Clarissa Althea Johan, gadis berusia 20 tahun seorang mahasiswa di perguruan tinggi negeri semester dua di Amerika. Ia mempunyai adik perempuan satu-satunya yang masih duduk di bangku Sekolah menengah kelas XII bernama Emily Valerie Johan yang berusia 18 tahun. Ia terlahir dari keluarga pengusaha yang tidak pernah kekurangan. Bahkan putri kedua dari pasangan Alexander Johan dan Aruna Putri bersekolah di sekolah swasta Favorit yang terkenal di kota J.
Ayahnya Alexander Johan adalah pria asal Amerika yang menikahi Ibunya yang berasal dari Surabaya. Clarissa terpaksa pulang ke Indonesia karena mendengar berita duka mengenai adiknya. Emily di kabarkan lompat dari gedung sekolah dan meninggal di tempat. Gadis itu tidak menunjukkan sesuatu mencurigakan di rumah. Emily adalah gadis periang dengan wajah ramah dan ceria. Tapi satu bulan terakhir memang sering menyembunyikan kesedihannya dari keluarganya.
Keluarga Alexander berusaha mencari tahu penyebab kematian putri bungsu mereka, tapi pihak sekolah seolah menutupi kabar tewasnya gadis itu. Di sekolah Emily termasuk siswi yang berprestasi. Ia sering mengikuti olimpiade dan selalu menjadi juara kelas.
Pagi itu Clarissa tiba di bandara Soekarno-Hatta di jemput oleh Kedua orang tuanya. Ketiganya tampak berpelukan penuh haru bahkan mereka menitikkan air mata. Setelah berpelukan cukup lama, ketiganya mengurai pelukan dan mengusap sudut mata yang berair.
"Maaf Clarissa baru pulang hari ini Ma, Pa." ujar wanita berambut panjang sebahu itu. Rambutnya bewarna coklat madu yang bawahnya bergelombang. Wajahnya yang campuran antara Indonesia- Amerika membuatnya seperti bule. Tingginya yang hampir setinggi ayahnya membuat penampilannya semakin memikat. Hidungnya mancung dengan dua lesung pipi yang tercetak jelas di kedua pipi gadis itu.
"Tidak apa-apa, sayang. Emily pasti mengerti," kata Mama Aruna seraya membelai wajah putri sulungnya.
"Bagaimana keadaan di sana? Apa bibi Elina memperlakukan kamu dengan baik?" tanya sang Ayah pada Clarissa. Clarissa tersenyum lalu mengangguk.
"Bibi Elina dan paman Mark sangat baik, Pa. Bahkan mereka sudah menganggap Clarissa seperti putri mereka sendiri."
"Syukurlah kalau begitu. Papa kamu sangat mengkhawatirkan kamu di sana. Katanya takut jika adiknya itu akan memarahi kamu sepanjang waktu." ujar sang Mama seraya berjalan beriringan.
"Hei, sayang. Kamu tahu sendiri 'kan, adik ku itu sangat cerewet dan tidak berhenti mengomel. Aku tidak akan rela jika anak ku selalu di marahi olehnya."
"Tidak kok, Pa. Bibi Elina sangat baik pada Clarissa. Dia hanya mengomel jika Clarissa nakal. Tapi tenang saja, anak Papa dan Mama ini sangat baik. Kalian pasti tahu itu." katanya seraya mengedipkan mata. Ketiganya lalu tertawa berjalan beriringan sementara koper yang Clarissa bawa sudah di bawa duluan oleh sopir pribadi mereka. Ketiganya pun segera memasuki mobil mewah bewarna hitam keluaran terbaru yang segera membawa mereka melesat membelah jalanan yang ramai.
Sesampainya di rumah, seorang pria sudah menunggu mereka di teras. Melihat kedatangan mereka pria yang memakai jas bewarna hitam itu segera berdiri dan menghampiri.
"Andrew?" lirih Clarissa seraya memutar bola matanya kesal. Pria itu merupakan tunangan Clarissa. Clarissa dan Andrew di jodohkan oleh kedua orang tua mereka. Mau tidak mau Clarissa menerima perjodohan itu asal di izinkan untuk kuliah di Amerika.
"Hai baby. I Miss you so much," ujar pria itu seraya berjalan mendekati Clarissa. Andrew memeluk Clarissa sebentar lalu ingin mencium bibir gadis itu, tapi Clarissa dengan cepat mengelak.
"Hentikan Andrew. Kau lupa dengan perjanjian kita?" Clarissa memberi peringatan. Satu tahun sebelum pertunangan mereka, Clarissa memberi syarat bahwa tidak ada sentuhan fisik di antara mereka. No *** before marriage! Ataupun sekedar mencium bibir, gadis itu tidak mau.
"Oke, I'm sorry. Aku lupa. Aku begitu karena terlalu senang dan rindu sama kamu." ucap pria itu seraya mundur ke belakang karena wajah Clarissa yang tampak kesal.
"Lupa atau sudah jadi kebiasaan?" Ucapan Clarissa tepat mengenai sasaran. Andrew adalah pria yang bebas. Apalagi pria itu sudah lama tinggal di London. Kebiasaan hidup bebas membuat pria itu seringkali terbawa sampai ke Indonesia. Itu juga merupakan alasan Clarissa tidak menyukainya. Tapi dirinya belum bisa membuktikan pada kedua orang tuanya siapa Andrew sebenarnya. Sehingga dirinya terpaksa untuk menerima perjodohan itu. Dan sebagai gantinya ia meminta kuliah di luar negeri agar bisa menghindari pria itu.
Tapi karena kematian adiknya membuat gadis itu terpaksa pulang ke tanah air untuk membalaskan dendam.
"Bukankah di Amerika kau sudah terbiasa melakukan hal itu? Bahkan di sana hal itu sudah biasa dan sudah lumrah." Sindir Andrew yang langsung mendapatkan tatapan sinis dari gadis yang ada di hadapannya.
"Oh tentu saja tidak. Ingat Tuan Andrew yang terhormat! Aku dan kamu berbeda! Aku tidak semudah itu bersentuhan fisik dengan pria. Jadi jangan pernah samakan kita berdua!" kata Clarissa dengan kesal. Andrew hanya terkekeh melihat tunangannya kesal. Baginya meluluhkan hati Clarissa sangatlah sulit. Tidak seperti gadis-gadis lain yang akan bertekuk lutut dan dengan suka rela membuka baju demi dirinya. Apalagi jika di tambah dengan iming-iming uang, gadis-gadis mana saja bisa ia miliki walau hanya satu malam.
Melihat anak dan calon menantunya mulai bersitegang, Aruna dan Alexander segera melerai keduanya.
"Sudah, sayang. Kalian kalau ketemu pasti ribut. Sudah seperti tom dan Jerry saja. Ayo kita masuk," ajak Aruna dengan ramah.
"Maaf Tante, soalnya lama sudah tidak bertengkar dengan Clarissa. Mungkin ini bentuk kasih sayang yang Clarissa tunjukkan untuk Andrew." kata Pria itu tak tahu malu. Mendengar hal itu membuat Clarissa ingin muntah. Ia berdecih dan memutar bola matanya terang-terangan. Lalu ia segera masuk ke dalam rumah mewah mereka meninggalkan Andrew yang tak melepaskan tatapannya dari tubuh tunangannya.
"Maafkan Clarissa, Nak Andrew. Mungkin dia lelah karena baru saja sampai. Sebaiknya kita masuk saja terlebih dahulu." kata Aruna seraya tersenyum.
"Iya, Andrew. Sebaiknya kita masuk dulu. Maafkan Clarissa ya. Dia memang berbeda dengan Emily." Andrew mengalihkan pandangannya dari tubuh Clarissa yang sudah menghilang. Ia menatap kedua orang dewasa yang ada di hadapannya dan tersenyum.
"Tidak apa-apa om, Tante. Saya sudah hapal dengan sikap Clarissa. Bahkan sikapnya yang seperti membuat saya semakin penasaran dan semakin tergila-gila padanya. Dan tentang Emily ... Ya dia memang jauh berbeda dengan Clarissa. Ia begitu periang dan ramah." kata Andrew tersenyum getir.
Suasana di antara ketiganya mendadak canggung dan sedih. Mengenang Emily yang kini telah pergi meninggalkan mereka dengan menyedihkan dan begitu mengenaskan. Siapapun tak akan menyangka jika gadis yang mereka kenal begitu ceria dan periang itu harus mengakhiri hidupnya dengan cara yang begitu tragis.
Seorang gadis memakai pakaian serba hitam berjongkok di atas sebuah makam yang masih baru. Menaburkan bunga yang ia bawa dan meletakkan sebuah buket mawar di atas gundukan tanah. Setelah selesai, ia mengusap lembut nisan yang bertuliskan "Emily Valerie Johan". Gadis itu segera mengusap sudut matanya yang berair, menatap dengan nanar gundukan tanah yang menimbun jasad adiknya di bawah sana.
"Hai dek, kakak datang. Maaf kakak baru datang sekarang." suaranya terhenti, tenggorokannya tercekat. Ia merasa tak mampu untuk mengeluarkan sepatah kata apapun lagi. Kesedihan begitu mendalam ia rasakan. Kenangan manis bersama gadis itu melintas dalam ingatannya.
"Dek, sebentar lagi 'kan kamu akan lulus. Jadi kamu bisa dong nyusul kakak ke Amerika. Kita bisa tinggal bersama di Rumah bibi Alena dan paman Mark. Kita akan pergi kuliah bersama seperti SMA. Wah pasti akan sangat menyenangkan." kata Clarissa dengan mata berbinar. Mereka sedang duduk di taman belakang saat itu. Menghabiskan sore di sana sembari menikmati camilan ringan yang di siapkan asisten rumah tangga mereka.
"Emily mau kuliah di sini saja kak." ucap gadis berambut coklat itu seraya mengunyah camilannya. Mendengar hal itu membuat Clarissa terkejut.
"Loh, kenapa? Bukankah kemarin kamu bilang ingin kuliah di Amerika?"
"Awalnya sih iya, tapi setelah di pikir-pikir kasihan mama dan Papa akan merasa kesepian."
Clarissa tampak berpikir, ia tampak merenungkan ucapan adiknya yang menurutnya benar.
"Mereka bisa ikut pindah ke Amerika. Bukankah rumah peninggalan kakek dan Nenek masih ada di sana?"
"Benar sih, kak. Tapi 'kan perusahaan Papa tidak ada yang mengelola di sini. Lagi pula mereka mana mau tinggal di sana. Bisnis papa bisa berantakan jika di tinggalkan." Clarissa mengangguk beberapa kali. Benar juga yang adiknya katakan.
"Lagi pula, Emily tidak mungkin meninggalkan seseorang di sini." ucapannya membuat dahi Clarissa berkerut dalam. Ia menatap adiknya penuh curiga.
"Memangnya siapa? Kamu punya pacar?" tebak Clarissa.
"Uummm ... gimana, ya. Bisa di katakan seperti itu, sih. Tapi bisa di katakan kami hanya teman dekat." jawab Emily dengan tersipu malu. Wajahnya yang putih terlihat bersemu merah.
"Astaga. Pantas saja kamu berubah pikiran." Clarissa ikut tersenyum melihat adiknya yang begitu polos dan terlihat sedang jatuh cinta.
"Apakah dia tampan?" tanya Clarissa selanjutnya. Ia mulai mencari tahu siapa pria yang sudah membuat adiknya jatuh cinta.Emily mengangguk sebagai jawaban.
"Apakah kakak mengenalnya?" Lagi-lagi Emily mengangguk. Ia tampak malu dan menunduk.
"Apakah dia satu sekolah denganmu?" Emily mengangkat kepalanya. Tampak aslinya bertemu, matanya sedikit berputar.
"Ah nanti kakak pasti akan tahu sendiri. Ku harap nanti kakak dan orang tua kita akan merestui kami. Karena kami saling mencintai." lirihnya seraya menggigit bibir bagian bawahnya.
"Ayo dong kasih tahu. Kakak sangat penasaran siapa pria itu. Lagi pula kami pasti akan merestui hubungan kalian. Asalkan kamu bahagia." kata Clarissa seraya menggenggam tangan adiknya dengan sayang.
"Aku bahagia bersamanya, kak. Kami saling mencintai."
"Tapi kalian belum berpacaran?"
Emily menggeleng pelan. Gadis itu tampak menatap ke depan dengan kosong.
"Entahlah. Aku tidak tahu pasti dengan hubungan kami. Tapi ia bilang sangat mencintaiku."
Hening mengambil alih keadaan. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya hembusan angin sore yang menerpa wajah cantik keduanya. Di temani mawar merah kesukaan Emily dan Mama Aruna yang bertaburan di taman.
Clarissa tersentak ketika sebuah tangan menyentuh pundaknya. Ia menoleh, seorang pria yang menemaninya sedari tadi mengulas senyum padanya.
"Ayo kita pulang. Sepertinya akan turun hujan." kata Andrew seraya menunjuk langit yang ada di atas mereka. Terlihat gumpalan awan hitam mengelilingi pemakaman. Clarissa mengangguk, ia kembali menatap makam adiknya dengan sendu.
"Kakak pulang dulu, ya. Besok kakak akan kembali lagi." janji Clarissa. Ia pun segera berdiri dan berjalan menjauh. Meninggalkan adiknya seorang diri di sana. Sementara Andrew berusaha mensejajarkan langkahnya dengan tunangannya.
"Clarissa, tunggu aku. Kenapa jalannya cepat sekali?" keluh Andrew yang berlari kecil menyusul gadis yang telah berjalan agak jauh darinya. Clarissa hanya diam tak menanggapi. Jika tidak karena paksaan Mama dan Papanya, ia tidak akan mau di antar oleh Andrew.
🌻🌻
Malamnya Clarissa masuk ke dalam kamar Emily. Ia berjalan memasuki kamar bernuansa pink itu dengan hati yang sakit. Jemarinya meraih sebuah bingkai foto Emily yang tersenyum menampakkan sederet gigi putihnya. Gadis itu mengenakan seragam sekolah. Clarissa duduk di kasur empuk milik adiknya. Kamar ini selalu rapi dan di bersihkan meski pemiliknya sudah tidak ada. Bahkan barang-barang Emily masih tersusun seperti saat gadis itu masih ada.
"Rumah ini menjadi sepi karena tidak ada kamu, dek. Kenapa kamu memilih jalan seperti ini? Apakah masalahmu sangat berat sehingga memilih untuk mengakhiri hidupmu? Seandainya waktu bisa di putar, maka kakak tidak akan pernah membiarkan semua ini terjadi." Lirihnya seraya mengusap wajah Emily yang penuh senyum.
Ia teringat dengan kejadian di taman sore itu.
"Apakah semua ini ada hubungannya dengan kekasih Emily? Tapi, siapa pria itu? Bagaimana aku bisa tahu pria yang membuat Emily jatuh cinta?" Clarissa tampak berpikir. Ia menerka-nerka siapa pria yang tengah dekat dengan gadis itu. Gadis itu terus mencari satu persatu pria yang ia kenal dan satu sekolah dengan adiknya. Tapi pikirannya buntu. Ia tidak bisa menemukan siapa pria yang di maksud Emily. Ketika hampir putus asa, ia menemukan hal yang mungkin bisa menjawab segala pertanyaannya.
"Oh ya, bukankah Emily punya buku diary?" Clarissa tersenyum cerah, ia segera meletakkan foto Emily dan menuju meja belajar adiknya. Tangannya dengan lincah mengobrak-abrik tempat buku Emily. Hingga ia menemukan sebuah buku dengan sampul pink dan terdapat love di sampingnya. Mata Clarissa berbinar, senyum segera terbit di wajahnya.
"Nah, ini dia." katanya seraya dengan cepat menarik buku itu dari tumpukan beberapa buku lainnya. Ia segera menyalakan lampu belajar. Membuka lembaran awal buku bersampul pink itu. Emily sangat menyukai warna pink. Sesuai dengan pembawaannya yang lembut. Tidak seperti dirinya yang menyukai warna hitam. Ia sedikit tomboi dan keras kepala.
Gadis itu membuka diary adiknya, berharap akan menemukan titik terang dari permasalahan ini. Tidak ada yang istimewa yang ia temukan dalam buku itu. Semuanya hanya kegiatan Emily di sekolah. Hingga sampai lembar kelima, ia menemukan tulisan Emily tentang sesuatu di sekolah.
Dear Diary, 25 July 2022
Elvina dan teman-temannya kembali membully Ku. Mereka merobek kertas ujianku yang mendapat nilai sempurna. Mereka berkata bahwa gadis jelek dan cupu sepertiku tidak pantas mendapatkan nilai sempurna. Mereka selalu mengatakan hal buruk padaku. Aku benci mereka, aku benci mereka!
Deg
Clarissa menutup buku itu dengan kedua tangan yang terkepal kuat. Matanya memancarkan sinar kebencian dan dendam. Ia tidak mengetahui jika selama ini adiknya mendapatkan perundungan di sekolah. Emily tidak pernah bercerita tentang apapun. Gadis itu selalu tampak ceria dan tanpa masalah. Ia merasa sangat bersalah karena tidak mengetahui hal sebesar ini.
"Ma, Pa ...." Panggil Clarissa ketika melihat kedua orang tuanya tampak sedih di ruang tamu.
"Hai sayang," sahut Mama dan Papanya seraya mengulas senyum tipis. Gadis yang memakai celana pendek selutut dan kaos oversize bewarna hitam itu menghampiri pasangan yang sedang duduk seraya menggenggam sebuah telepon rumah.
"Ada apa? Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Clarissa menatap kedua orangtuanya dengan khawatir. Aruna dan Alexander saling tatap sebentar, lalu memberi isyarat pada anaknya untuk lebih mendekat. Clarissa duduk di antara Mama dan papanya.
"Ini mengenai Emily," kata Papa dengan suara gemetar. Pupil Clarissa melebar, ia siap untuk mendengar berita selanjutnya. Tampak pasangan itu menarik napas dalam. Clarissa menebak semuanya tidak sedang baik-baik saja.
"What really happened?" tanya Clarissa semakin penasaran.
"Pihak sekolah resmi menutup kasus kematian Emily." ucap Papa dengan berat. Sementara Mama Aruna sudah terisak.
"What?!" Clarissa tersentak. Ia merasa ini semua tidak adil.
"Mereka bilang jika kematian Emily murni karena bunuh diri dan motifnya karena nilai ujiannya yang menurun beberapa Minggu ini."
"Ini semua tidak masuk akal, Pa. Emily tidak akan mungkin nekat mengakhiri hidupnya hanya karena sebuah nilai! Papa dan Mama ingat ketika nilainya turun ketika Emily kelas Xl?" kedua orang tuanya mengangguk.
"Emily tidak menyerah begitu saja. Ia malah lebih giat untuk belajar sampai tengah malam. So ... semua ini tidak masuk akal!" kesal Clarissa dengan dada yang naik turun.
"Kamu benar, Nak. Emily bukan anak yang mudah menyerah apalagi hanya karena nilai. Papa pun juga memiliki pemikiran yang sama dengan kamu." kata Papa Alexander seraya memijit pelipisnya yang terasa pusing.
"Mama juga setuju dengan pemikiran kalian berdua. Emily bukan gadis yang mudah menyerah. Pasti ada suatu hal yang tidak kita ketahui sebelumnya." Setelah lama diam, Mama Aruna akhirnya angkat bicara.
"Ma, apa sebelumnya Emily tampak menyimpan sesuatu?" tanya Clarissa seraya menatap Mamanya menunggu jawaban. Mama Aruna dan Papa Alexander saling melemparkan pandangan. Lalu keduanya kompak menggeleng.
"Emily tampak seperti biasa. Ia selalu ceria dan periang, sama seperti sebelumnya." kata Mama.
"Tapi sebentar," Mama tampak berpikir keras dan mencoba untuk mengingat sesuatu sementara Clarissa dan papanya menunggu Sang Mama mengungkap sesuatu.
"Satu Minggu yang lalu, ketika mama masuk ke kamarnya matanya tampak bengkak seperti habis menangis. Dan banyak tisu berceceran di lantai kamar. Tapi ketika Mama tanya, ia cuma bilang karena nonton drama Korea."
"Mama percaya begitu saja?" tanya Clarissa dan mamanya hanya mengangguk.
"Apa Mama atau Papa tahu Emily sedang dekat dengan siapa akhir-akhir ini?" tanya Clarissa. Keduanya menggeleng.
"Tidak. Emily tidak sedang dekat dengan siapa-siapa."
"Ma, Pa. Clarissa semalam menemukan Diary Emily. Dan ternyata Emily mendapatkan perundungan di sekolah." Mendengar hal itu membuat Sang Mama dan Papa shock.
"Bagaimana mungkin semua itu bisa terjadi?" tanya Mama Aruna.
"Bisa saja, Ma. Mereka mungkin iri karena nilai Emily hampir selalu sempurna. Dan Clarissa baca sendiri diary Emily."
"Ya Tuhan, mengapa nasib kamu begini sayang." lirih sang Mama penuh kesedihan.
"Apa kamu tahu, siapa yang melakukan perundungan pada Emily?" tanya Papa dengan wajah yang telah memerah menahan marah.
"Entahlah, Pa. Sepertinya masih satu kelas dengan Emily."
"Papa akan mencari tahu semuanya dan akan mengusut semua ini sampai tuntas! Papa tidak akan tinggal diam dan akan menjebloskan ke dalam penjara siapapun yang terlibat dengan kematian Emily!" ucap sang Papa dengan dendam yang menyala dalam dada.
"Biar Clarissa yang mencari tahu semuanya." ujar gadis itu dengan mata tajam yang menyala. Ia juga tidak terima dengan kematian adiknya.
"Apa maksud kamu, Clarissa?" tanya Papa dan di ikuti anggukan dari sang Mama.
"Mama dan Papa tenang saja, Clarissa akan mencari tahu semuanya. Clarissa janji akan membalas semua yang telah menyakiti Emily." ucap gadis itu penuh dendam. Kedua tangannya terkepal dengan kuat.
"Cla, bagaimana dengan kuliah kamu?" tanya Mama khawatir.
"Clarissa bisa ambil cuti, Ma." Clarissa mengusap lembut bahu sang Mama.
"Tapi, Cla ...."
"Percayakan semuanya pada Clarissa. Clarissa janji akan menguak misteri kematian Emily. Clarissa akan membalas semua dendam kita, Ma. Clarissa akan mencari tahu pihak yang terlibat." kata gadis itu seraya menanamkan tekad yang begitu besar.
Matanya tampak berapi-api menyimpan dendam.
🌹🌹
"Apa kah anda yakin untuk memotong semuanya?" tanya seorang Karyawan barbershop.
Setelah yakin dengan keputusannya, Clarissa memutuskan untuk mengunjungi sebuah barbershop dan memangkas rambut indahnya yang tergerai. Tampak pegawai pria yang sedang berdiri di belakangnya memperbaiki rambut client-nya.
"Saya yakin." kata Clarissa.
"Tapi rambut anda begitu cantik dan indah."
"Semenjak kapan seorang karyawan barbershop begitu cerewet?" ucap Clarissa seraya menatap bayangan dirinya dari cermin yang ada di hadapannya. Mendengar hal itu membuat karyawan itu terdiam seribu bahasa. Ia pun sangat menyayangkan rambut Clarissa yang tergerai panjang. Siapapun yang melihatnya pasti akan menyayangkan semua itu. Clarissa meminta untuk di potong cepak seperti laki-laki. Ia benar-benar yakin dengan keputusannya. Clarissa tak punya cara lain untuk mengetahui penyebab kematian adiknya jika dirinya tidak masuk ke dalam sekolah itu. Dan satu-satunya cara ialah menjadi bagian di sekolah itu.
sedikit demi sedikit rambut bergelombang milik Clarissa jatuh ke lantai. Ia memejamkan mata, tidak ingin melihat rambut indahnya sedikit demi sedikit habis. Ini semua sudah menjadi keputusannya, demi Emily semua akan di lakukannya.
"Tak apa, Cla. Setelah ini kau bisa mengembalikan rambutmu seperti dulu." lirihnya dalam hati.
"Demi Emily, apapun itu akan aku lakukan. Bahkan jika bertaruh nyawa sekalipun. Tenang, Emily. Kakak akan menegakkan keadilan untukmu." gumamnya dalam hati. Ia menguatkan hati, melihat penampilannya yang kini jauh berbeda di cermin yang ada di hadapannya. Tidak ada lagi rambut coklat madu yang bergelombang. Kini hanya ada Clarissa dengan rambut cepak.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!