Pagi yang cerah ini, Andini sedang berjalan memasuki perusahaan tempatnya bekerja selama 4 tahun. Ya, sudah 4 tahun lamanya Andini bekerja di perusahaan Karta Jaya Corp itu.
Bekerja sebagai seorang Sekretaris tentu membuat Andini memiliki tabungan yang lumayan. Karena gajinya juga lumayan dan pekerjaannya juga lumayan berat.
Namun beratnya pekerjaan yang di gelutinya masih lebih baik bagi Andini. Yang paling menyebalkan ialah bertemu dengan atasannya.
"Mana kopi?" Nah, baru saja Andini tiba dan membuka pintu ruang kerja sang Direktur.
Beginilah malasnya Andini kalau datang lebih lambat dari atasannya itu. Meski jam kantor belum di mulai. Tapi Andini sudah harus mulai bekerja begitu menginjakan kaki di lantai 25 gedung perkantoran itu.
"Saya mau kopi, bukan mau lihat wajah kamu yang jelek," ucapan ketus itu membuat Andini memutar bola matanya malas.
"Sok tampan," cibir Andini sebelum menutup pintu ruangan Direktur.
Meletakkan tasnya di meja kerja yang tak jauh dari pintu besar itu. Andini segera bergerak menuju tempat biasa ia membuat kopi.
"Pagi Mbak Dini, buatin kopi untuk Bos ya?" Sapa seorang OB yang kebetulan ada di pantry.
"Pagi, Pak Gus. Iya biasalah Pak, apa lagi kerjaan saya yang pertama kalau bukan ini." Andini yang sedikit kesal karena tadi mendapat ejekan melampiaskannya ke pada kopi yang sedang di aduknya.
Sendok kecil di tangannya bukannya di gunakan untuk mengaduk tapi malah untuk mencucuk kopi hitam yang tentu tidak merasakan apapun itu.
"Hihihi, Mbak Dini dengan Tuan Varel memang serasih. Semoga berjodoh ya, Mbak."
Kedua mata Andini langsunh melotot mendengar ucapan pria yang lebih tua darinya itu.
"Ngadi-ngadi aja Bapak ini, siapa juga yang mau si jutek itu?" Malas Andini.
"Jangan bilang begitu, Mbak. Jodoh siapa yang tahu kan? Biasa saja suatu saat nanti Mbak berjodoh dengan Tuan Varel," ucap si OB lagi.
"Ya, terserah Bapak ajalah mau bilang apa. Saya duluan, sebelum aumannya kedengeran sampai sini."
Andini yang malas meladeni OB itu memilih berlalu dengan cepat. Siapa yang tidak tahu bagaimana pasangan Bos dan Sekretarisnya itu. Varel yang terkenal dengan sikap ketus dan kemarahannya yang suka meluap jika pekerjaan tidak sesuai.
Bertemu dengan Sekretaris seperti Andini yang berani menjawab setiap ucapan Varel. Gadis yang di kenal memiliki mental baja karena baru Andini yang tahan hingga 4 tahun bekerja dengan Varel.
Bisa mengimbangi kegilaan Varel akan kerja serta mengimbangi kemarahan Varel.
"Lama banget sih? Cuma buat kopi aja lelet," Kata Varel ketus.
"Ini di buatnya pakai tangan ya, Bos. Bukan pakai magic yang sekedib mata bisa jadi," ketus Andini balik.
"Ck, balik kemeja kamu sana. Jangan korupsi waktu kerja," usir Varel.
"Gimana saya gak korupsi waktu kerja, lah wong Bos sendiri yang suruh," sahut Andini yang membuat Varel menatap gadis di depannya.
"Apa kamu bilang?" Tanya Varel tidak jadi meminum kopinya.
"Ah enggak, tadi ada burung terbang di luar." Andini menunjuk arah jendela kaca besar di belakang Varel.
Pemuda itu memutar kursinya untuk melihat arah tunjukan Andini. Dan kesempatan itu di gunakan oleh Andini untuk keluar dari ruangan Varel secepat mungkin.
"Tidak ada apa-apa ..." Kalimat Varel menggantung saat ia tak mendapati lagi keberadaan Andini di ruangannya.
Pemuda itu menghembuskan napasnya panjang karena merasa di kerjai oleh Andini.
Di luar ruangan Direktur, Andini baru saja duduk setelah keluar dari ruangan Varel. Mereka berdua memang terlihat seperti sering ribut kalau tidak sedang serius.
"Selamat," ucap Andini.
Gadis itu membuka komputer di depannya dan mulai bekerja mengerjakan sisa pekerjaannya. Hari ini jadwal Direktur tidak banyak, jadi kemungkinan Andini bisa menyelesaikan pekerjaannya lebih dulu sebelum siang.
Sebab setelah makan siang nanti Varel dan andini harus pergi ke restoran yang sudah di boking untuk membicarakan bisnis dengan perusahaan lainnya.
Hingga jam makan siang tiba, Varel keluar dari ruangannya membawa sebuah map di tangan.
"Bawa ini, kita langsung ke restoran." Andini menerima map itu dan mengambil beberapa berkas lain yang sudah di siapkannya.
Tanpa banyak bertanya atau berkata lagi, Andini mengikuti langkah kaki Varel. Gadis itu senang karena makan siang kali ini ia tidak perlu membayar.
Sesampainya di restoran mewah mereka segera masuk dan menuju kasir.
"Permisi reservasi atas nama Andini untuk VVIP," ucap Andini.
"Sebentar ya, Mbak." Andini hanya mengangguk saja hingga tak lama ia dan Varel di arahkan untuk menuju ke ruangan yang sudah di pesan.
"Bos, saya mau makan pesan yang sedikit banyak boleh ya? Soalnya kerjaan numpuk banget," ucap Andini sedikit berbisik pada Varel.
Saat ini mereka berdua sedang did alam lift bersama pelayan restoran yang akan mengantarkan mereka ke lantai 3.
"Bilang saja rakus," ejek Varel.
"Bukan rakus Bos, tapi laper," elak Andini.
"Alasan," ketus Varel.
"Bopeh ya, Bos? Kalau gak boleh di bolehin aja, ya?" Paksa Andini yang membuat Varel hanya bisa menghela napas sembari membuang pandangannya ke lain arah.
Jika Andini sudah memaksa seperti itu maka pilihannya lebih baik diam. Atau Andini akan terus terus membujuknya dengan kalimat yang sama dan berulang.
Andini tersenyum senang karena tidak mendapat penolakan dari bosnya. Ia sudah berencana untuk nanti membawa pulang sedikit pesanannya. Supaya nanti di rumah tidak perlu memasak lagi pikirnya.
Begitu keluar dari lift, senyum Andini pudar seiring dengan mendekatnya seseorang yang sangat di kenalnya. Orang itu tidak sendiri, ia bersama seorang wanita lain dan terlihat sangat mesra.
"Alfin!" Panggil Andini yang membuat Alfin menoleh.
Tadinya ia sedang berjalan sembari bersenda gurau dengan wanita di pelukannya. Namun suara yang familiar di telinganya membuatnya cukup kaget.
"Di Dini, kamu ... Kamu kok bisa di sini?" Gugup Alfin.
"Harusnya aku yang tanya, kenapa kamu bisa ada di sini secepat ini? Bahkan jam istirahat kantor baru 15 menit yang lalu dan kamu sudah akan pergi dari sini? Siapa dia?" Tunjuk Andin pada wanita yang terlihat sedikit bingung.
"Kamu kenapa sayang? Kok mukanya tegang gitu?" Wanita yang tadi di peluk Alfin merangkul lengan Alfin manja.
Bergemuruh rasanya dada Andini mendengar dan melihat apa yang ada di hadapannya.
"Sayang? Kamu panggil dia sayang?" Tanya Andini pada wanita yang merangkul Alfin.
"Ya iyalah, kita kan pacaran. Bahkan sebentar lagi tunangan, ia kan sayang." Wanita itu menatap manja pada Alfin yang nampak pucat.
"Apa?" Kaget Andini. "Berapa lama kalian pacaran?" Tanyanya lagi menahan amarah di dada.
"Sudah hampir 3 tahun, kita ketemu lagi waktu Alfin daftar S2. Akhirnya kita balikan lagi deh saat itu juga," kata si wanita dengan senangnya.
Andini menatap marah pada Alfin yang mulai salah tingkah.
"Balikan? Jadi kalian mantan kekasih yang merajut kisah kembali?"
"Iya, kamu siapa? Dari tadi tanya-tanya mulu, kamu iri ya sama kita?" Kata wanita itu pamer.
"Jadi selama 5 tahun hubungan kita, 3 tahunnya kamu selingkuh begitu?" Tatapan marah di layangkan Andini ke Alfin.
"Apa maksud kamu hah? Siapa yang selingkuh? Dan siapa yang hubungan 5 tahun sama kamu?" Tanya Mili tak suka pada Andini.
"Tanyakan saja pada kekasihmu itu, bahkan dia kuliah S2 pun semua biayanya dia minta padaku," ucap Andini yang malah membuat wajah Alfin memerah.
"Apa? Kamu yang biayai kuliah Alfin? Gak salah kamu? Itu bukan uang yang sedikit kali. Alfin bisa kuliah S2 ya karena keluarganya orang berada, bukan karena kamu. Kalau ngehalu itu jangan ketinggian dong," sewot Mili.
"Faktanya memang begitu, dan orang kamu bilang orang berada itu nyatanya dulu hanya karyawan biasa di kantornya. Dan keluarganya di kampung juga hanya orang biasa bukan orang terpandang."
Alfin menatap marah pada Andini karena merasa di telangjangi di depan umum. Meski di lantai 3 itu tidak banyak orang, namun tetap saja harga dirinya seakan di injak oleh Andini. Apa lagi ada beberapa orang terpandang yang ikut melihat ke arah mereka.
"Jaga ucapan kamu Andini, aku gak kenal sama kamu dan kita gak punya hubungan apa-apa. Kamulah yang selama ini selalu ngejar-ngejar aku karena aku sukses jadi seorang General Manager. Sedangkan kamu hanya seorang Sekretaris yang gajinya bahkan gak sebanding denganku. Bagaimana mungkin aku bisa kuliah menggunakan uangmu. Kalau bicara gunakan pikiranmu dengan baik," ucap Alfin dengan emosi.
"Oh, jadi kamu gak kenal denganku? Dan hubungan kita selama 5 tahun ini karena aku ngejar-ngejar kamu. Baik, karena aku masih banyak urusan jadi tunggu saja kejutan dariku nanti." Andini menatap tajam Alfin dan Mili bergantian.
Bukan Andini tidak mau melawan atau takut pada kedua orang itu. Andini hanya tidak memiliki cukup waktu untuk meladeni keduanya. Ada meting penting yang lebih berharga dari sekedar meladeni penghianat.
"Hhuuu ... Dasar perempuan ganjen. Gak laku ya kamu makanya ngaku-ngaku pacaran sama pacarku selama 5 tahun? Trik murahan itu gak akan laku tahu kamu."
Andini mengabaikan teriakan Mili dan masuk ke dalam ruangan di mana Varel sudah di dalam sana menunggu. Pemuda itu tidak ingin terlalu ikut campur dalam masalah yang belum di ketahuinya.
Apa lagi itu bukan urusannya juga, jadi Varel lebih memilih masuk ke dalam ruangan yang sudah di pesan dan memesan makanan.
"Huh! Tunggu kamu penghianat, aku bakalan tuntut kamu. Aku akan balas kamu lebih sakit dari yang aku rasakana," marah Andini sembari menyambar kue di hadapannya lalu makan dengan cepat.
Varel sampai melongo melihat pasta di piring yang memang di pesannya untuk Andini sudah habis. Amarah meningkatkan nafsu makan batin Varel.
Dalam sekejab saja, semua makanan yang ada di meja sudah habis di makan oleh Andini. Untung saja Varel sudah makan duluan, kalau tidak bisa-bisa pemuda itu tidak jadi makan karena kenyang duluan melihat cara makan Andini.
"Tidak ada cerita galau-galauan, meting kita harus berhasil." Andini hanya mengangguk saja.
Beberapa jam kemudian, meting telah selesai di laksakan dengan hasil yang memuaskan. Andini berdiri dari duduknya sembari membereskan berkas-berkas yang tadi mereka gunakan.
"Bos, saya pamit pulang duluan ya? Ijin Bos," ucap Andini setelah mereka di luar restoran.
Tanpa menunggu jawaban dari Varel, Andini berjalan gontai menuju pinggir jalan sembari memesan taksi online. Gadis itu galau dan sedih karena ternyata cintanya di hianati. Belum lagi pengorbanannya yang sia-sia.
Varel hanya bisa menghela napas panjang melihat sikap Andini yang sedang galau itu. Karena baur kali ini Andini bersikap demikian, maka Varel akan memaklumi dan mengijinkan gadis itu pulang.
Lagian mereka juga tidak punya banyak pekerjaan di kantor. Jadi Varel juga memutuskan untuk pulang. Tapi saat teringat akan satu hal, Varel buru-buru meminta supir untuk mengikuti kemana perginya Andini.
Untung saja gadis itu baru menaiki taksinya, jadi Varel masih sempat untuk mengikuti kemana Amdini pergi. Khawatirnya gadis itu akan melakukan sesuatu yang membahayakan.
Andini terus berpikir apa yang harus di lakukannya untuk membalas Alfin yang sudah menghianatinya. Bahkan hinaan pemuda itu juga membuat Andini merasa sakit hati.
"Dasar kacang lupa kulitnya, memangnya dulu dia siapa sebelum mendapatkan jabatannya yang sekarang. Pantas saja sejak dulu selalu sulit di ajak keluar atau sekedar jalan, ternyata dia punya yang lain di belakangku."
Andini bergumam sendiri di kursi penumpang dengan wajah kesal dan marahnya. Namun sedetik kemudian ia terlihat sedih dan murung. Hingga supir taksi yang membawanya bergidik ngeri karena takut membawa penumpang yang kurang waras.
Sampai akhirnya taksi berhenti di depan gerbang yang menjulang tinggi dan kokoh.
"Kita sudah tiba, Mbak." Andini mengeluarkan uang dari dompetnya lalu menyerahkan pada supir taksi.
"Nih, Pak."
"Ini kebanyakan, Mbak. Yang selembar aja masih ada kembaliannya," ucap supir taksi itu saat menerima 2 lembar uang berwarna merah.
"Ambil aja semua buat, Bapak. Bapak cuma perlu doa in saya supaya tetap kuat dan sabar," kata Andini.
"Oh, terimakasih banyak Mbak. Saya pasti akan selalu doain yang terbaik buat Mbak nya dan semoga selalu bahagia ya, Mbak."
"Terimakasih doanya, Pak."
Andini keluar dari taksi dan segera menuju ke arah gerbang yang di baliknya ada seseorang yang sedang menatap kaget ke datangan Andini.
"Mbak Dini pulang! Ya ampun, ayo masuk Mbak. Jangan di luar, panas."
Satpam yang berjaga di gerbang membuka pintu pagar sedikit untuk Andini masuk.
"Terimakasih, Pak. Saya langsung masuk," ucap Andini di angguki oleh Satpam itu.
"Iya Mbak silahkan, Bapak sama Ibu pasti seneng lihat Mbak pulang."
Andini hanya bergumam sembari berjalan gontai menuju rumah besar di hadapannya. Rumah yang bak istana itu lumayan jauh juga dari gerbang. Hingga Andini merasa lelah sendiri berjalan menuju pintu.
"Siapa sih yang buat halaman selebar ini? Mana pintu rumahnya masih jauh lagi. Gak tahu udah capek apa?" Gerutu Andini.
Padahal jarak yang harus di tempuhnya hanya tinggal beberapa meter saja. Namun karena suasana hati yang tidak baik, membuat Andini merasa segala hal yang menyulitkan serasa semakin menyusahkan.
Setibanya di depan pintu rumah mewah tersebut, Andini mengangkat tangannya hendak mengetuk pintu. Padahal ada bell di sana, tapi namanya orang sedang patah hati dan patah semangat, malas berpikir dan hanya mencari cara cepat saja.
"Buka pintu ada tamu," ucap Andini malas.
Tidak lama setelah Andini berucap demikian, sebuah mobil mahal berhenti di depan teras. Andini yang melihat mobil itu berhenti, kedua matanya langsung berkaca-kaca.
"Dini! Kamu pulang, Nak?" Seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik tampak terharu melihat Andini.
Andini berlari kearah mobil dengan merentangkan kedua tangannya. Tapi bukan mendatangi wanita yang tadi memanggilnya.
"Papa!"
Pria paruh baya yang di panggil Andini itu tersenyum senang melihat kedatangan anak gadis bungsunya.
"Dini."
Papa dan anak itu saling berpelukan melepas rindu. Sedangkan wanita paruh baya yang di abaikan menatap heran pada anak gadisnya yang malah beralih ke sang suami.
"Astaga anak ini, Mama yang udah bersiap menyambut malah Papa yang di peluk," dumelnya tidak terima di abaikan.
Andini dan Pak Bejo melepas pelukan mereka lalu menatap Bu Asih yang terlihat kesal.
"Mama, gitu aja ngambek." Andini memeluk Bu Asih manja.
"Biasa aja sih, karena kamu memang paling nempel sama Papa dari dulu."
Ketiga orang itu berjalan masuk ke dalam rumah beriringan. Mereka duduk di ruang keluarga bersama. Andini merebahkan dirinya di sofa panjang dengan wajah yang masih nampak sedikit murung.
"Kamu kenapa, Nak? Pulang dari minggat sedih begitu. Kehidupan di luar sana gak sesuai ekspetasimu, ya?" Tanya Pak Bejo.
"Aku gak pernah minggat dari rumah, kemarin itu cuma pergi aja," kata Andini yang tidak mau di bilang minggat.
"Sama aja itu, cuma bahasanya lebih halus aja," ucap Bu Asih yang membuat Andini cemberut.
"Kurang lama kamu perginya, ini juga baru 3 tahun kamu pergi dari rumah."
"Ih, Papa. Udah anaknya pergi waktu itu gak di cariin, sekarang anaknya pulang di bilang kurang lama perginya," gerutu Andini.
"Buat apa Papa cariin kamu kalau ujung-ujungnya nanti malah pergi semakin jauh. Cukup Papa tahu kamu masih ada di kota ini juga, lagian Papa juga yakin kalau kamu bakalan pulang lagi ke sini. Sekarang terbuktikan?"
"Aku kan cuma gak mau di jodohin Pa waktu itu, lagian kan aku udah punya pacar juga."
"Trus sekarang kemana pacar kamu itu? Di gondol tuyul seksi atau mantan tak terlupakan yang kisahnya belum kelar. Atau mungkin dompet kamu udah kosong makanya di campakkan?" Ejek pak Bejo yang membuat Amdini menangis.
"Hua hua ... Papa kok tega ejek anaknya begitu hua ... Aku ini lagi sedih Papa hua ... Kenapa malah di ejek hua ... Papa tega ..."
Pak Bejo jadi gelagapan sendiri melihat anak bungsu kesayangannya menangis. Padahal niatnya hanya bercanda tapi malah membuat anaknya menangis.
"E eeh kok malah nangis beneran sih? Papa tadi cuma bercanda aja kok," ucap pak Bejo bingung.
"Haduh Papa Papa, makanya kalau mau becandain anak lihat situasi dulu dong," kata bu Asih yang langsung mendekap anak gadisnya.
"Iya iya maaf, Papa tahu salah."
"Ada apa ini?" Tanya seseorang yang baru saja datang bersama seorang wanita.
"Kalian udah pulang?" Tanya pak Bejo di angguki si pria.
"Loh, Dini! Itu Dini kan Pa?" Pria itu mendekati Andini yang masih menangis di dekapan sang mama.
"Iya."
"Din, kamu kenapa Dek?" Tanya Anto yang merupakan saudara kandung Andini.
"Dini kenapa, Ma?" Tanya Anto lagi yang kini beralih ke sang mama.
"Biasa, lagi dalam suasana galau di becandain sama Papa. Ya gini jadinya," sahut Bu Asih.
"Si manja udah pulang, bakalan rame lagi rumah ini," ucap Anto di angguki papa Bejo.
"Kapan Dini pulangnya, Ma?" Tanya Riri, istri Anto.
"Tadi waktu Mama sama Papa baru tiba, Mama lihat ada orang di depan pintu. Mama kira siapa, tapi waktu balik badan rupaya adik kalian."
"Syukurlah kalau akhirnya Dini mau pulang," ucap Riri sembari tersenyum tulus dan lega.
Andini memang kabur dari rumah saat pak Bejo memberitahu akan rencana perjodohan Andini dengan anak temannya. Padahal baru rencana tapi gadis itu sudah menolak keras dan malah kabur tengah malah saat semua orang istirahat.
Andini juga mengelabui Satpam penjaga agar bisa keluar dari rumah. Bu Asih sempat pingsan saat mengetahui kalau anak gadisnya pergi daei rumah karena menolak di jodohkan.
Sebenarnya dalam satu hari saja, orang-orang suruhan pak Bejo sudah bisa menemukan keberadaan Andini. Hanya saja pak Bejo sengaja membiarkan anak gadisnya bebas dan ingin melihat sampai mana Andini bertahan di luar tanpa bantuan orang tuanya.
Andini bahkan bisa bekerja dengan kemampuannya sendiri di perusahaan Varel. Pak Bejo selalu mengawasi semua gerak-gerik Andini tanpa di sadari gadis itu sendiri.
Bahkan apa yang terjadi pada Andini semua di ketahui oleh pak Bejo dan keluarga. Namun mereka tetap diam dan memantau sekalian menunjukkan pada Andini kalau tidak selama orang yang terlihat baik dan mencintai kita itu benar-benar tulus.
Buktinya Alfin, sejak dulu hanya selalu memanfaatkan keuangan Andini saja. Meski tidak tahu kalau Andini anak orang kaya, tapi karena Andini selalu punya uang yang cukup. Alfin memanfaatkan hal tersebut.
Apa lagi Andini yang memang anak polos dan baru merasakan jatuh cinta pada Alfin saja. Karena pak Bejo dan Anto yang selalu membatasi pergaulan Andini karena takut dengan pergaulan bebas anak-anak jaman sekarang.
Andini membuka matanya saat hari sudah malam, ia terbangun di kamarnya yang ia tinggalkan 3 tahun lalu. Karena menangis tadi membuat Andini tertidur di pelukan mamanya.
Entah kenapa ejekan papanya tadi membuatnya menangis. Andini hanya merasa sangat sedih saat mendengar ejekan papanya dan kembali mengingat saat ia meninggalkan keluarganya hanya demi Alfin dan menolak rencana perjodohan dari papanya.
Andini menghela napas panjang lalu beranjak untuk mandi. Selesai mandi Andini meraih ponselnya dan mencari file yang di butuhkannya.
"Syukurlah rekamannya masih ada, di tambah bukti transfer dan semua pesan yang pernah Alfin kirim. Aku rasa itu cukup untuk nekan dia supaya mau balikin semua uangku," guman Andini.
Gadis itu bertekat untuk mendapatkan kembali semua uang yang sudah ia keluarkan untuk Alfin. Mana Andini rela uangnya hilang begitu saja sedangkan orang yang dulu di perjuangkan membuangnya.
"Hah ... Betapa bodohnya aku dulu."
Andini merebahkan tubuhnya di kasur empuk yang nyaman. Selama pergi dari rumah, Andini tinggal di kosan sederhana. Tidur hanya beralaskan tilam tipis dan makan pun tidak teratur dan sembarangan.
Tok tok tok
"Dini! Ayo makan malam, Nak." Suara bu Asih terdengar memanggil.
"Iya, Ma."
Andini beranjak dari rebahannya dan segera keluar kamar menuju lantai bawah untuk makan malam.
Suasana ceria kembali terasa di rumah mewah itu karena kehadiran anak bungsu mereka yang selalu membawa keceriaan. Pak Bejo dan bu Asih tersenyum bahagia karena kedua anaknya berkumpul.
Belum lagi ada sang menantu yang sedang mengandung setelah 4 tahun pernikahan.
Di tempat lain, Varel juga sedang makan malam dengan keluarganya.
"Bagaimana kabar Andini, Rel? Apa dia masih bekerja dengan kamu?" Tanya Bu Tata di sela makannya.
"Masih, tadi sore dia pulang ke rumah om Bejo."
"Dari mana kamu tahu?" Tanya pak Narman.
"Ku ikuti," sahut Varel santai.
"Wah, bagus kalau Andini sudah kembali ke rumah orang tuanya. Ayah akan bahas lagi perjodohan kalian, kali ini harus jadi." Semangat pak Narman membuat istrinya mengangguk setuju.
"Iya, Yah. Lebih cepat lebih baik," ucap bu Tata.
Varel hanya tersenyum tipis saja melihat semangat orang tuanya.
Ya, Varel memang orang yang dulunya akan di jodohkan dengan Andini. Namun gadis itu tidak tahu akan hal itu, Varel tahu kalau Andini yang akan di jodohkan dengannya. Itu sebabnya ia menerima gadis itu bekerja di perusahaannya. Apa pagi nilai Andini juga memang bagus.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!