NovelToon NovelToon

Nafkah Mantan Suami

Ketahuan

Bunyi notifikasi pesan masuk mengalihkan pandangan seorang wanita bernama Amora Salmadani. Wanita dua puluh enam tahun yang kini tengah sibuk menyiapkan bahan makanan, langsung buru-buru mengambil benda yang baru saja diletakan di atas meja. Lalu, segera memeriksa isi pesan tersebut.

Sobat BCI! Dana Rp 7.000.000,00 masuk ke rekening 6755***7008 pada 30/03/19 10:31:08. Ket.: 603575894400162480

Mendapati salah satu nomor bank komersil memberikan informasi mengenai dana masuk ke rekeningnya, Salma langsung mengerti jika itu adalah titipan uang nafkah untuk putri kecilnya, Aundy.

Namun, hari ini terlihat berbeda. Jumlah uang yang dikirimkan oleh Sabda Baghaskara jauh lebih besar dari sebuah kesepakatan yang pernah mereka tentukan. Tentu hal itu membuat kegelisahan tersendiri di hati Salma.

Bibir berisinya berdecak lirih, sebelum akhirnya jemarinya mengetikan pesan singkat ke nomor mantan suaminya.

Salma : Mas, kok banyak banget ngirimnya?

Belum ada balasan meski Salma sudah lima menit mengetikan pesan itu. Dia meninggalkan sejenak ponselnya, kembali melanjutkan aktivitas yang semula tertunda.

Hingga tepat pukul 11 siang. Salma baru menerima pesan balasan dari Sabda.

Sabda : Iya. Kebetulan THR sudah cair. Jadi enggak papa kan aku kirim uang lebih. Buat beli baju lebaran Ody dan ... Kamu.

Salma mengernyit, okelah buat Ody- (panggilan kesayangan Sabda ke putri kecilnya) tapi untuk dia, Salma merasa tidak perlu, karena sekarang dia sudah memiliki suami.

Sabda : Jangan tersinggung! kalau memang kamu keberatan, buat Ody- semua aja.

Bibir Salma melengkung membentuk senyuman manis. Rasa lega menyelinap saat membaca pesan balasan ke dua dari Sabda. Saat ini, dia bisa merasakan perubahan yang ditunjukan Sabda. Pria itu berubah, jauh lebih baik dari Sabda lima tahun yang lalu. Dalam doanya, Salma berharap pria itu bisa segera menemukan pengganti dirinya. Kasihan, meski sekarang sudah mapan tapi statusnya masih saja D U D A.

Salma : Okay, Mas.

Salma membalas singkat. Dan obrolan singkat melalui pesan WA itu berakhir.

Selama ini, Salma tidak pernah memakai uang nafkah yang diberikan Sabda untuk Aundy. Dia berusaha menjaga amanah dari seorang ayah yang ingin bertanggungjawab atas kehidupan putrinya. Uang itu hanya dipakai untuk sekolah Aundy.

Meskipun sebenarnya dia dan mas Endra cukup mampu. Tapi, kembali lagi—Salma tak ingin menghalangi Sabda yang hendak menunaikan kewajibannya sebagai ayah kandung dari Aundy Saesya Baghaskara.

Salma dan Sabda memang gagal menjadi pasangan. Tapi, mereka sadar diri—menjaga agar tidak gagal menjadi orang tua. Sejujurnya, Sabda adalah pria pilihannya, cinta pertamanya. Mereka menikah setelah lulus SMA. Tapi sayang, keduanya yang masih tergolong usia dini—tidak bisa mempertahankan biduk rumah tangga yang dibangun. Mereka masih sama-sama mementingkan egonya. Sehingga perpisahan pun adalah jalan terbaik yang dipilih keduanya empat tahun silam.

Satu tahun yang lalu, Salma menikah dengan pria pilihan orang tuanya. Ya, meski awalnya Salma belum memiliki rasa pada Rajendra Arwenda atau kerap dipanggil Endra. Namun, perlahan mas Endra mampu mengisi kekosongan hatinya.

"Buatin aku kopi dong, Sayang!" Perintah Endra, menarik kesadaran Salma dari bayangan masalalu.

Pandangannya menelisik, memerhatikan outfit yang dikenakan Endra. "Loh, Mas Endra mau ke mana? Necis banget?" Tak tahan lagi, dia pun melemparkan pertanyaan itu pada Endra yang baru saja duduk di meja makan.

"Ada urusan sama temanku."

Salma ber-oh ria. Tangan Salam meletakan gawai nya di atas meja. Kemudian berlari kecil menuju dapur membuatkan kopi untuk suaminya.

Mas Endra sendiri adalah operator alat berat di salah satu pertambangan batu bara di Kalimantan Timur. Mereka berdua terpaksa menjalani hubungan jarak jauh. Karena Mas Endra sendiri tidak tega jika harus membawanya ikut serta. Terlebih, Aundy masih duduk di kelas satu SD, kasihan jika harus pindah sekolah.

Dan sudah dua hari, Endra berada di rumah. Seperti biasa, Endra akan di rumah selama dua pekan. Dan kembali bekerja sekitar sepuluh minggu lamanya. Salma tidak mempermasalahkan hal itu, asalkan Endra selalu memegang teguh komitmennya.

Hal yang paling dihindari Salma adalah pengkhianatan. Salma tidak akan memaafkan jika itu dilakukan oleh Endra. Jadi, sebelum mereka berkomitmen, syarat itulah yang diajukan Salma kepada Endra.

Sangking fokusnya Salma membuat kopi, dia sampai tidak menyadari apa yang saat ini dilakukan Endra. Salma kebingungan, saat dia menyajikan kopi itu ke atas meja. Hanya aura negatif yang ditunjukan Endra saat ini.

"Kamu masih berhubungan sama Sabda?!" Endra bertanya dengan suara kasar seraya menunjukkan roomchat Sabda tepat di depan wajah Salma. Sebagai bukti fisik hubungan antara Salma dan Sabda.

Salma tidak bisa membantah karena itu benar adanya. Jadi, dia menganggukan kepala sebagai balasan. Dia sadar kesalahannya, karena tidak memberitahu perihal ini selama menikah dengan Endra, karena dia pikir Endra tidak akan semarah ini.

"Kamu masih cinta sama dia? Aku baru tahu kalau selama ini dia selalu memberimu uang!? Apa uang yang aku kirim masih kurang sampai kamu ngemis-ngemis padanya?! Astaga Salma!" Endra emosi, dia melempar ponsel Salma ke atas meja.

"Mas—

"Stop menerima uang dari Sabda! Aku bisa memenuhi kebutuhan kalian!" Endra menyela.

"Mas, tapi ini bukan perkara mampu atau tidak mampu. Mas Sabda ayahnya Aundy, dia merasa memiliki kewajiban menafkahi Aundy!"

"Mulai hari ini, sebaiknya kamu tutup akses apapun tentang dia. Kalau bisa uang yang baru saja dia berikan, KEMBALIKAN!"

Salma manarik napas dalam, bingung harus seperti apa menanggapi sikap Endra yang super pencemburu ini.

"ATAU, jangan-jangan kamu yang kangen tidur dengannya!"

"Astaghfirullah, Mas! Istighfar... Nggak ada istilah seperti itu di pikiran Salma," bantah Salma, tegas.

"SALMA! harusnya kamu itu bersyukur aku mau menikahimu. Kamu itu janda dengan satu anak! Dapatnya aku seorang perjaka!" bentaknya dengan wajah yang sudah merah padam.

Pasti, pasti selalu kalimat itu yang selalu diucapkan Endra, di saat kita berdebat. Dan sialnya, Salma tidak mampu membalas apapun yang dilontarkan Endra. Karena itu fakta.

Mendengar suara sepeda motor berhenti di depan rumah. Salma pun meminta Endra untuk berhenti memakinya. "Aundy pulang, jangan sampai dia tahu kita bertengkar!" Ujarnya sedikit memohon.

Endra tak merespon, dia justru berlalu. Dan langsung menangkis tangan Aundy yang hendak mencium punggung tangannya.

"Ayah kenapa, Bun?" Aundy menatap heran ke arah Salma lalu ke arah kopi hitam yang masih mengepulkan uap panas. "Ayah marah lagi? Hari ini kenapa? Tumben kopinya tidak diminum." Rasa penasaran Aundy semakin tinggi, apalagi saat melihat mata Salma merah. Sepertinya dia paham jika Salma tidak baik-baik saja.

"Ody, besok libur kan? Nanti malam tidur tempat nenek ya. Biar Om Panji jemput kamu."

"Hum ...." gadis kecil itu mengangguk pelan pertanda setuju.

Mendengar jawaban putrinya, Salma bergegas masuk ke kamar Aundy. Menyusun pakaian ganti untuk anak perempuannya. Dia tidak ingin Aundy mendengar pertengkaran antara dia dan Endra.

Sudah cukup Aundy menjadi anak korban broken home. Dia tidak ingin Aundy ketakutan melihat pertengkaran antara dirinya dengan Endra. Sebab tidak semudah itu Endra melupakan kesalahannya.

Aku Atau Aundy

Malam hari, kota Semarang masih diguyur hujan deras. Hawa dingin terasa menusuk pori-pori kulit Salma yang sedari sore menunggu kehadiran sang suami.

Pukul sembilan malam, Endra tak jua pulang ke rumah. Gelisah mulai hadir, rasa kantuk yang mendera semakin tak tertahankan, tapi Salma— berusaha keras tetap terjaga, menunggu sosok tinggi nan putih itu tiba di rumah.

Tahu akan seperti ini, Salma tidak meminta Aundy tidur di rumah neneknya. Dan sekarang, dia justru kesepian karena tidak ada kawan yang menemani.

Jarum jam semakin mendekat ke angka sepuluh, Salma memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Langkahnya terayun, mendekat ke arah meja—tempat di mana dia meletakan ponselnya.

Sabda : Kenapa dikembalikan uangnya, Sal?

Salma menatap malas pesan balasan dari Sabda. Ya, demi kebaikan pernikahannya dengan Endra, dia memang mengembalikan uang pemberian Sabda. Dia ingin memperbaiki diri dengan taat pada suami.

Sabda : Uang itu buat Ody.

Sabda : Tolong, diterima!🙏

Helaan napas panjang Salma lakukan. Di posisinya saat ini, dia merasa serba salah. Tapi kali ini dia harus tegas, jika tidak ingin rumah tangganya hancur untuk kedua kali. Dia tidak ingin mengecewakan orangtuanya.

Salma : Mas Sabda, mulai bulan ini. Sebaiknya jangan lagi ngirim uang nafkah ke Aundy. Maaf, tapi ini demi kebaikan kita.

Sabda langsung menelpon setelah membaca pesan itu. Tapi Salma, justru mengabaikan panggilannya, hingga nada dering panggilan mati dengan sendirinya.

Sabda : Angkat, Sal! AKU MAU BICARA!

Salma memejamkan mata rapat. Masih mengabaikan pesan yang dikirim Sabda. Berharap setelah ini, Sabda akan berhenti mengganggunya.

Sabda : Kamu kenapa sih, Sal? Bukannya kita udah sepakat buat jadi orang tua yang baik untuk Ody? Kenapa jadi begini!

Salma : Mas, lebih baik uangnya Mas kumpulin untuk persiapan masa depan Mas Sabda. Atau kasih ke ibu.

Sabda : Kok kamu jadi ngatur idupku! aku nggak terima uang ini kamu kembalikan! Satu bulan lagi aku cuti, aku mau kita bertemu.

Ya, Sabda memang bekerja di luar provinsi. Pekerjaannya sama dengan Endra, hanya saja Sabda ditempatkan di Kalimantan Selatan. Tepat setelah membaca pesan terakhir dari Sabda, terdengar suara mobil masuk ke garasi rumah.

Tak ingin pesan itu menjadi bahan pertengkaran baru, Salma lekas menghapus pesan itu. Dia beranjak, menyambut kedatangan Endra.

"Mas Endra sudah makan?" tanya Salma berusaha membuka obrolan, saat melihat pria itu membuka pintu kamarnya.

Namun, Endra mengabaikan pertanyaan Salma. Dia langsung masuk ke kamar mandi, tanpa mengucapkan sepatah katapun kepada Salma.

Lima belas menit menunggu dengan debaran jantung yang begitu cepat, akhirnya Endra keluar dari kamar mandi. Salma bersikap ramah, menebarkan senyuman ke arah pria itu.

Cukup lama mereka saling diam, dan pada akhirnya Salma memutuskan untuk menyapa terlebih dahulu. "Mas Endra mau aku siapin makan malam?"

"Enggak perlu." Endra menjawab singkat, tanpa mengalihkan pandangannya dari benda pipih di tangan. Tidak lama, pria itu berganti posisi dengan memunggungi Salma.

Rasanya tidak nyaman sekali, mereka hanya bertemu selama 14 hari dan hari ini justru hubungan ke duanya tidak baik-baik saja.

"Mas Endra masih marah sama Salma?"

Tidak ada jawaban apapun, Salma berusaha melingkarkan lengannya ke pinggang Endra. Tapi tidak ada respon apapun yang diberikan pria itu.

"Mas Endra, maafin Salma ya ..." ucapnya pelan, dia mengakui kesalahannya. Dan sekarang, Salma bisa melihat Endra menyimpan gawainya ke atas meja. "Mas Endra dari mana? Kok baru pulang?" selidiknya. Paham jika kini Endra sudah fokus, dia mulai berbicara serius.

"Rumah teman."

"Siapa? Ada acara, kok bisa dari siang sampai malam begini?" Belum juga menjawab, Salma kembali melemparkan pertanyaan. "Tumben Mas Endra tidak mengajakku?"

"Udahlah, aku mau tidur mengantuk!" Endra menjauhkan tangan Salma dari tubuhnya.

"Bentar dulu, Mas! kita butuh bicara."

"Bicara apa! Tidak ada yang perlu dibicarakan!"

"Uang. Uang dari Mas Sabda udah Salma kembalikan. Jangan marah lagi!"

Endra hanya berdehem pelan.

"Kebutuhan Aundy Mas yang tanggung, kan?"

"Ya."

Meski jawabannya singkat, Salma lega Endra masih berniat menjawab pertanyaannya. "Mas, besok ke rumah ibu ya—sudah dua hari mas pulang. Tapi belum sempat lihat ibu."

"Hm ...."

Hening, sebenarnya malas juga Salma melayani Endra yang terlihat enggan padanya. Tapi, diam juga bukan solusi karena dia suami nya.

"Mas, Aundy tidur di rumah neneknya." Salma memberitahu, mengingat biasanya mereka selalu diganggu oleh keberadaan Aundy di kamar itu.

"Terus, emangnya mau apa kalau Aundy di rumah ibu?" balas Endra malas.

"Ya, mumpung nggak ada dia, emang mas enggak mau minta jatah! Udah aku lingkarin jadwal masa suburku." Salma menunjuk ke arah kalender yang ada di tembok.

"Tidak dulu, aku capek!" tolak Endra, sembari memejamkan mata.

Mendengar penolakan itu, Salma berusaha menjauhkan tangannya dari pinggang Endra. "Sebenarnya apa yang salah ya, Mas? Perasaan setiap mas Endra cuti, aku juga dalam fase subur. Apa kita perlu datang ke dokter?"

"Mungkin kamu yang sudah enggak subur, kamu kan udah pernah melahirkan!" balas Endra tegas, kemudian memutar posisinya menghadap Salma. "Setiap aku pulang dari Jawa, yang selalu mereka tanyakan adalah kehamilanmu. Aku bingung harus menjawab apa lagi kalau sampai cuti ini tidak ada hasil."

Salma memikirkan ucapan Endra, dia juga tidak ingin seperti ini. "Salma merasa tidak ada masalah dengan kesuburan Salma. Buktinya Salma pernah melahirkan. Bukankah yang perlu dicurigai itu Mas Endra! Setiap Mas Endra kerja, kan pakai celana jeans ketat!" balas Salma, tak terima jika Endra mengatainya tidak subur.

Endra tak berbicara lagi, ingin berusaha terlelap tapi sebelum memejamkan mata, dia kembali berkata. "Awasi Aundy, jangan sampai dia menerima uang atau bertemu dengan Sabda!" pesan Endra.

"Mas, kalau Salma bisa saja menjauh dari mas Sabda. Tapi, Aundy, bagaimanapun Sabda adalah ayah kandungnya. Pasti akan terasa aneh jika aku tiba-tiba melarangnya supaya tidak berhubungan."

Wajah Endra tampak kesal. "Sekarang kamu pilih aku atau Aundy!" ujarnya dengan mata melotot tajam ke arah Salma.

Satu hal yang sangat sulit bagi Salma saat ini, memilih antara suami dan putrinya. Siapapun pasti tidak mau dihadapkan pilihan sesulit ini. Apalagi dia mulai berharap kalau mas Endra adalah cinta terakhirnya. Dia tidak ingin gagal lagi, dia harus menjauhkan ikatan pernikahannya dari kata perceraian.

"Enggak bisa milih, kan?" Sembur Endra. Sengaja menggunakan Aundy sebagai senjata untuk mengancam Salma.

"Aku menyayangi kalian. Jadi, please mengertilah ...." Satu kalimat yang terdengar mengiba, tapi Endra tetaplah Endra dengan segala bentuk temperamennya.

Tak ada suara lagi setelah itu, Endra terlelap meninggalkan kebingungan yang sedang melanda Salma.

Perpisahan

“Ayah, perginya jangan lama-lama ya!” ucap Aundy mengucapkan salam perpisahan kepada Endra, dengan mata dan pipi yang sudah merah menahan tangis.

Salah satu tujuan Salma menikah supaya putrinya memiliki kasih sayang utuh dari ayah dan bundanya. Tapi, jika begini adanya—terkadang dia berpikir bukankah ini sama saja melukai hati Aundy, karena setiap tiga bulan sekali terpaksa harus melewati salam perpisahan. Sepertinya, Salma harus kembali membujuk Endra supaya mau membawa mereka ke Kutai Kartanegara.

Dua minggu terasa begitu cepat berlalu, kini Aundy dan Salma tengah mengantar Endra ke bandara Ahmad Yani, Semarang. Sebenarnya, perpisahan adalah hal yang paling dihindari oleh Salma. Tapi apa boleh buat, keadaan memaksanya untuk melakukan itu.

“Aundy jangan nakal ya, jagain Bunda,” ucap Endra sebelum melepas pelukan Aundy. Lalu beralih ke Salma. “Udah jangan nangis!” ucap Endra, dia paling tidak suka jika kepergiannya untuk bekerja ditangisi seperti ini. Jemarinya menghapus air mata Salma, kemudian mengecup kening, kedua pipi, hingga terakhir kecu pan di bibir.

“Hati-hati ya, jaga kesehatan. Jangan lupa sering telepon kalau pas off.” sistem kerja Endra masih tergolong enak, perusahaan tempatnya bekerja mengaduk sistem kerja 3 hari masuk pagi 3 hari masuk malam dan 3 hari waktu istirahat. Berbeda dengan sistem kerja Sabda yang 12 satu, artinya 12 hari kerja satu hari libur.

“Ya, kamu juga.”

Salma mengangguk, lalu dengan berat hati melepas suaminya pergi. Dia mengamati Endra yang semakin menjauh darinya. Perlahan tubuh pria itu tertutupi oleh beberapa orang yang ada di sana. Hingga kemudian, Salma benar-benar tidak bisa melihat bayangan pria itu.

“Ayo, Bunda! Kita ke mall, kan?” masih dengan baju seragam merah putih, Aundy mendongak, menatap Salma yang masih mengamati jejak langkah Endra.

“Bunda!”

“Iya. Ayo!” Salma kemudian menuntun putrinya untuk mencari taksi. Di rumah memang ada mobil, tetapi Salma tidak memiliki keberanian untuk mengemudikan, jadi jika tidak ada Endra, dia hanya menggunakan motor matic saat bepergian.

Sesuai janji Salma pada Aundy, setelah ayah sambungnya itu pergi demi mengurangi kesepian Salma membawa Aundy jalan-jalan. Dan kali ini Salma menuruti kemauan Aundy yang meminta bermain ke timezone.

Sebelum masuk mall, Salma membawa Aundy untuk berganti baju. Lalu menuntun anak gadisnya menuju lantai tiga, di mana lokasi permainan itu berada. Setelah berhasil membeli tiket, Salma mengambil duduk, sambil mengawasi Aundy yang tengah bermain.

Sudah sepuluh hari memasuki bulan puasa. Mall pun sudah cukup ramai. Banyak mereka mencari koleksi baju lebaran. Mengawasi situasi sekitar mendadak Salma teringat akan mantan suaminya yang dulu sempat mengirimkan uang untuk membeli baju lebaran.

"Bundaaaa!" teriakan suara Aundy membuat Salma menoleh, pandangannya langsung tertuju pada Aundy yang melambaikan tangan ke arahnya. Dia pun membalas lambaian tangan Aundy lengkap dengan senyuman yang begitu lebar.

Sampai tepat pukul satu siang, Salma membawa Aundy keluar dari lokasi timezone. Kebetulan hari ini dia sedang tidak puasa lantaran kedatangan tamu bulanan.

Alasan itu pula yang membuat Endra kecewa lantaran jadwal tamu bulanan Salma yang datang lebih awal. Di dalam aplikasi yang dibagikan kepada Endra, tercatat Salma akan datang bulan tanggal 15. Tapi kemarin tanggal 9 dia sudah datang bulan. Alhasil, waktu dua minggunya terpotong dua hari.

"Bunda, aku mau makan!" rengek Aundy, seraya memegangi perutnya.

"Mau makan apa?"

"Ayam katsu."

Salma tersenyum, lalu menuntun anaknya ke salah satu foodcourt yang ada di lantai empat.

Keduanya begitu girang, Aundy memamerkan kupon hadiah yang baru saja didapatkan. Tapi, dia berniat mengumpulkannya terlebih dahulu, dan akan menukarnya saat nanti bersama ayah Sabda.

Salma sempat akan berbalik arah, saat melihat mantan mertuanya berada di salah satu kursi yang ada di sana. Tapi terlambat, karena Bu Habibah sudah melihatnya terlebih dahulu, dia tidak ingin terkesan menghindari mantan mertuanya itu.

"Hah, ada cucunya embah ... Mau maem, Sayang, maem apa? Sini -sini gabung sama embah!" Ajak perempuan itu, begitu ramah terhadap Aundy. Tapi berbeda perlakuan terhadap Salma, dia hanya dianggap makhluk tak kasat mata.

Meski begitu Salma tidak mempermasalahkan hal itu. Dia berusaha sopan, tidak ingin nama baik keluarganya tercoreng.

Meja yang mereka tempati sudah penuh, satu kursi yang tadi tersisa sudah diisi oleh Aundy. Setelah berhasil menyalami tiga wanita yang hadir di sana. Salma membuka meja baru tepat di samping mereka.

"Ayo, ayo salim dulu! Ini namanya Tante Hani, dia calon mamanya Ody!" Bu Halimah memperkenal wanita yang ikut duduk di meja no 16. Cantik, muda dan yang pasti satu strata dengan Bu Habibah.

Meski rasa penasaran Salma sudah menyentuh hampir 100 persen. Tapi dia tidak ingin langsung melihat ke arah perempuan itu. Salma menunggu waktu yang tepat untuk melihat ke arah calon dari Sabda.

"Embah putri, tapi ayah Sabda bilang dia nggak mau nikah kok!" bantah Aundy, setelah selesai bersalaman dengan Hani.

Ucapan menggemaskan dari Aundy disambut gelak tawa dari tiga perempuan yang duduk di sana. Mereka menganggap ucapan Aundy itu lucu, karena siapa sih yang akan menolak pesona Hani.

"Ayahmu sama Tante Hani, setelah lebaran mau tunangan dulu, Cah ayu. Nanti jangan lupa bobo tempat embah ya!" bujuk Bu Habibah.

"Sama bunda ya, Mbah? kalau Aundy boleh bawa bunda, Aundy mau."

"Ya jangan! hla gimana kok sama bunda." Bu Habibah menolak tegas, diiringi tawa palsu seraya melirik ke arah calon besannya.

Melihat raut kecewa Aundy, Salma buru-buru mengambil alih situasi. "Aundy, maem dulu Sayang!" kebetulan sekali, ayam katsu yang diinginkan Aundy baru saja datang. Dan saat itu juga, Salma bisa melihat sosok wanita yang hendak menikah dengan Sabda.

Satu kata yang mengusik isi kepalanya—sempurna. Dari penampilan fisik yang bisa ditangkap Salma, Hani adalah sosok perempuan sempurna. "Mari, Bu!" tawar Salma, mencoba sopan. Meski tak ada satupun yang menjawab sapaanya itu.

Salma memilih memperhatikan Aundy yang tengah makan dengan lahap. Aundy sangat menyukai ayam katsu lengkap dengan saladnya, sama hal nya dengan Sabda. Entahlah, setiap apa yang dilakukan Aundy, dia merasa menemukan sosok Sabda dalam versi perempuan.

Melihat Aundy nyaris menghabiskan isi piringnya, Salma memutuskan untuk izin ke toilet terlebih dahulu. "Jangan ke mana-mana ya, Aundy. Duduk sini saja!" Pesan Salma.

"Bunda mau ke mana?"

"Ke toilet sebentar, ada di sana kok!" Salma menunjuk ke arah sudut ruangan, di mana ada tulisan yang menunjukan tempat yang dia cari.

Mendapat respon anggukan kepala dari Aundy, Salma menitipkan aundy pada mertuanya. Dia butuh mengganti pembalut sebelum pulang ke rumah, khawatir akan bocor di jalan dan mengotori taksi yang ditumpangi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!