NovelToon NovelToon

Pesona Sang Janda

Kecelakaan Maut

Assalamu'alaikum, Best 🙏🤗

Bertemu lagi, kita di cerita yang berbeda 🥰

Jika kalian syuka, jangan lupa subscribe, like, komen dan hadiah yang banyak, yah 😍

Jika tidak syuka, please jangan tinggalkan jejak buruk di lapakku 😊🙏 karena menghalu dan menuangkannya dalam bentuk tulisan, tidak semudah mengkritik tanpa memberikan saran 🤭

Well ... happy reading ... 😘

🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟

"Nyonya Muda, maaf. Ada kabar buruk yang harus saya sampaikan," kata salah seorang pelayan wanita di mansion mewah dengan raut wajah khawatir. Pelayan wanita itu menundukkan kepala dan tidak berani menatap sang nyonya muda.

"Ada apa, Bi? Katakanlah, jangan membuatku penasaran!" pinta wanita cantik yang tengah hamil besar, wanita itu sampai mengerutkan dahi dengan dalam karena rasa penasaran.

"Mo-mobil Tuan Muda, Nyonya. Mobil Tuan Muda me-mengalami kecelakaan, Nyonya. Saat ini, saat ini je-jenazah Tuan Muda dibawa ke rumah sakit." Terbata pelayan wanita itu menjelaskan.

"Je-jenazah? Maksud Bibi, apa maksud Bibi Aleku, dia ...." belum sempat wanita muda itu meneruskan kalimatnya, seorang wanita paruh baya dengan wajah bengis, menyahut sambil berjalan mendekat.

"Ya, putraku Alexander Thompson sudah meninggal dan itu pasti gara-gara kamu! Kamu yang telah membawa sial dalam kehidupan putraku, Thalia!" Grace menunjuk wajah cantik sang menantu yang sangat dia benci dengan jari telunjuk bergetar. Kemarahan sepertinya tengah menguasai mamanya Alexander.

Thalia hendak berlari keluar untuk menuju ke rumah sakit dan memastikan sendiri kebenaran berita tentang sang suami, tetapi kaki jenjang sang mama mertua sigap menjegal langkahnya hingga membuat wanita hamil itu tersandung. Thalia jatuh tersungkur ke lantai, dia menjerit kecil. Wanita cantik tersebut meringis merasakan sakit di bagian perut akibat tertindih tubuhnya sendiri. Bibi pelayan hanya bisa menatap sang nyonya muda dengan tatapan iba, sama sekali tidak memiliki keberanian untuk membantunya.

"Urus dia dan jangan biarkan dia keluar dari kamar! Aku tidak ingin orang-orang yang melayat putraku, melihat mukanya yang sok polos itu!" Grace segera berlalu meninggalkan Thalia yang masih kesakitan di lantai marmer yang dingin, tanpa rasa peduli sedikitpun.

Pernikahan Alexander dan Thalia memang tidak direstui oleh Grace dari awal, sehingga menantunya itu tidak pernah diperkenalkan pada publik. Keluarga besar menyembunyikan pernikahan Alexander dan tidak mau mengakui Thalia sebagai bagian dari keluarga besar Thomson. Hanya Alexander satu-satunya orang yang menyayangi istrinya yang sederhana, di mention mewah tersebut.

"Mari, Nyonya Muda, saya bantu Nyonya ke kamar." Pelayan wanita yang sudah mengabdi di keluarga Thomson selama puluhan tahun itu kemudian membantu Thalia untuk bangkit dan berjalan perlahan menuju ke kamarnya yang luas.

Thalia segera dibaringkan di atas ranjang besar berukir indah. "Terima kasih, Bi. Kembalilah ke belakang sebelum mama marah pada Bibi," suruh Thalia penuh pengertian.

Setelah menyelimuti tubuh Thalia dengan selimut lembut hingga sebatas perut, pelayan wanita yang seusia dengan Grace itu kemudian segera meninggalkan kamar mewah putra sang majikan untuk melanjutkan pekerjaannya kembali. Meninggalkan Thalia yang berbaring di ranjang empuk sendirian, dengan masih merasakan nyeri di bagian perutnya yang besar. Dia usap-usap perutnya sendiri seraya berharap, semoga sang janin di dalam sana baik-baik saja.

Di mansion mewah itu, memang Grace yang berkuasa. Semua tunduk pada aturan wanita paruh baya yang otoriter dan sewenang-wenang tersebut. Hanya Alexander yang berani menentang sang mama terutama dalam memilih istri dan Thalia, wanita sederhana dari panti asuhan itulah yang dipilih oleh Alexander, putra pertama Grace dan almarhum sang suami, Jack Thomson.

Grace selalu memperlakukan Thalia dengan tidak baik, dia hanya pura-pura baik jika ada sang putra. Tidak ada yang berani mengadukan perbuatan nyonya besar itu pada Alexander. Pun Thalia juga tidak pernah mengadu pada suaminya.

Thalia merasa sudah bahagia karena sang suami begitu menyayanginya. Alexander tidak pernah memandang dirinya dari status sosial dan dari mana dia berasal. Bahkan sang suami selalu meyakinkannya, bahwa suatu saat nanti keluarga besar Thompson pasti dapat menerima kehadiran Thalia, termasuk sang mama.

'Siapa yang dapat kuhubungi untuk menanyakan kebenaran berita tadi?'

Thalia segera beringsut. Dia ambil ponsel yang tergeletak di atas nakas dan kemudian menggulir layar ponselnya ke atas. Thalia mencari-cari nama seseorang yang barangkali bisa membantunya untuk mendapatkan informasi tentang sang suami.

"Lucas. Iya, barangkali Asisten Lucas mau memberiku informasi tentang Ale," gumam Thalia dengan perasaan sedikit lega.

Setelah menemukan nomor asisten pribadi suaminya, Thalia segera menelepon nomor Lucas. Panggilan pertama, teleponnya tidak diangkat oleh sang asisten. Bahkan hingga panggilan ketiga, Lucas tetap tidak mengangkat telepon dari Thalia. Hal itu semakin membuat wanita muda itu panik.

'Ya Tuhan, benarkah berita yang disampaikan Bibi tadi? Kenapa Asisten Lucas tidak mengangkat telepon dariku?'

Thalia beranjak dari pembaringan dan kemudian berjalan perlahan menuju pintu. Wanita yang perutnya membuncit itu hendak nekat keluar meskipun sang mama mertua telah melarang karena dia ingin membuktikan sendiri, kebenaran berita tentang kematian suaminya. Thalia masih tidak mempercayai berita itu, hati kecilnya menolak.

Baru saja Thalia hendak membuka pintu, seseorang telah membuka pintu kamarnya dari luar. "Mau kemana, kamu!" hardik seorang wanita muda, seusia Thalia sambil berdiri berkacak pinggang di ambang pintu.

"Aku mau ke rumah sakit, Jean. Aku harus melihat kondisi suamiku. Tolong ijinkan aku keluar, Jean," pinta Thalia dengan memelas karena Jean, adik kandung Alexander, menghalangi langkahnya.

"Kamu tidak perlu ke sana karena kehadiranmu sama sekali tidak dibutuhkan! Sebaiknya, kamu kemasi barang-barangmu sekarang karena mulai detik ini juga, kamu bukan lagi istri Kak Ale!" Tepat di saat yang sama, seorang pelayan wanita muncul di belakang Jean sambil membawa koper berukuran kecil.

Jean segera menyingkir untuk memberikan jalan pada pelayan. Pelayan wanita itu segera masuk ke dalam kamar Thalia dan tersenyum sinis menatap nyonya mudanya. Dia melewati istri tuan mudanya begitu saja untuk menuju ruang ganti yang berada di dalam kamar mewah tersebut.

Tidak butuh waktu lama, pelayan muda berseragam khusus itu telah kembali sambil menyeret koper dan kemudian melemparkan tepat di samping kaki Thalia. Dia kembali tersenyum sinis seraya berbisik. "Selamat jalan, Thalia. Kembalilah ke asalmu, di jalanan!"

Thalia mengerutkan dahi, tidak mengerti dengan ucapan pelayan yang biasanya melayani kebutuhan sang suami. "Apa maksud kamu, Berta?"

"Seret dia keluar, cepat!" titah Jean pada Berta, pelayan muda yang tatapannya selalu sinis pada Thalia. Jean bahkan tidak memberikan penjelasan apapun pada Thalia, kenapa istri Alexander itu diusir dari mansion mewah keluarga suaminya.

Berta tersenyum seringai, dengan tanpa perasaan pelayan muda itu segera menyeret tangan Thalia untuk membawanya keluar. Satu tangan Berta menyeret koper, satu tangannya lagi mencengkeram dengan kuat pergelangan tangan Thalia hingga wanita yang tengah hamil besar tersebut meringis. Berta terus berjalan dengan cepat, membuat istri Alexander kewalahan mengikuti langkah panjang sang pelayan.

"Lepaskan aku, Berta! Aku bisa jalan sendiri!" Thalia berontak, tetapi kekuatannya kalah jauh dengan Berta yang sudah terbiasa bekerja keras.

Berta terus menyeret Thalia, menyusuri ruangan demi ruangan di dalam mansion besar itu. Semua mata pelayan yang sedang bekerja dan melihat kejadian tersebut, hanya dapat menatap iba pada sang nyonya muda. Tidak ada satupun yang berani untuk mencegah perbuatan kasar Berta karena Jean mengekor langkah mereka berdua dari kejauhan dengan tatapan mengintimidasi.

Termasuk Maggie, pelayan paruh baya yang tadi mengabarkan pada Thalia mengenai kecelakaan maut yang menimpa Alexander Thompson. Pelayan senior itu juga tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolong Thalia. 'Semoga Tuhan melindungi Nyonya Thalia dimanapun dia berada.'

☕☕☕☕☕☕☕☕☕☕ tbc.

Sangat Berguna Untukku

Berta menghentak kasar tubuh Thalia di atas jok mobil dan kemudian melemparkan koper milik wanita hamil itu, tepat di atas pangkuan Thalia. Wanita cantik tersebut merintih, merasakan perutnya yang semakin sakit. Dia pegang erat perut buncitnya, setelah menyingkirkan koper dari pangkuan.

"Segera bawa pergi dia, John, dan pastikan bahwa dia tidak akan dapat kembali lagi ke sini!" titah Grace yang tiba-tiba muncul sambil menunjuk ke arah Thalia dengan tatapan penuh kebencian.

Berta segera menutup pintu mobil bagian belakang dengan kasar dan tersenyum puas. 'Wanita sepertimu memang tidak pantas bersanding dengan Tuan Muda Ale, Thalia. Kamu hanya seorang sudra sama sepertiku dan aku merasa terhina ketika harus melayanimu!'

"Ma, kumohon, Ma. Ijinkan aku untuk bertemu dengan Ale sebentar saja," mohon Thalia setelah membuka kaca jendela di sampingnya.

"Cepat jalan, John, sebelum ambulans yang membawa pulang putraku datang!" seru Grace, mengulang perintahnya.

Thalia terus memohon seraya terisak, tetapi sang mama mertua yang selama ini senantiasa berbuat kejam padanya, sama sekali tidak menghiraukan. Grace tidak peduli dengan perasaan Thalia. Wanita paruh baya itu bahkan membuang muka, tidak mau menatap istri dari sang putra.

Mobil jenis sedan berwarna hitam yang dikemudikan oleh seorang pemuda yang juga berkulit hitam itupun segera melaju, meninggalkan mansion mewah keluarga Thompson. Membawa Thalia yang berurai air mata karena tidak menyangka dirinya akan diusir dengan sangat kejam oleh sang mama mertua di saat kabar yang menimpa sang suami, belum dia ketahui secara pasti. Thalia terus mengelus perutnya yang semakin terasa sakit.

"John, tolong antar aku ke rumah sakit,' pinta Thalia setelah mobilnya menjauh dari mansion dan mulai melaju di jalan raya beraspal.

"Maaf, Nyonya. Saya tidak berani. Di mobil ini, ada CCTV-nya dan pekerjaan saya yang menjadi taruhan jika saya berani membantu Anda, Nyonya Thalia," balas John dengan tidak enak hati.

John adalah sopir pribadi yang ditugaskan oleh Alexander untuk mengantarkan kemanapun istri cantiknya itu pergi. Laki-laki berkulit hitam tersebut selama ini sangat patuh pada perintah Thalia karena dia dibayar mahal oleh Tuan Muda Thompson, suami Tahlia. Hanya saja, kabar kematian Alexander dimanfaatkan oleh Grace untuk memaksa John dan mengancam sopir tersebut agar menuruti perintahnya.

Mendengar jawaban sang sopir, Thalia hanya bisa menghela napas panjang. Wanita yang tengah hamil besar tersebut tahu pasti bagaimana kejam dan teganya Grace pada para pekerja yang tidak mau tunduk kepada wanita paruh baya yang arogan itu. Thalia hanya bisa pasrah karena tidak mau memaksa John yang akan membuat dia kehilangan pekerjaannya.

Hening, sejenak tercipta di kabin mewah mobil tersebut. John fokus dengan kemudinya. Sementara Thalia, memejamkan mata untuk mencoba melupakan rasa nyeri di perutnya yang seperti ditusuk-tusuk.

"John. Memangnya, aku mau dibawa kemana?" Thalia yang baru saja membuka mata setelah cukup lama terpejam dan baru menyadari bahwa laju mobil tersebut ke arah luar kota, bertanya.

"Ke perbatasan, Nyonya. Nyonya besar menyuruh saya untuk menurunkan Anda di sana," balas John yang terdengar ragu-ragu menyampaikan hal tersebut. Sopir itu dapat menebak bahwa sang nyonya muda pasti sangat sedih mendengar kalau dia akan dibuang, di tempat yang asing.

Benar saja, wajah cantik yang sedari tadi bergelayut mendung, kini sudah mulai turun hujan. Air mata Thalia kembali mengalir, tetapi tidak ada suara tangis yang terdengar. Wanita muda itu menangis dalam diam, hanya bahunya saja yang berguncang. Thalia meratapi betapa tragis peran yang harus dia jalankan.

"Baiklah, John. Lakukan tugasmu dengan baik dan tolong bangunkan aku jika sudah sampai." Thalia mengusap kasar air matanya dan kemudian kembali memejamkan mata.

Tidak ada gunanya lagi dia menangis. Sang suami kabarnya telah mati dan kini, dia sudah semakin jauh dari mansion dan Thalia tidak membawa ponsel yang bisa digunakan untuk mencari informasi kebenaran berita mengenai kematian suaminya. Istri tuan muda keluarga Thompson itu hanya bisa pasrah dengan nasib yang menunggu di depan sana.

"Baik, Nyonya Muda. Nanti saya akan membangunkan Anda," balas sang sopir yang sudah tidak direspon lagi oleh Thalia.

Mobil yang dikendarai John terus melaju, melewati padang rumput yang nampak mulai mengering di awal musim panas ini. Untuk mengusir rasa jenuh karena menyetir tanpa ada teman berbicara, John menghidupkan audio mobil dan menyetel lagu klasik kesukaannya. Setelah menempuh jarak ratusan mil, sampailah mereka berdua di perbatasan.

"John, apa kamu akan menurunkan aku di sini?" tanya Thalia ketika mobil yang dikendarai oleh John berhenti. "Tidak adakah tempat lain, John? Di sini tidak ada apa-apa, John!" Suara Thalia mulai terdengar panik.

Sopir itu hanya terdiam, tidak memberikan jawaban.

Wanita cantik itu kemudian membuka pintu mobil dan mengedarkan pandangan. Sejauh mata memandang, hanya ada hamparan rumput liar yang menguning karena kekeringan. Thalia bergidik ngeri.

"John, bagaimana jika tiba-tiba ada binatang buas yang menyerangku sementara kendaraan yang lewat sini sangatlah jarang?" tanya Thalia yang segera menutup kembali pintu mobilnya.

Ya, jalan yang mereka lalui saat ini, memang jalan alternatif. Tidak ada bus angkutan umum yang melintasi jalur tersebut. Hanya kendaraan pribadi saja yang sesekali melintas dan itupun dengan kecepatan yang maksimal.

"Baiklah, Nyonya. Saya akan bawa Anda ke pompa bensin di depan sana. Sepertinya, tidak jauh lagi ada pompa bensin. Semoga Nyonya Grace mau mengerti penjelasan saya nanti," ucap John yang tidak tega meninggalkan Thalia di tempat sepi seperti ini seorang diri.

Sopir berkulit hitam itupun segera melajukan kembali mobilnya. Setelah hampir setengah jam melaju, sampailah mereka di pompa bensin yang dimaksudkan oleh John tadi. Thalia sedikit bernapas dengan lega karena setidaknya, di sini ada orang yang bisa dia mintai tolong jika terjadi sesuatu pada dirinya, terutama dengan kandungannya yang semakin terasa nyeri.

John segera membukakan pintu mobil untuk Thalia seraya membungkuk hormat seperti biasa. "Maaf, Nyonya. Saya hanya menjalankan perintah," sesalnya yang tidak dapat melakukan apapun untuk membantu Thalia.

"Tidak apa-apa, John, aku bisa mengerti. Kamu sudah bersedia mengantarkanku sampai di sini dan aku sangat berterimakasih untuk itu," balas Thalia.

"Berikan ini untuk istrimu, barangkali akan sangat berguna nanti." Sebelum berlalu, Thalia melepas salah satu cincin berlian miliknya dan kemudian dia berikan pada sopir yang selama ini sudah setia kepadanya itu.

John kehilangan kata-kata, dia terima cincin mahal tersebut dengan netra berkaca-kaca. Bibirnya nampak bergetar hendak berucap, tetapi tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya yang menghitam. Hanya anggukan kepala dengan dalam yang mewakili perasaannya saat ini.

"Nyonya, tunggu!" seru John tiba-tiba setelah Thalia menjauh menuju toilet yang ada di area pompa bensin.

"Ada apa, John?" Thalia menoleh ke arah suara yang memanggil namanya.

"Saya tidak tahu apakah uang ini akan berguna untuk Nyonya atau tidak, tetapi hanya ini yang saya punya untuk membantu Anda, Nyonya." John mengulurkan beberapa lembar uang kepada Thalia dengan tangan bergetar.

Thalia menggeleng. "Aku memang tidak membawa uang sepeserpun, John, tetapi bukankah uang itu untuk anak dan istrimu di rumah?" tolaknya dengan halus.

John tetap menyelipkan uang tersebut ke dalam tas Thalia. "Saya permisi, Nyonya," pamit John yang kemudian segera berlari menuju ke mobilnya dengan air mata bercucuran.

Thalia menatap punggung John yang semakin menjauh dan kemudian menghilang di balik pintu mobil dengan netra berkaca-kaca. "Terima kasih banyak, John. Ini akan sangat berguna untukku."

☕☕☕☕☕☕☕☕☕☕ tbc.

Cari Tahu Siapa Dia!

Disinilah saat ini Thalia berada, di ranjang rumah sakit yang dindingnya bercat putih bersih. Wanita cantik yang baru saja membuka matanya tersebut, mengedarkan pandangan. Dia mencari-cari dua orang yang tadi memberikan tumpangan kepadanya dari pompa bensin dan kemudian membawa Thalia ke rumah sakit karena perutnya terasa semakin sakit seperti hendak melahirkan.

Benar saja, begitu tiba di rumah sakit tadi, Thalia yang langsung dibawa ke ruang persalinan, melahirkan seorang bayi perempuan mungil dengan selamat. Namun karena Thalia kelelahan dan tubuhnya belum mendapatkan asupan makanan dari pagi tadi ketika dia diusir dari mansion, wanita itu tidak sadarkan diri setelah beberapa saat bayinya lahir. Thalia kemudian segera mendapatkan perawatan intensif dan bayinya dibawa ke ruangan khusus bayi.

"Kemana paman dan Bibi Brown tadi, ya? Apa mereka berdua menunggu di luar?" gumam Thalia bertanya-tanya.

"Anda sudah sadar, Nyonya?" Suara seorang perawat berseragam putih yang baru masuk ke ruang perawatan Thalia, mengejutkan wanita muda itu.

"Sus, dimana bayi saya, Sus?" tanya Thalia yang langsung teringat dengan bayinya dan ingin segera memberi sang buah hati, Asi.

"Bayi Anda ada di ruang perawatan bayi, Nyonya. Sebentar lagi akan ada perawat yang membawanya kemari karena Anda sudah sadar," balas perawat tersebut dengan ramah.

"Sus, apakah paman dan bibi saya masih di luar?" tanya Thalia kemudian, setelah perawat cantik itu memeriksa kondisi kesehatannya.

"Mereka berdua sudah pulang, Nyonya. Mereka tadi juga mengatakan kalau semua biaya persalinan dan perawatan Anda, sudah mereka bayarkan. Jadi, kalau Nyonya merasa sudah kuat nanti, Nyonya bisa langsung membawa bayi Anda pulang," terang perawat itu sambil tersenyum manis.

"Kondisi Anda bagus semua, Nyonya. Tekanan darah, juga normal. Saran saya, setelah keluar dari rumah sakit nanti perbanyak makan sayur dan buah agar asinya lancar dan banyak." Perawat tersebut kemudian menyuntikkan vitamin ke dalam botol infus yang hampir habis, lalu berpamitan.

"Saya tinggal dulu, Nyonya. Saya harus mengunjungi pasien lain."

"Terima kasih banyak, Sus," ucap Thalia yang hanya dijawab dengan anggukan kepala oleh perawat yang seusia dengannya itu, sambil berjalan keluar dari ruang perawatan.

"Ya Tuhan, baik sekali paman dan bibi Brown. Padahal baru pertama kali kami bertemu, tetapi mereka sudah melakukan banyak hal padaku dan bayiku," puji Thalia pada dua orang yang menolongnya tadi.

'Aku harus cepat sehat dan cepat keluar dari sini. Aku akan jual cincin dan liontin dari Ale untuk mencari ruko dan memulai usaha agar aku punya penghasilan,' batin Thalia seraya meraba jemarinya.

Dahinya tiba-tiba berkerut dalam kala tidak mendapati apa-apa di jari tangan kanannya. Thalia kemudian melihat jemari tangannya, kanan dan kiri bergantian. Kosong, tidak ada apa-apa di jemarinya itu. "Dimana kedua cincinku?" gumam Thalia bertanya, entah kepada siapa.

Thalia kemudian meraba lehernya untuk memastikan bahwa kalung dengan liontin mahal seharga satu unit apartemen yang diberikan oleh sang suami di hari pernikahannya, masih ada. Raib, kalung emas murni berikut liontin yang terbuat dari batu termahal itu pun sudah tidak ada lagi di leher jenjang Thalia. Wajah wanita muda yang baru saja melahirkan tersebut, bergelayut mendung.

"Siapa yang telah mengambilnya? Apa mungkin, paman dan Bibi Brown? Tega sekali mereka!" Thalia menduga-duga, sebab hanya ada mereka berdua yang menemani Thalia di rumah sakit.

Lenyap sudah harapan Thalia untuk dapat bertahan hidup dan memberikan tempat yang layak untuk putrinya nanti. Dia tidak membawa apa-apa, selain dua cincin dan kalung berharga dari sang suami. Sementara satu cincinnya yang dia beli sendiri ketika jalan-jalan dengan sang suami, sudah dia berikan kepada John sebagai ucapan rasa terima kasihnya.

Teringat akan John, Thalia beringsut dan mencoba mengambil tas kopernya. Berharap, uang pemberian dari John tadi masih ada. Thalia bernapas dengan lega ketika uang yang diberikan oleh sopir berkulit hitam yang tadi mengantarkan dirinya sampai pompa bensin di perbatasan, masih utuh.

"Ini benar-benar berguna untukku, John. Terima kasih banyak," gumam Thalia seraya mendekap lembaran uang dolar tersebut.

*****

Di rumah petak yang sempit berukuran tiga kali tiga meter dengan dapur dan kamar mandi yang juga sangat sempit, menjadi satu di dalam ruangan tersebut inilah Thalia dan bayinya sekarang berada. Rumah kontrakan yang letaknya tidak jauh dari rumah sakit, tempat dia melahirkan putrinya tadi. Thalia mengetahui tempat ini dari perawat rumah sakit yang merawat bayi mungilnya.

Uang dari John yang cukup banyak, sekitar satu bulan gaji sopir tersebut memang masih ada sisa setelah dipakai untuk membayar uang sewa rumah selama dua bulan. Namun, sisa uangnya mungkin hanya akan cukup dipakai untuk bertahan hidup selama dua minggu. Membuat Thalia mulai berpikir untuk segera mencari pekerjaan.

"Aku harus segera pulih agar bisa segera bekerja." Thalia menyemangati dirinya sendiri.

Setelah merapikan rumah petak sambil mengendong bayi mungilnya, Thalia kemudian menidurkan bayi merah itu di kasur lantai yang sudah disediakan oleh pemilik kontrakan. Kasur tipis dan berukuran kecil yang hanya cukup untuk dia dan bayinya. Thalia sudah sangat bersyukur dengan apa yang dia dapatkan saat ini.

*****

Waktu terus berlalu. Thalia yang sudah terbiasa dengan kesulitan hidup sebelum bertemu dengan Alexander, suaminya, dengan mudah dapat beradaptasi di tempat baru itu. Ibu muda tersebut mulai mencari-cari informasi pekerjaan dan juga tempat penitipan anak. Ya, tentu saja Thalia harus menitipkan putrinya jika nanti dia bekerja.

Hari ini, tepat sepuluh hari setelah dia melahirkan, Thalia hendak berangkat ke sebuah kantor perusahaan yang menurut tetangga di tempatnya tinggal, ada lowongan pekerjaan. Thalia segera membawa putrinya ke tempat penitipan anak yang tidak jauh dari perumahan kumuh tersebut dan kemudian membayar biaya hanya untuk satu hari itu saja karena sisa uang Thalia tinggal sedikit. Setelah menitipkan sang putri dan memastikan stok asi cukup hingga siang nanti, Thaliapun segera berangkat untuk melamar pekerjaan bersama tetangga barunya.

"Tidak jauh sebenarnya kantor itu, Tha. Kita bisa saja berjalan kaki untuk menghemat ongkos, tetapi aku kasihan padamu kalau kita berjalan. Kamu baru saja melahirkan dan pasti rasanya masih sakit jika dipakai untuk berjalan terlalu jauh," ucap Maria ketika mereka tiba di pinggir jalan raya.

Thalia mengangguk, membenarkan ucapan tetangga yang sudah berbaik hati mau memberinya informasi tentang pekerjaan dan menemani Thalia untuk melamar di sana.

"Kita naik bus kota itu saja, Tha!" seru Maria sambil menunjuk ke arah bus kota yang baru saja datang.

Kedua wanita itu kemudian segera naik bus kota untuk menuju ke kantor perusahaan terbesar di kota tersebut, The Moohan Coorpaorate. Tidak butuh waktu lama, bus kota yang membawa mereka tiba di tempat tujuan. Maria segera mengajak Thalia turun di halte yang berada persis di depan gedung perkantoran TMC.

"Sorry, Tha, kita berpisah di sini. Aku ada perlu di sana," pamit Maria seraya menunjuk ke arah kantor asuransi.

"Tidak masalah, aku bisa sendiri. Terima kasih banyak, Maria, karena kamu sudah menemaniku," balas Thalia dengan tersenyum tulus.

Maria membalasnya dengan senyuman dan kemudian segera menjauh seraya melambaikan tangan. Thalia pun berlalu untuk ke tempat tujuan. Ibu muda yang pagi ini mengenakan rok span di bawah lutut dan dipadukan dengan blouse berwarna putih yang menampakkan dadanya yang besar karena menyusui, terlihat begitu seksi. Thalia berjalan dengan langkah pasti menuju ke gedung perkantoran yang menjulang tinggi.

Wanita yang terlihat sangat cantik meskipun tanpa riasan di wajahnya itu tidak menyadari, ada dua pasang mata yang memperhatikan dirinya sejak tadi dari dalam mobil mewah. "Cari tahu siapa dia, Zack, dan apa tujuannya ke kantorku!"

☕☕☕☕☕☕☕☕☕☕ tbc.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!