghancurkan semua harta milik Olivia satu-satunya, melenyapkan sang kakak dan kini telah kehilangan segalanya dalam hidup. Terus menangis dalam derasnya hujan yang tidak hanya memadamkan api di rumahnya, tetapi juga memadamkan rasa semangat hidup dalam hatinya.
Masyarakat berbondong-bondong membantunya mengangkat mayat sang kakak dengan perlahan, proses pemakaman di jalankan sebagai mana mestinya.
Gadis manis yang cantik rupawan sudah tinggal seorang diri, tidak memiliki apapun selain dari pakaian yang menempel pada tubuhnya, dia harus pergi ke kota menemui teman lamanya untuk melangsungkan hidup yang baru, meninggalkan makam sang kakak dengan tangisan sendu dan mata yang sembab. "Kak, maafkan aku, aku akan kembali ketika keadaan sudah membaik," ucapnya dengan berat hati.
Tak ada jalan lain lagi, dia hanya dibekali uang dari pemberian masyarakat disana sebagai bentuk bela sungkawa atas dirinya, merantau ke kota besar dan mencari alamat teman lama yang sudah bertahun-tahun tidak berkomunikasi dengannya, itu sangat sulit untuk gadis yang masih belia seperti dia, tetapi jalan itu satu-satunya yang harus dia ambil.
Betapa malangnya nasib gadis kecil itu, sampai hari terus berganti dia masih belum bisa menemukan alamat sahabat lamanya tersebut, hingga dia di rampok dan hampir saja akan mengalami kecelakaan sebab berlari ke tengah jalan mengejar seorang perampok yang mengambil sisa uang yang dia miliki.
"Arkkk...uangku, tolong jangan ambil uangku hiks hiks hiks. Aku mohon kembalikan uangku." Teriaknya begitu serak.
Saat berbalik rupanya ada sebuah mobil yang melaju cukup kencang dari arah sampingnya dan hampir saja menabrak dirinya, Olivia langsung berteriak kencang sambil menunduk dan memegangi kedua telinganya, dia sudah siap untuk menerima kenyataan bahwa dia tengah di jemput kematian di depan matanya, baginya lebih baik dia menyusul sang kakak daripada harus menjalani hidup tanpa arah tujuan seperti sebelumnya.
Sayangnya mobil tersebut masih sempat berhenti dan tidak menabrak Olivia, seorang gadis mudah keluar dari dalam mobil dan langsung menghampiri Olivia dengan wajah penuh kecemasan, dia mulai menyentuh pundak Olivia dengan perlahan dan menanyakan keadaannya. "Hai apa kau baik-baik saja?" Tanya wanita tersebut kepadanya.
Olivia menyadari dirinya selamat dari maut dan segera menengadahkan kepala ke arah samping, sosok wanita cantik dengan rambut panjang sepinggang dan berwarna pirang menatap dirinya dengan mata terbuka lebar, sedang Olivia langsung bangkit berdiri dan memeluknya dengan erat, rupanya gadis yang hampir menabrak dirinya adalah teman lama yang sudah dia cari-cari keberadaannya selama ini.
"Malara, akhirnya aku menemukanmu." Ujarnya dengan memeluk gadis itu sangat erat,
"Mengapa kau tiba-tiba muncul di tengah jalan seperti ini, Olivia?" Tanya Malara dengan penuh keheranan.
Olivia melepaskan pelukannya pada Malara dan dia hanya bisa tertunduk diam membisu, tangannya mengigil dan gemetaran, meski hujan sudah reda, tetapi sekujur tubuhnya masih terlihat basah kuyup, pakaian berwarna putih yang dia kenakan nampak tembus pandang hingga memperlihatkan bagian dalamnya.
Malara sangat iba melihat kondisi teman lamanya seperti ini, langsung saja dia membawanya masuk ke dalam mobil dan memberikan sebuah jaket miliknya untuk menutupi tubuh Olivia.
"Pakailah ini, kau tidak perlu menceritakannya sekarang juga padaku, aku tidak akan memaksamu." Ujarnya dengan lembut.
Olivia tersenyum kecil dan dia menahan tangan Malara yang saat itu hampir menyalakan mobilnya lagi. "Ada apa Olivia? Apa ada yang ingin kau katakan padaku?" Tanya Malara dengan wajah yang begitu bersahabat.
Olivia mengangguk dengan cepat dan dia terlihat mengatur nafasnya beberapa saat sebelum dia mulai mengutarakan perasaan yang sudah tertahan cukup lama di dalam hatinya. Sementara Malara terus mendengarkan dengan sangat serius dan memberikan seluruh perhatiannya kepada Olivia, dia mulai mengusap tangan Olivia untuk memberikannya kekuatan selama dia menceritakan semua nasib menyedihkan yang baru saja dialami temannya tersebut.
"Karena itu aku mencarimu Malara, aku tidak memiliki tempat tinggal lagi dan tidak tahu harus menemui siapa selain dirimu." Akhir kata yang diungkapkan Olivia.
"Tenang saja, ayo kita pulang dan kau bisa tinggal di rumahku selama kau mau, ayah dan ibuku jarang berada di rumah, kau bisa menganggap rumahku seperti rumahmu sendiri, jangan mencemaskan apapun." Balas Malara yang sangat melegakan hatinya.
Olivia pikir dia akan aman dan setidaknya memiliki tempat berteduh jika dia ikut dengan temannya tersebut, hingga tidak disangkan ketika sudah sampai di kediaman Malara dan bertemu dengan kedua orangtuanya, Olivia mulai merasa tidak nyaman sebab tatapan ayah Malara yang bernama Burhan terus menatapnya penuh nafsu, itu membuat dia merasa sedikit cemas, tetapi Olivia sama sekali tidak mau berperasangka buruk terhadap ayahnya Malara, terlebih dia sudah dengan baik memberikan izin untuk dirinya tinggal sementara waktu di rumahnya.
Tapi siapa sangka saat Olivia selesai membersihkan diri dan tengah tidur di kamarnya, justru pria paruh baya itu menyelinap masuk ke dalam kamarnya, diam-diam dia merayap mendekati ranjang Olivia dan mulai menarik selimut yang menutupi tubuh gadis muda itu. "Dia cantik sekali, tidak pernah aku temui ada anak gadis secantik ini, aku akan melahapnya malam ini," batin pria yang sudah berusia sekitar empat puluh tahunan tersebut. Dia mulai menyentuh kaki Olivia dari betis hingga terus naik ke lutut dan sampai di pahanya saat itu.
Untungnya Olivia tidak benar-benar tidur degan lelap, dia segera terusik merasakan ada sesuatu yang menyentuh kakinya, betapa kagetnya dia saat membuka mata, ternyata om Burhan sudah berada diatas tubuhnya dan dia langsung menjerit sangat kencang untuk meminta tolong dengan segera. "Om Burhan? Aaarkkkkk..." Teriaknya sangat kencang.
Pria itu dengan cepat membekap mulut Olivia dengan kuat dan memberikan ancaman kepadanya agar tidak berani berteriak sebelum sang istri dan putrinya akan terbangun sebab teriakkan Olivia yang sangat kencang itu.
Olivia terus saja berusaha berontak untuk melepaskan diri, dia sangat panik dan ketakutan, tidak pernah dia duga, hal seperti ini akan dia alami di hari kematian kakaknya sendiri, terlebih oleh ayah dari teman terbaiknya sendiri, tetapi tubuhnya yang tidak sebesar tubuh om Burhan tentu saja tidak bisa melawannya, hingga tiba-tiba saja sebuah ketukan pintu dari luar terdengar, dan itu seperti sebuah harapan untuknya melarikan diri dari pria tua yang mesum tersebut.
Beberapa menit sebelum kejadian tersebut, Tante Oki yang merupakan ibu dari Malara terbangun dari tidurnya, dia mendapati sang suami tidak berada di samping ranjangnya sehingga matanya mulai menyipit dan segera keluar dari kamar. "Kemana papa pergi, apa dia ke bawah ya?" Gerutu wanita berusia 35 tahun itu menduganya.
Dia segera bangkit dan menuruni anak tangga dengan perlahan, sambil mengikat rambutnya dan mulai pergi ke dapur, mengambil air dingin di dalam lemari es sambil menatap ke sekeliling mencari keberadaan suaminya, sebab dia tidak menemukan suaminya dia pun berpikir suaminya di kamar mandi, sehingga tidak ada pikiran negatif apapun dalam benaknya saat itu.
Setelah mengambil segala air dingin di tangannya, ia segera kembali menuju anak tangga yang ada di dekat ruang keluarga, namun suara teriakkan yang sangat kencang memekikkan telinganya, membuat dia merinding dan menghentikan langkah kaki dalam seketika. "Astaga, suara jeritan siapa itu? Apa temannya Malara yang menjerit di tengah malam? Tapi ada apa dengannya?" Gerutu wanita tersebut merasa sedikit takut dan merinding.
Dia mulai mendekati kamar tamu yang berjarak sekitar dua meter lebih dari tempatnya berdiri saat itu, dengan tangan yang sedikit gemetar dan kaki yang dia paksakan untuk terus melangkah, dia mulai memanggil nama Olivia sambil mengetuk pintu kamarnya. "Olivia, apa kamu baik-baik saja? Tok...tok...tok, Olivia jawab Tante jika kamu baik-baik saja." Ucapnya di samping pintu dengan telinga yang dia dekatkan untuk berusaha mencari tahu apa yang tengah terjadi di balik pintu persegi panjang tersebut.
Tidak ada sahutan dari dalam yang ia dengar, hingga dia yang merasa cemas tidak bisa diam saja, sebab teriakkan yang sebelumnya ia dengar terlalu jelas, berasal dari kamar tersebut, ia yakin ada sesuatu yang tidak beres di dalam sana, sebab mustahi sekali seseorang akan berteriak sekencang itu jika tidak ada sesuatu yang terjadi dengan dirinya.
Walau dengan perasaan takut, dan tangannya yang masih gemetaran memegangi segelas air dingin, Tante Oki tetap memberanikan diri dan sekaligus membuka pintu kamar Olivia yang rupanya tidak di kunci.
"Olivia apa kamu ba_," ucap Tante Oki yang tertahan, wajahnya langsung menegang, kedua mata terbelalak sangat lebar dan tangannya semakin lemas, hingga gelas berisi air dingin yang ia pegang jatuh ke lantai dan pecah berserakan di lantai.
'Prak!' gelas pecah hampir saja mengenai kaki Tante Oki saat itu, untunglah dia masih sempat untuk menghindar dan meloncat ke samping, hingga gelas tersebut tidak mengenai kakinya.
Olivia segera mengigit tangan pria tua bangka tersebut, hingga berdarah dan dia berlari dengan cepat menghampiri Tante Oki, dengan harapan Tante Oki bisa menolongnya saat itu, namun harapannya hancur seketika sebab ketika dia berlari menghampiri Tante Oki justru sebelah pipinya yang langsung saja mendapatkan tamparan yang kencang hingga membuat tubuhnya ambruk di lantai.
'Plak!' tamparan kencang mengenai pipi mulus milik Olivia, hingga meninggalkan bekas merah mencetak lima jari milik Tante Oki saat itu.
"Aaahhh.... Tante kenapa kamu menamparku?" Tanya Olivia dengan wajah kebingungan dan sama sekali tidak mengerti dengan apa yang tengah terjadi.
Dia adalah korban disini dan hendak meminta pertolongan kepada Tante Oki yang berhasil menemukannya dan bisa memberikan waktu untuk dia melarikan diri, namun malah sebuah tamparan keras yang dia dapatkan saat itu.
Wanita berusia 35 tahun tersebut sudah terlanjur dikuasai dengan emosi dan api kecemburuan terhadap kelakuan suaminya, pemandangan tadi, dimana dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, seorang gadis muda yang baru dibawa pulang putrinya tengah duduk diatas pangkuan sang suami terlihat begitu dekat dan mesra, pakaian suaminya yang sudah terbuka, serta resleting celana sang suami yang sudah tidak rapih lagi, pemikirannya sudah tidak jernih lagi dan dia sudah membayangkan dan menduga-duga sendiri semua hal yang sudah di lakukan sang suami dengan gadis muda tersebut.
Tante Oki mendekati Olivia, memberikan tatapan tajam yang menusuk dengan urat di wajahnya yang terlihat tercetak jelas, giginya mengerat sangat kuat dengan kedua tangan yang dia kepalkan begitu erat. "Apa yang sudah kau lakukan dengan suamiku!" Pertanyaan yang membuat Olivia sangat tersinggung dan sakit hati mendengarnya keluar dari ibu sahabatnya sendiri.
Dengan cepat Olivia menggelengkan kepala dan dia baru saja hendak menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kala itu, namun belum sempat dia membuka mulutnya, pria tua itu langsung datang menghampiri dia dengan membenarkan pakaiannya sambil mendorong Olivia sangat kencang hingga kembali jatuh ke lantai, tersungkur hingga keningnya menghantam ujung ranjang yang runcing.
Olivia meringis kesakitan memegangi dahinya yang mulai mengeluarkan darah segar, sedangkan pria tua bangka itu justru bicara kebohongan kepada istrinya dan menyalahkan Olivia seakan Olivia lah yang telah menggoda dirinya dan memaksanya untuk melakukan hal itu dengan dirinya.
"Sayang maafkan aku, aku telah gelap mata karena rayuan setan yang dilakukan oleh gadis itu, dia menarikku ke kamarnya saat aku hendak mengambil minuman, dia juga yang membuka kancing pakaianku, kau lihat tadi bukan dia yang duduk diatas pangkuanku, dia yang menggodaku dan merayuku untuk tidur dengannya, karena dia tidak memiliki tempat tinggal dan ingin mendapatkannya dariku jika aku tidur dengannya, maafkan aku sayang, aku sudah menolaknya tetapi dia terus memaksaku, untungnya kau datang di waktu yang tepat." Kebohongan besar yang di utarakan pria itu kepada istrinya, membuat seorang wanita yang sudah memiliki seorang putri dengan usia yang sama dengan gadis yang dia duga telah menggoda suaminya tersebut, membuat amarahnya semakin memuncak dan tidak bisa dia kendalikan lagi.
Nafasnya menderu menahan emosi yang sudah dia tahan sedari tadi, sedang Olivia terus meggeleng pelan dengan wajahnya yang mulai ketakutan, dia berusaha untuk menjauh saat wanita tersebut terus mendekatinya penuh dengan ancaman, pria 40 tahunan itu berdiri di belakang istrinya dan memberikan senyuman licik serta puas kepada Olivia yang sudah tersalahkan dalam hal ini.
Olivia berusaha menjelaskan semua kebenarannya terhadap Tante Oki, tetapi semuanya sudah terlambat, meski dia sudah mengatakan tidak, tetapi Tante Oki yang sudah dibutakan dengan amarah tidak bisa berpikir dengan jernih hingga dia tetap tidak mempercayai apa yang ucapkan oleh Olivia saat itu.
"Tante aku bisa menjelaskan semuanya kepadamu, ini tidak seperti yang kamu pikirkan, semua ucapan om Burhan tentangku salah, dialah yang datang ke kamarku, aku berusaha melepaskan diri darinya dengan berteriak, kau harus mempercayai aku!" Ujarnya dengan wajah cemas penuh dengan ketakutan.
Sayangnya tidak semudah itu meyakinkan seseorang yang tengah di rasuki api kemarahan dalam dirinya, terlebih Tante Oki sama sekali tidak mengenali Olivia sebelumnya, tentu dia akan lebih mempercayai suaminya yang sudah berhubungan dengan dia bertahun-tahun lamanya, dibandingkan dengan seorang gadis yang baru beberapa jam saja dia temui.
Wajah wanita 35 tahun itu mengerut dengan urat di bagian lehernya yang nampak tercetak jelas, mengisyaratkan bahwa dia tengah menahan emosi dalam dirinya, dia terus mendekati Olivia dan langsung menunjuk wajahnya dengan jari yang lurus dan suara melengking yang dia lontarkan kepadanya.
"Kau... Beraninya kau memfitnah suamiku setelah apa yang sudah kau lakukan, jika suamiku yang melakukan hal menjijikan ini, maka dia tidak perlu melakukannya dengan gadis kotor sepertimu! Dia akan melakukannya sejak lama, selama ini aku menikah dengannya selama 20 tahun pernikahan, tidak pernah sekalipun aku lihat dia bermain-main dengan wanita manapun, kecuali kau! Enyah kau dari rumahku!" Bentak Tante Oki dengan nafasnya yang menderu.
Dengan kaki yang gemetar dan jidat yang masih sobek serta mengeluarkan darah segar, Olivia berusaha bangkit berdiri susah payah, om Burhan datang menghampiri dia dan dengan kasar langsung menarik tangannya, menyeret dia hingga keluar dari rumah mewah tersebut dan melemparkannya hingga tersungkur ke tanah.
Malara yang mendengar keributan tengah malam seperti itu, dia segera menatap dari balkon kamarnya di lantai dua, dan saat melihat sahabat terbaiknya mendapatkan perlakuan kasar dari kedua orangtuanya dia segera bergegas turun untuk membantu Olivia. "Ya ampun apa yang terjadi, kenapa ibu mengusir Olivia?" Gerutu Malara merasa kebingungan sendiri.
Untunglah Malara datang tepat waktu, disaat ibunya hampir memberikan tamparan kedua kepada Olivia, dengan cepat dia menahannya dan menghentikan tingkah ibunya tersebut. "Berhenti! Apa yang ibu lakukan?" Tegas Malara dengan wajah yang tegang.
Sang ibu menoleh ke belakang dan langsung menarik tangannya yang ditahan oleh Malara saat itu, dia mengatakan semua kejadian yang baru saja terjadi dengan penuh kebencian kepada Olivia.
"Lihatlah teman yang kau bawa pulang dan sahabat yang selalu kau ceritakan kepada ibu, rupa-rupanya dia seorang j*Lang yang hampir m*niduri ayahmu sendiri, apa kau mau dia menjadi ibu tirimu Malara?" Balas Tante Oki dengan matanya yang hampir terbuka sempurna.
Betapa kagetnya Malara mendengar kabar tersebut, dia terperangah dan langsung mengalihkan pandangan ke arah sang ayah dan beralih kepada sahabatnya Olivia, dia menatap kondisi Olivia dengan dahi berdarah dan pakaian yang koyak, dia sangat tidak percaya jika sahabatnya yang selama ini begitu baik akan melakukan hal tercela seperti itu, terlebih dia sama sekali tidak mengetahui kebenaran sedikitpun.
"Bu, apakah ibu melihatnya secara langsung, ayah dan Olivia melakukan hal itu?" Tanya Malara memastikan.
"Ibu melihatnya Malara, ibu tidak mungkin berani melakukan hal seperti ini dengan temanmu jika ibu tidak memergokinya dengan mata kepala ibu sendiri, ayahmu juga sudah mengakuinya dan dia yang menggoda ayahmu dengan duduk diatasnya, apa kau masih mau membela wanita seperti dia dibandingkan dengan ibumu sendiri, hah?" Suara keras yang membuat Malara dilema, disisi lain dia tidak mempercayai semua itu sebab dia sangat kenal bagaimana Olivia, terlebih Olivia juga terus menggelengkan kepala dengan menangis terisak di bawah kakinya.
Sang ayah juga memalingkan wajah seakan tidak ingin bertatapan dengannya, tetapi disisi lain sang ibu begitu yakin bahwa Olivia yang melakukan semua itu dan dia telah melihatnya secara langsung, Malara kebingungan mana yang harus dia percayai, sahabat atau ibunya, namun tidak sempat Malara menjawabnya, sang ibu sudah langsung menarik tangan Malara dengan paksa untuk membawanya masuk kembali ke dalam rumah. "Sudahlah, kau tidak pantas berteman dengan perempuan seperti dia, ayo masuk dan jangan pernah kau temui putriku lagi!" Bentak Tante Oki segera membawa Malara pergi dari sana.
Olivia berusaha berteriak dan meminta bantuan pada Malara, dia ingin menjelaskan bahwa semua itu sama sekali tidak benar, dia tidak ingin kehilangan sosok sahabat sebaik Malara, namun dia tidak sempat mengatakannya, sebab dia sudah terlanjur dibawa masuk oleh ibunya ke dalam rumah, hanya tersisa om Burhan yang mendekatinya dengan wajah sinis dan sebuah senyuman melengkung yang sangat menjijikan baginya.
"Kau... Semua ini terjadi karenamu, kenapa kau tega melakukan ini kepadaku, kau bahkan membohongi istri dan putrimu!" Ucap Olivia serak karena menangis tanpa henti.
"Hahaha .... Ini semua salah kau gadis manis, jika saja kau menurut padaku semua ini tidak akan terjadi, dasar sok suci, lihat saja nanti, aku akan mendapatkan dirimu dengan atau tanpa izin darimu sekalipun." Ucapan yang membuat Olivia merinding semakin takut dan merasa ngeri.
Ditambah Om Burhan itu mencengkram dagu Olivia lalu menghempaskannya ke samping dengan kasar, itu sangat menyakitkan bagi Olivia dan dia tidak bisa melakukan apapun selain segera pergi sejauh mungkin untuk menghindari Om Burhan, berjalan di tengah malah kembali tanpa tujuan, seorang diri, dan hujan kembali turun, hal yang paling dia benci selama ini.
Yap. Olivia benci sekali kegelapan dia sebelumnya tidak pernah pergi keluar di malam hari, apalagi dalam keadaan hujan yang mengguyur tubuhnya seperti ini, rasanya dingin sekali karena dia hanya mengenakan pakaian pendek dan tidak membawa apapun, tidak ada uang, tidak ada makanan dan perutnya yang sangat lapar, tidak ada tempat yang bisa dia kunjungi bahkan untuk sekedar menjadi tempat beristirahat.
Kakinya tidak bisa berhenti, dia harus segera mencari tempat berteduh, sebab hujan semakin deras, mulai saat itu dia sangat benci gelap dan hujan, sebab saat gelap muncul kakaknya terenggut dan saat hujan turun dia juga kehilangan hartanya, rumahnya ludes terbakar api, dia juga harus meninggalkan makam kakaknya saat hujan, bertemu Malara dan hampir tertabrak saat malam hari, sekarang dia juga mengalami kejadian seperti ini tepat ketika hujan turun kembali dan telah lewat tengah malam.
"Aku benci malam, benci hujan, dan benci kegelapan, kenapa harus ada malam? Kenapa harus aku yang mengalami kejadian seperti ini, kehilangan tempat tinggal, kakak dan hampir terenggut kesucianku, apa lagi penderitaan yang harus aku alami, aku harus kemana sekarang?" Keluh Olivia sambil terus berjalan tanpa henti.
Hingga langkah kakinya terhenti di depan sebuah klub malam yang masih buka, dia tidak berani masuk ke dalam sana sebab tahu itu bukanlah tempat yang baik untuk dirinya, tetapi dia sangat membutuhkan tempat untuk menginap dan berteduh, sehingga dia tetap harus pergi ke sana, di jam segini tidak ada lagi tempat umum yang buka selain dari bar seperti itu, Olivia masuk kesana dan melihat banyak orang asik berjoget dengan musik yang memekikkan telinga, banyak juga beberapa orang yang minum-minuman di pinggiran tempat duduk yang berjajar rapih disekitar sana.
Dia terus berjalan pelan dan kedinginan, mencari tempat duduk yang bisa dia singgahi untuk beristirahat sejenak, hingga tiba-tiba saja dua orang pria menangkap dirinya, menutup wajahnya dengan sebuah kain yang tidak tahu seperti apa, menghalangi pandangannya dan membawa tubuhnya melayang begitu saja, Olivia terus berontak namun suaranya tidak keluar dengan jelas, sebab sebagian tubuhnya di tutupi sesuatu berwarna hitam.
"Eeuumm...lepaskan, hei siapa kalian, lepaskan aku, mau kau bawa kemana aku hei..." Teriakkan yang terus di lontarkan Olivia hingga dia dibawa masuk ke dalam sebuah mobil, dengan dia masih belum bisa melepaskan sebuah benda yang menutupi kepalanya saat itu.
Hanya saja, dia masih bisa mendengar pembicaraan dua orang yang ada di luar, dia mendengar semua obrolan mereka yang rupanya hendak membawa dia ke suatu tempat malam itu.
"Kita sudah membawanya bos, dia sepertinya kehujanan dan terlambat datang ke klub, apa kita harus membawanya ke rumah dia?" Tanya salah seorang pria yang duduk di kursi kemudi,
"Bawa saja, aku sudah membayar madam sialan itu, dia yang mengatakan sudah mengirimkan wanita untuk bos besar, kalian bawa saja, pastikan kalian membawa orang yang benar, dia gadis cantik dengan rambut panjang sepinggang, dan memakai pakaian yang basah, apa kalian benar?" Balas seseorang dalam panggilan telpon saat itu.
"Kami tidak mungkin menangkap orang yang salah, gadis ini sangat cantik dia juga terlihat sangat muda, bos besar pasti menyukainya, kau tidak perlu khawatir." Balas salah satu pria lain di sampingnya.
Olivia yang mendengar pembicaraan diantara orang tersebut, dia sadar bahwa mereka telah salah membawa orang, dia terus berusaha berontak, berteriak, dan terus berusaha melepaskan diri tanpa henti. "Hei, kalian salah orang, aku bukan wanita itu, hei...lepaskan aku, tolong lepaskan!" Teriak Olivia terus meronta.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!