NovelToon NovelToon

Secret Of Mariana

Satu

“Ayah ... Ana mohon, ayah harus sembuh, ya?” Isak Mariana, gadis berusia sembilan belas tahun yang akrab dipanggil Ana menangis di sisi pembaringan ayahnya. Di dalam ruang ICU. Dia adalah Mahasiswa di sebuah Universitas Ternama di Jakarta

Tiga jam yang lalu ayahnya sempat kritis, karena baru saja mengalami kecelakaan, tertabrak pemuda, yang tak lain teman satu kampus Ana, dan satu jurusan dengan Ana, dia juga salah satu anggota geng motor yang bernama Black Moon. Bahkan dia adalah ketua geng motor tersebut.

“Ayah mau kamu mengabulkan permintaan ayah tadi, Nak,” ucap Pak Ahmad.

“Ayah, Ana ini baru lulus SMA, baru masuk kuliah sebulan yang lalu, baru semester awal, Yah. Ana tidak mungkin menikah dengan dia, Yah. Dia juga masih kuliah, dia teman kampus Ana, bahkan satu jurusan, sama-sama masih awal kuliah, sama dengan Ana. Kita sama-sama memiliki cita-cita yang belum terwujud, ayah jangan begitu,” ucap Ana.

“Kalau ayah tidak ada kamu sama siapa, Na?” ucap Pak Ahmad. “Bapak titip Ana, kamu harus bertanggung jawab dengan hidupnya sekarang, Nak,” pinta Pak Ahmad dengan Andra.

“Ba—baik, Pak. Saya akan bertanggung jawab, sebagai penebus kesalahan saya. Saya minta maaf, tadi saya ngebut, tidak tahu ada bapak yang mau menyeberang jalan, tidak melihat bapak menyalakan lampu sein juga,” jawab Andra. “Saya akan menikahi putri bapak, akan bertanggung jawab dengan hidup putri bapak,” tegasnya.

“Kita baru lulus SMA dan baru saja masuk kuliah sebulan, Andra!” tukas Ana.

“Ana ... Papa yang akan bertanggung jawab, selagi Andra belum bekerja. Dia memang harus bertanggung jawab atas perbuatannya, supaya dia tahu, bagaimana rasanya mengemban amanah dan tanggung jawab,” tutur Pak Yaksa, ayah dari Andra.

“Benar, Na. Kami akan bertanggung jawab atas hidupmu, selagi ayahmu belum pulih, sampai ayahmu pulih pun kamu tanggung jawab kami,” ucap Diana, ibu dari Andra.

“Bagaimana, Na? Kamu mau memenuhi permintaan ayah?” tanya Pak Ahmad.

“Apa pun yang terbaik menurut ayah, Ana menurut, Yah.”

Ana tahu, ayahnya mungkin sudah tidak bisa lagi menahan rasa sakitnya sekarang. Terlihat dari bicaranya pun sudah berat, napasnya juga sedikit tersengal, Ana sebetulnya takut, melihat kondisi ayahnya yang seperti itu.

“Kami akan persiapkan pernikahannya sekarang, kami akan menghubungi pemuka agama dan meminta membawa saksi juga. Kalau mendadak begini, kami hanya menikahkan secara agama dulu, Pak. Kalau mau secara hukum, harus  mengurus syarat-syaratnya lebih dulu, Pak,” ucap Pak Yaksa.

“Iya, saya tahu, Pak. Tapi saya minta ada perjanjian hitam di atas putih. Saya minta satu minggu lagi, mereka harus menikah secara hukum, Pak,” pinta Pak Ahmad.

“Iya itu pasti. Nanti saya buatkan surat perjanjian itu, supaya anak saya dan Ana juga menyetujuinya,” jawab Pak Yaksa.

Tidak usah ayahnya Ana meminta surat perjanjian saja, Pak Yaksa dan Bu Diana tetap akan menikahkan Andra dan Ana di depan penghulu, supaya sah secara hukum, meski mereka masih delapan belas tahun, baru lulus SMA, dan baru masuk kuliah satu bulan.  Bu Diana sudah jatuh hati pada Ana, gadis yang cantik dan lemah lembut itu. Bu Diana yakin kalau Ana akan bisa merubah sikap Andra yang arogan, pembangkang, dan susah diatur.

^^^

Andra mengucapkan qobul di depan pemuka agama yang menikahkannya, juga di depan ayah Ana dan para saksi.

“Bagaimana para saksi? SAH?”

“SAH !” jawab para saksi.

Mereka sudah sah menjadi suami istri malam ini di mata Agama.  Andra menyematkan cincin di jari manis Ana. Lalu Ana mencium tangan Andra, dan Andra mencium keningnya.

Ana memeluk ayahnya, dia menangis memandangi wajah ayahnya yang penuh luka, dengan kepala diperban. “Ayah ... Sembuh, ya? Ayah pengin lihat Ana jadi orang sukses, kan? Ayah kan janji mau menemani Ana sampai Ana sukses?” ucap Ana.

“Iya, ayah akan menemanimu, meski tidak di sini, ayah akan selalu menjagamu dari jauh, Ana,” ucapnya sambil terbata.

“Ayah jangan bilang begitu?” ucap Ana.

“Nak Andra ... Titip Ana, jaga Ana, jangan sakiti Ana, dia tidak punya siapa-siapa lagi, kalau bukan kamu yang menjaganya, siapa lagi,” ucap Pak Ahmad.

“Iya, Pak. Andra janji akan menjaganya,” jawab Andra lugas.

“Ana ... Baik-baik ya? Jaga dirimu, hormati suamimu,” pesan Pak Ahmad.

“Yah, sembuh, ya?”

Pak Ahmad hanya tersenyum, lalu mencium tangan Ana, dan meraih tangan Andra, lalu ia menyatukannya. “Kalian yang akur, ya?”

“Iya, Yah.” Jawab mereka bersama.

Tak lama setelah itu, napas Pak Ahmad terlihat berat dan sedikit tersengal, perlahan ia menutup matanya, dan tangan yang sedang menggenggam tangan Ana dan Andra perlahan terlepas dan terkulai lemas. Suara alat pendeteksi detak jantung berbunyi panjang.

“Ayah ... Ayah ....! Bangun, Ayah !” Ana mengguncangkan tubuh ayahnya dengan menangis, Andra meraih tubuh Ana lalu memeluknya. Andra merasakan apa yang Ana rasakan saat ini. Dia pun menyesal sudah membuat nyawa seseorang melayang.

“Aku sudah membunuh ayah Ana, aku bersalah, aku harus bertanggung jawab, tapi bagaimana bisa, aku tidak mencintainya, aku benci keadaan ini! Maafkan aku, Ana,” batin Andra.

^^^

Jenazah Pak Ahmad sudah dibawa ke rumah, dan akan dimakamkan besok pagi, pukul delapan pagi. Ana masih duduk di sebelah jasad ayahnya yang tertutup kain. Ia tak henti-hentinya menangis. Andra juga menemaninya, dari tadi Andra tidak peduli ponselnya bergetar dan banyak pesan masuk dari kekasihnya yang marah, karena Andra tidak menjemputnya, dan teman-teman Andra juga bilang bahwa Andra sudah pulang dari tadi.

Pukul dua pagi, ponsel Andra masih bergetar, Andra permisi untuk mengangkat telefon dari Astrid, kekasihnya yang khawatir Andra kenapa-napa, karena sampai tidak menjemputnya, padahal teman-teman Andra bilang, Andra sudah pulang dari tadi untuk menjemput dirinya

“Hallo, Sayang ....”

“Astaga .... My Honey, sayangku ... Kamu dari tadi ke mana? Aku hubungi, aku kirim pesan gak ada jawaban, gak jemput aku lagi?!”

“Maaf, Sayang ... Aku habis nabrak orang, dan orang itu meninggal, aku sama mama dan papa, sedang mengurus jenazahnya, karena dia hidup sebatangkara, terus biar aku gak kena hukuman, kami mengurus semuanya. Maaf sekali, Sayang.”

“Lalu kamu bagaimana?”

“Aku tidak apa-apa, aku ini gugup, mau jemput kamu, tapi memang lagi apesnya jadi begini, itu kenapa aku gak ngabarin kamu dari tadi, aku takut kamu panik. Kita bertemu lusa, ya? Besok mungkin aku akan ikut ke pemakaman bapak yang aku tabrak, jadi aku gak ngampus dulu,” ucap Andra.

“Okay ... Yang penting, kamu baik-baik saja. I love you,”

“Love you too, baby .... Sana istirahat, sudah pagi ini,” ujar Andra.

“Okay sayang ... Bye ... Muuach ....”

“Hmm ... Muach ...” balas Andra.

Andra menyandarkan tubuhnya ke dinding, dia mengembuskan napasnya dengan berat, lalu memejamkan matanya. Tidak ia sangka malam ini hidupnya sudah berubah, dia sudah menjadi seorang suami diusianya yang baru menginjak sembilang belas tahun. Andra memang belum sembilan belas tahun. Di bulan ini,  dua minggu lagi dia baru berusia delapan belas tahun

“Kamu besok berangkat ke kampus, Ndra,” ucap Ana yang dari tadi sebetulnya mendengarkan percakapan Andra dengan Astrid.

Ana juga tahu siapa Astrid. Dia dulu teman satu SMA dengan Ana, dan juga Andra, Astrid dulu adalah siswa yang terkenal di sekolahan karena dia adalah kapten cheerleaders. Cantik, seksi, dan geng yang diketuai Astrid terkenal di sekolahan, karena anggotanya cewek-cewek cantik bertubuh seksi, yang kalau pakai seragam sekolah, roknya di atas lutut, dan bajunya ketat. Sampai sekarang gengnnya Astrid juga kuliah di kampus yang sama, dengan jurusan yang sama pula. Mereka masih selalu kompak.

“Kenapa harus berangkat?”

“Kamu mau semua orang curiga kamu dan mama-papamu ada di sini? Aku sudah diskusikan dengan mama dan papamu tadi, besok kalian boleh ke sini sore, setelah pemakaman selesai. Besok teman dekatku pasti pada ke sini, temanku teman kamu juga, apa mau mereka melihat kamu dan orang tuamu di sini? Toh teman kuliah kita masih sama seperti saat dulu SMA? Mereka masih sama-sama kuliah di tempat yang sama. Kamu juga tadi bilang dengan Astrid, kalau kamu habis menabrak seseorang sampai meninggal bukan?” ucap Ana.

“Iya besok aku ke kampus,” jawab Andra. “Tolong rahasiakan pernikahan ini!” pinta Andra.

“Siapa juga yang mau menikah dengan kamu, dasar pembunuh!” jawab Mariana.

Ana langsung masuk ke dalam lagi, setelah mengambil minum dan tidak sengaja mendengar Andra sedang menerima telefon di dapur.

Dua

Kenapa jadi seperti ini, Tuhan? Kenapa aku harus menikah dengan orang seperti Andra? Kalau bukan karena ayah, aku tidak akan sudi menikah dengannya, aku juga baru lulus SMA, baru masuk kuliah sebulan. Aku tahu, kenapa ayah ingin aku menikah dengan Andra, mungkin biar aku ada yang menjaganya, tapi kenapa harus dengan Andra? Iya mama dan papanya sangat baik, tapi Andra? Dia saja orangnya ugal-ugalan? Siapa yang gak kenal Andra? Dia tampan, kaya raya, karena dia adalah anak dari donatur utama di kampus.

Andra juga mengetuai geng motor yang bernama Black Moon. Dia sering balap liar, taruhan, mabuk, dan perbuatan tidak baik lainnya. Kebiasaannya itu tidak sembuh dari SMA, dulu di SMA juga dia siswa yang paling bandel. Aku tahu itu sih dari siswa lain, karena setiap hari ada saja kasusnya dia. Tapi, semua guru tidak berani memberikan sanksi terberat, itu semua karena mereka tahu Andra anak siapa, dan prestasi Andra di basket memang baik. Tim basket sekolah selalu  menang saat ada lomba antar sekolah. Piala bergilir juga tidak pernah bergilir ke sekolahan lainnya, masih utuh di etalase piala, sejak Andra menjadi kapten basket di sekolahan.

Aku masih duduk di depan jenazah ayah. Padahal sudah pukul dua pagi, tapi rasanya aku tidak ingin memejamkan mataku. Aku masih ingin bersama ayah, aku kenang semuanya yang sudah aku lalui dengan ayah selama empat tahun, berdua tanpa ibu, karena ibuku meninggal saat aku masih SMP. Setelah ibu meninggal, aku hanya hidup dengan ayah saja, hidup berdua dengan ayah, aku yang mengurus keseharian ayah, kadang ayah sakit pun aku yang mengurus. Aku mengingat semua yang sudah kulalui dengan ayah selam hidup berdua dengan ayah.

“Ana, tidur, Nak. Sudah jam dua pagi, besok kamu kecapean lho, saat di pemakaman ayah?” tutur mama.

“Belum ngantuk, Ma,” ucapku.

“Ana, jangan begini, nanti kamu malah sakit,” ujar papa.

“Ana sendiria, Ana sudah tidak punya siapa-siapa lagi, Ma, Pa. Ayah sudah pergi, padahal ayah janji, akan menemani Ana sampai Ana sukses, sampai Ana kuliah, kerja, sukses, dan bisa membahagiakan ayah. Tapi, sekarang ayah pergi. Secepat dan sesingkat ini aku merasakan memiliki orang tua. Ibu pergi saat aku SMP, sekarang ayah juga pergi saat aku baru masuk kuliah.”

Aku kembali menangis, aku tidak kuat menahan tangisku. Meski air mataku sudah kering, tapi rasanya hati ini ingin terus menangis.

“Ana, ayahmu sudah tenang, jangan begini. Ayahmu nanti juga ikut sedih. Ikhlaskan, ayahmu sudah bahagia, apalagi kamu sudah menuruti permintaan terakhir ayahmu. Pasti dia lega melapaskanmu. Kami janji, akan menjadi orang tuamu, Ana. Anggap papa dan mama orang tua kamu sendiri, Na.” Papa terus menasihatiku, benar kata papa, aku tidak boleh larut dalam kesedihan.

Mereka memang baik, papa dan mamanya Andra memang baik, tapi tetap saja kenangan bersama ayah malam ini terus tergambar jelas dalam ingatanku. Aku tidak bisa menghilangkan semua itu. Untuk memejamkan mata pun aku tidak bisa, karena aku ingat semuanya. Ingat dengan semua yang aku dan ayah pernah lalui bersama.

“Besok, mama sudah meminta orang untuk menemani kamu di sini saat acara pemakaman, mama dan papa tetap akan ke makam, setelah selesai dan pelayat pulang semua. Kalau ada butuh apa-apa, besok kamu bilang saja sama orang suruhan mama, ya?” tutur mama.

“Iya, Ma.” Jawabku.

Aku iyakan saja, terserah mereka mau bagaimana. Semua tamu yang di rumah saja mama dan papa yang menemui dan mengurusnya. Mama dan papa bilang pada meraka, kalau dirinya adalah saudara dari ibuku. Tetanggaku yang malam ini melayat ya percaya saja, tidak ada yang curiga.

Aku mencoba untuk memejamkan mata, setelah mama terus membujukku untuk tidur. Aku masuk ke kamarku, aku terus mencoba memejamkan mataku, tapi tetap saja tidak bisa. Aku duduk di sisi tempat tidurku, aku masih belum menyangka ayah secepat ini pergi meninggalkanku. Padahal tadi baru saja makan malam denganku, menikmati masakanku malam ini sebelum ayah kembali menagaktifkan ponselnya untuk mencari penumpang.

Ayahku hanya bekerja menjadi driver ojek online. Waktu ayah bekerja sangat fleksibel, kadang berangkat pagi-pagi sekali, kadang agak siang, kadang juga sore baru berangkat kalau ayah sedang lelah. Tapi, kalau pagi ayah sudah biasa mengantar tetangga untuk ke pasar. Ayah sudah menjadi ojek langganan tetanggaku itu.

Tidak pernah aku sangka, semalam adalah makan malam terakhirku, tadi pagi adalah terakhir sarapan pagiku dengan ayah, dan tadi siang adalah terakhir aku dijemput ayah di kampus. Ayah bilang tidak akan lama pulang, ternyata bukannya ayah pulang ke rumah, melainkan ayah pulang ke sisi Tuhan. Mungkin ini sudah takdirku begini, harus kehilangan ayah, dan aku harus menikah dengan seseorang yang sudah membunuh ayahku.

^^^

POV ANDRA.

Aku merasa begitu berdosa, melihat seorang gadis kehilangan ayahnya. Kehilangan sosok satu-satunya yang dia miliki. Aku dari tadi melihat Ana menangis di depan jenazah ayahnya. Sungguh aku pun ikut sakit melihatnya. Ini adalah kesalahanku, aku sudah membuat Ana kehilangan ayahnya.

Dari tadi aku melihat mama dan papa membujuk Ana untuk tidur, tapi Ana masih ingin duduk di depan jenazah ayahnya. Namun akhirnya mama berhasil membujuk Ana untuk tidur dan ke kamarnya.

Aku duduk di sebalah mama setelah Ana pergi ke kamarnya. Aku melihat jasad ayahnya Ana yang terbujur kaku. Sosok yang mungkin selama ini menjadi penguat Ana, karena hanya ayahnya yang ia miliki. Ana adalah perempuan yang kuat, dia pintar, dia dulu selalu jadi juara saat SMA, dia juga mendapat beasiswa selama SMA. Kami satu sekolahan tahu Ana bagaimana kehidupannya. Dia adalah siswa berprestasi, dia mendapat beasiswa, dan sampai lulus biaya pendidikannya sudah ditanggung oleh pihak sekolah. Sekarang kuliah pun dia dapat beasiswa, mungkin sampai dia lulus kuliah kalau bisa mempertahankan IPK-nya.

Waktu dulu SMA adalah ketua OSIS, aktif di Pramuka juga, dan aktif di Ekstrakurikuler PMR. Malah Ana adalah ketua PMR. Sedangkan aku? Dulu aku adalah siswa terkenal karena kenakalannya, tapi karena basket juga aku menjadi terkenal di sekolahan. Dan sampai sekarang aku masih menyandang anak yang tidak tahu aturan, sering ugal-ugalan di jalan, ikut geng motor dari SMA sampai sekarang.

Kalau aku di sini, pasti banyak teman yang curiga, apalagi teman kuliahku dengan Ana kebanyakan teman SMA dulu yang juga kenal Ana. Kalau mereka melihat aku, mama, dan papa di sini, semua pasti akan curiga kalau aku ini pelakunya. Aku bilang pada teman-temanku kalau aku menabrak orang, juga dengan Astrid, aku sudah terlanjur bilang itu. Kalau mereka lihat aku di sini dengan mama dan papa, pasti mereka akan curiga denganku. Untung saja Ana tahu keadaan, dia memintaku untuk tidak usah ke sini sampai acara pemakaman selesai.

Tiga

Ana baru saja pulang dari pemakaman ayahnya. Benar sesuai prediksi Ana, teman-temannya pada datang untuk melayat. Meski hanya teman yang dekat dengan Ana saja yang datang, itu juga akan jadi  masalah kalau ada Andra dan orang tua Andra di rumah Ana. Untung orang tua Andra juga belum ke rumah Ana, juga Andra belum nampak datang. Mungkin Andra dan orang tuanya akan ke rumah Ana sore hari.

Rumah Ana sudah mulai sepi. Pelayat paling juga tetangga yang masih membantu untuk acara pengajian nanti malam. Tidak mungkin ada teman Ana yang datang lagi karena hari makin petang. Sari sahabat Ana, dan Farzan laki-laki yang suka dengan Ana pun sudah pulang, mereka ada urusan masing-masing, jadi tidak bisa lama-lama di rumah Ana.

Mama dan papanya Andra kembali ke rumah Ana, tapi Andra belum juga datang. Padahal mama dan papanya Andra, mewanti-wanti untuk datang tepat waktu, karena habis isya akan diadakan pengajian.

“Ana, mama dan papa sudah memutuskan, satu minggu setelah selesai acara pengajian untuk kirim doa ayahmu, kamu dan Andra harus segera menikah sah sesuai hukum. Mama dan papa minta syarat-syarat dari kamu, ya? Untuk kelengkapan persyaratan nikah,” ucap Bu Diana, yang sekarang ada di kamar Ana.

“Iya, Ma,” jawab Ana pasrah.

Ana tidak tahu lagi harus bagaimana, itu adalah permintaan terakhir ayahnya. Mau tidak mau dia harus memenuhi permintaan ayahnya itu, meski dia harus menikah dengan laki-laki yang sudah mengambil nyawa ayahnya.

“Haruskah seperti ini nasibku, Tuhan?” batin Ana.

Andra masih nongkrong di basecamp black moon dengan teman-temannya. Andra dari tadi hanya diam saja, dia masih memikirkan status barunya yang sekarang sudah menjadi suami dari Ana. Padahal dia sangat mencintai Astrid. Sudah banyak rencana yang ia susun dengan Astrid. Dari kelas satu SMA mereka pacaran, tentu sudah banyak sekali harapan yang digantung, untuk diwujudkan jika sudah waktunya.

“Kenapa bro! Ngelamun saja!” Yuda menepuk bahu Andra yang sedang melamun.

“Gue bingung,” jawab Andra.

“Bingung kenapa?” tanya Farzan.

“Kenapa gue semalam bisa gak lihat bapak itu nyalain sein, gue hanya fokus ke Astrid, mau jemput Astrid, soalnya gue udah telat banget jemput dianya,” jawab Andra.

“Udah dong, jangan gitu, namanya apes kan gak ada di kalender, Ndra? Lagian lo udah tanggung jawab sama pihak keluarga, kan?” tanya Yuda.

“Udah bro, gue udah tanggung jawab semuanya. Sama pihak kepolisian juga udah beres, tapi sepeda motor gue masih di sana sih, ini gue pakai sepeda motor Bang Indra. Dia belum tahu lagi kalau gue habis nabrak orang, kalau abang gue tahu, bakalan kena omel gue, yang ada gue gak diizinin gabung di sini, dan dia akan balik ke sini ngawasin gue,” jelas Andra.

Indra adalah kakak Andra. Andra dua bersaudara. Indra hidup di Paris. Dia sekarang sudah betah menetap di sana, apalagi dia sudah menjadi fotografer terkenal di sana, ditambah mengurus perusahaan papanya yang ada di sana.

“Ya lo jangan bilang dong?” ucap Yuda.

“Nanti kalau mama bilang gimana? Mama gue kan ember, apalagi Bang Indra anak kesayangan mama,” ucap Andra.

“Oh ya, tadi gue habis ngelayat sama Yuda, lo masih kenal Ana, kan? Teman SMA kita dulu, yang ketua OSIS itu?” tanya Farzan.

“Iyalah tahu, orang kita sekampus juga? Sekelas juga, kan?” jawab Andra.

“Oh iya, gue lupa. Dia ayahnya meninggal, katanya ditabrak sama anak remaja bilangnya, ya tapi orangnya tanggung jawab sih,” ucap Farzan.

“Hmm ... begitu? Terus apa urusannya denganku?” tanya Andra.

“Ya tadi gue mau ajak lo, lo malah lagi sama Astrid. Ya gue gak jadi ajak lo, pasti Astrid gak ngebolehin lah kamu melayat orang tua Ana.  Mereka dulu kan penah bermasalah?” ucap Farzan.

“Masalahnya itu sumbernya dari elo, bro! Lo sih nolak Ivanka mulu, kan jadinya Ana yang jadi sasaran mereka? Lo malah ngejarnya Ana!” ucap Yuda.

“Iya, lo biang keroknya!” tukas Andra.

“Ya mau gimana lagi, gue gak cinta sama Ivanka, ya sampai sekarang dia masih ngejar gue, tapi tetap dong Ana yang utama. Sebelum janur kunir melengkung, Ana masih bebas dimiliki siapa pun, dan dikejar oleh pria mana pun. Sumpah gue jatuh cinta banget sama dia, gue rela ikutan anggota OSIS demi ingin sering dengan dia, gue dulu ikut PMR ya demi untuk dekat dengan dia, sampai dia kuliah di mana, gue kintilin dia, dan sampai sekarang gue belum bisa memiliki Ana. Gak tahu itu cewek susah banget ditaklukinnya!” ucap Farzan.

“Gue suaminya, dodol! Lo mau naklukin dia, langkahi dulu mayatku!” umpat Andra dalam hati.

Andra tahu dari dulu Farzan begitu ingin mendapatkan Ana. Tapi Ana selalu menghindar, dan menolah Farzan. Dia hanya menganggap Farzan hanya sebatas teman, tidak lebih dari itu.

^^^

Andra melihat Astrid datang dengan Rico dan Beni, teman Andra juga, satu kampus juga, tapi Beni dan Rico beda jurusan. Andra tidak tahu sampai kuliah saja dia seperti janjian dengan temannya, di satu universitas yang sama.

Astrid langsung mendekati Andra dan bergelayut manja dengannya. “Sayang ... kamu kenapa? Kok murung gitu? Sudah dong jangan dipikirin, kan kamu sudah tanggung jawab semuanya, Baby ....” Astrid mengusap pipi Andra lalu menciumnya. Dia pulang dari rumah Ivanka langsung menghampiri Andra ke Basecamp, dia tahu pasti Andra masih ada di basecamp.

“Ini kamu itu benar, nabrak orang sampai meninggal, Ndra?” tanya Rico.

“Iya, Ric,” jawabnya.

“Eh ngomong-ngomong katanya teman kamu juga ada yang ayahnya meninggal karena tertabrak semalam, Zan? Itu Ana mantan ketua OSIS dulu waktu SMA?” tanya Beni.

“Iya, ayahnya Ana meninggal. Karena tertabrak orang yang gugup mau jemput istrinya di stasiun. Ya begitu kata Ana, tadi aku sama Sari terus Yuda baru saja ke sana, kasihan sekali, dia sudah tidak punya siapa-siapa, tapi katanya nanti mau ikut tinggal sama budhe atau tantenya, gak  mungkin dia sendirian,” jelas Farzan.

“Iya, dia kasihan, Cuma punya ayah saja katanya. Ayahnya ojol, eh ramah sekali ayahnya, baik lagi? Aku pernah lho pas sepeda motorku mogok, aku diboncengin sampai sekolahan, dia  bilang anaknya sekolah di sekolah yangh sama juga denganku, namanya Ana, ketua OSIS. Ternyata gak jamin ya? Orang mampu yang kayak kita, sekolah yang penting berangkat, kuliah ya yang penting absen, ikut kelas, tugas serahin saja sama orang lain. Ana yang ayahnya hanya ojol dia dapat beasiswa, pintar, dulu ketua OSIS pula? Sampai sekarang dia kuliah masih dapat beasiswa,” puji Rico.

“Ya memang dunia itu kebalik, Ric! Kayak otak lo!” seloroh Farzan.

“Lo aja dulu jadi anggota OSIS gadungan kan? Hanya ingin dekat dengan Ana? Tapi zonk sampai sekarang!” kelakar Beni.

“Ya buat pencitraan saja sih,” ujar Farzan.

“Eh, Ndra, lo bukan yang nabrak ayahnya si Ana, kan?” tanya Rico.

“Ya bukan, lah!” tukas Andra tapi wajanya terlihat ketakutan, mengingat kejadian semalam.

“Ya kali saja, kan kejadiannya semalam?” ujar Rico.

“Kalau dia yang nabrak, udah geger pastinya. Pasti Ana nuntut lah!” ujar Farzan.

“Bukan, aku nabrak bapak-bapak yang mau menyabrang kok, dia itu sebatangkara hidupnya. Anak tidak punya, istri sudah meninggal lama kata tetangganya. Tapi, sudah selesai sih urusannya. Ya tetap saja aku masih kepikiran semalam, aku takut, aku ini sudah bunuh orang secara tidak sengaja, Bro!” ucap Andra dengan mata berkaca-kaca, mengingat kejadian semalam saat menabrak ayahnya Ana.

“Sudah, Beib ... jangan dipikir terus, yang penting semua sudah beres, dan ingat jangan kebut-kebutan lagi kalau naik motor?” ucap Astrid.

“Iya, Bro. Naik motornya hati-hati. Lo semalam pasti minum juga, kan?” ujar Rico.

“Kalau gak minum ya gak enak, bro. Habis ngumpul sama anak-anak.” jawab Andra. “Sudah yuk pulang, aku pasti sudah ditunggu mama dan papa, mau pergi ke acara pengajian orang yang semalam aku tabrak, katanya akan diadakan pengajian tiga atau tujuh hari gitu,” ucap Andra.

“Ya sudah, cabut yuk! Jangan galau gini ah,” ucap Beni.

“Iya, iya ... sorry ya gue lagi gak keruan banget pikirannya,” ucap Andra. “Ayo Sayang pulang,” ajak Andra pada Astrid, lalu merangkul tubuh Astrid.

Andra tidak tahu hari berikutnya bagaimana, setelah Ana tinggal di rumahnya, dan setelah pernikahan mereka diresmikan oleh hukum satu minggu lagi.

“Astrid ... aku udah nikahin perempuan lain, Sayang ... maafkan aku. Aku ini yang membunuh ayahnya Ana. Aku harus bertanggung jawab untuk menikahi Ana, dan sebentar lagi, pernikahanku akan disahkan oleh hukum, Sayang,” batin Andra dengan merangkul Astrid.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!