NovelToon NovelToon

Mendadak Nikah

Guru Menyebalkan

Tak ... Tak ... Tak ...

Suara langkah kaki itu selalu berhasil menarik perhatian siapa pun yang menyadari kehadirannya. Suasana gaduh nan bising menjadi senyap dalam sekejap saat sang ratu populer datang membawa sejuta pesona. Yup, siapa lagi kalau bukan Zara?

Belasan hingga puluhan sorot mata hanya terfokus pada gadis tersebut. Sangat cantik dan mempesona. Itulah satu kata yang tertanam dalam pikiran para pria pemuja setiap kali melihat Zara.

Dengan anggun Zara mengibaskan rambutnya. Berjalan dengan santai tanpa membalas satu pun sorotan yang tengah mengindahkan dirinya. Bagi Zara, hal ini sudah seperti makanan sehari-hari untuknya. Selalu ada saja yang memperhatikannya karena pesona yang ia bawa.

Begitupun juga saat dirinya masuk ke kelas. Hanya dalam hitungan detik, semua obrolan dan kegaduhan yang menyeruak langsung terputus karena kehadiran Zara. Tak ada satu pun laki-laki di sana yang ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk menatap gadis ini.

"Tumben baru datang, Beb," kata Dona selaku sahabat Zara. Namun Zara malah mengacuhkannya.

Kanaya hanya tersenyum miris. Mereka sudah terbiasa diperlakukan seperti ini oleh ratu kesayangan mereka. Ratu yang bahkan emosinya seringkali berubah-ubah. Selalu ada saja hal kecil yang membuatnya badmood dan murka. Seperti saat ini misalnya. Raut wajah Zara menunjukkan kalau moodnya sedang tidak baik-baik saja.

Sebelum duduk, Zara menatap mejanya terlebih dahulu dengan tatapan membunuh. Tampak kilatan warna merah menghiasi mata indahnya. Emosi yang menerjang dalam diri membuat jari-jemari lentiknya terkepal erat di sisi tubuh.

BRAKKK!!!

Dengan sekuat tenaga Zara menggebrak mejanya. Dia sedikit gemetar. Napasnya mulai tak beraturan disebabkan oleh kemarahannya.

"Siapa yang habis makan di sini?!" Zara berteriak pada semua makhluk bernyawa yang tengah menatapnya. Dia sungguh kesal mendapati sedikit bekas makanan basah yang menempel di mejanya.

Sekian persen dari mereka saling menoleh dan menatap satu sama lain sebelum akhirnya menggelengkan kepala. Tak ada satu pun dari siswa dan siswi tersebut yang mau mengakuinya.

"Aku." Suara berat nan khas yang berasal dari pintu masuk membuat kepala Zara spontan menoleh ke arahnya.

Zara menelan ludah ketika tahu bahwa seseorang yang membuatnya kesal pagi ini adalah lelaki pujaannya sendiri. Ya, Gallen namanya. Si pria paling tampan kedua di sekolahnya. Kalau Zara dinobatkan sebagai ratu oleh para penghuni sekolah, maka Zara menobatkan Gallen sebagai rajanya.

"Sorry ya. Tadi tidak sengaja." Tanpa Zara sadari, Gallen sudah berada di hadapannya sambil membersihkan noda itu dengan beberapa lembar tisu yang di ambil dari kantor guru.

Zara hanya diam. Pikiran, jiwa, dan raganya masih terpaku pada pangeran kesayangannya ini. Lamunan itu mulai hambar saat Gallen menarik kursi dan menempati diri di samping Zara. Selama kelas tiga ini, Gallen dan Zara memang ditakdirkan untuk duduk bersebalahan. Bagi Zara itu bukanlah sekedar kebetulan, melainkan rencana takdir untuk mempersatukan mereka.

Sejak masih duduk di bangku kelas 1 SMP, Zara sudah menjadi pengagum Gallen. Di saat para pria mendambakan dirinya, justru Zara malah mengharapkan Gallen yang selalu dingin terhadapnya. Gallen hanya akan bicara jika perlu saja. Itulah yang membuat Zara sulit mendekati pria ini. Dia harus mengeluarkan effort lebih hanya untuk menjalin komunikasi di antara mereka.

Tak sampai di situ saja, Gallen juga menjadi penyebab utama Zara mau masuk ke sekolah ini. Awalnya Zara ingin menempuh pendidikan di sekolah internasional yang lingkungannya selevel dengan dirinya. Namun, tak disangka Gallen malah memilih di sini. Demi bisa terus dekat dengan Gallen, tepaksa Zara pun mengikutinya.

Zara heran mengapa Gallen mau menghabiskan masa SMA-nya di sekolah pinggiran seperti ini. Padahal lelaki itu termasuk orang berada sama seperti dirinya. Seharusnya Gallen memilih tempat yang sedikit lebih bagus dan nyaman kan?

"Selamat pagi semuanya."

"Pagi juga Bapak ganteng!" jawaban tersebut dilontarkan serentak oleh seluruh siswi dalam kelas tersebut, kecuali Zara.

Kemarahan yang sebelumnya berhasil diredakan oleh Gallen, kembali meluap-luap setelah Zara melihat sosok Aditya. Pria itu merupakan guru termuda di sini. Usianya masih 26 tahun. Selain itu, Aditya jugalah yang telah merenggut julukan "pria tertampan" dari Gallen hanya dengan kehadirannya yang baru terhitung satu minggu.

Di saat semua guru tak pernah mengatur kemauan Zara dan selalu membiarkan dirinya berbuat sesuka hati selagi tak merugikan orang lain, justru berbeda halnya dengan Aditya. Pria satu ini selalu saja mengurusi hidupnya. Apa pun yang Zara lakukan, akan dikritik oleh pria tersebut karena dianggap kurang baik. Itulah yang membuat Zara sangat membencinya. Sangat!!

Seperti biasanya Aditya mengabsen kehadiran para murid terlebih dahulu sebelum mulai mengajar. Setelah beberapa nomor terlewati, kini tiba giliran nama Zara yang disebut.

"Zahira Zara Indira," ucap Aditya sebelum menatap Zara yang mejanya berhadapan langsung dengan meja guru. Ya, Zara dan Gallen duduk paling depan. Itu merupakan kemauan mereka sebagai murid paling pintar di sekolahnya.

Ketika Aditya menyebutkan namanya, Zara malah sibuk sendiri dan bersikap acuh. Dia selalu saja menunjukkan rasa ketidaksukaannya pada pria itu.

"Zara, sudah saya bilang berapa kali. Tolong kalau pakai liptint jangan tebal-tebal. Kamu ke sini mau belajar, bukan tebar pesona." Teguran Aditya kembali membuat kuping Zara terasa panas. Suara pria itu seperti bensin yang menyiram kobaran api yang menyala.

Bisa-bisanya Aditya menegur dirinya di hadapan para murid seperti ini? Di hadapan Gallen pula? Benar-benar pria menyebalkan! Itu sama saja Aditya sedang menjatuhkan harga dirinya. Selama 2 tahun lebih berada di sini, tak ada satu pun guru yang berani menegur Zara. Apalagi menegur di hadapan banyak orang seperti yang baru saja Aditya lakukan.

Jujur, sebenarnya Zara juga tidak suka memakai make up terlalu tebal. Dia lebih suka yang natural. Namun, suatu hari Zara pernah meminjam liptint Kanaya yang warnanya terlalu menor dan alhasil dia mendapatkan teguran pertama dari Aditya. Sejak saat itu Zara malah tertantang untuk terus melawan perintahnya. Setiap Aditya melarang sesuatu, maka Zara akan melakukannya. Dan terus-menerus seperti itu.

"Lain kali tolong ditipiskan sedikit. Hanya kamu saja yang make up-nya paling mencolok. Sudah seperti mau kondangan saja."

"Bawel," balas Zara bernada rendah namun dipastikan Aditya dapat mendengarnya.

Seperti biasa Zara selalu mengikuti seluruh pelajaran dengan sangat baik. Biarpun dia terkenal sedikit kurang sopan dan sombong, tapi Zara merupakan murid paling pintar nomor satu di sekolahnya. Kemudian disusul oleh Gallen yang menempati posisi kedua.

Tak perlu terlalu fokus pada penjelasan guru, Zara sudah dapat mengerti apa yang sedang dibahas. Ketika para guru menjelaskan materi baru pada teman-temannya, Zara sudah lebih dulu mempelajari materi itu dan bahkan menguasainya.

Kalau ditanya pelajaran apa yang paling Zara sukai, tentu saja jawabannya adalah Bahasa Inggris. Tapi semenjak pengajar Bahasa Inggrisnya digantikan oleh Aditya, dia jadi membenci pelajaran tersebut. Apa pun yang bersangkutan dengan Aditya, dia sangat membencinya.

Kepergok Warga

Saat jam pulang tiba, Zara mengambil mobilnya di area parkir. Mobil mewah berwarna hitam pekat miliknya bersebelahan dengan mobil milik Gallen. Di sekolah itu hanya mereka berdua lah yang selalu membawa mobil pribadi, sisanya memakai motor dan angkutan umum.

Zara melajukan mobilnya dengan fokus tingkat dewa. Perkataan Aditya tadi pagi masih melekat erat di benaknya. Zara menyesal karena dia tidak melawan Aditya di hadapan teman-temannya dan malah diam saja. Mungkin jika tadi Zara melawannya, dia tidak akan terlalu menyesal seperti ini.

"Dasar guru tidak jelas! Berani sekali dia menegurku seperti itu. Memangnya dia siapa yang bisa mengatur hidupku segala? Mau penampilanku seperti apa pun, itu bukan urusannya. Lagipula aku seperti ini juga karena dia. Dasar menyebalkan!"

Pikiran Zara masih panas. Dia mencoba menstabilkan otak panasnya itu dengan mendengarkan musik melalui earphone yang menempel di telinganya. Bagi Zara, menyetir mobil sendirian sambil mendengarkan musik bervolume full merupakan obat paling efektif untuk meredakan emosinya.

Benar saja. Seiring berjalannya waktu, Zara kembali lebih tenang. Dia tidak lagi memikirkan Aditya, namun sekarang pikirannya mulai beralih ke Gallen. Tak ada satu hari pun yang Zara lewati tanpa menjadikan lelaki itu sebagai bahan haluannya.

Ketika melewati jalanan yang cukup sepi, Zara merasakan ada yang aneh dengan mobilnya. Dia turun dan mencoba melihat apa yang terjadi. Ternyata ban belakangnya bocor. Zara mendesah kasar. Dirinya heran mengapa selalu ada saja masalah yang menimpanya.

Tanpa perlu berpikir panjang, Zara langsung mengirimkan pesan pada seseorang agar datang ke lokasi untuk memperbaiki mobilnya.

Dari kejauhan Aditya melihat seorang gadis berseragam putih abu-abu sedang membelakangi dirinya. Dari cara gadis itu menunduk, Aditya tahu kalau ponsel-lah yang sedang menjadi pusat perhatian gadis tersebut. Sejenak Aditya merasa tidak ada yang aneh sebelum dia menyadari kalau tubuh dan rambut indah gadis itu mirip sekali dengan Zara.

Ternyata benar dugaannya. Setelah melihat plat nomor mobil si gadis dari kejauhan, Aditya tak perlu melihat wajahnya terlebih dahulu untuk membuktikan kalau itu benar-benar Zara.

Aditya menepikan motor bebeknya di pinggir jalan. Pria itu berniat mendatangi Zara dan menanyakan apa yang terjadi. Mungkinkah mobilnya mogok? Bannya bocor? Atau masalah lainnya?

Baru saja Aditya mengambil beberapa langkah, tiba-tiba dari kejauhan ada dua anak muda yang tengah melajukan motor mereka dengan kecepatan tinggi. Sepertinya mereka sedang balapan?

Entahlah, Aditya tidak sempat memikirkan hal itu karena dia sudah terlanjur panik melihat posisi Zara yang terlalu ke tengah jalan. Tingkat kemungkinan gadis itu untuk terserempet sangatlah besar.

Dengan sigap Aditya bergerak ke arah Zara dan menyingkirkan gadis itu dengan sedikit kasar. Pastinya karena spontan.

Zara yang terkejut dan kehilangan keseimbangan pun refleks menarik tangan Aditya saat dirinya hendak terjatuh. Tarikan lembut itu membuat keduanya runtuh bersama.

Deg.

Netra Zara membelalak saat tubuh Aditya mengungkung dirinya. Dia kesulitan menelan ludah sendiri. Lidahnya kelu. Tubuhnya terasa kaku. Mulutnya tercekat, tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Dia tak peduli lagi dengan ponselnya yang terlempar maupun earphone yang terlepas dari telinganya.

Jantung Zara seakan berhenti saat dada mereka hampir saling berbenturan satu sama lain. Harumnya tubuh Aditya membuat Zara tak bisa berhenti menghirupnya. Wajah mereka sangatlah dekat. Hanya centimeter sajalah yang menjadi jarak di antara keduanya.

Sekilas Zara kehilangan kesadarannya. Dia terpaku dengan wajah tampannya Aditya. Sekarang Zara baru sadar mengapa Aditya berhasil merenggut posisi pria tertampan di sekolah. Karena memang setampan itu!!

Zara tak berkedip. Matanya memindai wajah Aditya sedetail mungkin. Tibalah saat di mana sorot mata Zara mendarat pada bibir tipisnya Aditya. Selain kehilangan kesadarannya, Zara sempat hampir kehilangan akal sehatnya juga sebelum tiba-tiba dirinya kembali ke dunia nyata.

"Astaghfirullah. Sedang apa kalian?!"

Dua orang bapak-bapak memergoki Zara dan Aditya dalam keadaan seperti itu. Zara tersentak kaget dan langsung mendorong tubuh Aditya untuk menjauh darinya.

"Maaf, Pak. Ini hanya salah paham. Tadi saya ingin menolongnya karena hampir diserempet motor. Tapi secara tidak sengaja kami malah jatuh bersama dengan posisi tidak senonoh itu."

Aditya berusaha menjelaskannya untuk meluruskan kesalahpahaman. Dia tahu apa yang saat ini menjadi dugaan dari dua bapak-bapak itu. Pasti mereka berpikir dirinya dan Zara sedang melakukan sesuatu.

"Alah, Mas. Kamu kira kami buta? Biarpun sudah tidak muda lagi, tapi penglihatan kami masih normal. Kami melihat jelas kalian sedang bermesraan seperti tadi. Anak muda jaman sekarang ada saja alasannya."

"Pak, kalau ngomong tuh dijaga ya! Kalian pikir saya wanita murahan? Wanita yang mau melakukan hal-hal gila seperti itu di pinggir jalan? Saya masih waras, Pak." Zara ikut mengambil alih dalam menumpahkan seluruh bantahannya.

"Neng, kamu pikir gadis seusiamu kalau melakukan hal-hal begini di mana? Ya ujung-ujungnya di tempat sepi seperti ini. Hadeuh ... masih bau kencur kok sudah rusak begini pergaulannya."

Zara semakin tidak terima. Apa mereka bilang? Pergaulan Zara rusak? Astaga. Ingin sekali Zara menampar dua pria itu kalau dia tidak ingat perbedaan umur mereka yang terlalu jauh.

"Sok tahu banget sih, Pak. Ada bukti yang jelas tidak kalau saya melakukan hal-hal tidak pantas yang Bapak maksud? Sudah tua curigaan terus bawaannya."

"Zara, omongannya dijaga." Aditya sempat menggenggam tangan Zara saat berkata demikian sebelum Zara kembali menepisnya.

"Tuh, Pak. Lihat ban belakang saya. Bocor! Ya kali saya begituan pas ban mobil saya bocor. Aneh-aneh saja pemikirannya."

"Zara!" tegas Aditya. Dia sangat tidak suka dengan gaya bicara gadis ini yang terlalu kasar.

Di tengah-tengah perdebatan itu, beberapa warga lainnya mulai berdatangan satu per satu menyaksikannya keributan yang ada. Walaupun Aditya dan Zara sudah berusaha menjelaskan yang sebenarnya, mereka tetap tidak percaya.

Setelah diperhatikan cukup lama, mereka menyadari bet bordir di seragam Zara yang menunjukkan nama sekolahnya. Ternyata Zara bersekolah di tempat yang tidak jauh dari pemukiman mereka. Hanya saja mereka belum tahu kalau Aditya juga merupakan guru di sekolah itu.

"Neng, kamu mau kita antar pulang sekarang dan memberitahukan kejadian ini pada orang tua kamu langsung, atau kita laporkan ke sekolahmu saja?"

Zara panik. Laporkan ke sekolah? Itu berarti masalahnya akan semakin panjang kan? Belum lagi kalau pihak sekolah mengubungi mamanya dan ayah tirinya. Bisa-bisa habis Zara saat itu juga. Lebih baik Zara diantarkan pulang ke rumah ayah kandungnya saja, tempat Zara menginap selama beberapa hari terakhir ini. Zara yakin Pak Chandra akan lebih percaya padanya.

Setelah didesak-desak seperti itu, terpaksa Zara memilih untuk diantarkan ke rumah Pak Chandra. Sementara mobilnya ditinggal di sana dan akan diantarkan oleh seorang warga paling amanah setelah mobil itu diperbaiki. Tentu saja diantarkan ke alamat yang Zara berikan.

Salah Paham

Pak Chandra tampak sangat terkejut setelah mendengar aduan orang-orang yang mengantarkan Zara dan Aditya. Tatapan kekecewaan pun terhunus tajam pada putrinya. Benarkah putri bungsunya ini melakukan hal tabu itu?

Zara menggelengkan kepala dengan tegas, menandakan bahwa ini hanyalah omong kosong. Belum puas dengan tanggapan yang Zara berikan, Pak Chandra mengalihkan tatapannya pada Aditya.

"Tolong percaya, Pak. Ini semua tidaklah benar. Saya dan Zara tidak melakukan apa-apa."

"Mas, Anda kalau berani berbuat, harus berani bertanggung jawab juga dong. Kasihan anak Bapak ini. Sudah kamu mainkan, tapi tidak mau mengakui perbuatanmu."

Lagi-lagi para warga itu membuat suasana semakin panas. Mereka kembali menjadi hakim yang seolah-olah perkataannya paling mutlak.

Zara dan Aditya masih tidak terima. Zara sangat marah. Seluruh sumpah serapah dan kalimat-kalimat tajam kembali ia tumpahkan pada orang-orang itu. Berbeda dengan Aditya yang terlihat lebih tenang meski dirinya dituduh telah melakukan hal tidak senonoh pada gadis ini.

Kegaduhan pun kembali diciptakan oleh Zara dan lawan debatnya. Mendapatkan kabar tidak enak dari warga setempat yang tak sengaja mendengar kegaduhan mereka, sang ketua RT langsung meluncur ke rumah Pak Chandra.

Setelah mengetahui kelakuan Zara dan Aditya berdasarkan sudut pandang orang-orang yang menjadi saksi atas perbuatan mereka, Pak RT hanya geleng-geleng kepala. Sungguh kejadian yang sangat miris baginya.

Semenjak Zara menginap di rumah Pak Chandra, gadis ini memang selalu membuat masalah. Ada saja hal-hal kecil yang menjadi bahan keributan antara warga setempat dengan dirinya. Mungkin salah satunya dikarenakan adab Zara yang super minus sekaligus rasa sopan santun yang masih sangat kurang dalam diri gadis itu. Hingga sekarang pun Pak RT sudah tidak kaget lagi jika mendengar kelakuan tabu Zara di luar sana.

Zara berharap ayahnya mengeluarkan seuntai kalimat yang menunjukkan jika pria itu percaya padanya. Tapi harapan tetaplah menjadi harapan. Pak Chandra sama sekali tidak mengatakan apa pun. Raut wajahnya sudah menjawab semuanya. Terlihat jelas jika Pak Chandra masih syok. Itu berarti dia lebih percaya pada kesaksian orang-orang ini.

Zara merasa dadanya begitu sesak. Dia ingin menangis dan berteriak sekencang-kencangnya. Namun, dia tak boleh terlihat lemah di hadapan mereka. Ya, dia bukan wanita lemah! Zara harus terlihat berani dan tegas. Pokoknya dia harus menunjukkan kalau dirinya tidaklah bersalah.

"Kalian semua hanyalah bapak-bapak tua yang tidak tahu apa-apa! Kalian bukan Tuhan yang bisa menghakimi perbuatan saya. Jangan merasa paling suci seakan-akan kalian tidak pernah berbuat dosa. Daripada mengurusi hidup saya, lebih baik urus hidup kalian sendiri. Sudah bau tanah, Pak. Banyakin taubat!"

"Zara, jaga bicaramu." Aditya kembali mengkritik, tapi Zara pura-pura tidak mendengar. Alih-alih menutup mulutnya, Zara malah mengeluarkan senjata lain berupa kalimat yang jauh lebih menyakitkan dari perkataannya barusan.

Pak Chandra menatapi putrinya yang masih bersilat lidah serta Aditya yang terus membujuk Zara untuk menjaga ucapannya. Pak Chandra benar-benar belum mendapatkan pencerahan. Meskipun Zara adalah putri kandungnya, namun dia belum terlalu mengenal sosok dewasa gadis ini. Benarkah putri bungsu kesayangannya berani melakukan perbuatan hina tersebut?

"Nak, kamu masuk dulu ya ke kamar. Biar Ayah yang bicara pada mereka," ujar Pak Chandra.

"Tidak mau, Yah. Zara masih harus memberi pemahaman ke orang-orang sok tahu ini. Kalau tidak diginiin, mereka tidak akan mengerti. Otaknya sudah mulai—"

"Zara, ayah bilang masuk ke kamar sekarang!!"

Ketegasan Pak Chandra yang secara tiba-tiba itu bagaikan ilustrasi sambaran petir untuk Zara. Gadis tersebut sungguh tak menyangka sang ayah berani bicara dengan nada tinggi padanya hanya karena para warga yang menyebalkan itu.

Zara terpaku selama sekian detik. Kenapa? Kenapa tidak ada yang mempercayainya? Apakah gadis sombong dan tidak sopan seperti dirinya tak pantas untuk dipercayai? Kalau dia tidak bisa mendapatkan kepercayaan dari ayah kandungnya sendiri, lalu dari mana lagi?

Zara sudah tak bisa membendung buliran air matanya. Sebelum mereka melihat Zara dalam keadaan lemah seperti ini, Zara langsung meninggalkan mereka. Dia masuk ke kamar dan menutup pintu dengan sangat kencang.

Pak Chandra hanya menggelengkan kepala seraya mengusap dada melihat keegoisan putrinya itu. Sementara Aditya ingin mengejar Zara dan menenangkan gadis tersebut, tapi dia mengurungkan niat. Kalau dia masuk ke dalam kamar itu juga, justru akan membuat keadaan semakin parah.

Zara menjatuhkan dirinya yang rapuh dan duduk di balik pintu. Gadis itu membenamkan wajahnya di antara kedua lutut dan menumpahkan seluruh perasaan sesak yang melanda. Zara menangis tanpa suara. Tak henti-hentinya dia merutuki diri sendiri.

Jika seandainya tadi dia tidak menarik tangan Aditya, mungkin mereka tidak akan jatuh bersama. Jika seandainya dia tidak menatapi dan mengagumi Aditya terlalu lama, mungkin para warga tidak akan memergokinya dalam posisi seperti itu.

Zara bingung harus menyalahkan siapa. Dia sama sekali tak mau menyalahkan dirinya sendiri. Pokoknya dia tidak pernah salah! Termasuk dalam kasus ini sekalipun.

Zara begitu sedih melihat ayahnya dengan sikap tegas seperti itu. Selama 13 tahun Zara dipisahkan dari Pak Chandra dan baru bertemu kembali sekitar 3 minggu yang lalu, Pak Chandra selalu memperlakukannya dengan sangat baik.

Selama ini ibunya Zara terus mengatakan jika Pak Chandra adalah pribadi yang kasar dan itulah yang menjadi penyebab perceraian mereka dahulu. Namun setelah diam-diam mencari keberadaan sang ayah dan takdir mengizinkan mereka untuk bertemu, Zara merasa ibunya salah besar.

Pak Chandra tidak seperti yang sang ibu katakan. Beliau sangat baik dan penyayang. Tak pernah sekalipun memperlakukan dirinya dengan kasar. Bahkan pria paruh baya itu selalu bicara lemah lembut padanya.

Kecuali hari ini. Ya, hari ini adalah kali pertamanya Pak Chandra meninggikan suara saat bicara dengannya. Dan semua disebabkan oleh bapak-bapak sok tahu itu. Mereka yang membuat suasana terus panas dan tidak memberikan Zara kesempatan untuk membuktikan kebenarannya.

Zara juga kesal dengan Aditya. Kenapa pria itu terus membujuknya untuk menutup mulut? Padahal sudah sepantasnya orang-orang menyebalkan seperti mereka mendapatkan kalimat pedas darinya.

Kalau Aditya juga merasa menjadi korban sama seperti Zara, seharusnya pria itu mendukung tindakannya kan? Tapi kenapa malah tidak? Jangan bilang jika Aditya mulai lelah menjelaskan yang sebenarnya dan pasrah, alias membiarkan para warga itu berspekulasi sesuka hati mereka.

Deg.

Pikiran tersebut membuat tangisan Zara meredup. Perasaannya tak tenang. Bagaimana kalau dugaannya benar? Bagaimana jika di luar sana Aditya malah membenarkan perkataan orang-orang itu dan bilang bahwa mereka memang melakukannya? Tidak. Ini sama sekali tidak bisa dibiarkan. Zara harus mencegahnya.

Ketika Zara bangkit dan hendak keluar kamar untuk mengawasi Aditya, tiba-tiba gadis itu hampir menabrak tubuh Pak Chandra yang sudah berdiri di depan pintu. Zara terkejut. Mengapa Pak Chandra menatapnya seperti itu? Apa yang baru saja terjadi di luar sana? Apa yang tadi mereka bahas saat Zara sedang tidak ada?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!