NovelToon NovelToon

Mahligai Cinta Yang Tertunda

Prolog

Alula Marfu'ah (Lala), dia adalah gadis yang saat ini masih duduk di bangku kelas satu Sekolah Menengah Atas. Gadis polos yang begitu manja dan juga jahil. Sejak kecil ia hidup bersama sang ayah, sementara sang ibu telah pergi lebih dulu saat melahirkan dirinya ke dunia.

Ayahnya seorang pemilik warung makan sederhana yang berada di depan sekolah Alula. Saat pulang sekolah, ia akan langsung mampir ke warung makan itu untuk sekadar mengerjakan PR atau membantu sang ayah melayani pembeli.

Suatu hari, sang ayah jatuh sakit dan harus di rawat di rumah sakit selama beberapa hari. Alula begitu sedih kala pahlawan satu-satunya kini terbaring lemah di atas tepat tidur. Tak ada lagi canda tawa di wajah yang mulai mengeriput itu, yang ada hanya datar tanpa ekspresi dengan alat bantu pernapasan yang menempel di sana.

Para kerabat datang menjenguk sang ayah silih berganti, hingga seorang lelaki paruh baya dengan setelan jas rapi juga datang menghampiri. Penampilannya terlihat begitu berkelas, tapi tak ada sedikit pun kesan sombong saat berbicara dengan ayahnya.

Alula tak bisa mendengar pembicaraan keduanya, tapi yang ia tahu, mereka sedang membicarakan hal yang serius. Hingga sang ayah memanggilnya dan mulai berbicara pelan padanya.

"Nak, ini adalah Irwan, sahabat ayah sejak kecil, dulu kami pernah membuat perjanjian sebelum menikah untuk menikahkan anak kami. Ayah ingin memenuhi janji itu, Nak. Apa kamu bisa membantu ayah?"

Alula terdiam sejenak, ia tentu mengerti dengan maksud sang ayah yang ingin menjodohkan dirinya. "Tapi Lala masih sekolah, Ayah, umur Lala masih 16 tahun," protesnya dengan suara pelan.

"Bukan sekarang, Nak. Tapi nanti setelah kamu tamat sekolah." Jawaban dari sang ayah tentu saja membuatnya sedikit tenang.

Setelah melalui beberapa pertimbangan, akhirnya Alula pun menyetujui perjodohan itu, walau sejujurnya ada rasa berat di hatinya saat membahas pernikahan, tapi baginya, membahagiakan sang ayah adalah prioritas utama saat ini, mengingat sejak dulu ia selalu diprioritaskan, bahkan sang ayah rela menduda hingga saat ini agar ia tetap bahagia.

Rencana tetaplah rencana, pada akhirnya yang menentukan tetaplah Allah. Usia seseorang tak ada yang mampu menduga. Alula tidak pernah menduga bahwa kehidupannya sebagai seorang gadis dan anak manja akan berakhir dalam waktu singkat.

Ayahnya kembali masuk rumah sakit dan sempat mengalami kritis. Tak ada jalan lain, perjodohan yang pernah di bahas kini akan dimajukan sesuai permintaan sang ayah yang menduga usianya tidak lama lagi.

Hancur sudah mimpi gadis itu, mendengar kondisi sang ayah yang semakin tidak baik, dan harus menikah di usia yang sangat belia dengan seorang lelaki asing yang usianya sangat jauh di atasnya.

Bagai memasuki sebuah gua yang sangat gelap, ia tahu ada seseorang di dalam sana, tapi seberapa dalam gua itu dan kemungkinan apa saja yang bisa ia temui selama perjalanannya, sungguh ia benar-benar tidak tahu.

...***...

Alif Arya Irwansyah (Arya), seorang lelaki dewasa berusia 30 tahun. Ia adalah CEO dari salah satu perusahaan tekstil di kotanya yang cukup terkenal serta satu-satunya ahli waris dari Irwansyah Group setelah kepergian sang adik karena sebuah kecelakaan.

Sikapnya yang dingin dan datar tak lantas membuat Arya dijauhi para wanita yang begitu memuja ketampanan dan kewibawaannya. Namun, tak ada satu pun wanita yang berhasil menaklukkan hatinya.

Bahkan di usia Arya yang sudah sangat matang untuk menikah tak membuat lelaki itu terpengaruh oleh gunjingan para rivalnya. Hingga kabar angin tentang dirinya yang mengatakan bahwa dirinya tidak normal mulai mencuat. Akan tetapi, Arya tidak pernah mempermaslahkan itu, asalkan bisnisnya tetap berjalan dengan baik, apapun yang mengganggunya tak akan ia tanggapi.

"Menikahlah, Nak."

Sebuah permintaan yang terdengar seperti sebuah perintah untuk pertama kalinya dilontarkan oleh sang ayah. Di tengah rumor miring ini memang itu adalah cara paling ampuh untuk menghentikannya. Namun, ia tidak pernah menyangka jika ia akan menikahi seorang gadis SMA yang masih berusia 16 tahun.

Yang benar saja? Masih banyak wanita dewasa di luar sana yang antri untuk menikah denganku, tapi kenapa harus anak kecil yang harus aku nikahi?

Arya benar-benar tidak habis pikir. Memang benar jika setelah ia menikah, rumor lelaki tidak normalnya akan hilang, tapi setelah itu rumor baru tentang dirinya yang seorang ped0fil akan mencuat.

Berbagai penolakan sudah ia upayakan, tapi tak ada satu pun yang berhasil membuat ayahnya goyah. Karakter yang sangat tegas dari sang ayah, membuat Arya tidak bisa lagi berkata apapun.

"Jika kamu tidak siap menjadi suaminya, maka jadilah kakak baginya untuk sementara, setidaknya dengan begitu ada yang bisa menjaganya dan menggantikan ayahnya yang telah tiada."

-Bersambung-

Tidak Sesuai Perjanjian

Langit cerah diikuti oleh angin yang berembus sepoy-sepoy, membuat suasana hati Alula begitu ceria. Sudah beberapa hari ini kondisi ayahnya semakin membaik setelah kembali ke rumah.

Mata pelajaran kali ini adalah Biologi, salah satu yang menjadi kesukaan Alula, meski kadang ia sedikit blank. Seperti saat ini, seorang guru baru saja mengakhiri penjelasannya seputar sistem reproduksi dan mempersilahkan kepada para siswa untuk mengajukan pertanyaan terkait.

Alula menjadi salah satu siswa yang begitu antusias mengajukan pertanyaan.

"Pak, kemarin praktek sistem pencernaan seru banget, kapan kita praktek sistem reproduksi?"

Semua siswa di dalam kelas itu sontak tertawa mendengar pertanyaan dari Alula. Hingga membuat gadis itu tersadar akan pertanyaannya.

"Astaga, sepertinya aku salah pertanyaan."

Alula memukul pelan mulutnya beberapa kali merutuki keceplosan yang kadang memang tak ia sadari.

"Sudah-sudah, kalau begitu bapak akhir pertemuan kita hari ini. Dan kamu Alula, praktek sistem reproduksinya ditunda dulu, nanti setelah kamu menikah baru dipraktekkan."

Lagi-lagi suara gelak tawa dari para siswa di kelas itu kembali terdengar, tak terkecuali Nanda, sahabat yang duduk di sampingnya.

"Ya ampun, La. Sepertinya kamu lupa minum deh, jadi ngeblank gitu."

Nanda kembali tertawa sambil sesekali memukul lengan Alula hingga membuat gadis itu meringis dan menatap tajam ke arahnya.

"Ooops, sorry," cicit Nanda seraya menarik kembali tangannya.

Bel tanda berakhirnya sekolah hari ini berbunyi, para siswa satu persatu keluar meninggalkan kelas, begitu pun dengan Alula dan Nanda. Kedua gadis remaja itu kini berjalan keluar dari kelas bersama, sambil bercerita.

Langkah kaki mereka terhenti saat melihat sosok pria dewasa yang begitu tampan sedang berdiri di depan pagar sekolah dengan sebuah mobil mewah berada di sampingnya.

"La, lihat Om itu, cakep banget yah," ujar Nanda begitu takjub, tapi berbeda dengan Alula yang justru tampak biasa-biasa saja.

"Cakep apanya? Udah tua gitu juga, lihat aja tuh jenggotnya yang menjalar sampai ke pipi, udah kayak semak belukar aja, ih geli aku lihatnya."

"Ya ampun, Lala. Itu namanya brewok, cowok seperti itu tuh yang banyak diincar cewek zaman sekarang, apalagi wajah Om itu mirip orang Timur Tengah, seleraku banget."

"Ya udah ambil aja sono."

Alula mendorong pelan tubuh Nanda lebih dulu saat jarak mereka dengan laki-laki itu sudah tidak jauh lagi

"Ish, apaan sih, La! Malu tahu."

Alula hanya tertawa melihat tingkah sahabatnya yang mulai salah tingkah dengan wajah yang merah merona. Puas sekali rasanya bisa menjahili sahabatnya itu. "Katanya selera kamu."

"Iya selera sih selera, tapi tidak gitu juga kali, La," bisik Nanda saat melewati laki-laki itu, berharap apa yang mereka bicarakan tidak terdengar olehnya.

"Kamu Alula, 'kan?"

Alula dan Nanda seketika menghentikan langkahnya dan saling menatap. Dalam hati, kedua gadis itu mengira jika laki-laki itu mendengar pembicaraan mereka.

"Kamu Alula, 'kan?" ulang laki-laki itu karena tak mendapat respon, membuat mereka langsung berbalik.

"I-iya, Om, maaf, tadi aku tidak bermaksud membicarakan Om, temanku hanya takjub dengan ketampanan Om yang paripurna meski dipenuhi semak belukar," ucap Alula cepat. Namun di detik berikutnya, Alula dengan cepat menutup mulutnya yang lagi-lagi keceplosan.

Begitu pun dengan Nanda yang mengusap kasar wajahnya karena sang sahabat menyeret namanya sebagai pelaku utama.

"Apa? semak belukar? Ya ampun anak ini, ingin kusumpal mulutnya biar aman."

"Masuk!" titah laki-laki itu dengan wajah datar, tangannya refleks memegang brewok miliknya yang selama ini ia rawat seperti anak sendiri usai dikatai semak belukar.

"Apa?" Kenapa?" tanya Alula mulai panik.

"Aku bilang masuk sekarang!" titahnya lagi dengan suara yang lebih tegas.

"Ampun, Om, jangan culik kami." Alula mengatupkan kedua tangannya di depan dada seolah sedang memohon, ia juga mulai membuat ancang-ancang untuk bisa melarikan diri dengan cepat.

"Ya ampun, ini yang aku tidak suka dari anak kecil, terlalu membuang-buang waktu."

Lelaki itu mulai mengeraskan rahangnya karena merasa kesal. "Om Amin memintaku untuk menjemputmu, jadi cepat masuk! Kamu sudah membuang waktu berhargaku secara percuma."

Mendengar nama sang ayah, Alula dengan patuh langsung berjalan mendekati mobil itu, diikuti oleh Nanda di belakangnya. Namun, langkah Nanda tertahan saat Lelaki itu memblokir jalan dengan menggunakan satu tangannya.

"Hanya Alula yang aku jemput," ujar laki-laki itu dengan wajah datar, lalu masuk ke dalam mobil. Nanda hanya bisa mendengus lalu mundur beberapa langkah sambil melihat sahabatnya yang sudah masuk lebih dulu kini melambaikan tangan ke arahnya.

"Keluar!"

"Loh, katanya tadi Om mau menjemputku, kenapa sekarang malah di suruh keluar?"

Alula menautkan kedua alisnya, ia begitu heran dengan sikap laki-laki yang duduk di depannya itu, seperti wanita yang sedang PMS yang sangat mudah marah, begitu pikirnya

"Kamu pikir aku supir kamu? Duduk di depan!"

Seolah mendapatkan ultimatum, Alula dengan cepat berpindah tempat duduk ke depan sambil tersenyum hambar ke arah laki-laki itu.

"Maaf, Om," cicitnya.

Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang membelah padatnya jalan siang itu. Hingga dalam waktu beberapa menit mereka tiba di rumah sakit.

"Om, kok malah datang ke sini? Ini bukan rumahku."

Lelaki itu beberapa kali menghela napas agar tetap tenang dan sabar mendengar ocehan gadis itu, sejujurnya ia benar-benar benci dipanggil om, tapi mau bagaimana lagi, saat ini ia sedang tidak berselera untuk memperkenalkan diri.

"Jangan banyak tanya dan ikuti saja aku."

Laki-laki itu keluar dari mobil dan berjalan lebih dulu meninggalkan Alula. Merasa penasaran, akhirnya gadis itu mengikutinya berjalan di belakang.

Tok tok tok

Laki-laki itu mulai membuka pintu kamar di mana sosok yang sangat Alula kenali kembali berada di sana, bahkan dengan alat medis yang lebih banyak menempel di tubuhnya.

"Ayah!"

Alula segera berlari mendekati tempat tidur sang ayah yang terbaring lemah, air matanya luruh begitu saja tiap kali melihat sorot mata sayu dari netra laki-laki yang menjadi cinta pertamanya itu.

"Kenapa Ayah di sini lagi?" tanya gadis itu.

Tanpa menjawab, tangan yang mulai keriput itu terangkat dan mengusap lembut kepala sang putri yang tertutup hijab. Tanpa disadari, air matanya juga ikut mengalir hingga membasahi bantal.

"Maafkan ayah, Nak," ucapnya dengan suara pelan.

Laki-laki paruh baya itu kini melirik ke arah sahabatnya yang berdiri tidak jauh dari sana. Irwan yang mengerti akan maksud tatapan Amin pun langsung maju mendekat.

"Nak, ayahmu ingin kamu menikah saat ini juga."

Mata Alula seketika membulat menatap ke arah sahabat ayahnya itu. "Apa? Bukankah perjanjiannya setelah aku dewasa dan lulus sekolah? Aku masih di bawah umur Om, aku masih ingin bermain, masih ingin bebas," protes gadis itu dengan suara yang mulai terdengar bergetar.

"Maaf, Nak. Dokter baru saja memeriksa keadaan Ayahmu, dan kondisinya semakin memburuk, Ayahmu takut akan pergi lebih dulu sebelum menikahkanmu."

Alula kembali menoleh ke arah sang Ayah, air matanya mengalir kian deras setelah mendengar fakta akan kondisi sang ayah. "Tidak, Ayah jangan pergi, kalau Ayah pergi Lala sama siapa? Lala tidak mau kehilangan Ayah, kumohon Ayah jangan tinggalkan Lala."

Gadis itu terisak sambil memeluk sang ayah, ia benar-benar tidak sanggup jika harus kehilangan orang yang sangat ia cintai, orang yang selama ini selalu ada untuknya.

Cukup lama Irwan berusaha membujuk Alula, tapi sama sekali tidak membuahkan hasil. Hingga akhirnya Arya yang mulai risih dengan sikap keras kepala gadis itu ikut angkat bicara.

"Kamu tahu? Menangis seperti itu akan semakin mengulur waktu, Alula. Ayahmu ingin kamu segera menikah, dengan begitu beliau bisa menjadi wali nikahmu dan bisa lebih tenang, bukankah memenuhi keinginan dan membahagiakan ayah adalah keinginanmu? Jadi tolong jangan menambah beban ayahmu sekarang."

Alula menghentikan tangisnya sesaat lalu menoleh ke arah laki-laki yang tadi menjemputnya di sekolah.

"Om siapa sebenarnya?" tanya Alula dengan suara yang mulai serak.

"Dia Arya, Nak. Calon suami kamu." Irwan dengan cepat menjawab pertanyaan Alula, ia takut Alula akan salah paham tentang putranya karena baru saja dipanggil om.

"Apa?"

Alula cukup terkejut saat mengetahui bahwa calon suaminya adalah laki-laki dewasa yang sejak tadi ia panggil om. Ia benar-benar tidak menyangka sang ayah akan menjodohkan dirinya dengan laki-laki yang jauh lebih tua darinya.

Alula mencengkram ujung seragamnya dengan begitu kuat hingga urat-urat di tangan putihnya lebih jelas terlihat. Ia menunduk dalam dengan mata yang terpejam. Tubuhnya mulai bergetar saat air mata kembali keluar melalui sela-sela kelopak matanya yang saling menutup.

Rasanya ia benar-benar tidak terima dijodohkan seperti ini, ingin sekali ia mengungkapkan isi hatinya jika ia sangat keberatan dengan perjodohan yang tidak sesuai perjanjian ini. Namun apa hendak di kata, menolak hanya akan membuat kondisi sang ayah semakin buruk.

-Bersambung-

Sah

Pernikahan itu menyatukan dua insan, menyelaraskan perbedaan, dan menjadi jalan ibadah terpanjang meski tiap tikungan menanti sebuah ujian.

___________________________________________

"Saya terima nikahnya, Alula Marfu'ah binti Amin dengan mas kawin sebentuk cincin emas tunai karena Allah."

"Sah."

Suara lantang Arya mengucapkan ijab qabul dan diikuti dengan ucapan sah dari Irwan dan seorang dokter sebagai saksi menjadi pembuka jalan pada kehidupan baru antara Arya dan Alula.

Keduanya kini telah sah menjadi pasangan halal yang sudah selayaknya saling berpegangan tangan dalam menapaki tiap tumpuan kehidupan, entah itu datar, menanjak atau pun terjal.

Arya memasangkan sebuah cincin di jari manis Alula yang menjadi mahar dan tanpa pengikat antara dirinya dan gadis yang telah resmi menjadi istrinya.

Alula kemudian di minta untuk menyalami tangan Arya, dan dengan patuh gadis itu melakukanya meski dengan hati yang tidak sepenuhnya ikhlas.

"Nak, tanggung jawab ayah sekarang telah berpindah kepadamu, ayah titip Lala, yah. Dia adalah satu-satunya harta tak ternilai yang ayah miliki di dunia ini. Meski kadang dia suka jahil dan ceplas-ceplos, tapi dia tetaplah berhati lembut, jangan sakiti dia dengan kata-kata atau dengan sikapmu. Ayah tahu, kalian menikah karena desakan ayah, tapi ayah harap semoga rasa cinta bisa tumbuh di antara kalian."

Amin menjeda perkataannya sejenak untuk menahan rasa sesak dan air mata yang sejak tadi mendesak ingin keluar dari pelupuk mata. Memegang tanggung jawab sebagai ayah memang tidaklah mudah, tapi melepas tanggung jawab kepada orang lain ternyata jauh lebih berat.

Rasanya baru kemarin Amin menimang sang anak, menyuapinya makan, dan kini sang anak telah resmi menjadi istri orang. Sejujurnya ada rasa tidak rela yang mengekang di dalam dada, tapi ia tak memiliki kuasa lagi sebab Sang Penguasa sudah menanti kepulangannya.

"Kehidupan rumah tangga itu seperti selembar tissue yang sangat rapuh, jika kamu selalu membuatnya basah dengan air mata, tak menutup kemungkinan kelak dia akan koyak. Ayah sadar tidak ada rumah tangga yang selalu bahagia, kadang ada saja hujan lebat dan badai yang menghantam. Tugasmu, jadilah matahari yang mampu meredam badai dan menghangatkan setelah hujan, sayangi dia dan arahkan dia ke jalan yang baik." Amin mengakhiri nasehatnya kepada sang menantu meski suaranya terdengar sangat lamah.

Kini Amin beralih menatap buah hatinya yang sejak tadi terisak dalam diam, ia jelas tahu rasa sakit hati yang tengah dirasakan Alula. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa selain mendoakan kebaikan untuknya.

"Maafkan ayah yang egois ini, Nak. Mungkin kamu masih ingin bebas bersama temanmu, tapi percayalah, ayah melakukan ini karena ayah menyayangimu." Amin mengusap air mata yang membasahi pipi Alula.

"Jadi istri yang taat yah, Nak. Kamu tahu, wanita yang taat pada suami dan mengerjakan kewajibannya sebagai hamba Allah, kelak di akhirat nanti dia bisa masuk surga melalui pintu mana pun yang dia mau. Belajarlah mencintai suami kamu, karena dialah imammu sekarang," ujar Amin sebisa mungkin menahan air matanya yang sejak tadi terasa begitu panas di mata.

"Iya, Ayah," ucap lirih gadis itu dengan suara yang bergetar.

"Oh iya, jika nanti ayah pergi, tolong jangan terlalu bersedih yah, cukup doakan ayah disetiap penghujung solatmu ...." Suara Amin tercekat di tenggorokan, air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya berhasil menjebol pertahanannya.

"Ayah, jangan bicara begitu, ayah pasti akan sehat, iya 'kan dokter?" Alula menatap ke arah dokter yang berdiri di sisi lain tempat tidur. Tatapannya seolah memohon untuk dijawab dengan kata 'iya', sayangnya dokter itu hanya tertunduk tak memberikan jawaban apa pun.

"Nak, ayah sangat mencintai kamu, tapi ayah juga mencintai ibumu, ayah sangat merindukannya, ayah izin menemuinya yah." Amin tersenyum menatap sang putri, lalu menggenggam tangan Alula dan mempertemukannya dengan tangan Arya.

"Tidak, jangan Ayah, kita doakan saja Ibu di sini, jangan tinggalkan Lala." Tangis Alula pecah.

Di saat bersamaan, Irwan yang melihat kondisi sahabatnya semakin lemah langsung mendekat ke telinganya guna membisikkan kalimat tahlil (Lailaha illallah Muhammadar rasulullah) dan membimbingnya untuk ikut mengucapkan kalimat itu.

Tepat setelah Amin mengucapkan kalimat itu, mata laki-laki paruh baya itu perlahan menutup hingga genggaman tangannya di atas tangan Alula dan Arya terlepas.

Alula terdiam melihat genggaman tangan sang ayah yang lepas, ia beralih menatap sang ayah yang telah menutup mata dengan wajah yang pucat.

Tubuh gadis itu seketika bergetar dan luruh ke lantai dengan tatapan kosong. Air mata masih saja mengalir tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Hingga beberapa saat berlalu, ia masih dalam posisinya tanpa suara, bahkan saat Irwan mengajaknya berbicara, gadis itu tak merespon.

Arya ikut berjongkok melihat Alula yang kini terlihat benar-benar hancur, ada rasa iba yang menghampiri laki-laki itu, tapi ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa saat ini.

Usai berpikir keras dan membuang egonya, akhirnya laki-laki itu menarik tubuh mungil Alula ke dalam pelukan, ia tahu gadis itu tidak membutuhkan apa pun saat ini selain sandaran yang kokoh, dan itu adalah dirinya.

Tak ada perlawanan dari gadis itu, ia hanya diam di dalam pelukan Arya, makin lama tubuhnya terasa semakin bergetar, dengan suara isakan yang masih berusaha ia tahan. "Menangislah jika kamu ingin menangis," lirih Arya sambil menepuk pelan punggung Alula.

Suata tangisan Alula pun akhirnya terdengar memenuhi ruangan itu, tangisan pilu dari seorang gadis yang ditinggal cinta pertamanya. Tangisan yang membuat siapa saja mendengarnya akan ikut merasakan kepedihan itu.

Hari pernikahan yang seharusnya menjadi hari membahagiakan, justru berubah menjadi hari paling menyedihkan seumur hidup Alula.

Alula benar-benar merasa hancur saat ini, orang yang selama ini membuatnya merasa dicintai kini telah pergi untuk selama-lamanya. Bagaimana nasibnya setelah ini? Sungguh semua itu masih menjadi rahasia, hanya Allah yang tahu.

.

.

.

Sore itu usai pemakaman, Alula ikut di mobil Arya untuk pulang. Sepanjang perjalanan tak ada sama sekali percakapan di antara mereka, Alula hanya duduk dengan tatapan sendu sambil sesekali menatap ke arah luar jendela, sementara Arya hanya fokus dengan kemudinya.

"Ekhem, kita ke rumahmu dulu untuk mengambil barang-barangmu, mulai malam ini aku akan membawamu ke rumahku."

Arya mulai membuka suara tanpa menoleh sedikit pun kepada gadis di sampingnya.

"Tidak, aku ingin tetap tinggal di rumah ayah."

Arya menoleh ke arah Alula dengan alis yang saling bertautan.

"Tidak bisa, Lala! Aku tidak bisa tinggal di sini karena jauh dari kantorku."

"Ya sudah, Om tinggal saja di rumah Om, dan aku tinggal di sini sendiri."

Arya memejamkan mata sambil mengatur napas perlahan. Ini adalah hari pertamanya menikah sekaligus hari berduka Alula, jadi sebisa mungkin dia harus berusaha sabar.

"Mana bisa begitu, kita sudah menikah, jadi jarak kita tidak boleh jauh, bagaimana aku bisa menjagamu jika seperti itu?" Arya berusaha menjelaskan setenang mungkin.

"Memangnya aku anak kecil apa?" protes Alula sambil bersedekap tangan di depan dada dengan kening yang mengerut dan bibir yang mengerucut.

Arya memutar bola mata jengah sambil mengembuskan napas kasar. Sungguh ia benar-benar muak harus berhadapan dengan anak kecil yang tidak bisa mengerti dengan keadaan.

"Ya sudah, gini saja, kita pulang ke rumahmu dulu untuk mengambil barangmu, saat akhir pekan aku akan mengantarmu ke sini untuk bermalam, bagaimana?"

Alula tampak berpikir sejenak lalu akhirnya mengangguk setuju.

.

.

.

Hari telah begitu gelap saat mereka tiba di rumah Arya. Keduanya keluar dari dalam mobil sambil menenteng barang-barang milik Alula.

"Eh, Bro! Dari mana saja kau? Dari tadi aku mencarimu." Arya sedikit tersentak saat dari arah belakang seseorang menepuk bahunya dengan kuat.

"Ngapain ke sini?" tanya Arya sinis kepada sahabat sekaligus asistennya, Ferdi.

"Yaa ngapain lagi, mau cerita tentang cewek lah." Pandangan Ferdi kini beralih ke arah seorang gadis mungil yang berada di samping Arya.

"Siapa dia, Bro?" tanya Ferdi mendekat ke arah Alula.

"Dia ... Dia ...." Arya sedikit bingung menjawab pertanyaan Ferdi, jika ia berkata jujur, sudah pasti satu kantor akan langsung heboh karena ulahnya.

"Aku tahu dia bukan adikmu, apa sekarang kamu berganti selera? Wah parah, Men. Rumor g*y yang melekat padamu saja masih belum hilang, sekarang kau akan mengganti rumor itu dengan rumor baru jika kau seorang pe do fil?"

-Bersambung-

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!