NovelToon NovelToon

SCANDAL KENCAN SEMALAM

MENJUAL DIRI

"Baik, Tuan. Semoga kerjasama kita berjalan dengan baik."

Pria berambut hitam itu menyambut uluran tangan di hadapannya.  Menatap lekat, sambil menunjukkan senyum tipis, "Sama-sama."

"Tuan Leon, bagaimana jika kita minum di bar saya untuk merayakan kerjasama ini?" sang partner bisnis kembali berucap setelah jabatan tangan mereka terlepas.

"Tentu," jawabnya yang memicu senyum lebar orang itu.

Leon Victor Januartha, umur 27 tahun. Seorang putra sulung pemilik J Corp, perusahaan asal Amerika Serikat yang memproduksi dan menjual perangkat keras dan perangkat lunak komputer, yang memiliki cabang yang tersebar di banyak negara.

Milyader muda itu terlahir di dalam keluarga yang harmonis dan tidak pernah kekurangan apapun sejak kecil. Di samping kemampuan bisnis yang luar biasa, dia adalah seorang yang sering di berita.

Namun.

Temperamennya itu, ya dia juga terkenal. Karena memiliki temperamen yang buruk.

Dia hobi bermain dengan wanita, dan tidak pernah mempunyai hubungan yang stabil. Dia juga menderita Disleksia, sering mengabaikan orang-orang di sekitarnya, dan berapa rendahnya dia membuat sarkasme.

Prok! Prok!

Saat Leon sudah berada di bar, pria yang menjadi partner bisnisnya bertepuk tangan sebanyak dua kali. Seolah memberi isyarat pada seseorang.

Dan benar saja, tidak berselang lama seorang wanita bergaun merah ketat datang mendekat pada mereka.

"Tuan Leon, saya ingin mengenalkan primadona di bar ini, dia barang baru."

Leon yang baru meneguk minumannya, menoleh ke samping. Tepatnya, ke arah yang ditunjukkan pria itu.

"Jecy, kenalkan. Ini Tuan Leon Januartha, tolong layani dia dengan baik."

Tak ada senyum di wajah wanita itu, meski dikenalkan pada seorang lelaki berparas tampan, bak Dewa Yunani. Tatapannya terlihat tidak hidup.

Hal itu tak luput dari bola mata hazel.

"Kemarin Jecy!" kembali dengan bangga pria itu memperkenalkan wanita yang baru saja dia panggil.

Wanita itu mendekati Leon yang sedang menatapnya intens. Ketika bola mata hazel dan amber bertemu, seketika dia langsung menunduk. Menyembuhkan wajah cantik yang gugup.

"Halo, Tuan. Saya Jecy, merasa beruntung bisa diperkenalkan dengan anda," wanita itu duduk di samping Leon, sambil menyilangkan kedua kakinya canggung.

Jelas sekali, dia adalah pemula. Benar-benar barang baru. Meski begitu, wanita itu memiliki bentuk tubuh yang indah.

"Jecy akan menemani malam anda, Tuan! Saya sudah pilihkan yang terbaik untuk anda!" ucap pria itu dengan senyum puas. Merasa bangga jika dia sudah memberikan yang terbaik untuk CEO J Crop, dengan memperkenalkan Jecy.

Leon tersenyum sinis, dia menghargai usaha sang partner bisnis untuk membuatnya senang. Diperhatikannya si wanita dari ujung kaki hingga naik ke atas. Seolah sedang menilai penampilannya.

Rambut cokelat muda yang mungkin terasa lembut jika disentuh oleh jari-jarinya, leher putih yang halus, mata amber yang menatapnya dengan bulu mata lentik, dan ekspresi enggan yang terlihat jelas.

Oh, My Goodness. Kontur wanita itu begitu lugu dan entah mengapa membuat Leon ingin sekali mengatakan bahwa Jecy punya sesuatu yang berbahaya untuk dijadikan senjata menggoda. Untungnya Jecy tidak menyadari potensinya, dia bisa saja membuat Leon salah tingkah hanya dengan sekali kedipan mata.

Sebenarnya wanita itu tidak masuk dalam kriteria Leon, dia orang yang pemilih dan sedikit bersenang-senang juga liar. Sedangkan Jecy seperti tipikal wanita yang hanya menurut tanpa mau diajak keluar dari zona aman. Leon tidak menyukai sifat pasif. Jecy pasti terlalu monoton, hidupnya terlalu mudah untuk dimonopoli. Membosankan.

Namun, kenapa Leon tertarik padanya? Mungkin ini hanya daya tarik seksual karena rasa penasaran pada wanita lugu.

"Masih perawan?" tanya Leon yang membuat wajah wanita itu pucat pasi.

Jecy meremas ujung roknya, menahan emosi dan kegelisahan.

"Kau tuli? Kenapa diam saja?" tanya Leon ketus, "Kalau tuli pergi saja! Saya tidak butuh kau!"

"Y-ya, saya masih perawan, Tuan," jawab Jecy mengigit bibir bawahnya.

Ada sesuatu tentang Jecy yang membuat Leon merasa berbeda. Wanita itu memang cantik. Akan tetapi, dia sudah bertemu yang lebih cantik berkali-kali lipat. Seksi? Ya wanita penghibur itu memang seksi sekali.

Apapun itu, Leon tidak berkedip memandangi tubuh molek Jecy yang duduk di sebelahnya. Dia tidak sabar membawa wanita itu ke atas ranjang. Pria itu ingin bisa leluasa untuk bertindak nakal.

**

Leon membuka dasi dan jas yang dikenakannya, meletakkannya pada sandaran sofa, lalu mendudukkan tubuhnya dengan santai.

Berbeda dengan Jecy yang berdiri kaku dengan kepala yang menunduk, dia benar-benar merasa canggung.

"Duduklah," ujar Leon mempersilakan.

Jecy tersentak mendengar suara berat yang lebih terdengar seperti memerintah. Bulu matanya bergetar cepat. Dengan keraguan, dia menatap Leon yang dengan elegannya menuangkan wine ke dalam gelas.

"Ayo minum dulu," Leon tersenyum tipis dan mengangkat gelas yang sudah terisi cairan berwarna merah keunguan.

Jecy mendudukkan tubuhnya di sofa tepat di depan Leon. Dia menggeleng dan berucap, "Aku tidak minum alkohol, Tuan."

"Berapa umurmu, hmm?" tanya Leon, dan tidak melepas lirikan dari wanita yang duduk di depannya.

"Dua puluh tahun, Tuan."

"Setidaknya kau tidak di bawah umur," kekeh Leon pelan sambil menganggukkan kepala. Menatap gelas anggur, dan meneguknya.

Please, jangan ditanya bagaimana rasa berdebar di dalam dada Jecy. Dentumannya sudah seperti genderang perang. Bahkan, keringat dingin sudah membasahi telapak tangan.

"Untuk apa kau menjual diri? Kurasa kau memiliki alasan lain daripada membutuhkan uang untuk bisa kau hamburkan," entah kenapa Leon merasa penasaran.

"I-itu sebenarnya untuk pengobatan ibu saya."

"Hmm?"

Jecy enggan berbicara lebih, entah malu atau ingin privasi. Namun, lewat tatapan mata hazel intimidasi itu seolah memaksa dia mengaku.

"Ibu saya sedang sakit dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Saya juga memiliki hutang pada rentenir."

Jecy Ketlovly telah kehilangan keberuntungannya selama yang dia ingat. Di antara ibu yang sakit, mendapat ancaman dari rentenir karena hutang yang ditinggalkan ayahnya, dan bos lama yang melecehkannya hingga membuatnya hampir tidak mungkin mendapatkan pekerjaan. Dia benar-benar kehabisan pilihan.

Suatu hal yang harus dia pertaruhkan untuk mendapatkan uang, yakni menjual tubuhnya.

"Tuan," Jecy mengucapkan kata 'tuan' dengan lidah menyentuh atap rongga mulut. Terdengar seperti deshan. "Saya akan menemani malam anda. Saya akan memberikan se-service terbaik."

Heh? Memang apa yang wanita lugu itu tahu tentang service terbaik?

Leon tersenyum dingin, lalu memberi isyarat dengan menepuk pangkuannya, "Kalau begitu, duduklah di sini!"

"A-apa?" gagap Jecy tidak langsung menurut.

"Kenapa? Tidak mau? Bukankah kau sendiri yang ingin memberikan service terbaik? Aku menyuruhmu duduk di pangkuanku saja harusnya sudah terhormat buatmu," dengan Leon sinis.

Jecy benar-benar merasa mati kutu. Tangannya menjadi dingin dan gemetar. Rendah! Ya, dialah yang memilih jalan untuk direndahkan. Meski sebenarnya dia ingin menampar dan menjambak rambut pria mesum itu sampai lepas semuanya. Namun, dia butuh uang.

Hatinya ketakutan dan sedih pada saat bersamaan. Apa harus sedemikian rupa mencari uang untuk kesembuhan ibunya? Dia harus menyerahkan malam pertama dan kesuciannya kepada sang milyader muda.

Perlahan, Jecy beranjak menuju pangkuan si pria berambut hitam tebal. Dia menyelipkan tubuh di antara kedua kaki Leon yang terbuka dan duduk di salah satu paha kokoh itu. Paha mulusnya bergesekan dengan celana hitam yang dikenakan pria itu. Rok yang super mini membuat kakinya ditutup rapat.

"Kenapa diam? Takut? Ingin berubah pikiran dan melarikan diri?" desis Leon.

Haruskah Jecy menjawab jujur? Akan tetapi, kepalanya menggeleng.

"Tenang saja, aku hanya ingin memastikan dari dekat, kalau kau memang cantik. Banyak yang ingin kulakukan padamu malam ini," ucap Leon pongah.

Jari telunjuk Leon menekan bibir merah Jecy. Kini jarak di antara bibir keduanya hanya sekitar sepuluh centimeter saja.

"Sekarang cium aku!"

Batin Jecy bergemuruh. Menolak bukan sesuatu yang bisa dia lakukan, bukan? Ada nasib sang ibu di dalam genggaman tangannya. Oleh karena itu, dia harus kuat.

Pilihannya adalah menyelamatkan keluarga satu-satunya, meski ia harus hancur berantakan. Ini adalah pilihan yang sadar ia buat. Mengikuti kemauan Leon demi uang berlimpah adalah keputusan yang sudah dia setuju.

Benar, begini pun tidak apa. Jika hal ini bisa menyelesaikan segalanya.

_To Be Continued_

KENCAN SEMALAM

Bibir keduanya bertemu, Jecy mencium Leon namun seperti mencium batu. Terasa sangat kaku.

"Apakah ini yang kau sebut mencium?"

Leon menggeram tidak puas. Ayolah, dia tidak meminta sebuah ciuman anak SMA yang seperti gesekan daun! Dia ingin ciuman yang dalam dan bergairah!

Jecy gelagapan, menunduk takut, dua tangannya saling meremas satu sama lain, "Maaf, Tuan."

Leon tidak pernah merasa lemah dalam menghadapi seseorang. Hati besi atau manusia tanpa perasaan adalah julukan yang sudah tersemat dan melekat erat dalam dirinya. Namun, kali ini berbeda. Dia nampak tidak berdaya mendengar permintaan maaf Jecy, itu sangat menggelikan juga mengerikan.

Tangan Leon bergerilya ke tengkuk Jecy, menarik wanita itu hingga bibir mereka kembali bertemu. Dia mencium dengan begitu tiba-tiba. Terasa, pelan, hangat, dan mesra. Seakan mencicipi buah kesukaan dan tidak ingin segera berakhir.

Jantung Jecy seolah melompat tidak karuan. Sama sekali tidak menyangka akan dicium sedemikian hangat oleh Leon dengan segala keangkuhan pria itu.

Selama ciuman Jecy tidak berani membuka mata. Dia tidak tahan menatap ketampanan Leon yang begitu dekat di depannya. Napas sang CEO terdengar menderu, terasa jelas mendesir di pipinya.

Bibir Leon mengait bibir bawah Jecy. Sedikit mengigit dan menarik ke atas, dengan sangat perlahan. Diulangi terus oleh lelaki itu sampai empat kali baru dia kembali mencium keseluruhan bibir sang wanita. Tangannya mendorong tengkuk Jecy hingga tekanan bibir keduanya semakin hebat. Dengan ciuman lebih intens, tanpa jeda.

Di sisi lain, Jecy merasa sulit bernapas. Bukan saja karena rentetan ciuman yang tanpa sela, tapi juga karena hentakkan di dalam jantung yang mulai menikmati ini semua.

Ya, menikmati. Terbuai dalam ciuman yang ternyata rasanya tidak seburuk ia duga. Lupa bagaimana menyeramkannya tatapan intimidasi seorang Leon Januartha.

"Kau sangat manis," bisik Leon ciuman itu tanpa peringatan.

Leon melihat si pemilik wajah cantik secara lebih dekat. Keringat wanita itu terlalu banyak dan rambutnya sedikit berantakan karena ciuman tadi. Dia tak menduga bahwa Jecy malah menampilkan wajah yang begitu menggoda. Bibir merah sampai berubah warna dan basah oleh saliva, apalagi pandangannya yang dibuat seolah penuh kepasrahan. Penyerahan diri.

Astaga, ia hampir berpikir bahwa Jecy mungkin punya pengalaman ranjang yang hebat.

Tiba-tiba Leon merasa gerah, efek yang ditimbulkan dari mencium dan menatap seorang Jecy Ketlovly melebihi keinginannya bercinta dengan wanita lain. Dia sampai harus melepas kancing teratas kemejanya untuk sejenak menghirup udara sebanyak mungkin. Panas, Jecy membuat ruangan AC kamar hotel tidak berguna.

Jecy dapat melihat pancaran nafsu yang tidak ditutup-tutupi di wajah Leon. Pria itu merengkuhnya ke dalam pelukan dan kembali mencium bibirnya. Hingga akhirnya, dia kini terbaring pasrah di atas kasur empuk yang akan menjadi saksi akan kencan semalam mereka.

Jari-jari solid membelai ke rambut cokelat muda yang benar-benar terasa lembut. Dengan posisi Jecy yang berada di bawah kungkungan pria bermata hazel, kini Leon telah siap untuk menikmati tubuh wanita itu dan mencari kenikmatan.

Mulanya, Leon menghirup dalam leher jenjang berkulit putih itu. Dia menyukai wanginya. Seperti Lavender dan Rosemary. Sesekali dia menghembuskan nafas beratnya, yang membuat Jecy mendesah tanpa disadari.

Rasa hangat yang menjalar di salah satu titik sensitifnya itu membuat tubuh Jecy menegang, apalagi saat lidah nakal mulai mengecap rasa kulit mulusnya.

"Tuan!"

Pekikan kecil terdengar kala lidah nakal itu tergantikan oleh gigi Leon yang mulai mengigit pelan dan menghisap kulit leher Jecy yang terasa sedikit manis di mulutnya, hingga tanda merah keunguan mulai muncul di sana.

Leon mengusap tanda yang baru saja dia buat itu, lalu berbisik di telinga sang wanita, "Kau amat sangat cantik, Jecy. Amat sangat cantik, dengan surai rambut cokelat muda yang amat lembut dan mata kuning keemasan yang berkilau indah di bawah cahaya lampu."

Jecy berpikir ia tidak perlu memasukan ke dalam hati rayuan gombal itu. Bahaya kalau ia sampai terjebak di dalamnya, sementara pria itu mungkin hanya asal berbicara. Atau hanya mengutip rayuan gombal yang dimuat di majalah-majalah wanita.

Jecy merasa tubuh Leon semakin menegang dan otot-otot yang seketika menjadi kaku, tapi sejenak kemudian pria itu tampak sudah biasa lagi. Leon menjauhkan diri sedikit sambil menatap dengan wajah keras, ekspresinya sama sekali tak terbaca, sorot matanya suram.

"Buka gaunmu!" suara Leon terdengar berat yang menuntut.

"Jangan, Tuan. Saya malu. Bisakah aku tetap memakai pakaian?" Jecy mencoba nego.

"Ini adalah perintah. Aku mengeluarkan nominal uang yang cukup besar untuk menggemukan kantongmu. Sudah seharusnya kau tidak bernegosiasi denganku. Ya 'kan, Jecy?" sentak Leon memicingkan mata.

Bola mata amber melirik ke bawah, Jecy menahan air mata yang merebak di ujung pelupuk. Dia merasa dirinya terjebak dalam genggaman seorang monster.

Leon justru suka sekali melihat ketidakberdayaan Jecy. Menghadirkan rasa debar tidak ada henti. Dia menggeser tubuhnya agar sedikit berjauhan dari wanita itu, memberi ruang untuk Jecy yang mulai membuka gaunnya dan menyisakan pakaian dalamnya saja.

"Buka semua!" perintah Leon lagi.

Jecy meneguk saliva berat. Dia kembali menurut melakukan apa yang diminta. Tangannya mulai bergerak melucuti sisa kain terakhir.

Desah ringan terluncur dari mulut Leon ketika ia menjelajahi seluruh tubuh Jecy dengan tatapannya, membuat wanita itu merasa dilecehkan oleh tatapan cabul penuh hasrat dan kekaguman dari si pemilik mata hazel.

Leon bertanya-tanya dalam kekaguman. Kenapa semua yang dimiliki wanita penghibur itu terlihat sungguh menawan? Padahal, dia sama saja dengan puluhan wanita teman tidurnya sebelum ini. Lantas apa yang berbeda? Kenapa Leon berdebar?

Perasaan ini begitu asing untuknya, dan dia benci mendapati sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, bahkan oleh dirinya sendiri.

Malam ini, Leon ingin semua yang ada pada gadis bersurai cokelat muda itu menjadi miliknya seutuhnya.

"Aku tidak menyangka kau akan seindah ini, Jecy," Leon kembali melancarkan rayuan gombal.

Dia melepas satu-persatu sisa kancing kemejanya. Bunyi berdering membuat Jecy melirik, ternyata bunyi ikat pinggang mahal Leon yang telah dilepas. Inilah saatnya pria itu melakukan aksi sesungguhnya.

Dua netra beradu pandang beberapa detik.

Leon kembali merengkuh, menahan kepala cantik sang wanita dan membawanya ke dalam ciuman panas untuk kesekian kalinya. Kini kembali pada posisi semula di mana Leon yang memegang kendali di atas tubuh Jecy. Kedua tangannya bergerak ke bawah. Jari-jemari solid dengan ahli menelusuri tempat yang paling sensitive pada tubuh wanita itu.

"Tuan!" bisik Jecy dengan tak berdaya.

"Panggil aku Leon."

"Le... Leon..."

"Ya, begitu. Gadis pintar, tidakkah kau ingin langsung ke permainan utama? Aku pastikan kau akan menyukainya," geram Leon lagi-lagi dengan rayuannya.

Kedua tangan Jecy mencengkram seprai kuat-kuat saat sesuatu yang berujung tumpul memasukinya, tapi terhalang sesuatu hingga Leon terlihat sedikit kesulitan. Mulutnya ingin menolak namun ini adalah pilihannya sendiri. Rasa sakit yang menjalar, perih dan panas. Jecy mulai menyesali keputusannya ini, dia tidak tahu kalau rasanya akan seperti ini.

"Hentikan, a-aku tidak menyukainya," bisik Jecy tak berdaya.

"Terlambat."

Pria itu bergerak dan langsung mendorong dengan kasar. Ia ingin segera masuk tanpa menunggu pintu tersebut terbuka lebar.

Dan dalam satu hentakan kuat──

"Akh!" Jecy berteriak kencang, dan meronta kesakitan.

Bola mata indahnya terbelalak, bahkan otot-ototnya mendadak lemas. Kukunya yang tidak terlalu panjang, menancap di kulit punggung Leon. Jecy menitihkan air mata. Terisak pilu.

Tiba-tiba dia merasa sebuah usapan lembut di ujung matanya, dan mendapati Leon yang melakukan itu.

Kemudian Leon berbisik pelan, "Tidak apa-apa, tidak apa-apa."

Apanya yang tidak apa-apa? Ini benar-benar luar biasa sakit.

Leon masih menunjukkan wajah dingin dan arogannya, bahkan saat mereka berdua menyatu. Pria itu bersikap seperti tidak merasa bersalah sama sekali, atas apa yang sudah dia lakukan.

Pinggang pria itu bergerak dengan tempo teratur.

"Tuan Leon, hentikan," lirih Jecy disela rasa sakit yang saat ini masih menguasainya. Namun sepertinya pria yang saat ini tengah menindihnya itu tidak terlalu mempedulikan ucapannya, Leon terlalu sibuk dengan urusan yang tengah memasukinya semakin dalam. Dan lebih dalam lagi.

"Haa, Itu sungguh luar biasa..."

"Hiks... berhenti, sakit... keluarkan itu..."

Air mata tak terhenti sambil menoleh ke arah samping, Jecy tidak ingin melihat Leon yang tersenyum puas padanya. Wanita itu menangis dan meronta-ronta. Gerakan kasar yang dilakukan Leon, membuat telinganya terasa berdengung oleh rasa sakit yang menghantam sekujur tubuh.

"Jecy? Bagaimana kau menangis seperti ini? Kita bahkan baru saja memulainya."

Tuhan, Jecy berharap malam ini cepat berlalu.

_To Be Continued_

DIPERMAINKAN TAKDIR

Leon menggeliat karena terkena sinar matahari yang mengintip dari celah tirai jendela, membuat dia menutup kedua mata dengan tangan.

Dia melirik untuk mencari keberadaan wanita yang telah melewatkan malam panas bersamanya, tapi Jecy sudah tidak ada. Hanya ada Leon di kamar hotel ini.

"Ke mana dia?" gumam Leon parau, tubuhnya masih dalam keadaan polos, belum lagi aroma bekas percintaan yang memenuhi kamar.

Mata hazel menemukan bercak berwarna merah, sangat mencolok karena menodai seprai yang berwarna putih gading.

"Wow, dia benar-benar masih perawan," desis Leon lirih.

Tepat ketika pria itu turun dari ranjang untuk memakai kimono tidurnya, suara pintu yang terbuka tidak mengejutkannya.

Leon terlihat sangat santai. Wajahnya berseri-seri, persis diliputi kebahagiaan. Sampai Marvin Peterson──sekretarisnya yang baru saja masuk, mendadak kebingungan.

"Apa ada sesuatu yang istimewa, Tuan?" tanya Marvin, yang terus memandangi Leon dengan penuh keheranan.

Sebelumnya, bahkan dia tidak pernah melihat pria itu seperti ini.

"Hmm? Tidak apa-apa," jawab Leon, lalu melirik arloji mahal miliknya yang tergeletak di atas meja sebelah ranjang yang berantakan, dan dengan santai berucap, "Sudah lewat tiga jam."

Mendengar hal itu, Marvin menghela napas pelan. Dia menyerahkan berkas pada Leon. Karena kelakukan bosnya yang casanova, dia harus mengundur jadwal meeting. Sampai mendapat ocehan dari beberapa pihak.

Tapi sialnya, Leon justru bersikap acuh tak acuh. Seolah tidak memikirkan resiko apa yang akan dihadapi.

Leon meraih berkasnya, dan tiba-tiba memberikan perintah pada sang sekretaris, "Carilah informasi dari wanita yang tidur denganku tadi malam."

"Memang ada apa dengan wanita itu, Tuan? Apa dia membuat kesal──"

"Oh, tidak, tidak, aku ingin bermain dengannya lagi," Leon menggeleng kepalanya dan dengan cepat menyela, dia menyeringai lebar.

Biasanya dia tidak pernah bermain dengan wanita yang sama, tapi untuk banyak alasan Leon ingin mencobanya lagi. Dan dia yakin sekali kalau Jecy pasti akan datang lagi padanya. Lalu mengemis seperti wanita-wanita lainnya.

Karena baginya, kebanyakan dari wanita memandang materi dari seorang pria. Akan ada cinta, jika memiliki uang.

**

Tenaganya habis terkuras tidak tersisa. Jecy meringkuk duduk di bawah shower, menatap air yang kini mengguyur tubuhnya dan jatuh ke lantai di atas kamar mandi.

"Ugh, sakit..."

Erangan tiba-tiba keluar dari mulutnya, namun yang lebih mengejutkan adalah suara yang keluar. Suara yang begitu serak, seperti angin yang bersiul melewati tenggorokan. Dan itu sungguh menyakitkan seperti terbakar.

Mengapa semuanya terasa begitu sakit? Sendi-sendinya seperti berdenyut. Dari pinggang, perut, kaki, dan titik sensitifnya, semuanya terasa sakit seperti segerombolan orang baru saja memukulinya tanpa henti. Rasa sakit menyengat di setiap bagian tubuhnya.

Tidak ada satu tempat yang tidak sakit!

Entahlah, dia sendiri tidak paham kenapa hatinya terasa remuk. Dia teringat kembali pada kejadian malam sebelumnya. Kepedihan seketika mencabik-cabik hatinya.

Jecy mengigit bibir keras-keras. Merasa muak pada dirinya sendiri yang tidak dapat mempertahankan harga diri dan kehormatannya. Dia tidak mempunyai pilihan lain... dia harus menanggungnya. Meski rasa sakit menghunjamnya sampai ke ulu hati.

Setelah ini, bagaimana dia bisa melihat wajah sang ibu lagi?

Bagaimana jika ibunya tahu apa yang telah dia lakukan? Apa dia akan dibenci? Apa ibunya akan kecewakan padanya?

Jecy semakin terisak, menyeka air mata yang terus mengalir. Karena apa yang telah terjadi, benar-benar kesalahan.

Sekujur tubuh yang terasa sakit mulai kedinginan. Dengan susah payah, Jecy berdiri dan mematikan shower. Diraihnya handuk yang terlipat rapi di atas rak.

Mencoba menguatkan diri, wanita itu menarik napas panjang. Lalu dia keluar dari kamar mandi. Dia ingat untuk membereskan urusan kontrasepsi karena semalam Leon mengeluarkan pelepasannya di dalam.

Namun, sebelum minum pil, tepat ketika pintu kamar mandi terbuka, ponsel Jecy berbunyi. Diraihnya ponsel yang menunjukkan notifikasi internet banking masuk. Dengan tangan bergetar dia buka pemberitahuan itu.

Udang sejumlah 2 Milyar telah dikirim ke rekeningnya. Dengan sebuah pesan, "Ini bayaran untuk servismu."

Leon memenuhi janji membayar kencan semalam mereka, bahkan tiga kali lipat dari harga yang ditawarkan mucikari di bar. Apakah Jecy harus merasa senang sekarang? Namun, dia hanya merasa kosong.

Nyatanya bukan manusia yang memainkan peran paling penting di dunia ini, tapi uang.

Drrtt, drrtt. Dering pertanda ada sebuah panggung masuk di ponsel yang masih ia genggam menginterupsi, dan buru-buru Jecy menjawab panggilan itu. Yang ternyata dari rumah sakit, tempat ibunya di rawat.

"Halo? Apa? Baik, saya akan ke sana sekarang!" ucapnya memutus panggilan dengan cepat.

**

Tubuh Jecy gemetar. Terguncang ketika mendapat telepon dari rumah sakit yang memberi kabar kalau kondisi ibunya kembali kritis dan harus segera menjalani operasi.

Bagi Jecy yang hanya memiliki ibunya sebagai keluarga satu-satunya, setelah ayahnya meninggal dua tahun yang lalu karena overdosis minuman keras dan obat-obatan. Sang ibu adalah hidupnya. Dia takut terjadi sesuatu yang buruk pada wanita yang telah melahirkannya itu.

Setelah mengurus pembayaran untuk operasi, yang bisa dilakukan Jecy sekarang hanya duduk dan berdoa untuk kesembuhan ibunya. Kekhawatiran terlihat di mata yang memerah dan banjir air mata.

Sang ibu selalu merasa dirinya sehat. Tidak pernah memikirkan pusing atau nyeri di kepala. Dia kira itu hanya faktor umur. Kenyataannya terdapat tumor yang tumbuh besar di kepala bagian belakang, menekan berbagai syaraf karena sudah berkembang sedemikian ganas.

Jalan satu-satunya adalah melakukan operasi yang sangat beresiko, dan tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Jika sesuatu yang buruk terjadi pada ibunya, maka Jecy tidak sanggup bertahan lagi. dia tidak tahu harus menjalani hidup seperti apa lagi jika sang ibu memutuskan meninggalkannya sekarang.

Jam demi jam berlalu, sampai Jecy tidak tidak sadar diri dan tidur dalam duduk. Dia terbangun saat mendengar pintu terbuka, tepat di mana dokter yang menangani ibunya keluar dari sana.

Jecy tahu dari ekspresi dokter tersebut bahwa bukan kabar baik yang akan dia dengar. Dia bisa mengetahuinya.

Dia terdiri dan kembali meneteskan air mata, berharap ada sesuatu keajaiban yang terjadi. Berharap ekspresi dokter hanya karena lelah saja. Dirinya masih berharap bahwa ibunya akan tetap hidup dan menemaninya di dunia ini, karena Jecy tidak punya siapa-siapa lagi.

"Operasi telah selesai, tapi saya selaku dokter pemimpin di sini ingin menyampaikan bahwa Mrs. Dania telah tiada, beliau..." Dokter tidak bisa meneruskan kalimatnya.

"Tidak! Tidak mungkin! Ibu saya masih hidup, Dok!" pekik Jecy histeris saat mendengar hal yang tidak diinginkan.

Sang dokter diam dan menggelengkan kepala. Dia menatap penuh rasa duka pada wanita yang sedang menerima takdir.

Maka semuanya sudah jelas. Ibunya telah tiada. Dania tidak berhasil melewati operasi.

"Dokter bilang kemungkinan hidup ibuku masih ada! Kenapa kau berbohong padaku? Kenapa dia tidak mau membuka mata? Bangunkan dia! Bangunkan ibuku!" jerit Jecy membahana, membuat seisi lorong menoleh kepadanya dan memandang pilu.

Jecy langsung memasuki ruang operasi, dia ingin memastikan keadaan sang ibu dengan mata kepalanya sendiri.

Langkahnya pelan, kaki dirasa lemas. Dia menghampiri jasad ibunya dan menatap matanya yang terpejam rapat. Tidak ada lagi kehangatan pada telapak tangannya yang biasa menyentuh pipi Jecy dengan lembut dan penuh kasih sayang.

"Ibu tidak boleh mati sebelum aku mati! Jangan mati, Bu! Aku tidak ingin ibu mati..."

Diana hanya bergeming. Wanita paruh baya itu benar-benar sudah tidak bernyawa.

"Kumohon padamu, Tuhan! Kumohon! Kumohon! Jangan ambil ibuku!"

Napas Jecy berat, menahan semua getar kehilangan.

Perpisahan terberat adalah melepas seseorang yang sangat kita cintai. Jecy tahu itu sekarang. Dia tidak tahu lagi apa yang menjadi alasan untuk hidupnya sekarang.

Air mata Jecy mengalir deras ketika mencium kening sang ibu yang dingin.

Sekarang dia sendirian. Lalu apa yang bisa dia lakukan?

**

Minggu berikutnya Jecy tidak mendapatkan tamu bulanannya, dan beberapa hari kemudian dia mendapatkan kepastian bahwa dirinya tengah mengandung.

Hamil adalah hal terseram di kondisinya saat ini. Dia benar-benar tidak mengerti akan situasinya saat ini. Seolah semua kemalangan menimpa dirinya. Apa memang takdir akan selalu berpihak buruk padanya?"

Entahlah, dia sendiri tidak tahu kenapa semua tampak serumit ini. Hatinya dan kepalanya terasa kacau dan kosong.

Bisakah Jecy menghadapi takdir yang seolah mempermainkannya?

_To Be Continued_

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!