NovelToon NovelToon

Gadis Rahasia Tuan Thesar

Tolong, Selamatkan Aku

"Karena kamu, Clara Amanda."

Sebuah jawaban ambigu atas pertanyaan yang membelenggu hidup Clara selama dua belas tahun. Menjadi gadis yang dirahasiakan keberadaannya sejak berusia sepuluh tahun, tentu bukanlah sesuatu yang mudah dijalani.

Demi menjaga keselamatannya tetap terjaga, Clara harus menjadi sosok gadis manis, tidak banyak bicara, dan tentu patuh kepada seorang pria angkuh dingin yang mengurungnya. Pria itu biasa dia panggil Teshar.

“Kali ini aku tidak boleh gagal,” gumam Clara seraya mengepalkan jemarinya erat-erat.

Setelah melalui banyak hal selama berada di dalam ruangan rahasia tempat tinggal Teshar, malam ini Clara sudah membulatkan tekad untuk melarikan diri.

Rencana kabur malam ini bukan merupakan percobaan untuk kali pertama. Clara sudah tiga kali melakukannya dan berakhir dengan kegagalan yang menyesakkan dada. Tentu saja membuat Teshar murka. 

Pria itu tidak pernah menyentuhnya. Gadis itu dinilai begitu kotor hingga berbicara dengannya saja merupakan sesuatu yang dihindari Teshar, meskipun hampir setiap hari pria itu mengunjunginya. Memastikan bahwa keadaannya sehat dan dilayani dengan baik oleh dua orang pelayan pilihan.

Malam ini suasana kediaman Teshar dan orang tuanya tidak seperti biasanya. Tampak ramai dengan banyaknya tamu undangan yang datang. Hal itu tidak luput dari pengamatan Clara. Ia telah memperkirakan sebelumnya setelah menguping pembicaraan dua pelayan pribadinya.

Gadis yang kini telah berusia dua puluh dua tahun tersebut kembali merancang aksi nekat untuk yang ke empat kalinya. Dia akan menyelinap di antara tamu undangan dan pergi tanpa ada yang mencurigai. Rencana kali ini lebih matang dari yang pernah dilakukan Clara sebelumnya.

Clara belum beranjak dari tempatnya, mengintip di balik tirai putih jendela kamar. Ia fokus mengamati jalannya acara yang mengusung tema pesta kebun, digelar di area taman samping yang menjadi pemisah dua kediaman milik keluarga Indira. Lahan luas itu terdiri dari dua bangunan utama milik Teshar dan satunya lagi milik orang tuanya. Meskipun dekat, tapi orang tua Teshar tidak pernah berkunjung ke rumah yang ditempatinya.

“Huh! Gaya busanaku sudah mirip seperti mereka yang datang, 'kan,” gumam Clara merasa lega setelah memastikan kostum para tamu wanita terlihat juga mengenakan gaun malam layaknya seorang putri. 

Malam ini merupakan hari perayaan ulang tahun pernikahan orang tua Teshar yang ke-50 tahun. Semua orang tampak sibuk, pelayan maupun pengawal yang menjaga kediaman itu tidak berada di tempat biasanya. Semua fokus berjaga di lokasi pesta. Sebuah kondisi yang menguntungkan bagi kelancaran rencana Clara. 

Angin malam masuk ke dalam kamar melalui celah jendela yang sedikit terbuka membuat tubuh Clara sedikit menggigil. Kulitnya yang putih pucat dengan urat ungu kebiruan tampak tercetak jelas. Gadis itu sampai lupa kapan terakhir kali mencium aroma matahari dan rasanya menginjak tanah. Hatinya diliputi kesedihan setiap kali membayangkan betapa berat hari-hari yang harus dilaluinya selama ini.

“Clara, bersabarlah.” Gadis itu mencoba menyemangati dirinya sendiri. “Dunia bebas sudah menanti."

Dia mengusapkan kedua belah telapak tangannya untuk mengurangi kegelisahan yang mulai melanda. Waktunya sangat sempit, ia sudah harus keluar dari ruangan ini dan bergabung dengan tamu sebelum acara selesai, atau kesempatan emas itu akan berakhir sia-sia. 

Clara segera melangkah ke arah cermin yang menempel pada dinding sebelum keluar dari kamar. Mematut diri sambil mengatur napas untuk melenyapkan kecemasan. Gadis itu mengepalkan tangannya erat ketika melangkah menuju ke arah pintu.

Tangan gadis itu menggeser pelan sekat yang memisahkan antara kamarnya dengan sebuah ruangan luas berupa perpustakaan pribadi Teshar. Tampak berjajar rak tinggi berjumlah puluhan dengan ribuan koleksi buku di dalamnya. Satu-satunya jendela dunia bagi Clara untuk mengetahui dan mempelajari ilmu pengetahuan selama tinggal di ruangan itu.

Clara melangkah pelan, memilih untuk menenteng sepatunya untuk mengurangi suara benturan lantai marmer yang dipijak. Tangannya dengan perlahan membuka pintu yang tidak dikunci. Dua Pelayan pribadinya tidak lagi mengunci pintu setelah Clara bersikap baik dan tidak pernah membuat masalah selama satu tahun ini. Kondisi ini membuat hatinya lega. 

Setelah mengamati koridor ruangan yang lengang tanpa ada satu pun pengawal berjaga, Clara segera keluar lalu menutup pintu pelan tanpa meninggalkan suara. Tidak ingin membuang banyak waktu, gadis itu melangkah cepat menyusuri koridor yang memiliki pilar-pilar kokoh sebagai penyangga.  

“Aku harus memilih jalan yang mana ini?” gumamnya bingung. 

Banyak jalur persimpangan yang membuatnya ragu dalam menentukan jalan mana yang benar menuju ke lantai bawah. Ruangan itu sangat besar seperti dalam kastel, banyak deretan pintu ruangan yang tertutup rapat. Clara tetap berlari kecil dengan pikiran semrawut.

“Harusnya peta bayangan yang sudah kubuat tidak membuatku tersesat.” Clara menggeram kesal dalam hati. 

Gadis itu terus berlari menyusuri lantai marmer yang dingin dengan bertelanjang kaki, menjinjing gaun putih panjang yang ia kenakan. Napasnya tersengal karena seumur hidup baru kali ini ia berlari. Wajahnya yang putih pucat pun mulai memerah dengan butiran keringat membasahi dahi.

“Huh. Ada orang!” pekiknya terkejut ketika akan berbelok ke salah satu persimpangan terdapat dua pengawal sedang berjalan ke arahnya.

Clara pun segera memutar arah dengan panik, berusaha mencari tempat untuk bersembunyi sementara. Gadis itu kembali mundur dengan tangan terus mencoba untuk membuka satu persatu kenop pintu di sepanjang langkahnya.

“Tolong, Tuhan. Sisakan ruang tidak terkunci agar aku bisa bersembunyi,” pintanya penuh harap.

Lorong yang sunyi membuat jejak sepatu pengawal yang berjalan pun semakin terdengar mengintimidasi. Clara hanya bisa menahan napas penuh kecemasan, jantungnya berdebar kencang. Gadis itu memeluk sepatunya dengan satu tangan, sedangkan yang lain menggenggam gaun panjangnya agar leluasa dalam bergerak. Jujur saja, ia sangat membenci model gaun yang selalu dipakainya.

“Laki-laki menyebalkan itu suka sekali menyiksaku dengan memberikan pakaian jelek seperti ini.”

Clara menggerutu, masih terus berjalan tergesa untuk mencari tempat bersembunyi. Ia sangat berharap usahanya malam ini berhasil. Clara masih berupaya membuka pintu di sepanjang lorong Yang dilaluinya. 

“Bagaimana ini. Pengawal itu semakin dekat,” bisiknya frustrasi.

Dia sangat berharap menemukan satu ruangan tidak terkunci karena tidak ada lagi tempat bersembunyi. Lorong yang dilaluinya panjang tanpa terdapat sekat. 

Tepat ketika dua pengawal kediaman Teshar muncul di tengah persimpangan, Clara akhirnya berhasil membuka salah satu dari puluhan pintu yang berjajar di koridor tersebut. Buru-buru gadis itu masuk dan menutup dengan perlahan agar tidak menimbulkan suara. Alangkah lega hatinya ketika berhasil lolos untuk ujian permulaan.

Clara memutar pandangan, segera menangkap suasana ruangan yang hangat, lampu redup. Sebuah kamar berisi ranjang yang besar, di sisi dinding sebelah kanan terdapat deretan lukisan dan foto-foto seorang anak kecil.  Di sebelah kiri terdapat bufet, sofa, dan kursi malas menghadap ke arah jendela kaca yang lebar menampakkan gelap malam.

“Kamar siapa ini?”

Kepala gadis itu memutar arah, memindai ruangan. Ia menebak kalau kamar yang dimasukinya pasti ada penghuninya.  

Sambil mengatur napas agar lebih tenang, Clara berkeliling lebih jauh ke dalam ruangan itu. Menilik beberapa barang yang tergeletak di atas nakas. Melangkah lagi mendekat ke arah ranjang di mana sebuah barang kotak persegi panjang tergeletak di sana. Tangannya pun terulur untuk meraih benda itu hingga bunyinya yang nyaring mengejutkan Clara. Gadis itu mundur tiga langkah, dadanya berdebar kencang.

“Apa itu yang namanya ponsel?” gumamnya ingin meraih benda itu. Namun, tanpa sengaja tangannya malah menjatuhkan sebuah remote control TV yang berada di sebelahnya hingga menimbulkan suara nyaring di lantai.

“Ops!” Secara spontan Clara membekap mulutnya dengan telapak tangan. Dia tidak menyadari satu sepatunya terlepas dari genggaman.

“Siapa itu di luar!” Suara teriakan dari dalam kamar mandi membuat Clara tersentak. Suara familier yang bisa dipastikan siapa pemiliknya.

Bola mata gadis itu membelalak, kepanikan segera menguasainya ketika kenop pintu tempat pria itu berada berputar hendak terbuka.

“Pelayan!” teriak pria itu seraya membuka pintu.

“Hah! B-benar 'kan, itu kak Teshar?” Clara terpekik kaget.

Buru-buru ia beringsut mundur, bergegas membuka pintu lalu keluar dari kamar. Ia berharap dua pengawal yang melintas di koridor sudah pergi dan tidak menemukannya.

Usaha Kabur

Clara kembali berlari menyusuri lorong rumah itu tanpa menoleh lagi ke belakang. Mencari jalan keluar bagaimanapun sulitnya. Dihadapkan lagi pada beberapa persimpangan yang menghubungkan antara area satu dengan yang lain. Membuatnya bingung harus memilih jalan yang mana. Ia pun segera menghentikan langkah ketika melihat tangga yang mengarah ke lantai bawah.

“Bagaimana ini? Aku tidak boleh sampai ketahuan," keluhnya ketakutan. "Haruskah aku turun? Aku bersembunyi di mana?" Ia merasa bingung karena panik.

Clara menoleh lagi ke belakang sebelum memutuskan untuk menuju ke lantai bawah. Setelah menyadari beberapa pengawal terlihat berjalan di koridor, ia pun bergegas turun.

”Biarlah, rasanya sama saja aku akan celaka kalau kembali ke kamar," gumamnya menguatkan tekad untuk kabur dari sana. 

Clara menuruni anak tangga dengan langkah lebih cepat. Terasa sangat dingin ketika kakinya sudah menginjak lantai batu pualam. Ia sangat kesal setelah sadar bahwa satu sepatunya telah terjatuh. Dengan terpaksa ia berjalan jinjit untuk mengurangi rasa kurang nyaman yang menjalari telapak kakinya.

“Permisi, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pelayan yang tiba-tiba sudah berada di belakangnya. Clara spontan menghentikan langkah dengan gugup. Ia menelan ludah, menahan napasnya dengan hati cemas.

”Ya Tuhan, apa aku sudah ketahuan?" batinnya tegang, dia belum berani menoleh. 

“Nona, permisi?" panggil pelayan itu lagi sambil berjalan, mendekati Clara yang berdiri mematung di tengah ruangan.

”Tuhan, tolong selamatkan aku.“ Clara memohon dengan batin ketakutan. Matanya terpejam.

Clara memejamkan mata ketika seorang pelayan wanita datang menghampiri. Tangannya gemetar, masih memeluk satu buah sepatu yang tersisa dengan erat. Ia tidak berani menoleh sama sekali ke arah pelayan itu karena takut kalau sampai ketahuan.

“Nona?" panggil pelayan itu lagi dengan suara lembut.

”Ah, iya. M-maaf, saya tersesat," jawab Clara dengan gugup—masih belum menoleh ke arah pelayan itu.

Perasaannya diliputi kegelisahan yang mendalam. Kalau sampai usahanya untuk kabur malam ini gagal pada tahap permulaan, sudah jelas keinginannya untuk keluar dan merasakan kehidupan bebas akan lenyap, tidak akan ada lagi kesempatan sebaik malam ini. Dia sangat berharap pelayan itu tidak mengenalinya. Clara masih berusaha untuk menyelesaikan misi berisiko ini agar lepas dari kehidupan Teshar untuk selamanya.

Pelayan itu segera menghampiri Clara sambil tersenyum hangat. Memandang ke arah Clara yang terlihat sangat cantik dan polos. Sambil menunduk hormat, pelayan itu menyapa Clara seraya memberi isyarat dengan tangannya—bermaksud menunjukkan jalan keluar menuju ke arah taman kepada Clara.

Clara masih berusaha terlihat tenang, padahal jauh di lubuk hatinya ia merasa sangat cemas. Gadis itu lalu membalas pandangan pelayan itu dengan sikap wajar. 

“Silakan ikuti saya, Nona. Dari tadi banyak tamu yang datang dan berniat ke kamar mandi malah tersesat karena rumah ini sangat besar," ucap pelayan itu membuat Clara bernapas lega. 

”Benarkah? Saya jadi malu karena sudah tersesat dan bingung harus ke arah mana," sahut Clara mencoba untuk berkelit agar pelayan rumah itu— tidak curiga.

“Tidak, Nona. Saya sendiri kadang juga masih sering tersesat," jawab pelayan itu tersenyum menanggapi.

Pelayan itu pun berjalan mengiringi langkah Clara menuju ke luar rumah—lebih tepatnya ke arah kebun terbuka, tempat pesta mewah itu digelar. 

Clara berjalan pelan, membuang sepatunya yang tinggal sebelah ke dalam rimbunan tumbuhan perdu tanpa disadari pelayan yang menemaninya. Gaun panjang yang kini ia kenakan sudah pasti menutupi kakinya saat menginjak rumput. Ia menahan rasa tidak nyaman dan geli pada telapak kakinya agar tidak terlihat mencurigakan.

”Silakan Nona ikut bergabung ke pesta kembali. Saya hanya bisa mengantarkan Nona sampai di sini," ucap pelayan itu menunduk serta berpamitan pada Clara. 

“Terima kasih.” 

Clara mengangguk cepat seraya tersenyum, mempersilakan pelayan itu untuk pergi meninggalkannya. Hatinya lebih lega. 

“Wah! Pestanya sangat mewah dan meriah. Mereka berdansa seperti gambar di beberapa buku dongeng yang pernah kubaca," gumamnya sendiri sambil melangkah mendekat, bola matanya berbinar sangat senang bisa bergabung ke dalam pesta itu untuk pertama kali.

Kepolosan gadis itu terlihat sangat kentara. Clara yang seumur hidup hanya tinggal di dalam ruang hampa bersama buku-buku dan kesepian, merasa sangat kagum dan takjub dengan pemandangan yang ada di hadapannya. Dengan langkah antusias ia menghampiri meja yang tersaji penuh dengan makanan dan minuman di atasnya. 

Pesta kalangan orang kaya tidak begitu memedulikan keadaan sekitar. Sangat menguntungkan karena tidak akan ada tamu yang memperhatikan kehadiran Clara di dalam pesta. Gadis berparas cantik itu bisa sepuasnya mengambil dan memakan hidangan apa saja yang berada di atas meja pesamuhan bersama para tamu lain. Ia tidak menyadari sama sekali ada sepasang mata tajam kini tengah fokus memandang ke arahnya. Clara terlihat masih asyik menikmati sajian makanan yang belum pernah dirasakannya tanpa memikirkan bisa saja sebuah ancaman datang padanya.

”Ya ampun, kenapa aku malah ikut pesta. Aku harus pergi sekarang. Setidaknya ketika perutku sudah kenyang, aku kuat berlari.“ Clara tersenyum, menyemangati diri sendiri. 

Gadis itu segera sadar lalu beringsut mundur dari pesta setelah mengamati semua tamu yang hadir sedang ramai bertepuk tangan, menyambut kedua pasangan berusia enam puluhan yang kini tengah berpelukan sambil menyampaikan ungkapan hati di atas panggung.

Clara melangkah secara perlahan sambil mengamati arah jalan keluar menuju ke sebuah gerbang tinggi. Pagar yang biasanya tertutup rapat kini terbuka separuh. Tampak beberapa penjaga tengah bercengkerama di salah satu sisi pintu sembari mengawasi kedatangan para tamu.

”Bagaimana caraku melewati mereka semua?" gumam Clara mencoba mencari ide. 

Clara terus berjalan tanpa memedulikan kerikil kecil yang mulai membuat telapak kakinya tidak nyaman. Jarak tempatnya berdiri saat ini hanya menyisakan beberapa meter saja dari gerbang tinggi itu berada. 

“Aku harus pergi sekarang atau terjebak selamanya," ucap Clara penuh tekad.

Gadis itu segera berjalan dengan langkah yakin saat menghadap ke arah para penjaga pintu yang sedang bertugas. Meski jelas kaki dan tangannya gemetar, tapi itu semua tidak menurunkan tekadnya untuk pergi dari rumah itu. 

”Selamat malam, Nona. Apa yang bisa saya bantu?" tegur penjaga itu sambil melangkah maju, berusaha menutupi jalan Clara.

Clara merasa yakin bahwa keberadaan dirinya di rumah itu hanya diketahui segelintir orang saja. Jadi, sangat aman baginya bila sedikit berbohong agar bisa lolos dari pemeriksaan penjaga gerbang yang bertugas. 

“Aku sedang ingin menghampiri teman yang masih berada di luar," jawab Clara mendongak menatap penjaga itu seraya memasang wajah tegas penuh percaya diri.

Penjaga itu segera menunduk canggung saat melihat gadis cantik di hadapannya itu tersenyum. Clara malah bingung sendiri melihat reaksi dari penjaga yang tiba-tiba malah bersikap kikuk.

”Memangnya di wajahku ada sisa makanan, ya?" tebaknya polos sambil mengusap wajah.

Penjaga itu hanya tersenyum menanggapi. Tidak menduga, ada salah satu dari tamu dari kelas atas, tetapi masih bisa bersikap sangat ramah terhadap penjaga seperti dirinya. Penjaga itu diliputi perasaan kagum.

“Baiklah, Nona. Silakan Anda menemui teman Anda di luar.” Penjaga itu akhirnya memberikan jalan kepada Clara.

Gadis itu tersenyum senang, mengangguk sambil mengucap terima kasih dan bergegas keluar dari gerbang tinggi itu. Perasaannya senang bukan kepalang, apalagi dia tidak harus bersusah-payah sampai berlari dari taman menuju ke luar.

”Ini bukan mimpi, 'kan?" gumam gadis itu sambil menoleh lagi ke belakang dengan sorot mata berbinar.

Clara berjalan melewati beberapa mobil yang berjajar parkir di sepanjang bahu jalan. Itu semua memudahkan dirinya agar tidak terlihat oleh beberapa penjaga keamanan yang berada di area luar kediaman keluarga Indira. Clara sesekali masih menoleh ke arah bangunan rumah mewah tempat ia terjebak di dalamnya. 

“Aku harus ke mana ini?" gumam Clara merasa bingung ketika sudah jauh berada di persimpangan jalan.

Kepalanya memutar celingukan ke sana kemari, merasa ragu harus memilih ke arah mana. Lingkungan asing di malam hari benar-benar membuatnya bingung sendiri. Apalagi tanpa bekal apa pun, sudah jelas ia akan mati kelaparan di jalanan. Dengan langkah lemah, kaki perih, ia memilih ke arah kanan dari tempatnya berdiri saat ini.

”Setidaknya ketika mati nanti, kamu sudah merasakan dunia bebas, Clara," gumamnya menyemangati diri sendiri.

Ia terus menjejakkan kaki pada permukaan aspal yang semakin terasa kasar dan perih, tanpa alas kaki. Entah sejauh mana ia kuat dalam melangkah. Clara tidak tahu bahaya apa yang akan mengintainya bila berkeliaran di dunia luar.

Kemurkaan Teshar

Teshar keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah. Masih menggunakan bathrobe, ia menuju ke arah tempat tidur seraya meraih ponselnya yang tergeletak di atasnya. Ia memeriksa beberapa pesan yang masuk dan segera membalas pengirim yang menurutnya penting. Mengabaikan remote control TV yang tergeletak di lantai.

Setelah selesai dengan ponselnya, Teshar segera bangkit dari tempat tidur, berjalan ke arah jendela sambil mengusap rambutnya yang masih basah dengan handuk. Ia mengamati jalannya pesta dari kamar. Sebentar lagi ia juga akan menyusul ke sana setelah selesai bersiap.

Tidak diragukan lagi, dalam menjalankan bisnis Teshar sangat profesional. Pria itu mengerjakan semuanya dengan baik dan memuaskan. Kesibukan mengurus perusahaan hampir menyita seluruh waktu yang dimilikinya. Orang tuanya sangat memahami mengapa ia sampai terlambat hadir dalam acara penyambutan para tamu. Malam ini Kenan—adiknya, yang bertugas menggantikan posisinya untuk memberi sambutan kepada para tamu.

“Dasar adik payah!" decaknya saat mendengar Kenan mengucapkan salam dengan bahasa sembarangan di atas podium penyambutan. Suara sang adik terdengar jelas dari dalam kamarnya.

Kenan merupakan saudara Teshar yang terpaut usia tujuh tahun lebih muda. Seorang pria yang menghabiskan sebagian besar waktunya hanya untuk bermain-main serta menghamburkan uang. Kelakuan bodoh yang membuat Kenan tidak dipercaya orang tua untuk memimpin satu pun perusahaan. Kenakalan yang membuat Teshar cukup kesulitan membawa adiknya menjadi seorang pebisnis yang kompeten, sehingga bisa membantunya mengurus perusahaan keluarga. Hanya Teshar satu-satunya tumpuan orang tuanya untuk saat ini.

Teshar terkekeh pelan saat mendengar gaya bicara santai khas anak muda yang terdengar dari kamar, sambil senyum-senyum sendiri pria bertubuh atletis itu menuju ke arah lemari untuk mencari pakaian yang cocok untuknya. Mengambil satu dari sana dan segera mengaplikasikan pada tubuhnya yang wangi beraroma sabun.

Teshar terkejut, secara refleks ia pun berjingkat untuk menghindari sesuatu. Merasa kaget karena telapak kakinya mengenai benda runcing saat hendak melangkah. Ia segera meraih sakelar yang berada di dinding sebelahnya. Setelah lampu menyala terang, ia memastikan benda yang tidak sengaja diinjaknya sambil menundukkan kepala.

”Benda apa ini?" Sambil berjongkok ia memungut benda itu dari lantai.

Teshar mengamati dengan detail high heels perempuan yang kini berada di tangannya. Ia merasa pernah melihat sepatu itu, tapi lupa saat berada di mana. Ada banyak wanita yang sudah dia temui, tapi tentu saja ia akan segera melupakan wajah itu. Ia tidak pernah mengingat mereka semua, apalagi sampai pada bentuk sepatunya. Bagi Teshar, itu bukan sesuatu yang penting.

“Aku sering melupakan wajah wanita yang pernah kutemui, tapi sepatu ini sangat familier."

Teshar mendengus, menatap tajam sepatu yang kini berada di tangannya dengan pikiran menerka-nerka. Setelah menyadari sesuatu, ia pun meremas sepatu itu dengan wajah menegang dan bergegas keluar dari kamar.

”Aku yakin, sepatu ini pasti milik Clara, tapi kenapa bisa ada di kamarku?" gumamnya masih menyusuri koridor yang masih berada satu lantai dengan kamarnya sambil berlari kecil.

Timbul perasaan antara geram dan cemas. Ia tidak menyangka Clara berani menyelinap memasuki kamar miliknya. Ia mengingat kembali saat mendengar suara benda terjatuh ketika sedang berada di kamar mandi. Ada seseorang yang masuk ke kamarnya, tetapi tidak ada sahutan sama sekali saat ia memanggil. Ia merasa yakin, orang itu pasti Clara.

Teshar menghentikan langkah ketika sampai di ruang pribadinya. Ia pun segera meraih gagang pintu yang ternyata dalam keadaan terkunci. Dia masih mencoba memutar kenop dengan kasar yang nyatanya tidak bisa dibuka sama sekali. Pria itu sampai harus mengembus napas panjang hanya untuk menenangkan emosi.

“Siapa yang mengunci ruangan ini?” geramnya dalam hati.

Dia cemas kalau pintunya baru dikunci setelah Clara keluar dari sana. Itu tandanya tidak ada seorang pun yang menyadari kalau bisa saja Clara menyelinap dari dalam sana. “Sepatu ini jelas-jelas aku yang membelikan untuknya,” batinnya merasa yakin.

“Pengawal!" Teriakan Teshar terdengar menggaung di udara.

Lorong yang sunyi membuat suaranya terdengar menggema hingga sampai ke bagian ujung ruang. Beberapa pengawal segera berlari ke arahnya, mereka menampakkan kecemasan ketika tuan muda itu berteriak di depan pintu paling terlarang bagi siapa pun untuk masuk. Mereka berbaris rapi, memandang wajah tuan muda yang kini sedang menampakkan semburat kemarahan.

“Cari kunci ruangan ini dan buka pintunya, cepat!" teriaknya masih bernada marah.

“Baik, Tuan.”

Pengawal itu segera meraih ponsel dari dalam sakunya dan menghubungi pelayan yang khusus bertugas untuk membersihkan ruangan area terlarang tersebut sambil berjalan menjauh.

Teshar masih berdiri di depan pintu, pandangannya kini beralih menatap sepatu sebelah milik Clara yang kini berada dalam genggaman tangannya dengan hati bergemuruh.

”Pelayan yang bertugas akan segera datang, Tuan,” lapor pengawal itu seraya berjalan mendekati Teshar.

Beberapa pengawal lain menunduk diliputi perasaan cemas. Beberapa desas-desus tentang keberadaan seorang wanita di dalam ruangan itu pernah mencuat, tetapi tidak ada seorang pun yang berani mencari tahu mengenai rumor tersebut. Bahkan berembus kabar bahwa pelayan yang bertugas di bagian ruangan itu mendapatkan gaji paling tinggi agar selalu tutup mulut terhadap masalah itu. Ancaman hukuman mati bagi yang membocorkan rahasia itu membuat semua penghuni kediaman Teshar mengabaikan berita tersebut dan memilih tidak ikut campur urusan sang majikan.

Dua pelayan yang dipanggil pun lari tergopoh-gopoh saat menyusuri koridor dengan perasaan gelisah. Baru saja beberapa saat yang lalu mereka mengunci pintu tersebut demi keamanan, tetapi tidak menyangka kalau apa yang mereka lakukan malah menyulut amarah seorang Teshar Indira. Dengan perasaan takut, mereka segera berjalan lebih pelan setelah sampai di depan ruang baca, tempat tuan muda itu sudah menunggu.

“Maafkan kami, Tuan. Kami mengunci pintunya, hanya bermaksud supaya saat orang ramai datang, tidak ada seorang pun yang masuk ke dalam area ini,” terang salah satu pelayan seraya menyerahkan kuncinya kepada Teshar dengan tangan gemetaran.

”Memangnya apa yang ada di dalam sana sampai kalian menguncinya dari luar?” tanya Teshar sembari memberi seringai dingin kepada kedua pelayan itu hingga membuat mereka menunduk dalam ketakutan.

Beberapa pengawal yang berjajar di sana saling memandang satu sama lain. Teshar mengibaskan jemari tangan ke arah semua yang ada di sana agar segera meninggalkan tempat itu. Tanpa banyak bertanya ataupun bersuara seperti biasa, mereka segera membubarkan diri untuk kembali menuju pos posisi masing-masing. 

“Clara, kalau sampai kamu berani keluar dari kamar ini dan mencoba untuk menyelinap. Lihat, apa yang akan kamu dapatkan kalau aku berhasil menemukanmu!” desisnya sambil memasukkan anak kunci itu dan memutarnya pelan sampai terasa klik pintu itu terbuka.

Teshar membuka pintu lalu memasuki ruangan. Rahangnya mengeras menampakkan emosi. Dia berjalan mengentak kaki menuju ke ruangan rahasia yang terletak di bagian belakang lemari besar yang berisi banyak buku-buku yang tersusun rapi.

Dia segera membanting sepatu itu ke arah tempat tidur ketika mendapati kenyataan bahwa kamar itu memang sudah kosong. Clara benar-benar sudah berani menyelinap dan pergi dari kamarnya.

”Gadis bodoh!” teriaknya dengan napas menderu menahan emosi. Jemari tangannya terkepal erat.

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!