NovelToon NovelToon

Kenapa Menikahiku, Gus?

bab 1

Bab 1

"Congraduation!" Hari ini adalah hari paling menggembirakan untuk seluruh siswa SMA kelas tiga yang ada di tanah air. Hari ini adalah hari pengumuman kelulusan untuk jenjang sekolah menengah atas.

Yap! Aku adalah salah satu siswa kelas tiga yang dinyatakan lulus pada hari ini. Setelah menerima hasil ujian, aku langsung pergi mengikuti konvoi kelulusan yang dilakukan oleh siswa-siswi di sekolahku.

Seragamku sudah penuh dengan coretan pilok sebagai perayaan kelulusan. Jalanan di kota tempatku tinggal pun juga ramai dengan para siswa yang tengah ber-euforia menyambut kelulusan.

Hari ini benar-benar hari yang istimewa. Sebentar lagi aku akan memasuki dunia orang dewasa. Sebentar lagi, aku akan mengarungi dunia yang sebenarnya.

"Nggak kerasa ya, Arin? Akhirnya kamu lulus juga!" gumamku pada diriku sendiri.

Semua orang pasti pernah melewati masa ini, kan? Ada kebanggaan tersendiri dalam diri kita masing-masing, setelah kita berhasil menyelesaikan pendidikan. Apalagi aku udah duduk di bangku sekolah selama lebih dari dua belas tahun.

"Arin? Kamu mau langsung pulang?" tanya Wirda usai aku dan teman-temanku selesai mengikuti konvoi.

"Iya, nih! Udah mau sore! Aku pulang duluan, ya?" pamitku pada Wirda dan juga teman-temanku yang lain.

Meskipun agak sedih rasanya, sebentar lagi aku akan berpisah dari teman-teman dan nyamannya bangku sekolahan, tapi aku juga tidak sabar menyambut masa mudaku sebagai orang dewasa yang sudah berusia delapan belas tahun.

"Aku ganti baju dulu, deh! Bisa-bisa aku dimarahin sama Ibu kalau pulang pakai baju yang udah dicoret-coret begini," gumamku segera berganti pakaian dan bergegas pulang ke rumah.

Aku pun memulai perjalanan pulang ke rumah dengan santai. Suasana hatiku juga lagi bagus banget hari ini. Nggak ada salahnya juga kalau aku jalan-jalan sebentar sambil cari udara segar.

Tak lama kemudian, aku pun sampai di rumah dan dikejutkan dengan suasana riuh di kediaman kedua orang tuaku. Kayaknya lagi ada tamu.

Mendingan aku masuk lewat pintu belakang aja deh. Tapi sayangnya aku udah keduluan kepergok sama ibuku.

"Arin! Akhirnya kamu pulang juga!" ucap ibuku sembari menarikku menuju ke suatu tempat.

"Aku mau dibawa ke mana, Bu?"

"Udah sini ikut aja!"

Ternyata ibuku membawaku ke ruang tamu. Buat apa juga ibuku bawa-bawa aku ke hadapan tamu? Aku aja nggak tahu siapa tamu yang datang. Nggak mungkin kan itu tamu buat aku?

"Ngapain Ibu bawa aku ke sini?" bisikku pada ibuku.

Begitu muncul di ruang tamu, aku mengamati beberapa orang yang duduk bersama dengan bapakku. Aku sama sekali nggak kenal sama tamu-tamu yang datang sekarang. Kayaknya mereka juga bukan kerabat deh. Apa mungkin mereka teman Bapak sama Ibu?

"Ini yang namanya Arin, Ustadz!" ucap ibuku pada pria paruh baya yang dipanggil ustadz.

Siapa sih sebenarnya mereka? Bapak ini ternyata Pak Ustadz? Buat apa juga Bapak sama Ibu bawa-bawa ustadz kemari? Aku kan udah nggak sekolah. Mana mungkin aku mau dimasukin ke pesantren? Atau mungkin aku mau disuruh rukyah?

Kepalaku mulai penuh dengan berbagai macam pertanyaan mengenai maksud dan tujuan para tamu yang hadir di rumah kedua orang tuaku saat ini.

"Oh ini yang namanya Arin? Cantik sekali!" puji seorang wanita paruh baya dengan hijab besar.

Mungkin aja ibu-ibu itu istrinya ustadz? Selain ada Pak Ustadz sama ibu-ibu berhijab besar, mataku juga tertuju pada seorang pria muda yang duduk di tengah-tengah para tamu. Mungkin aja mas-mas itu anaknya?

"Arin, kasih salam dulu ke Ustadz Wahab sama Nyai Rosyidah!" perintah ibuku padaku.

Nggak mungkin aku menolak ibuku di depan para tamu. Aku pun melempar senyum pada semua tamu dan mengucapkan salam sekenanya.

"Arin, yang itu namanya Huda. Cepat kamu sapa juga dia!" ujar ibuku sembari menunjuk pria muda yang membuatku penasaran sejak tadi.

"Arin, ini putra kami. Namanya Huda," ucap Nyai Rosyidah ikut memperkenalkan putranya pada Arin.

Aku makin bingung sama semua ini. Sebenarnya ini ada acara apa, sih? Kenapa aku tiba-tiba dikenalin sama banyak orang begini?

"Assalamualaikum, Arin!" sapa Huda padaku.

Walaupun masih bingung, tapi aku tetap menjawab sapaan dari pria bernama Huda itu dengan sopan. "Wa'alaikumsalam!" jawabku singkat.

Ibuku pun memintaku duduk di sampingnya dan ikut mendengarkan perbincangan para orang dewasa di ruangan tersebut. Awalnya aku masih tak mengerti maksud dan tujuan pertemuan ini. Tapi lambat laun, aku mulai memahami niat kedatangan para tamu asing yang tidak aku kenali ini.

"Jadi, ini putri kami yang bernama Arin, yang sudah kami ceritakan tadi. Kebetulan, Arin baru saja lulus sekolah," ucap bapakku pada sang tamu.

"Bagus kalau Nak Arin sudah menyelesaikan pendidikan di bangku sekolah," komentar Ustadz Wahab.

"Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, maksud kedatangan kami ke sini bersama dengan putra kami, kami ingin bersilaturahmi sekaligus memperkenalkan putra kami pada keluarga Pak Agung. Kami datang kemari dengan niat baik, dan bermaksud untuk meminang putri Pak Agung untuk putra kami, Huda."

bab 2

Jderrrr! Perkataan Ustadz Wahab membuatku mematung seketika. Nggak ada angin, gak ada hujan, tiba-tiba saja orang-orang yang tidak aku kenal ini datang dan berkata bahwa mereka ingin melamarku.

Kedua orang tuaku menampakkan senyum sumringah usai mendengar perkataan Ustadz Wahab. Sepertinya hanya aku saja yang tidak bahagia di ruangan ini.

"S-saya permisi ke toilet dulu!" ucapku segera bangkit dari bangku dan meninggalkan ruang tamu.

Otakku sudah kacau. Baru pulang ngerayain kelulusan, kenapa tiba-tiba aku dapat lamaran? Ditambah lagi, aku dilamar oleh pria yang tidak aku kenal.

"Arin! Kamu mau ke mana?" omel ibuku yang ternyata menyusulku ke belakang.

Aku membutuhkan waktu untuk menenangkan pikiran sejenak. Lamaran yang datang pada hari ini benar-benar membuatku shock, sampai aku tidak tahu harus berkata apa untuk memberikan tanggapan.

"Aku beneran nggak ngerti deh, Bu! Maksud mereka apa datang ke sini? Mereka mau meminang siapa? Mereka mau ngelamar siapa?" tanyaku pada ibuku.

"Anak gadis di rumah ini kan cuma kamu, Arin! Tentu aja Ustadz Wahab bahwa putranya ke sini buat lamar kamu," timpal ibuku.

"Tapi Arin masih terlalu muda, Bu! Arin juga baru aja lulus hari ini! Ibu pengen aku cepat-cepat nikah?" tanyaku tak habis pikir dengan sikap orang tuaku yang justru mendukung anaknya untuk menikah muda.

"Memang apa salahnya? Kamu memang masih muda, tapi kamu sudah pantas menikah, Arin. Dan asal kamu tahu, keluarga Ustadz Wahab itu keluarga baik-baik. Mereka keluarga terpandang. Dan sudah pasti, Huda itu pria yang baik dan calon suami idaman," sahut ibuku.

Mataku mulai memerah menahan amarah. "Pokoknya aku nggak mau nikah! Aku nggak kenal sama cowok yang namanya Huda itu! Aku nggak mau nikah, Bu! Aku masih pengen nikmatin masa muda aku! Aku pengen cari sendiri orang yang aku cinta yang pengen aku nikahi suatu hari nanti! Aku masih pengen melihat dunia! Aku masih pengen bebas! Aku nggak mau terikat sama pernikahan sekarang!"

Aku dan ibuku mulai terlibat pertikaian kecil. Aku menolak mentah-mentah lamaran tersebut, sementara ibuku mencoba memberikan pengertian agar aku mau menerima pinangan orang asing itu.

"Kamu jangan buru-buru nolak! Setelah kamu kenal sama Huda, Ibu yakin kamu pasti akan suka!" sahut ibuku.

Penolakan diriku sama sekali tidak didengar oleh ibuku. Sepertinya kedua orang tuaku sudah terlanjur senang mendapatkan lamaran dari putra seorang ustad dari keluarga terpandang.

"Aku nggak mau, Bu! Suruh mereka pulang sekarang! Aku nggak mau nikah, apalagi sama orang yang gak aku kenal!" tegasku pada ibuku.

Tapi ternyata penolakanku tidak berpengaruh sama sekali pada keputusan kedua orang tuaku. Sepertinya ayah dan ibuku sudah sepakat untuk menerima lamaran tersebut meskipun aku menolak.

"Sini ikut dulu ke depan! Kamu kan belum kenal sama Huda! Nggak ada salahnya kamu coba kenalan dulu sama dia, kan? Kalau memang kalian nggak cocok, ibu nggak akan memaksa," ujar ibuku.

Aku pun kembali diseret menuju ke ruang tamu untuk mendengarkan hasil perbincangan antara keluargaku, dengan keluarga pemuda bernama Huda itu. Dan benar saja. Kedua orang tuaku dan kedua orang tua Huda sudah menyetujui lamaran ini. Mereka sudah sepakat untuk menikahkan kami.

Baru aja aku mau menikmati hidup di masa-masa muda yang indah, tiba-tiba saja aku langsung dihadapkan dengan desakan untuk menikah.

"Terima kasih banyak atas niat baik dari keluarga Bapak yang ingin meminang putri kami. Untuk ke depannya, kami akan menyerahkan semuanya pada Arin dan juga Huda. Mereka pasti butuh waktu untuk saling mengenal sebelum naik ke pelaminan, kan?" cetus bapakku dengan wajah sumringah.

Rasanya pengen banget aku teriak dan bilang ke Bapak kalau aku nggak mau menikah. Tapi di depan banyak orang seperti ini, nggak mungkin aku berani teriak-teriak seperti itu di depan Bapak dan bikin kedua orang tuaku malu.

"Alhamdulillah! Terima kasih banyak atas kesempatannya, Pak Agung. Kami juga akan membantu dan mendukung Huda serta Arin untuk saling mengenal terlebih dahulu sebelum merencanakan pernikahan," sahut Ustadz Wahab.

Kedua keluarga nampak puas dan senang dengan hasil keputusan yang telah mereka buat, kecuali aku. Pokoknya aku harus cari cara buat bikin keluarga ustad Wahab nggak suka sama aku!

*****

bab 3

Aku duduk termenung sembari memandangi ponsel dengan tatapan kosong. Bayangan wajah pemuda bernama Huda masih terngiang-ngiang di kepalaku.

Rasanya masih syok. Terkejut. Kaget. Pokoknya campur aduk, sampai bikin aku nggak bisa fokus.

"Mendingan aku pergi aja deh dari rumah! Suntuk banget!" Aku segera menghubungi sahabatku Wirda, dan mengajak temanku itu untuk bertemu. Disaat-saat seperti ini, pada siapa lagi aku bisa berkeluh kesah kalau bukan pada teman baikku, Wirda?

"Wirda, kamu sibuk, nggak? Aku ke rumah kamu sekarang, ya?" ujarku pada Wirda melalui sambungan telepon.

"Kamu mau ke rumah sekarang? Boleh-boleh aja!" sahut Wirda.

"Aku ke sana sekarang!"

Tak lama kemudian, akhirnya aku pun tiba di rumah Wirda dan berjumpa dengan teman baikku itu. Aku dan Wirda pun segera mencari tempat yang nyaman untuk berbincang bersama dan mencurahkan isi hatiku mengenai lamaran yang baru saja datang untukku.

"Aku hari ini lagi kesel banget, deh!" ucapku pada Wirda. "Harusnya hari ini jadi hari yang paling nyenengin buat kita. Tapi Bapak sama Ibu aku justru bikin aku kesel!"

"Kesal kenapa sih?"

"Kalau kamu dengar ini, kamu pasti bakal kaget banget sih!" sahutku.

Nampaknya Wirda mulai penasaran usai mendengar perkataanku. "Ada apa, sih? Bukan kabar buruk, kan?"

"Kamu tahu nggak, tadi aku ...."

"Aku apa?" tanya Wirda mulai tidak sabaran.

Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum mengungkapkan berita mencengangkan pada Wirda. "Aku ... DILAMAR!"

Wirda membelakakan mata. Wajar aja sih kalau dia kaget. Aku sendiri aja kaget.

"Dilamar? Dilamar apa maksudnya? Dilamar sama siapa? Kamu punya pacar? Sejak kapan kamu punya calon suami?" tanya Wirda beruntun padaku.

"Aku juga nggak kenal sama orangnya. Waktu aku pulang, tiba-tiba di rumah udah rame. Dan tahu-tahu ada cowok namanya Huda ngelamar aku. Padahal aku nggak kenal sama dia. Aku nggak tahu siapa dia. Tiba-tiba dia datang ke rumah dan minta aku buat jadi istrinya," jelasku pada Wirda.

Wirda manggut-manggut dan mendengarkan ceritaku sampai akhir. Dilihat dari ekspresi Wilda, tampaknya Wirda juga prihatin sama nasibku sekarang ini.

"Aku beneran nggak tahu harus ngapain. Aku beneran kaget banget. Aku juga pengen nolak dan udah bilang ke Ibu aku kalau aku nggak mau nikah sama orang itu. Tapi Ibu aku nggak mau dengar. Sekarang kedua orang tua aku udah nerima lamaran mereka. Dan mereka minta aku buat mulai kenalan sama cowok yang namanya Huda itu," ujarku.

"Jadi kamu tanpa tahu apa pun, tiba-tiba dilamar gitu aja sama cowok yang namanya Huda itu?"

Aku menganggukkan kepala. "Ibu terus membujuk aku buat nerima lamarannya. Kata Ibu, mereka dari keluarga terpandang. Dan ayahnya Huda ini dipanggil ustadz sama Bapak aku. Dengar-denger sih, beliau punya pondok pesantren," ungkapku.

"Jadi kamu mau dinikahin sama anak ustadz?"

Aku hanya diam sembari menghela napas pasrah. "Jangan ngomong gitu, deh! Aku nggak bilang kalau aku mau nikah sama cowok itu! Sekarang mungkin aku nggak bisa bilang apa-apa ke orang tua aku. Tapi aku bakal cari cara buat gagalin lamaran ini!" ucapku dengan penuh semangat.

"Kamu beneran nggak mau nyoba ngenal cowok itu dulu?" tanya Wirda.

"Nggak perlu! Aku nggak mau nikah sama dia! Pokoknya aku pengen pernikahan ini gagal!"

*****

"Wirda!" Aku melambaikan tangan pada Wirda begitu temanku itu keluar dari rumah dan menghampiriku.

Hari ini, aku berencana untuk menyambangi tempat tinggal Huda. Tujuan utamanya, tentu saja untuk membujuk pria agar merubah pikirannya. Ada banyak wanita Sholihah yang pantas bersanding dengannya dari pada aku. Kenapa pulak dia harus memilihku. Kan aneh. Berhubung aku tidak mau menemui Huda sendirian, jadi aku mengajak Wirda untuk mencari Huda di pondok pesantren tersebut. Aku sendiri juga nggak tahu di mana tempatnya pondok pesantren itu berada.

"Kita pergi sekarang?"

"Iya dong, nggak mungkin besok kan, kalau aku udah ada di sini sekarang!" ucapku pada Wirda."lucu banget deh kamu Wirda." gemasku mencubit pipi gembulnya.

Wirda melempar senyum tipis padaku. "Aaaww,, sakit, Arin. Mau ngapain sih ke sana?"

"Hiihh, penasaran, ya kamu?" Godaku menunjuk wajahnya."Kan udah kubilang semalam, aku mau menggagalkan lamaran ini. Aku nggak mau nikah sama dia. Jadi, aku mau nemui dia untuk memprotes."

Wirda menatapku aneh sambil menggeleng, hmm, cukup cantik juga dia Hari ini. Enggak biasanya, apa dia dandan ya?

Aku dan Wirda pun memulai perjalanan kami menuju ke pondok pesantren milik keluarga Ustadz Wahab. Jalan yang kami lalui menuju ke pondok pesantren itu pun cukup berliku. Ada banyak tanjakan dan turunan, ditambah lagi bangunan pondok juga berada di pelosok desa. Hal ini pun membuatku semakin yakin untuk membatalkan pernikahan dengan Huda. Pokoknya aku nggak mau nikah sama cowok itu, apalagi sampai balik lagi ke pondok pesantren ini!

"Pondoknya jauh banget sih!" gerutuku kesal sembari menyeka keringat yang sudah mengucur di dahiku.

"Jalannya juga jelek banget lagi!" omelku tak henti-hentinya menggerutu sepanjang perjalanan menuju ke pondok pesantren.

Wirda hanya tersenyum dan membiarkanku mengomel sesuka hati. Setelah melewati perjalanan yang panjang, akhirnya kami pun sampai juga di wilayah pesantren keluarga Ustadz Wahab.

"Di sini kan ya tempatnya?" gumamku sembari celingukan mencari putra Ustadz Wahab.

"Kamu yakin di sini tempatnya? Kita coba tanya sama anak-anak di sini gimana?" saran Wirda.

Aku menghampiri salah seorang santri yang kebetulan berpapasan denganku. "Dek, tunggu sebentar!"

"Kamu tahu orang yang namanya Huda nggak? Anaknya Ustadz Wahab? Orangnya ada di sini nggak?" tanyaku pada salah satu santri.

Santri dengan hijab besar itu menatapku dengan tatapan yang membuatku risih. Apa yang salah sama aku? Aku cuma nanya di mana Huda, tapi kenapa dia lihatin aku gitu banget?

"Maaf, Kak. Saya nggak tahu."

Tak hanya bertanya pada satu santri, aku kembali menghentikan santri-santri lain yang berjalan melewatiku untuk bertanya tentang Huda. Tapi anehnya, kenapa nggak ada satu pun dari mereka yang tahu?

"Sial! Mana sih cowok itu? Dari tadi nggak nongol-nongol!" umpatku mulai jengkel karena tak juga berhasil berjumpa dengan Huda.

"Sabar, Arin. Kita coba tunggu di pondok aja gimana?" ajak Wirda padaku.

Meskipun sejak tadi aku terus mengomel, menggerutu dan mengumpat, tapi Wirda hanya diam dan tidak banyak mengoceh seperti aku yang tidak sabaran ini. Untung aja ada Wirda yang nemenin aku. Jadi aku nggak mencak-mencak sendirian kayak orang gila di lingkungan pesantren seperti sekarang ini.

"Ya udah, deh! Kita ke pondok aja!"

Aku dan Wirda pun duduk di teras pondok sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling area pesantren itu. Siapa tahu sebentar lagi Huda lewat sini.

Sejak tadi, aku merasa seperti ada yang memperhatikan. Setiap kali aku menatap seorang santri, santri tersebut pasti melihatku dengan tatapan yang tidak menyenangkan. Apa mungkin karena aku nggak pakai hijab? Secara, semua perempuan di lingkungan pesantren ini pasti pakai hijab. Apa mungkin mereka nggak suka sama baju yang aku pakai? Saat ini aku cuma pakai kaos sama celana jeans yang sobek di bagian lutut.

Tapi aku nggak peduli, sih. Terserah kalau mereka mau lihatin aku. Aku juga nggak gangguin mereka.

Tapi kayaknya Wirda yang risih dilihatin mulu. Apalagi aku sama Wirda duduk di teras pondok cukup lama. Mungkin orang-orang pesantren bingung melihat orang asing yang duduk di wilayah pesantren tanpa ngapa-ngapain dari tadi.

"Duh lama banget sih!" omelku mulai tidak sabar menunggu Huda muncul.

Tak lama kemudian, akhirnya orang yang aku tunggu-tunggu pun menampakan batang hidung. "Itu dia orangnya!" gerutuku sembari menatap Huda dengan wajah kesal.

Aku sudah siap untuk melancarkan aksi protes! Gara-gara Huda, aku harus melewati perjalanan yang tidak menyenangkan selama menuju ke pondok pesantren.

****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!