Sudah sejak tadi pagi, prosesi acara wisuda telah dimulai. Segala susunan acara sudah di langsungkan, tanpa hambatan apapun.
Setelah hampir 4 tahun mencari ilmu di sebuah Universitas ternama di kota Malang. Kini seluruh mahasiswa/i telah resmi menyandang gelar S1. Kebahagiaan para peserta wisudawan begitu terlihat jelas terpancar pada air muka semuanya.
Begitu acara selesai, satu persatu para tamu undangan dan para peserta wisuda mulai meninggalkan ruangan acara.
"Selamat ya sayang," ucap Reina dan Hendri saat anak bungsu mereka telah mendekat. Queenza Reindri Anna Wijaya. Kedua orang tua Queen kini mendaratkan kecupan di pipi Queen secara bersamaan.
"Terima kasih, Mama, Papa."
"Akhirnya, salah satu anak kita sudah ada yang wisuda ya Mas," ucap Zantisya. Ia tersenyum bahagia dan begitu bangga saat melihat Safir. Begitu mendekat, tanpa ragu Zantisya memeluk anak keduanya tersebut.
"Alhamdulillah. Tahun depan tinggal By yang mungkin saja akan wisuda," Arjuno bahkan sangat bangga pada anak lelakinya tersebut. Di usia yang masih sangat muda, Safir bahkan sudah sukses mengembangkan usahanya sendiri. Dan sekarang, Safir sudah menjadi sarjana.
"Terima kasih, Ayah, Bunda."
Kedatangan orang tua Queen dan Safir memang sudah janjian agar mereka bisa duduk berdekatan. Kini, Queen bersalaman dengan kedua orang tua Safir. Begitupun sebaliknya.
"Setelah ini, kalian ingin melakukan apa?" tanya Arjuno.
"Lanjut S2 atau ada rencana yang mungkin sudah kalian rancang," tambah Zantisya yang tidak ingin ketinggalan. Bahkan kini, Zantisya tersenyum samar saat melihat wajah Safir dan Queen.
"Mama dan Papa akan dukung keputusan kalian kedelapannya," ucap Reina sambil mengusap punggung Queen.
"Queen sepertinya akan lanjut S2 dulu, Ma."
"Safir," panggil Zantisya. Perempuan paruh baya tersebut merasa aneh karena Safir terlihat tidak fokus.
"Iya Bun."
"Happy graduation, Queen," ucap Divya. Gadis cantik yang baru saja datang dan kini telah mencium pipi kanan dan kiri Queen. Kemudian Divya memberikan sebuket bunga yang di dominasi dari uang berwarna merah. Membuat buket bunga tersebut begitu nampak menarik.
"Terima kasih, Kak."
"Happy graduation, Kak," ucap Arfan sambil memberikan sebuah boneka yang mengenakan toga.
"Terima kasih anak ganteng," ucap Queen. Ia tersenyum manis sambil menerima boneka yang Arfan berikan.
"Buat Kakak mana?" tagih Safir. Lelaki tampan tersebut sepertinya iri. Adiknya sendiri bukannya memberi boneka padanya tapi Arfan justru hanya memberi boneka pada sahabatnya saja.
"Kakak beli saja sendiri. Tabungan Arfan hanya cukup untuk belikan boneka Kak Queen saja."
Semua orang tentu terkekeh, melihat ekspresi Safir yang jadi kesal sendiri.
"Ayah, Bunda. Sepertinya Arfan harus pindah kartu keluarga karena dia lebih sayang Queen ketimbang Safir."
"Kakak," pekik Arfan yang kesal karena ucapan Safir.
"Happy graduation, Safir," ucap Divya sambil memberikan buket yang sama bentuknya seperti milik Queen. Sejak tadi, Divya sedang menunggu celah yang tepat agar dirinya bisa segera memberikan ucapan selamat pada lelaki muda yang tampan tersebut.
"Terima kasih."
Rasanya sangat mendebarkan. Entah sengaja atau tidak, tangan Safir menyentuh tangan gadis yang kini nampak tersenyum manis.
Untuk sejenak, bahkan tatapan Safir nampak terpaku saat melihat cincin yang melingkar di jari manis Divya.
"Kalau begitu, ayo kita ke studio sekarang," ajak Hendri. Sejak awal, dua keluarga tersebut memang sudah membuat janji untuk mengabadikan momen bahagia hari ini.
Secara bersamaan, semua orang menuju ke parkiran mobil.
"Papa sama Mama duluan saja. Queen mau menerima telpon sebentar," tanpa menunggu tanggapan dari kedua orang tuanya, Queen segera menjauhi semua orang. Gadis itu sepertinya tidak ingin membuat orang di seberang sana menunggunya terlalu lama.
"Telpon dari siapa sih? Kenapa harus menjauh?" tanya Divya penasaran.
"Siapa tahu saja itu telpon dari seseorang yang sangat spesial," ucap Reina penuh harapan.
Jujur saja, Reina dan Hendri sangat penasaran dengan dua anak gadisnya. Karena sekalipun, Divya dan Queen tidak pernah sekalipun membawa pulang lelaki untuk mereka kenalkan. Sedangkan anak lelaki satu-satunya entah ada di mana saat ini.
Mendengar ucapan Reina, membuat Zantisya menatap sendu punggung Queen yang semakin menjauh. Entah kenapa, hatinya tidak rela jika apa yang di perkirakan Reina benar adanya.
"Kakak ..."
Begitu Queen menjauhi semua orang, gadis cantik tersebut segera mengubah panggilan suara menjadi panggilan video call. Saat itu juga, Queen bisa melihat wajah Kakak lelakinya. Alvian Reindri Ann Wijaya. Lelaki yang sudah beberapa tahun meninggalkan rumah dan belum sekalipun pulang untuk menemui seluruh keluarga.
Semenjak terjadi peristiwa di masa lalu, Vian yang sadar dan sangat merasa bersalah atas kesalahannya, ia memilih pergi untuk menemukan jati dirinya. Ia sangat bertekat, kalau dirinya pasti bisa bertahan hidup dan sukses tanpa bayang-bayang kedua orang tuanya ataupun semua keluarga.
Queen tahu, kesalahan Vian cukup fatal. Tapi mau bagaimanapun kesalahan Vian, lelaki tersebut tetap saudaranya. Mereka keluar dari rahim yang sama. Hubungan darah yang tidak bisa di putus oleh apapun. Yang lebih penting lagi, Queen sangat bangga dengan Vian karena sekarang Vian sudah banyak berubah. Dan yang lebih penting lagi, Vian bahkan mau memberikan kabar pada dirinya.
"Happy graduation, adikku sayang. Hai, sedang dalam keadaan bahagia seperti ini, kenapa menangis?"
Queen mengusap air matanya yang sudah membasahi pipi. Beruntung make upnya tidak rusak karena buliran bening tersebut.
"Queen wisuda apa Kakak tidak bisa menyempatkan waktu untuk pulang sebantar. Jika tidak ingin menemui Mama dan Papa, setidaknya temui Queen saja. Sebenarnya Kakak ini ada di mana?" sekalipun mereka sering berhubungan, nyatanya Vian tidak memberitahu tempat tinggalnya saat ini pada Queen.
"Kalau aku punya waktu luang, aku pasti akan segera pulang untuk temui Queen dan semua keluarga."
"Sok sibuk banget Kakak ini. Mama sama Papa sebenarnya sudah sangat rindu sama Kakak. Om Zen juga sering tanyain Kakak ke Mama. Queen yakin, Om dan Maira sudah maafin Kakak. Pulang ya Kak," jelas Queen penuh harapan.
Mendengar seluruh ucapan Queen, membuat perasaan Vian semakin merasa bersalah. Setelah semua yang telah ia lakukan, bisa-bisanya Zen dan Ruby bisa memaafkan dirinya.
"Jika aku sudah siap, pasti aku akan cepat pulang. Queen, harus jadi anak yang membanggakan Mama dan Papa. Jangan seperti Kakak yang sudah membuat beliau kecewa."
Cukup lama Queen dan Vian saling berbincang. Baru saja Queen akan menuju ke perkumpulan seluruh orang yang sedang menunggu dirinya, siapa yang menduga jika kini ada seorang lelaki yang menghentikan langkah kakinya.
"Aris," gumam Queen. Ia terkejut melihat lelaki yang entah sudah berapa kali menyatakan cinta padanya. Dan sekarang lelaki tersebut membawa sebuket bunga dan tersenyum hangat pada Queen.
"Happy graduation, Queen," ucapnya sambil memberikan sebuket bunga yang di dominasi dengan bunga mawar asli berwarna merah bercampur dengan warna pink.
"Terima kasih Aris. Tapi maaf, aku tidak bisa menerima bunga tersebut," sungguh Queen tidak tega sebenarnya. Ia tahu kalau Aris sangat tulus mencintai dirinya. Tapi mau bagaimana lagi. Karena Queen juga tidak bisa memaksakan hatinya yang tidak bisa membalas perasaan Aris. Bahkan Queen juga tidak ingin memberikan harapan pada Aris.
"Bunga ini hanya sebuah pertanda ucapan selamat untuk kamu, Queen. Aku sama sekali tidak bermaksud yang lainnya."
Melihat kejujuran di mata Aris, Queen akhirnya menerima sebuket bunga tersebut. Membuat Arie senang karena Queen sudah berkenan menerima sesuatu darinya. Karena selama ini, sekalipun Queen tidak memberi celah pada dirinya.
"Terima kasih."
"Sama-sama."
"Oh iya, setelah ini kamu mau melanjutkan kuliah atau mau mencoba bekerja dulu?" demi mempunyai waktu untuk mengobrol dengan Queen, maka Aris harus menciptakan topik agar mereka bisa saling berbincang sekalipun itu hanya sebentar.
"Aku mau kuliah, Aris."
"Di kampus ini lagi, atau pindah?" Aris semakin penasaran dengan rencana kedepannya Queen.
"Entahlah. Aku belum mematangkan pilihan aku. Oh iya, Maaf Aris karena aku harus kembali ke keluargaku yang sejak tadi menungguku. Sekali lagi terima kasih bunganya."
Aris menatap sendu punggung Queen yang semakin menjauh. "Kenapa kamu tidak memberikan aku kesempatan. Membuka sedikit hati kamu buat aku. Kamu justru mencintai lelaki yang aku rasa tidak mencintai kamu, Queen."
"Maaf, karena sudah menunggu terlalu lama," ucap Queen tidak enak hati pada semua orang yang belum juga memasuki mobil.
"Tidak apa-apa. Queen baru menangis?" tanya Reina saat melihat kedua mata Queen yang nampak memerah.
"Hanya menangis haru, Ma," Queen tersenyum manis agar kedua orang tuanya tidak khawatir pada dirinya.
"Hayooo ... Bunga itu dari siapa?" Divya mulai menggoda Queen. Ia jadi ikut senang kalau ternyata Queen memiliki kedekatan dengan seseorang.
"Iya, dari siapa bunga itu Queen?" Hendri jadi ikutan penasaran.
"Ini hanya dari seorang teman, Pa, Kakak."
"Teman atau pacar? Mengaku saja kalau memang memiliki seseorang yang begitu spesial," sepertinya Divya belum mau berhenti untuk meledek sekaligus mengintrogasi adiknya tersebut.
"Teman, Kak. Queen sama sekali tidak punya pacar."
Mendengar ucapan Queen, entah kenapa hati Zantisya begitu sangat lega. Tidak bisa di pungkiri, kalau Zantisya begitu berharap kalau Queen memiliki hubungan spesial dengan Safir. Mengingat bagaimana dekatnya mereka berdua. Mengingat kalau hanya Queen yang sering Safir bawa pulang ke rumah.
"Dari Aris?" pertanyaan Safir yang begitu tiba-tiba tentu membuat semua orang terkejut.
"Siapa Aris?" tanya semua orang secara bersamaan. Siapa yang bisa menduga jika kini semua orang menjadi sangat penasaran.
"Aris itu seseorang yang hamp," ucapan Safir seketika terhenti saat bunga yang Queen bawa langsung Queen arahkan ke wajah Safir. Membuat Safir mencium bagaimana wanginya buket bunga mawar tersebut.
"Jangan dengerin apa yang di bilang Safir. Bunga ini hanya dari seorang teman. Bukan dari seseorang yang seperti Mama dan Papa pikirkan," jelas Queen agar tidak ada yang salah paham.
"Mama kira tadi dari calon mantu," ucap Reina terus terang.
"Mantu? Kenapa Mama mau minta mantu dari Queen. Masih ada yang seharusnya lebih dulu kasih mantu ke Mama dan Papa. Yang pasti bukan dari Queen," ucapnya mengingatkan Reina kalau Queen masih memiliki 2 Kakak. "Tidak baik mendahului yang lebih tua," gerutu Queen.
Mendengar ucapan Queen, membuat Safir dan Divya saling melirik sebentar. Tanpa satu orang pun ketahui kalau kini keduanya saling berbalas senyum seolah memberikan isyarat yang sebentar lagi akan mereka sampaikan.
"Sudah-sudah, sebaiknya sekarang kita menuju studio," ajak Arjuno. Waktu sudah semakin siang. Matahari juga semakin terik. Sinarnya mulai menyengat kulit tubuh mereka.
Kini dua mobil mewah sudah melaju. Meninggalkan area Universitas untuk menuju lokasi tujuan mereka saat ini. Selama di dalam perjalanan, Queen dan Safir melakukan sambungan video call dengan Nissa yang bersanding dengan Yusuf. Dan juga Zen yang bersanding dengan Ruby. Semua orang memberikan ucapan selamat untuk Queen dan juga Safir. Wajah Queen begitu bahagia saat bisa saling berbincang dengan keluarganya yang tinggal di Jakarta. Sedangkan Wajah Safir masih nampak tenang. Safir tersenyum saat Ruby mengarahkan kameranya ke arah ketiga keponakan kembarnya tersebut. Sampai tanpa terasa, dua mobil mewah itu sampai pada studio tujuan mereka.
Dua keluarga tersebut mengambil foto masing-masing dan juga foto bersama. Setelah Queen dan Safir foto berdua, setelahnya mereka berfoto dengan Arfan saja. Lalu yang terakhir foto bersama dengan Divya. Posisi gadis yang sudah dewasa tersebut berada di antara Safir dan Queen.
"Beberapa hari lagi, harinya akan tiba sesuai dengan perjanjian kita," ucap Safir berbisik.
"Aku tunggu hari itu," ucap Divya begitu sangat pelan.
"Apa Kak?" Queen yang sepertinya samar-samar mendengar Divya berucap, membuat Queen mengira kalau dirinya tidak mendengar dengan baik ucapan Kakaknya tersebut.
"Apa?" Divya jadi terkejut dan juga menahan diri agar tidak terlihat panik. Mungkinkah Queen mendengar obrolan pelannya bersama dengan Safir.
"Kakak tadi bilang sesuatu? Apa Queen tidak mendengarnya?" tanyanya untuk memastikan.
"Tidak. Kakak tidak bicara apapun. Kenapa?"
Setelah selesai melakukan pemotretan seperti yang di inginkan, semua orang saling berpamitan karena mereka memilih untuk segera pulang ke rumah. Lelah sekali rasanya. Karena semua orang harus bersiap sejak pagi-pagi sekali. Terlebih lagi Queen, yang harus mempercantik diri lebih awal.
Waktu berjalan begitu saja. Hingga kini, malam telah menyapa. Seharusnya saat ini semua orang sudah memasuki kamar mereka masing-masing. Tapi saat ini, Reina memilih memasuki kamar anak pertamanya.
"Sedang apa Kak?" begitu mengetuk pintu dan sudah di persilahkan masuk, Reina segera memasuki kamar anaknya yang kini sudah berusia 26 tahun.
"Sedang melihat beberapa laporan saja Ma."
"Pekerjaan penting? Mama keluar kalau memang sedang sibuk," Reina jelas tidak inging mengganggu kesibukan anaknya.
"Tidak penting juga kok. Ada apa Ma?" Divya segera mematikan ipad-nya. Ia harus fokus dengan Reina yang sepertinya ingin mengajaknya berbicara.
"Tidak ada apa-apa. Mama hanya ingin saja melihat Kakak," ucap Reina sambil mendaratkan tubuhnya di tepi ranjang.
"Mama ini sudah seperti tidak pernah bertemu dengan Divya saja," ucapnya sambil menggelengkan kepalanya pelan. Divya jadi heran dengan gerak gerik Reina saat ini.
"Usia Kakak sudah berapa tahun ini? 26 tahun ya?"
Sepertinya sekarang Divya sudah memahami arah tujuan Reina saat ini. Divya memilih mengangguk pelan. "Benar Ma."
"Kak, Mama bukannya apa-apa. Mama juga tidak bermaksud memburu-buru Kakak untuk melakukan hal apapun. Tapi Mama hanya ingin tahu, tapi tolong jangan tersinggung."
"Ada apa Ma?"
"Sebenarnya Kakak ini memiliki kedekatan dengan lelaki di luar sana atau tidak? Mama tanya seperti ini karena Kakak sudah lama tidak bercerita soal lelaki yang Kakak tolak perasaan cintanya. Kakak juga tidak bercerita kemungkinan di luar sana ada lelaki yang memang Kakak tunggu."
"Divya punya seseorang yang sangat Divya suka, Ma. Hanya tinggal menunggu ucapannya, yang pasti sebentar lagi lelaki itu akan datang membawa kedua orang tuanya untuk bertemu Papa dan Mama. Sesuai dengan janji yang sudah dia buat."
Seketika itu wajah Reina langsung bersemu bahagia. Ia sudah berpikir kalau anaknya memang sengaja menjomblo dan tidak berminat akan menikah. Siapa yang menduga jika selama ini Divya sedang menunggu seseorang.
"Benarkah? Siapa lelaki itu?" tanya Reina yang sudah sangat penasaran.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!