Sekitar pukul dua dini hari, terlihat dua orang lelaki mengayunkan kaki cepat menyisir kantor kepolisian. Itu dilakukan bukan tanpa sebab, beberapa waktu lalu salah satu dari dua lelaki bercelana pendek itu mendapatkan telepon, dari seorang aparat yang menyuarakan kabar mengejutkan.
Rafa dan Vino bergegas pergi meninggalkan rumah dijadikan fasilitas kantor selama proyek baru dikerjakan bersama, langsung menuju kantor di mana kini berubah layaknya pasar. Mata keduanya beredar ke setiap penjuru, mencari-cari keberadaan dari rekan kerja yang bukan kali ini saja berbuat ulah.
Hingga sebuah teguran kencang mengisi telinga, Vino dan Rafa menoleh pada sumber suara yang cukup dikenal siapa pemiliknya. Benar saja, asa seorang perempuan berambut pendek sampai pundak mengayun-ayunkan tangan tinggi, memasang wajah semringah tanpa dosa.
"Berani banget masih bisa senyum habis bikin malu kayak gini!" gumam Rafa, mendekati perempuan bercelana jeans panjang yang terus memanggil namanya.
Langkah gagah dipergunakan Rafa beriringan kedua tangan mengepal. Namun, seseorang yang tadi menyerukan namanya ceria itu, justru berlari mendekat dan langsung memeluk.
"Ngapain lagi kamu sekarang, huh?! Bunuh orang?! Mukulin orang, atau ngapain?!" berang Rafa menekan suara dalam gigi terkatup rapat.
"Enak aja! Aku gak ngapa-ngapain, tapi diseret kesini. Tanya aja sama Alya, orang kita diem-diem aja malah ditarik kayak peliharaan!" Vanya mengerucutkan bibir.
"Kamu minum?!" tanya lelaki tengah dikelitik penciumannya oleh alkohol menyengat.
Vanya melepaskan pelukan, menjauh dari si pemilik tinggi 180 sentimeter di depannya. Vanya menggelengkan kepala, kedua tangan pun berayun di depan tubuh, berusaha mengatakan dari gerakan, bahwa tuduhan dilayangkan Rafa tidak benar.
Rafa mengembuskan napas kasar, dia mengangkat tangan kanan dan mencapit kedua sisi wajah Vanya, mendekatkan pada wajahnya. "Buka mulut!" tegas Rafa, menggeleng Vanga tak ingin melakukan.
"Aku bilang buka mulut!" Rafa melotot sempurna. "Buka mulut, atau aku lapor ke atasan sekarang juga?!" ancamnya menambahkan.
Vanya ragu-ragu membuka mulut, napas ditahan olehnya agar tak sampai keluar. Akan tetapi, lawannya bukanlah orang kurang pengetahuan, Rafa cukup mengetahui aroma memenuhi rongga mulut anak timnya. Lelaki berkaus putih itu pun mendorong jauh wajah Vanya, tatapan tajam diberikan jelas.
Vanya dan Alya menunduk, jari-jari keduanya bermain di depan tubuh, seperti kebiasaan saat mereka ketakutan dan membuat salah. Rafa menghadap aparat yang menghubungi dirinya tadi, karena memang sengaja dipanggil untuk menjamin kebebasan dari dua orang yang pergi tanpa sepengetahuan dirinya.
Ada beberapa lembar kertas harus ditandatangani, sebelum akhirnya Rafa menjamin bahwasannya tuduhan diberikan pada Vanya dan Alya tidaklah benar. Bahkan, Rafa berani memastikan bahwa anak timnya tidak pernah menggunakan barang terlarang, seperti apa hasil urine katakan pada pihak kepolisian.
"Bener kan, Pak? Kami ini cuma lagi sumpek gara-gara kerjaan, makanya sengaja dengerin musik. Malah ditarik-tarik!" Vanya bersuara. "Harusnya, bapak semua ini bayar ganti rugi dong. Kan udah nyentuh cewek sembarangan, terus nuduh gak karuan. Biaya uang malu juga ada loh, Pak!" imbuh perempuan di dekat Rafa duduk tersebut.
"Terima kasih banyak. Kami permisi." Rafa berdiri, menjabat tangan pria berkumis di depannya.
"Kalian berdua! Lain kali, dengerin musik di swalayan sana, jangan di klub malam!" Pria berseragam itu menunjuk ke arah Vanya dan Alya.
"Eh, nunjuk-nunjuk gitu gak sopan loh, Pak!" Vanya menautkan kedua alis, disambar tangannya oleh Rafa dan menariknya pergi.
Rafa tak melupakan Vino yang diberikan isyarat agar menarik serta pergelangan Alya, sebelum dia membuka suara dan situasi menjadi lebih kacau. Siapa yang tidak tahu dengan mulut Alya ketika dipadukan dengan Vanya, orang normal pun akan bisa menjadi gila dan kejang.
Di luar, Rafa membuka pintu mobil, mendorong Vanya agar masuk ke dalam. Cukup kasar lelaki berotot itu mendorong lengan Vanya, sebelum akhirnya menempati jok balik kemudi. Vino dan Alya harus berlari, sebelum mereka ditinggalkan begitu saja.
"Kalian berdua niat kerja, apa bikin masalah sebenernya? Baru sath bulan di sini, bikin ulah udah dua kali!" Vino mengomel, setelah ia berhasil menempati tempat di samping Rafa.
"Apaan sih, Vin?! Diem gitu loh! Mana ruangan sempit, ngomel aja!" Alya menjawab.
"Kalau mau lebar, sana di lapangan bola! Udah salah, bukannya ngaku salah, malah nyolot aja kerjaannya!" jengkel Vino.
Alya hendak menjawab, tapi tangan dicegah lebih dulu oleh Vanya yang turut meminta keduanya diam melalui mimik wajah, serta pergerakan bibir tanpa suara. Rafa mengemudi kencang, jalanan sangat sepi di jam sekarang, hingga mempermudah lelaki tengah dikuasai amarah itu menginjak dalam pedal gas.
"Bakalan jadi perkedel habis ini." Vanya berbicara dalam hati, kedua matanya terpejam rapat. "Bagus kalah gak diaduin orang tua."
Sampai di basecamp, Rafa keluar lebih dulu dan membanting kencang pintu kendaraan. Tiga orang masih tertahan di dalam city car putih tersebut, beriringan mengangkat kedua pundak kaget. Biji mata ketiganya bergeser pelan mengikuti kepergian Rafa dengan langkah kaki lebar, mereka pun sama-sama menelan saliva paksa dalam tenggorokan menciut.
"Aku gak ikut-ikutan, atasi aja sendiri!" Vino keluar dari mobil, meninggalkan dua orang di barikan belakang yang kini saling menatap.
"Al ...."
"Udah, hadapin aja. Master juga kalau marah gitu-gitu doang!"
"Bukan itu ... aku laper. Perutku udah kayak nenek-nenek ini, keriput."
"Ampun, Van!" Alya melebarkan mata. "Aku juga laper."
"Hahaha, buruan masuk terus bikin makanan!" Vanya bergegas turun, disusul oleh Alya yang turut menyumbangkan senyum lebar.
Keduanya saling bergandengan, wajah cerita terpasang mengiringi langkah menuju pintu utama. Cacing salam perut memang sudah berteriak meminta tolong, tak mampu lagi bernapas di dalam perut terus mengecil.
Namun, keinginan dua perempuan sama-sama memakai jaket jeans itu tertahan sementara, tatkala mata menatap adanya Rafa berdiri di dekat pintu utama ingin diterobos. Tatapan menyeramkan diberikan oleh Rafa—lelaki yang sekarang memegang sebotol minuman beralkohol berwarna hitam di tangan.
"Duduk!" tegas Rafa, mengarahkan mata pada sofa panjang ruang tamu.
"Hehehe, boleh ke kamar dulu gak, Master? Kerjaan di kamar masih banyak nih, nanti kita harus ke proyek, kan? Pagi-pagi pasti atasan video call deh buat minta laporan. Kan gak enak kalau kita gak ngasih laporannya." Vanya cengengesan, menunjuk berulang anak tangga di sisi kanan.
"Hehehe, bener loh kata Vanya. Atasan kan kalau marah udah kayak singa, Master. Jadi, kita izin ke atas buat lanjutin kerja, ya?" timpal Alya.
"DUDUK!" bentak Rafa, membekukan Rafa seketika.
Namun, itu tak berlaku bagi kedua perempuan yang justru saling mendorong tangan, agar didahului untuk menuruti titah kencang disuarakan. Rafa melihat pergerakan tangan saling menggandeng di depannya, helaan napas kasar pun dihembuskan.
"Hehehe, iya. Ini mau duduk." Vanya dan Alya beriringan, cukup mengerti alur lanjutan dari sebuah napas kasar wakil atasan mereka berdua.
Bergeser kaki menuju sofa, berjalan layaknya kepiting menyamping. Rafa menggeleng dan sekali lagi harus menghela napas, sedikit memberi kelonggaran pada dada tertimbun sesak oleh amarah serta rasa kesal.
Rafa meletakkan botol dibawanya ke atas meja, lalu berdiri menyilangkan tangan di depan dada, menelisik dua wajah sengaja dipasang layaknya anak kecil tanpa dosa. Vanya bahkan ingin meraih botol masih tersegel di meja, beruntung Vino segera menghampiri dan memukul punggung tangannya.
"Sakit, loh!" protes Vanya, dipelototi oleh lelaki yang menggeser minuman dan memindahkan ke lantai samping meja. "Lah kan masih baru, dijual laku itu." Vanya menambahkan lirih, bibir dikerucutkan olehnya.
"Hahaha, lumayan bisa makan ke kafe besok. Gajian masih lama ini, kan?" sambung Alya.
"Iya juga. Kuota juga habis buat main game seharian. Aku telfon temen dulu, biasanya nyari beginian dia." Vino menyetujui, meraih botol dan diangkat mengamati.
"Nah, kan! Buruan telfon, entar aku yang bungkus biar cantik, harganya bisa kita up dikit. Kan lumayan, tuh?"
"Kita keluar ongkos beli bahan bungkus dong, Van?"
"Gak usah. Di kamar banyak majalah lama, kita pakai itu aja. Tenang, dikit sentuhan juga bakal aesthetic!"
"Kamu yang ngerjain, aku yang promosi!"
"Oke, setuju! Tapi up dua apa tiga ratus, ya? Aku butuh beli sabun juga."
"Kalau kemasannya aesthetic sih, kita up setengah harga masih bisa laku. Tenang aja, aku tau orang apes yang bakalan beli nih barang! Bentar, aku hubungin orangnya!"
"Aku bantu yakini—" terpotong perkataan semangat Vanya, meja ditendang kencang oleh lelaki yang sedari tadi mendengarkan sembari memijat kening.
Tiga orang bergabung di sofa panjang seketika menegakkan tubuh, memundurkan posisi duduk hingga punggung membentur sandaran sofa. Ketiganya tertunduk, namun jari saling mencolek pada satu sama lain.
Rafa melemparkan napas sangat kasar, wajahnya merah padam dengan hati memanas tak karuan. Terlebih, saat ketiga orang di depannya saling berbisik samar, menunjuk siapa yang akan berbicara lebih dulu untuk memberi penjelasan atau sekedar rayuan memelas seperti biasa.
"Emang gak ada gunanya ya kalian bertiga! Kemasi barang kalian, keluar dari sini malam ini juga!" berang Rafa. Meja ditendang sekali lagi, dan kali ini refleks Vanya, Vino dan Alya terlalu bagus, mengangkat kaki bersamaan demi melindungi lutut dari kerasnya kayu terdorong ke arah mereka.
"Aduh ... untung aja ini kaki masih aman!" seru ketiganya, sama-sama mengusap lutut.
"Lima menit! Aku gak mau liat kalian bertiga mulai malam ini!" teriak Rafa, berjalan ke dapur.
"Master!" seru Vanya, berdiri diiringi perhatian dua temannya. "Ini udah pagi, bukan malem. Lagian, kita laper sekarang. Boleh makan dulu sebelum pergi entar malem, gak?" wajah Vanya terpasang harap dengan senyum terpasang, seketika kunci mobil melayang ke arahnya dari lelaki yang telah ditambah geram. Alya dan Vino bergerak menghindar ke samping, demi menghindar dari lemparan tak pernah salah sasaran.
"Kenapa dilempar, sih?!" Salahku di mana? Kan emang bener ini udah pagi."
"TERSERAH!" meledak suara Rafa, melanjutkan langkah pergi.
"Ini udah pagi, kan? Kita diminta pergi malem, berarti entar malem, dong? Emang aku salah?" Vanya menoleh pada dua temannya.
"Bodo amat!" Vino dan Alya pergi, usai seruan kencang diciptakan bersamaan.
Vanya menggaruk sisi kepala, tanpa tahu mengapa dirinya ditinggalkan seorang diri. Berpindah tangan kanan ke perut, sedikit memberi tekanan pada cacing-cacing yang sudah kembali menabuh drum di dalam. Teringat bahwa dirinya memiliki mie cup, lekas perempuan pemilik tinggi 165 sentimeter itu berdiri.
Akan tetapi, Vanya menghentikan laju kaki, tatkala melihat adanya Rafa tengah berdiri di balik meja dapur, mempekerjakan kedua tangannya. Memutuskan pergi ke kamar, namun perut melakukan perlawanan lebih besar. Vanya tidak lagi memiliki pilihan, kecuali memasuki ruangan serba putih untuk mengambil mie dalam kabinet.
"Hehehe, Master. Aku kirain ke kamar tadi." Vanya cengengesan, merayap pinggang pada meja dapur panjang untuk menuju lemari penyimpanan berada.
Rafa tidak memedulikan, lirikan saja tidak diberikan oleh lelaki bercelana pendek tersebut. Vanya mengerucutkan bibir, kemudian membuka kabinet atas dan mengambil mie miliknya. Tangan meraba-raba, tidak menemukan apa disimpan kemarin malam.
"Perasaan belum di makan, kenapa udah gak ada?" gumam Vanya, memundurkan langkah kaki untuk mengintip bagian dalam kabinet.
Vanya berjinjit, tetap saja penglihatan tak mampu menemukan apa tengah diinginkan oleh indera pengecapnya. Ia menoleh ke setiap arah, mencari-cari benda untuk membantunya lebih tinggi. Tidak ada apa-apa, kecuali meja wastafel di tengah ruangan. Vanya naik ke atasnya, menyentak Rafa menoleh.
"Sopan banget!" sambar Rafa, memperhatikan perempuan terus saja celingukan. "Anya, turun gak?!"
"Duh, aku lagi nyari mie ini loh, entar aja ngomelnya. Perutku udah kelaperan banget!" sahut Vanya, tanpa menoleh.
Rafa menarik banyak oksigen, bergerak mendekati Vanya dan langsung melingkarkan tangan pada kaki dilengkapi celana jeans ketat.
"Master ... Master!" Vanya terkejut, kala tubuhnya diangkat tiba-tiba.
Rafa menurunkan tubuh Vanya cepat, menatap perempuan sedang menyisipkan rambut di balik telinga. Wajah mereka cukup dekat, hingga penciuman Rafa terusik oleh aroma alkohol.
"Minum apaan sih tadi? Baunya gak enak banget!" ujar Rafa, menjauhkan wajah darinya yang menaikkan pandangan menatap.
Vanya membuang napas pada telapak tangannya, lalu mencium sendiri. "Hehehe, aku tadi dikasih orang. Aku gak minta, tiba-tiba aja dikasih sama cowok. Itu juga bukan aku yang nyamperin apa godain, tapi ada waiter yang anter. Kayaknya berat banget ini alkoholnya, untung aku minum dikit tadi."
Rafa mengembuskan napas panjang, berpindah mengambil piring tadi diutak-atik olehnya. "Makan ini. Mie kamu udah aku buang, itu gak sehat. Duduk, buruan makan terus ke kamar, lembur sama aku."
Vanya menatap ke arah piring sudah tersusun nasi goreng lengkap dengan telur setengah matang, bibir melengkungkan senyum dengan kedua mata menyipit. "Makasih," katanya sembari menggoyang-goyangkan tubuh.
Rafa duduk lebih dulu pada kursi bulat, menggiring secangkir teh hijau tadi dibuat untuknya sendiri. Vanya melepaskan jaket jeans lebih dulu, kemudian duduk untuk segera memuaskan cacing dalam prut, agar tidak terus memberikan protes.
"Aku gak larang kamu minum apa dugem. Tapi, aku gak mau kalau kamu pergi berdua aja sama Alya. Kalian tanggung jawabku, bukan urusan kerja aja, tapi juga keluarga kalian." Rafa membuka kata. "Kalau emang mau pergi, ngomong. Aku sama Vin bisa anterin kalian."
"Iya, maaf." Vanya menaikkan pandangan sebentar, menjejali nasi dalam rongga mulut lagi. "Jangan diliatin terus, aku gak suka. Master mau?"
"Makan aja. Aku ngeliatin pakaian kamu kok." Rafa menyahut santai, Vanya menunduk melihat pakaiannya. "Buka aja semuanya, umbar ke semua orang. Dibilang jangan pakai pakaian terbuka, malah pergi pakai tank top! Besok-besok mendingan pakai bikini, biar gak cuma ditraktir minum sama cowok!"
Vanya meringis tanpa jawaban, menaikkan sedikit pakaian. Rafa melanjutkan untuk meneguk teh kesukaan, tanpa disadari bahwa ada dua pasang mata memperhatikan dari luar dengan telinga terpasang lebar.
Siapa lagi jika bukan Vino juga Alya, dua orang yang sengaja menemui Vanya lagi untuk mendiskusikan harga dari minuman ingin dijadikan uang. Mereka saling tatap di depan, semakin mengembangkan curiga atas hubungan Rafa dengan Vanya.
Bukan kali ini saja, berulang kali keduanya memergoki perbedaan sikap Rafa kala berdua saja dengan Vanya. Lebih-lebih, ketika mereka sudah memutuskan untuk lembur bersama, di dalam kamar tertutup yang tak pernah berani diketuk oleh Vino ataupun Alya.
"Kayaknya mereka emang punya hubungan lain deh, Vin. Inget gak yang diomongin sama Valen pas di kantor?" bisik Alya, segera ditarik menjauh oleh Vino agar suara tak dikirimkan angin pada telinga dua orang dalam dapur.
"Kalau ngomong tuh diliat situasinya gitu loh, Al! Asal jeplak aja!" tegur Vino, begitu berhasil menjauh. "Udah biarin aja kalau emang ada hubungan, mendingan kita nutup mata sama telinga! Masuk kamar sana!"
"Aku laper, loh! Belum makan ini dari sore."
"Duh! Makan aja dipikirin! Di kamar ada mie cup kalau mau, ambil aja sana!"
"Hahaha, tumben banget baik!" Alya mencubit pipi Vino, berlari ke arah kamar lebih dulu.
"Satu aja! Mahal itu belinya, dua belas ribu satu!"
"Perhitungan!" teriak Alya.
"Musuh kamu sama Vanya kalau gak perhitungan, miskin dadakan aku entar! Rakus banget jadi cewek!" kemam Vino.
Lelaki bertubuh tinggi tegap itu, meletakkan kedua tangan pada pinggang dan menoleh ke arah dapur sembari memiringkan kepala sedikit. "Kayaknya gak mungkin kalau mereka pacaran. Master udah punya cewek, kan? Lagian, mana ada ceritanya tikus sama kucing barengan?" ucapnya, menggelengkan kepala samar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!