Novel ini adalah spi. off dari Pengantin yang Ditukar. Selamat membaca.
Empat tahun telah berlalu. Kini, pernikahan Resya dan Dean sudah memasuki usia kelima. Anak mereka yang bernama Mike Ellordi baru saja merayakan ulang tahunnya yang keempat.
Harusnya, hidup mereka berada di puncak kebahagiaan karena kehidupan yang sudah lengkap.
Namun, apa arti pernikahan yang dihuni oleh orang-orang yang seperti merasa kehilangan sosok satu sama lain? Nyatanya kenyamanan hanya tercipta beberapa tahun saja, sampai mereka pun menghadapi kehampaan hidup kala kebosanan mulai menyelimuti pernikahan mereka.
Dean yang jenuh karena Resya sepertinya tak perhatian padanya, dan bahkan tak pernah merasa cemburu dengannya meski dia sering pulang malam dan meeting dengan rekan bisnis wanita. Demikian juga Resya yang merasa jenuh karena Dean yang tak semanis dan seromantis dulu.
Pagi ini....
"Selamat pagi, Sayang," ucap Dean kala melihat Resya yang sedang menata masakan ke atas meja makan.
"Pagi, Sayang. Segeralah makan, aku harus mau melihat Mike dulu." Resya pergi meninggalkan Dean yang sarapan seorang diri lagi. Lagi dan lagi, Dean harus menghembuskan nafas beratnya.
"Selalu saja begini. Dia tidak pernah mengerti keinginanku. Untuk sarapan bersama pun dia tidak bisa. Lantas, apa gunanya aku menggunakan jasa babysitter jika dia tidak bisa melayani suaminya? Aku tahu anak sangat penting. Tapi, mengapa harus setiap hari?"
Dean bermonolog sambil berdecak kesal melihat sikap Resya yang dirasa semakin cuek padanya. Di usia pernikahan yang baru lima tahun ini, entah mengapa Dea merasakan kejenuhan karena aktivitasnya yang monoton. Pagi dia akan pergi bekerja, sorenya pulang, makan malam, dan tidur. Setiap weekend terkadang di rumah, terkadang pergi ke taman. Padahal, di mata orang lain, mereka terlihat sangat bahagia dengan hidup yang tanpa masalah itu. Mereka nyaris tidak pernah bertengkar. Apakah harus terjadi pertengkaran agar tidak ada kejenuhan di antara mereka?
Resya yang melihat Mike sudah bangun langsung memandikan sang anak dengan begitu senangnya. Dia sangat mencintai Mike lebih dari apapun sehingga sedikit mengabaikan Dean yang sebenarnya sangat butuh perhatian itu.
Setelah Mike sudah siap, Resya pun membawanya ke meja makan dan memberinya sarapan. Karena masih belajar makan sendiri, Mike tampak menyuapkan makanan ke mulut dan sisanya berjatuhan ke baju dan meja.
"Mike, pelan-pelan, Sayang," ucap Dean dengan lembut. Anak berusia empat tahun itu sangat mirip dengannya. Hanya bibirnya saja yang mirip Resya. Sedangkan warna mata, bentuk hidung, wajah, semuanya mirip Dean. Terkadang orang berpikir, apakah dulu Resya sangat memuja suaminya sehingga anaknya mirip dengan sang ayah?
"Iya, Yah," sahutnya sambil tersenyum riang.
"Mike, tahun depan kan mau sekolah TK, jadi makannya harus benar, ya, Sayang," sambung Resya sambil membersihkan baju dan meja yang kejatuhan makanan Mike.
"Iya, Bunda," ucap Mike sambil mengangguk.
"Oh ya, nanti aku ada meeting penting dengan Nyonya Rehana. Kemungkinan aku akan pulang malam," ucap Dean sambil menyendokkan nasi ke mulutnya.
"Makan di luar, kan? Kalau begitu aku tinggal tidur, ya," ucap Resya dengan santainya. Padahal, jawaban yang ditunggu Dean adalah bertanya mereka meeting dimana, jam berapa, dan menunggunya sampai pulang. Padahal Mike tidak pernah bangun malam dan mengacaukan tidur cantiknya. Lantas mengapa tidak mau menunggu dan tidur duluan?
"Ya." Hanya itu ucapan yang keluar dari mulut Dean.
"Aku sudah selesai, aku pergi dulu, ya." Dean mengusap kepala Mike dan menciumnya. Kemudian gantikan Resya yang mencium punggung tangannya tanpa mengantarkannya ke depan pintu dan melambaikan tangannya ketika Dean sudah masuk mobil dan pergi. Ya, lagi-lagi, itulah keinginan di hati kecil Dean yang tidak ingin diungkapkannya. Dia ingin Resya menyadarinya tanpa diberitahu terlebih dahulu.
Setelah kepergian Dean, Resya menghembuskan nafas panjang. "Kenapa dia tidak mau mencium kening atau pipiku? Memangnya berat melakukan itu? Atau kalau malu kan dia bisa memelukku?" gumamnya kesal. Dia pun segera membawa Mike yang sudah selesai makan menuju ke belakang taman untuk melihat-lihat keindahan taman bunga sambil berjemur.
Dia pun menelpon kakaknya untuk mengisi rasa bosannya.
"Halo, Kak, sedang apa?" tanyanya saat telepon dari seberang diangkat oleh Haira.
[Kakak baru pulang dari mengantar William dan Harry sekolah. Kau sedang apa?]
"Sedang berjemur dengan Mike. Kak Aiden sudah berangkat kerja?"
[Sudah, pagi-pagi sekali dia sudah berangkat karena ada meeting penting.]
"Kak, apa yang dilakukan Kak Aiden ketika dia berangkat bekerja?"
[Hah? Yang dilakukannya? Tidak banyak, dia langsung pergi setelah memberikan kecupan di keningku.]
"Bahkan setelah pernikahan kalian yang sudah hampir delapan tahun itu, Kak Aiden masih romantis, ya."
[Hah? Kenapa kau tiba-tiba berkata seperti itu?]
"Eh, tidak, Kak."
[Apa kau ada masalah? Cerita saja, jangan dipendam.]
"Heheh, tidak, Kak. Dean masih romantis, kok. Sudah dulu, ya."
Resya buru-buru mematikan teleponnya sebelum Haira sempat menjawab.
"Hampir saja aku keceplosan dan menceritakan masalah ku kepadanya. Dean pasti akan marah jika aku melakukan itu. Aku tidak mau membuatnya marah. Aku tidak suka rumah tangga yang diwarnai pertengkaran. Sebisa mungkin aku tidak ingin kami bertengkar. Tidak, aku tidak mau bertengkar." Resya menghembuskan nafas panjangnya.
Sedangkan Dean yang sudah berada di kantor terlihat sibuk dengan dokumennya. Sesekali dia melihat ponselnya, berharap ada pesan masuk dari Resya yang akan menyemangatinya bekerja. Namun, lama dia menunggu dan melirik, Resya tak juga mengirimkan pesan.
Hingga saat pesan berbunyi, Dean cepat-cepat melihatnya, dan ternyata, nomor itu adalah nomor dari pinjaman yang mengatasnamakan suatu instansi.
BUTUH UANG CEPAT? SEGERA HUBUNGI KAMI. BUNGA 1.2% DAN DIJAMIN LANGSUNG CAIR.
Dean mengerang kesal. Dia pun meletakkan ponselnya lagi dan kembali fokus bekerja. Harinya pun semakin kesal karena benar-benar mengira yang tadi mengirim pesan adalah Resya.
"Permisi, Tuan, saya...."
"Ya, taruh saja di meja dan pergi."
Kekesalan Dean membuat sang sekretaris pun terkena imbasnya. Wanita yang bernama Anne itu pun segera keluar setelah menaruh berkas yang harus ditandatangani Dean.
Dean pun segera membaca berkas tersebut dan tak lama dia pun memanggil Anne kembali.
"Ya, Tuan."
"Bagaimana kau bisa sebodoh ini? Lihat, ada yang salah!" Dean berteriak di depan Anne hingga membuat wanita itu terkejut. Padahal yang salah hanya huruf yang harusnya besar dibuat kecil. Tapi marahnya seakan mereka mengalami kerugian milyaran rupiah.
"Ma-maafkan saya, Tuan." Anne membungkukkan tubuhnya dan mengambil berkas itu. Setelahnya, dia pun pergi dan memperbaiki yang salah.
Dean hanya mengusap wajahnya dengan kasar. Tampak penyesalan di wajahnya karena kemarahan yang dibuat sedemikian rupa padahal itu hanya kesalahan kecil.
Dean sedang mengobrol bersama temannya di sebuah restoran malam ini. Sebenarnya meeting dengan wanita itu tidak ada. Itu hanyalah omong kosong karena dia ingin melihat Resya cemburu. Namun ternyata, susah payah dia berbohong, Resya tak juga menunjukkan kecemburuan.
"Hai, Dean, kenapa wajahmu terlihat sangat kusut?" tanya Satria pada teman sekaligus rekan bisnisnya itu.
"Tidak apa-apa, aku hanya lelah saja."
"Kau tidak makan malam di rumah?"
"Tidak, toh, bukan istriku yang memasak." Dean memalingkan sedikit wajahnya. Seperti merasa kesal ketika mengingat momen itu. Resya tidak mau memasak untuknya karena hanya ingin fokus pada pertumbuhan Mike saja. Dia hanya mau memasak makanan untuk Mike dan tak begitu mempedulikan makanan Dean.
"Ah, jadi karena istri? Kau merasa kecewa pada istrimu?" tanya Satria dengan tatapan penuh pengertian.
"Tidak, sebenarnya aku tidak perlu kecewa karena dia lebih memperioritaskan anak kami." Dean berusaha menolak prasangka yang masuk ke dalam pikirannya.
"Kalau begitu, untuk apa kau uring-uringan seperti ini? Harusnya kau senang karena istrimu sangat perhatian pada anak kalian. Wajar saja jika perhatiannya terhadapmu mulai berkurang."
Drrrrttt…
Ponsel Satria pun bergetar dan terlihat bahwa yang memanggil adalah istrinya.
"Sebentar ya, Dean." Dia pun mengangkat panggilan itu dan tersenyum seolah merasa sangat senang.
"Sayang, kenapa?"
[Sayang, kau dimana?]
"Kan sudah aku bilang kalau aku akan pulang malam karena ingin makan dengan Dean."
[Apa aku bisa mempercayai ucapanmu?]
"Benar, Sayang, kalau tidak percaya, tanya saja sendiri." Satria menyerahkan ponselnya pada Dean agar pria itu mau berbicara dengan sang istri untuk menjelaskan bahwa mereka benar-benar sedang bersama.
"Ya, halo, Olivia, aku dan suamimu memang sedang makan malam bersama. Tidak apa-apa kan aku mengambil waktunya sebentar?"
[Ah, ternyata benar. Ya sudah, tidak apa-apa. Aku tidak akan meragukan suamiku jika dia sedang bersamamu. Bersenang-senanglah, jangan lupa untuk pulang.]
Dean memberikan ponsel yang panggilannya sudah mati. Ada sedikit rasa iri di hatinya karena istri Satria begitu memperhatikan suaminya dan terkesan cemburu.
"Olivia sangat perhatian sekali, ya," ucap Dean dengan tatapan sendu.
"Ya, begitulah dia. Setiap hari selalu cemburu padaku. Terkadang aku bosan karena seperti sedang diteror. Dalam sehari dia bisa menelepon beberapa kali."
Dean beralih ke ponselnya dan melihat riwayat panggilan terakhirnya bersama sang istri. Seminggu yang lalu. Resya menelponnya karena bertanya dimana buku nikah mereka karena ingin disimpan. Itupun karena Dean tak kunjung membuka pesan. Lagi-lagi Dean menghembuskan nafas pasrah saat mengingat peristiwa itu.
"Seharusnya kau senang karena ada yang perhatian padamu."
"Ya, sebenarnya aku senang karena Olivia begitu perhatian padaku. Tapi, sedikit banyaknya Aku juga merasa jenuh karena seperti seorang buronan yang selalu dicari-cari olehnya. Tapi, tetap saja, aku bersyukur memiliki istri seperti dia." Satria tersenyum sambil meletakkan ponselnya. Di wallpaper ponselnya ada fotonya bersama sang istri dan juga dua anak mereka.
"Kau memang harus bersyukur." Dean mulai menyuap makanan ke mulutnya ketika pramusaji membawa makanan ke meja mereka.
"Dean, bagaimana kalau Minggu depan kita main golf dan menginap di villa milikku. Aku akan ajak beberapa teman kita."
"Minggu depan?" Dean tampak berpikir. Bukankah Minggu depan adalah ulang tahun pernikahannya dengan Resya yang ke lima tahun? Bagaimana kalau mereka harus merayakannya?
"Iya, Minggu depan. Itu jadwal yang cocok untuk kita."
'Tapi setiap tahun tidak ada perayaan, bukan? Bahkan dua tahun belakangan, Resya lupa. Pasti tahun ini tidak ada perayaan lagi. Lebih baik aku pergi daripada kecewa karena dia tidak mengingatnya,' batin Dean sambil menghela nafas panjang.
"Baik, aku akan ikut," ujarnya tanpa menunda lagi.
Sementara itu…..
"Halo, aku mau pesan sebuah kamar hotel yang dihiasi banyak bunga dan ucapan anniversary yang ke lima tahun. Aku pesan untuk Minggu depan."
[Baik, Nyonya. Kami menyediakan kue ulang tahun gratis. Nama siapa yang ingin ditulis? Dan untuk pembayaran ingin lima puluh persen dimuka atau full?]
"Benarkah? Wah, terima kasih. Buat saja namanya Resya dan Dean. Pembayarannya full dimuka saja."
[Baik, untuk pemesanannya sudah kami terima. Terima kasih.]
Resya mematikan ponselnya dan tersenyum senang. Akhirnya dia bisa memiliki kesempatan untuk berdua dengan Dean. Dia pun segera menghubungi orang tuanya untuk memberitahu jika Minggu depan, dia akan menitipkan Mike kepada orang tuanya. Dengan begitu, dia dan Dean bisa menikmati waktu berdua saja.
"Semoga saja setelah ini hubungan kami kembali lagi seperti dulu. Tapi, tidak kejutan namanya jika aku menunjukkan perubahan sikap manisku padanya. Biar saja aku berpura-pura cuek agar nanti dia semakin terkejut." Resya berdecak senang. Dia sudah bisa membayangkan bagaimana indahnya malah itu jika dia dan Dean merayakan anniversary yang ke lima tahun hanya berdua saja. Dengan suasana romantis yang selama ini tidak lagi tercipta karena kesenjangan di antara mereka. Hitung-hitung sebagai penebus kesalahannya dua tahun lalu yang lupa akan ulang tahun pernikahan mereka karena beberapa hal yang tak terduga.
Keesokan harinya.
Sepulang bekerja, Dean melihat Rasya yang sedang bermain dengan anak mereka. Resya sempat melihat suaminya baru memasuki pintu utama, namun dia tidak menghampiri dan menyambutnya.
"Sayang, kemarilah, lihat, Mike sedang makan dengan lahap," ucap Resya yang langsung membuat langkah Dean beralih ke mereka.
Dean mendatangi mereka dengan wajah lesu dan lelah. Namun, setelah melihat anaknya, seketika rasa lelah itu langsung menghilang begitu saja. Berganti jadi senyum kebahagiaan seorang ayah yang melihat anaknya semakin bertumbuh kembang.
"Hai, anak ayah, sekarang sudah lahap makannya, ya," ucap Dean sambil mengusap kepala Mike dengan lembut.
"Ayah mau?" tanyanya dengan wajah polos.
"Untukmu saja, Nak. Makan yang banyak dan jadilah anak yang kuat." Dean tersenyum kecil pada Mike. Bocah balita itu langsung menganggukkan kepalanya dan kembali melanjutkan makannya."
"Resya, ada yang mau aku bicarakan, bisa ke sana sebentar," tunjuk Dean pada sebuah sofa yang tak jauh dari mereka.
"Tentu saja." Resya mengangguk dan mengikuti langkah Dean pergi ke sofa tersebut. Tak lupa dia memerintahkan baby sitter untuk menjaga Mike dan menunggunya sampai selesai makan.
"Ada apa?" tanya Resya ketika mereka sudah duduk berdua.
"Begini, sepertinya aku akan...."
"Stop, Vina, bukan begitu caranya." Resya yang masih memperhatikan Mike terlihat cemas dan langsung mendatangi mereka. Dia meninggalkan Dean yang belum selesai bicara padanya.
"Bukan begitu caranya. Kau tidak boleh mengusap pipi Mike dengan tisu ini. Ini tisu yang kasar, kan sudah aku beritahu tisu mana yang harus digunakan." Resya lanjut menceramahi baby sitternya.
"Dia hanya melakukan kesalahan kecil, tidak harus marah seperti itu, kan?" ucap Dean sambil mendatanginya. Semakin lama, Dean semakin tidak suka dengan sikap Resya yang sangat over protektif pada sang anak sampai memarahi orang lain sedemikian rupa.
"Tapi dia memang harus selalu dan nasehati agar tidak sering melakukan kesalahan ini. Tisu yang kasar seperti ini bisa melukai pipi Mike."
"Aku rasa kekhawatiranmu ini sangat berlebihan. Mana ada aja sih yang bisa melukai pipi gembul seperti ini. Mike sudah berusia empat tahun, memangnya tisu apa yang bisa melukai pipinya?" Dean mengerutkan keningnya. Menunjukkan pada Resya bahwa dia juga bisa marah.
"Tapi kalau aku sudah bilang jika pipinya hanya boleh diusap dengan tisu ini, maka hanya tisu inilah yang boleh digunakan. Apa gunanya kita membayar dia mahal-mahal jika tidak melakukan pekerjaannya dengan benar?"
"Aku rasa sekarang kau sudah mulai membedakan kasta, ya? Jangan mentang-mentang kita bisa membayarnya, lantas kau bisa mengatai dia seenaknya? Jangan sombong, Resya."
"Aku tidak sombong. Kau yang terlalu menganggap sikapku berlebihan. Jika tidak suka, tidak perlu ikut campur. Yang kau tahu kan hanya bekerja saja. Soal anak kau jarang sekali mau tahu." Resya menatap Dean sengit. Baru kali ini dia meladeni pertengkaran kecil dengan suaminya.
"Aku bekerja juga untuk kalian. Apa kau mau aku tetap berada di rumah bersama kalian dan ongkang-ongkang kaki? Kau mau melihat suamimu ini malas-malasan di rumah?"
"Bukan begitu juga. Tapi setidaknya kau harus memiliki waktu untuk kami. Kau sama sekali tidak memperdulikan kami dan hanya sibuk dengan pekerjaanmu."
"Kau juga tidak memperdulikan aku karena sibuk dengan urusanmu. Kau melebih-lebihkan sesuatu yang tidak harusnya dilebihkan. Kau memprioritaskan anak kita, tapi kalau lupa jika kau punya suami yang harusnya kau urus! Bahkan di usia Mike yang sudah empat tahun pun kau masih menganggapnya seperti bayi. Kau ingin dia menjadi manja dan bergantung padamu?"
"Aku hanya ingin menjadi Ibu yang baik. Apa aku salah?"
"Kau sudah menjadi Ibu yang baik? Itu menurutmu? Lalu, apakah kau juga sudah menjadi istri yang baik? Bahkan aku lupa kapan terakhir kali kau memasak untukku."
"Jangan hanya bertanya padaku saja. Kau juga harus berkaca pada dirimu sendiri. Apakah kau juga sudah menjadi ayah dan suami yang baik?"
Pertengkaran yang semakin sengit itu membuat babysitter hanya diam dan menundukkan kepalanya. Memang sulit rasanya berada di tengah-tengah orang yang sedang bertengkar. Terlebih dia bukan siapa-siapa dan hanya orang kecil.
"Ayah, Bunda, jangan suala kelas," ucap Mike yang langsung membuat keduanya tersadar.
"Tidak, Sayang, Bunda dan ayah tidak sedang bersuara keras. Ayo, kita main." Resya beralih ke Mike dan membiarkan Dean yang masih kesal.
"Kau bilang bahwa kau sudah menjadi Ibu yang baik? Lantas bagaimana bisa kau memicu pertengkaran di depan anakmu sendiri?" Dean menatap sinis, lalu pergi ke kamarnya untuk menenangkan dirinya. Dia memilih berendam di dalam bathtub.
"Tidak ada salahnya memprioritaskan anak. Tapi, seharusnya dia juga ingat bahwa dia memiliki suami. Sudahlah, aku tidak perlu izin padanya untuk pergi ke villa Minggu depan. Toh, dia juga tidak akan ingat dan tidak akan merayakan apapun." Dean menghembuskan nafas panjang. Jarang-jarang dia bisa mengobrol berdua dengan Resya, tapi itu malah memicu pertengkaran yang seharusnya tidak terjadi.
Resya yang masih bersama Mike kembali memikirkan ucapan Dean tadi. Rasanya dia sangat menyesal karena bertengkar dengan suaminya tepat di depan anak mereka. Secara tidak langsung dia telah menunjukkan pengaruh buruk pada anak semata wayangnya itu.
Dia pun bergegas pergi ke dalam kamar dan bermaksud meminta maaf pada Dean. Sebenarnya Dia juga salah karena bersikap terlalu berlebihan. Memanjakan anak juga tidak terlalu baik untuk pertumbuhan sang anak yang nantinya akan bergantung padanya.
Namun, sesampainya di dalam kamar, dia melihat Dean yang sedang bersiap-siap hendak pergi.
"Mau kemana? Kan baru pulang?" tanya Resya dengan tatapan heran.
"Ada meeting penting. Aku akan pulang malam," sahut Dean tanpa menoleh.
"Bawa kunci cadangan jika harus pulang malam."
Ucapan Resya membuat tangan Dean yang sedang memasang dasi langsung berhenti. "Aku tidak akan pulang malam ini. Aku akan menginap di apartemen."
"Oh, ya sudah." Resya hanya mengatakan itu sebelum akhirnya pergi meninggalkan Dean yang berdecak kesal. "Bahkan dia tidak peduli pada dasiku. Dia juga tidak bertanya mengapa aku harus menginap di apartemen. Benar-benar menyebalkan!" gerutu Dean dalam hati.
Setelah selesai, dia pun pergi tanpa berpamitan lagi dengan Resya. Sedangkan Mike sudah tidur sehingga dia tidak bisa pamit padanya. Resya selalu berkata bahwa anak yang sedang tidur tidak boleh diganggu.
Resya menatap kepergian Dean dengan tatapan mata berkaca-kaca. Padahal tadi dia ingin berbaikan. Tapi sepertinya Dean sama sekali tidak berniat untuk berbaikan dengannya. Dengan helaan nafas panjang, dia pun kembali ke dalam rumah dan bermain dengan sosial medianya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!