"Mas, jika aku belum bisa memberikan kamu anak, apa kamu akan tetap setia padaku?" Saat keduanya tengah asik sarapan, sebuah pertanyaan membuat Dirga langsung meletakkan sendoknya. Lalu, menoleh ke arah sang istri, tidak lupa membelai lembut rambut Anisa dengan seulas senyuman yang terbit di bibir Dirga.
"Meski kamu tidak bisa memberikan mas anak, mas akan tetap setia karena itu kan, janji kita. Apapun yang terjadi percayalah mas tidak ada niatan untuk meninggalkan kamu." Ucapan Dirga membuat Anisa langsung terharu, dengan apa yang baru saja didengarnya seolah memberikan kekuatan tersendiri baginya.
"Ya sudah, lanjutin makannya. Mas tidak mau pagi-pagi membahas sesuatu yang nantinya akan membuat kamu semakin terluka dan sedih." Dirga menambahkan lagi, dengan kata-kata lembut pada Anisa.
Anisa pun tersenyum dan mengangguk, lalu melanjutkan acara sarapannya karena sekarang sudah pukul tujuh, itu artinya Dirga harus segera berangkat ke kantor.
"An, mas berangkat dulu ya, kamu hati-hati di rumah." Dirga lalu berpamitan.
"Tentu Mas, kamu juga di jalan hati-hati." Jawab Anisa sekaligus memberi peringatan untuk suaminya, agar tetap waspada saat berkendara.
"Tentu, Sayang."
Setelah itu, Anisa mencium punggung tangan Dirga dan dibalas oleh sebuah kecupan di keningnya.
Selepas kepergian Dirga, Anisa membereskan rumah dan sekarang begitu sangat menikmati sebagai ibu rumah tangga, tapi lagi-lagi ucapan mertuanya, membuatnya seketika lesu kala teringat akan kata-kata dari Ibu suaminya.
"Apa memang aku yang mandul? Tapi Mas Dirga juga perlu diperiksa, bukan. Kenapa harus aku yang dipersalahkan disini," ucap Anisa lirih karena kerap menjadi landasan emosi mertuanya. Sampai diancam jika Dirga akan dinikahkan dengan wanita yang lebih dari segalanya, dan tentunya tidak mandul seperti dirinya sekarang.
"Ingat An, jika kamu tidak bisa memberikan saya cucu. Maka Dirga akan saya nikahkan dengan wanita pilihan ibu, mau terima atau tidak, saya tidak peduli!" itulah ucapan mertuanya tempo hari. Sangat menyakitkan bukan, saat wanita yang diperistri anaknya dituntut untuk mengandung dan sampai detik ini belum juga terkabulkan.
Untuk sejenak Anisa tidak akan mengingat akan ucapan itu, karena hari ini dirinya akan bermain ke panti asuhan. Di mana dia dulu tumbuh dewasa di sana, sampai sekarang sudah bersuami mungkin cara itu lebih baik pikirnya. Menghindar dari kalimat tajam yang selalu melukai hatinya.
Yah, memang orang tua Dirga tidak setuju saat sang anak meminta restu untuk menikahi Anisa, karena di samping itu. Tidak tahu asal usulnya dan dengan kegigihan Dirga, akhirnya meluluhkan hati Ibunya dan berakhir dengan pernikahan.
"Semoga saja Ibu tidak akan pernah berani menyuruh Mas Dirga berbuat tega padaku," gumam Anisa dan ia pun langsung bersiap-siap untuk melihat adik-adiknya yang ada di panti.
..............
Beberapa saat kemudian.
Mobil taksi yang ditumpangi Anisa sudah sampai dan disambut oleh anak-anak yang ada di situ.
"Kakak!" teriak anak-anak antusias.
"Hai sayang, apa kabar?" sapa Anisa pada mereka semua dengan ramah.
"Baik, Kak." Jawab mereka serentak.
"Alhamdulillah."
Anisa tersenyum bahagia, sebelum masuk. Ia bertemu Ibunya tepatnya Ibu Asuh di panti asuhan di mana dirinya berada sebelum menikah dengan Dirga.
"Loh An, kenapa gak kasih kabar dulu kalau ke sini?" kata Bu Nining pada Anisa.
"Gak Bu, tadi aku langsung datang saja. Oh ya, ini ada makanan buat anak-anak." Anisa memberikan sesuatu dari tangannya sebuah kresek berukuran besar.
"Kamu selalu saja begitu, apa tidak apa-apa jika seperti ini terus?" tanya Bu Ning yang nampak cemas karena beliau takut tanpa izin dari suaminya. Anisa memberikan makanan dan sejumlah uang pada panti tersebut.
"Ibu tenang saja semua aman kok. Ya udah Bu, kalau gitu aku cuma sebentar dan habis ini langsung pulang." Seketika wajah Bu Ning murung saat Anisa ingin berpamitan.
"Loh An, kok sudah mau pulang?" bu Ning bertanya dengan rasa heran, karena tidak biasanya Anisa pulang lebih cepat dan tidak menunggu waktu makan siang juga.
"Di rumah kerjaan masih banyak Bu, jadi aku harus secepatnya untuk menyelesaikan." Jawab Anisa tersenyum.
"Baiklah hati-hati di jalan," ucap Bu Ning dan tidak lupa memeluk anak asuhnya yang kini sudah berubah menjadi wanita cantik, ia juga harus terpaksa membiarkan Anisa pulang meski sedikit tidak rela.
Pukul 14:00 siang.
Anisa yang baru saja pulang, tidak sengaja melihat mertuanya sudah berada di teras. Entah kenapa akhir-akhir ini perempuan paruh baya itu kerap datang ke rumah yang sekarang dihuni oleh Anisa dan juga suaminya.
"Bagus ya kamu, mertua dari tadi datang bukannya anteng di rumah, justru kelayapan!" sebuah sambutan saat Anisa pulang membuat Anisa sejenak menghela napas.
"Maaf Bu, tadi aku ada urusan sedikit dan baru sejam kan. Bukan seharian aku pergi," ujar Anisa membela diri.
Bukan Anisa tidak bisa membalas akan kata-kata orang tua dari suaminya itu. Hanya saja Anisa masih menghargai beliau menjadi sosok mertua, jika teringat ingin rasanya mencakar mulutnya yang tak pernah bisa menghargai orang, apalagi dengan kalangan jelata seperti dirinya yang selalu mendapat hinaan.
"Alasan saja, jangan-jangan kamu selingkuh ya kalau anakku sedang tidak ada di rumah?" ucap Bu Marina dengan tatapan sinis.
"Astagfirullah Bu, aku tidak seperti yang Ibu kira! Lagian hari ini aku hanya berkunjung ke panti dan setelah itu pulang." Anisa tidak menyangka jika Ibu mertuanya bisa punya pikiran sedemikan rupa terhadapnya.
"Alah itu hanya alasan kamu saja kan, lagian kenapa gak sekalian tinggal di sana saja sih. Kamu tau gak kalau kedatanganmu di keluarga saya itu adalah sebuah kesialan, dasar benalu!" bentak bu Marina dengan memasang wajah angkuhnya, lantas tega menuduh Anisa selingkuh. Di tambah jika dirinya adalah seorang benalu.
Anisa tidak menjawab, atau pun membalas akan kata-kata menyakitkan itu. Dia lebih memilih pergi karena tidak mau emosi yang sudah ditahannya, akan membuatnya lepas kontrol jadi lebih baik menghindar, dan itu adalah pilihan yang tepat.
"Tunggu saya belum selesai bicara An! Sungguh tidak sopan kamu ya." Bu Marina terus saja mencari kesalahan pada Anisa.
Entah kenapa Beliau sangat membenci Anisa, terlebih lagi Bu Marina memang tidak setuju saat Dirga menikahinya, terpaksa merestui itulah yang dilakukan dulu karena Anisa bukanlah menantu idamannya, hanya tidak mau membuat kecewa Dirga dan jadilah memberi restu meski sampai detik ini, Bu Marina tetaplah tidak suka.
Pernikahan antara Anisa dan Dirga sudah berjalan lima tahun, tapi belum juga dikaruniai anak. Sedangkan mertuanya yang sudah benci kini semakin benci karena Anisa tak kunjung hamil.
"Dasar wanita mandul!" teriak ulang bu Marina, dan seketika Anisa berhenti melangkah, lalu memutar tubuhnya menatap mertuanya tanpa berkedip.
"Apa Ibu yakin jika hanya aku yang mandul, dan melempar semua kesalahan padaku?" Anisa tidak bisa lagi menahan amarahnya, jika Dirga mau periksa tentu semua akan jelas kan, tapi sayangnya Bu Marina tidak setuju jika putranya di periksa karena beliau yakin jika semua baik-baik saja.
"Maksud kamu bisa saja putraku yang mandul? Jaga bicaramu wanita miskin!" ucap Bu Marina tidak terima saat Anisa berkata seakan memberitahu bahwa putranya lah yang mandul.
"Jika tidak periksa mana tahu Bu, dan jangan hanya aku saja yang di salahkan di sini! Bukankah aku sudah dua kali periksa, dan Ibu tahu kan hasilnya seperti apa! Lantas kenapa Ibu bisa menyimpulkan kalau aku mandul." Jawab Anisa yang berusaha bersikap sopan pada mertuanya.
"Jangan lancang kamu ya! Bisa jadi semuanya sudah kamu atur dan membayar orang untuk menukar hasilnya. Dasar wanita licik," ucap Bu Marina yang tak mau kalah.
"Lihat saja, saya pastikan Dirga akan menceraikanmu!" tekan bu Marina.
Hufff.
"Kuatkan aku Tuhan, dalam menghadapi ujianmu." Anisa mengusap dadanya rasa sesak kian menjadi karena kata-kata yang baru saja ia dengar.
Harusnya Anisa tak seberani itu pada orang tua dari suaminya, tapi kata-katanya telah Membuat Anisa berani untuk menjawab karena tiba-tiba saja, rasa marah tengah menguasainya dan berusaha sabar meski selalu saja Bu Marina kerap mencari celah agar Anisa salah dimata beliau.
Malam yang kian larut, Anisa yang sudah lelah menunggu tetap harus menanti kepulangan suaminya.
Semua masakan sudah dingin dan sepertinya Dirga tidak akan makan karena sekarang sudah pukul sembilan malam.
"Mas, ini bukan kali pertama kamu pulang dengan jam yang cukup larut. Semoga dimanapun kamu berada, Allah akan selalu melindungi kamu." Anisa dengan mata yang sayu karena menahan kantuk, tidak lupa terus membawa sang suami ke dalam doa.
Anisa juga tidak berniat untuk membersihkan meja yang penuh dengan makanan yang masih utuh. Lelah rasanya jika harus sering seperti ini. Bukan tubuhnya yang lelah, tapi hati dan pikiran Anisa yang cukup lelah.
Dua tahun belakangan ini, suaminya dengan perlahan menampakkan perubahan. Dengan alasan lembur dan proyek harus selesai itu juga. Anisa pikir meski lembur tidak harus pulang menjelang pagi kan, tapi lagi-lagi Anisa tidak punya pikiran akan kepergiannya yang entah ke mana, tapi Anisa merasa jika suaminya sedang berbohong. Akan tetapi, Anisa tidak pernah punya rasa apa pun itu, karena sebuah keyakinan yang selalu diberikan oleh Dirga membuatnya selalu percaya dengan ucapan manisnya.
Lelah menunggu hingga akhirnya Anisa terlelap di ruang tengah, dengan keadaan TV yang menyalah.
Paginya.
Eummmmm.
Anisa mengangkat kedua tangannya dan mengumpulkan beberapa nyawanya. Sebelum dirinya benar-benar sadar dan turun dari ranjang.
"Loh aku kok sudah ada di kamar saja, bukannya semalam aku ...."
"Astaghfirullah, benar dan sepertinya Mas Dirga yang membawaku naik ke atas." Anisa bergumam sebelum memutuskan untuk turun dari ranjang, karena sekarang sudah pukul 04:15 dan waktunya untuk menghadap Sang Illahi.
"Alhamdulillah, terima kasih Ya Rabb, engkau masih memberiku kesempatan untuk bisa melaksanakan kewajibanku." Tak lupa Anisa pun mengucap syukur pada Sang Illahi karena masih diberi umur panjang.
Setelah sholat. Anisa menatap suaminya yang masih terlelap, dengan suara dengkuran halus. Sebelum wanita itu membangunkannya dan terlihat wajah kelelahan begitu nampak jelas yang diperlihatkan oleh suaminya meski keadaan tidur sekalipun.
Cukup lama Anisa memandangi wajah lelaki yang selama ini sudah menemaninya, lelaki yang mampu membuat Anisa yakin untuk mengambil keputusan dan menerima Dirga Aditama 30 tahun, karena sebuah keyakinan yang diberikan hingga Anisa luluh.
Meski banyak orang yang menentang pernikahannya, dan Anisa pun mencoba bertahan karena suaminya sangat baik dan bertanggung jawab, tapi selama ini lelaki itu tidak tahu bahwa orang yang selalu dihormatinya, menaruh rasa tidak suka padanya.
Beberapa saat kemudian, Anisa yang sudah selesai sholat. Buru-buru membangunkan sang suami, bukan Dirga tidak mau sholat. Hanya saja Dirga selalu absen dengan waktu yang mepet hal itu menjadikan Anisa selalu sholat sendiri dan setelah itu, baru membangunkan suaminya.
"Mas, bangun! Ini sudah jam lima." Anisa dengan halus membelai pipi sang suami, berharap lelaki yang masih tertidur pulas itu akan bangun.
"Eum, iya Sayang. Mas akan bangun," timpal Dirga yang meregangkan kedua tangannya dan setelah itu dirinya bangun.
Sedangkan Anisa masih diam mematung karena Dirga tak sekalipun menatap atau bertanya sudah sholat atau belum, tapi lelaki itu justru langsung melengos pergi meninggalkan Anisa yang masih berdiri di sisi ranjang.
"Apa ini hanya perasaanku saja? Atau memang kamu sudah berubah Mas, aku berharap kamu tak akan pernah berubah."
Tidak ingin larut dalam kesedihan, Anisa pun beranjak dari kamar dan segera membereskan rumah.
Huff.
"Akhirnya selesai juga dan sekarang waktunya untuk masak." Anisa berkata lirih sambil berjalan menuju dapur.
Tangan mungil Anisa dengan cekatan langsung memotong-motong bumbu dengan sangat lihai.
Jika kebanyakan orang akan sarapan dengan roti, maka berbeda dengan Dirga yang lebih memilih sarapan nasi. Dikarenakan nasi akan membuatnya lancar dalam berpikir sekaligus mengenyangkan perut.
Setengah jam kemudian, Anisa telah selesai masak dan waktunya untuk membereskan hal lainnya. Seperti mencuci dan lain sebagainya.
"Kebiasaan banget, menaruh baju selalu di sini. Bukankah sudah ada keranjang untuk baju kotor!" Anisa menggerutu karena suaminya tak pernah bisa diajak kerja sama.
"Bau ini, kenapa bau parfum wanita? Sudahlah aku tidak mau berburuk sangka dengan Mas Dirga, mana mungkin dia berbuat di luar batas." Anisa yang tadinya curiga, perlahan tidak ambil pusing. Bisa jadi parfum tersebut milik seorang temannya yang kebetulan dekat dengan Dirga karena di kantor tidak hanya lelaki, tapi perempuan juga, jadi wajar hal itu terjadi.
Tidak ingin mempunyai pikiran negatif, Anisa langsung memasukkan baju-baju tersebut di keranjang dan lekas membawanya ke belakang untuk dimasukkan di mesin cuci.
Saat berjalan mata Anisa menangkap sosok tampan sedang duduk di sofa. Dengan sesekali menyeruput minuman yang sudah disediakan olehnya.
"Eh An, sini duduk. Mas ingin bicara sama kamu," panggil Dirga saat ini.
"Mas, Mas ingin bicara apa?" Anisa lantas menimpali dan langkah yang sedang menghampiri.
"Sini!" kata Dirga dengan seulas senyuman yang memabukkan.
Tampan.
Itulah yang ada dipikiran Anisa yang tak henti-hentinya memuji sang suami.
"Sayang, sepertinya mas akan pergi yang cukup lama."
"Mas ...." Sesaat Anisa tertegun saat mendengar ucapan Dirga.
"Sini!" Dirga menepuk pahanya, dan Anisa pun tahu apa yang harus dilakukannya.
Dengan sesekali membelai rambut panjang milik Anisa, Dirga berbisik seakan mereka akan berpisah lama.
"An, mas nanti malam akan berangkat ke luar kota! Kamu tidak apa-apa kan kalau sendirian di rumah?" kata Dirga karena semalam ia pulang hampir menjelang pagi, jadi baru sekarang dirinya bisa mengatakan soal kepergiannya yang akan ke Bali.
"Mas, kenapa mendadak sekali. Memangnya kamu berapa hari di sana?" tanya Anisa sedikit lesu saat sang suami berpamitan untuk tugas di luar kota.
"Tidak lama, hanya dua minggu. Ada proyek yang harus Mas tangani, jadilah harus turun ke lapangan langsung." Jawab Dirga menjelaskan soal kepergiannya yang mendadak sekali.
Anisa dengan sejenak menatap wajah lelaki yang sekarang ada di depan matanya. Keduanya saling memandang dan mata keduanya saling bertemu, mencari sesuatu di wajah masing-masing.
Bagi Anisa tidak ada masalah karena hal itu memang sering terjadi, tapi mengapa harus mendadak tulah yang disayangkan Anisa.
"An, maaf. Lagi-lagi aku tidak bisa mengajak kamu karena ini semua menyangkut soal pekerjaan," ujar Dirga yang merasa tak enak hati. Impian Anisa adalah berlibur di Bali, tapi hanya kata maaf lah yang kerap ia terima jika Dirga bekerja di sana.
"Mas, jangan meminta maaf. Aku pun menyadari jika kamu sedang bekerja dan bukannya main-main," kata Anisa tersenyum pada Dirga, seolah tak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Terima kasih Sayang, aku sangat mencintaimu." Ucapan Dirga sejenak membuat Anisa melayang-layang.
"Aku tahu, maka sekarang lepaskan aku. Soalnya cucian sedang menumpuk," ujar Anisa.
"Baiklah, sayang." Jawab Dirga yang kini sudah melepaskan Anisa untuk berdiri dari pangkuannya.
Hari-hari yang dilewati selama seminggu ini cukup membuat Anisa bosan, karena di rumah yang mewah ini tidak ada tangis anak kecil, dan hanya dirinya orang satu-satunya menghuni di rumah.
Anisa yang mulai jenuh memilih berselancar di aplikasi berwarna biru.
Belum sempat jari-jarinya menari-nari, tapi sebuah notifikasi membuatnya dengan cepat untuk membukanya.
"Arumi," gumam Anisa dengan kerutan di dahinya.
"Tumben, bukannya ini anak sok sibuk, tapi kenapa tiba-tiba mengirimkan sebuah gambar?" Anisa bertanya-tanya dalam hatinya, dan tidak tahu itu gambar apa karena belum dibuka olehnya.
Anisa keluar dari aplikasi berlogo biru, dan membuka aplikasi berlogo hijau.
💌"Ini bukannya suami kamu, An?" isi pesan dari Arum dan mengirimkan sebuah gambar Dirga yang berada di cafe.
💌"Iya, itu Mas Dirga yang sedang bekerja. Mungkin saja sedang ada pertemuan," balas Anisa.
💌"Apa kamu yakin jika suamimu sedang bekerja?" ujar Arum lewat pesan singkat.
💌"Apa maksudmu?" tanya Anisa dengan penasaran.
💌"Tidak apa-apa." Sepertinya ada yang disembunyikan oleh Arum, mengenai Dirga suami Anisa, dan hal itu membuatnya terus berpikir.
💌"An, apa kamu sedang ikut suami kamu yang saat ini di bali?" tanya Arum lagi lewat pesan singkat.
💌"Tidak Rum, aku di rumah dan Mas Dirga pergi sendiri." Jawab pesan Anisa pada Arum.
💌"Oh, kirain kamu ikut. Ya sudah kalau begitu aku mau lanjut kerja lagi dan kamu tetaplah hati-hati di rumah," Kata Arum yang memilih mengakhiri percakapan lewat pesan singkat di aplikasi berlogo hijau.
💌"Rum, apa ada yang kamu sengaja tutupi dariku?"
💌"Arum, tolong jawab aku!"
💌"Rum, apa kamu melihat keanehan?"
Sayangnya tidak satupun yang dibalas oleh Arumi, entah apa yang sebenarnya terjadi dan hal itu membuat Anisa semakin penasaran.
Memang sekarang posisi Arumi sedang ada di bali, untuk menjalankan cafe nya yang ada di sana, tapi Anisa tidak menyangka jika sahabatnya itu telah melihat suaminya, itu berarti lokasi Arumi dan lokasi Dirga itu tidaklah jauh, jadi Anisa yakin jika Arumi tengah melihat suaminya di suatu tempat, tapi apa maksudnya akan pertanyaan tersebut? Itulah yang membuat Anisa yang meragukan, akan ucapan Arumi.
"Dasar anak sok sibuk, lagian tumben si Arum kepo sama Mas Dirga!" batin Anisa.
untuk sesaat Anisa kembali lagi membuka aplikasi biru untuk sekedar melihat postingan orang-orang.
Mata Anisa terbelalak melihat sebuah perempuan yang tengah memosting kalung yang sangat cantik, dan satu hal lagi kenapa wanita itu menandai Dirga, suami dari Anisa. Itulah alasannya kenapa Anisa sampai tak mampu untuk menormalkan detak jantungnya.
"Mas, kenapa kamu semakin membuatku curiga. Sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dariku?" gumam Anisa saat menatap wanita yang nampak jauh lebih cantik daripada dirinya.
Untunglah Anisa membuat akun lain sehingga bisa melihat postingan ini, dan Dirga tidak tahu jika orang yang berteman dengannya adalah istrinya sendiri.
Laman-laman Anisa mengamati kalung tersebut, dan ternyata benar. Kalung yang sama yang diberikan oleh suaminya, apakah ada hubungannya dengan kalung yang sama, atau hanya kebetulan saja? Semuanya seakan menari-nari di atas kepalanya.
Saat Anisa melihat isi komentar, banyak yang memberikan pujian dan memberi selamat pada wanita tersebut. Lalu Dirga hanya memberi like dengan berbentuk hati.
Rasa curiga yang semakin besar, tak mampu lagi menahan gejolak yang ada di dalam hati.
Untuk saat ini, dirinya harus mengikuti atau memantaunya dari rumah? Sungguh rumit, saat masalah rumah tangganya tak lagi menemukan ketenangan.
"Apa aku harus meminta tolong dengan Dimas? Untuk memantau Mas Dirga, apa aku tidak keterlaluan untuk membuat rencana sedemikan rupa." lirih Anisa yang tengah dipusingkan oleh masalah tersebut.
"Andai Arumi ada di sini, mungkin saja sekarang aku tidak akan kesepian." Anisa hanya mampu menahan akan sesak di dalam hatinya, karena merasa telah berubah.
Pada saat Anisa mengenang masa-masa saat bersama Dirga kala itu, dimana Dirga begitu sangat memanjakannya tapi sekarang, sekarang seakan sirna secara perlahan, dan membuat Anisa sedih.
"An, Anisa! Di mana kamu?" teriak bu Marina.
Buru-buru Anisa mengusap air matanya yang luruh begitu saja, persamaan kalung dan liontin yang terdapat postingan suaminya, tepatnya seseorang yang menandainya. Membuat Anisa merasa jika ada yang tidak diketahui untuk sekarang maupun yang dulu-dulu, yang membedakan hanya inisialnya saja.
"Anisa!" ulang bu Marina.
"Iya Bu, sebentar." Jawab Anisa dengan langkah tergesa-gesa.
"Kamu itu lelet banget sih, dasar benalu tidak tahu diri!" pekik bu Marina.
"Maaf Bu, aku tadi baru dari kamar mandi ...."
"Alasan saja!" sela bu Marina lagi.
Huff.
Terdengar suara helaan nafas Anisa yang terlihat sedang menahan sesuatu di dadanya.
Untuk sejenak, Anisa menatap ke arah koper, dan yang punya tengah menyadari akan hal itu lalu membalas tatapan tersebut.
"Ibu mau tinggal di sini untuk satu minggu. Di rumah sedang ada perbaikan atap, jadi jangan sok melarang karena rumah ini adalah rumah putraku." Ucapan Bu Marina membuat Anisa tak lagi bisa melawan kehendak sosok orang, yang sudah melahirkan suaminya
Hanya saja, rasa sakit hati akan semakin menumpuk karena Ibu mertuanya akan tinggal dengannya untuk sementara.
"Kenapa kamu malah diam, dan tidak membawa koper ke dalam kamar." Bu Marina lantas memerintahkan Anisa untuk membawa koper ke dalam kamar tamu, dan ia pun langsung menyeretnya dengan wajah murung.
Malam yang semakin larut. Nampaknya Anisa masih memikirkan akan masalah tadi. Ditambah selama seminggu tak ada kabar, meski hanya lewat pesan singkat pun tak pernah ia terima.
Dengan hati yang berdebar. Anisa memutuskan untuk meminta tolong pada Dimas, siapa tahu lelaki itu tahu akan kabar Dirga.
Tuuuut.
"Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak terdaftar." Ucapan operator membuat Anisa kembali lesu.
Sepertinya Tuhan melarangnya untuk memata-matai sang suami. Untuk saat ini dirinya hanya bisa berdoa agar rumah tangganya baik-baik saja.
Lelah dengan pikiran yang ada. Anisa memilih tidur karena esok pagi pasti akan ada drama yang akan terjadi padanya.
Keesokan paginya.
"An, nanti periksalah dan pastikan semua baik-baik saja. Tiga hari lagi Dirga pulang, siapa tahu dengan begitu kamu akan cepat hamil." Ucapan bu Marina sedikit melunak dan itu membuat Anisa sedikit bisa bernafas lega.
"Bu, bukannya aku sudah periksa selama dua kali, lalu hasilnya pun tetap sama. Untuk kedua kalinya keterangan itu menunjukkan jika semua bagus," kata Anisa menolak secara halus. Bukan Anisa menolak, hanya saja kenapa dirinya lagi yang harus periksa! Harusnya Dirga juga kan, tapi nampaknya Feeling Bu Marina sebegitu yakin jika putranya baik-baik saja.
"Sudahlah jangan membantah, karena tidak ada penolakan dan kamu harus periksa lagi!" pekik bu Marina.
Mau tak mau Anisa menuruti kemauan mertuanya, karena dirinya tidak ingin menjadikannya sebuah masalah.
"Iya, nanti aku periksa lagi." Jawab Anisa.
"Gitu kek dari tadi, jadi orang itu harus nurut. Apalagi hidup kamu itu hanya menumpang, ingat kamu juga bukan siapa-siapa di sini jika putraku tidak menikahimu! Paham." Lalu bu Marina pergi meninggalkan Anisa yang masih mematung dengan hati yang terluka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!