"Besok banget nikahnya?"
Pertanyaan itu berasal dari gadis cantik bernama Arabella Ismaya, atau yang biasa dipanggil dengan sebutan Ara. Gadis berusia dua puluh lima tahun itu adalah seorang sekretaris di sebuah perusahaan besar PT Tecno.
Seorang lelaki yang sedari tadi asyik dengan secangkir espresso di tanganya, kini meletakan espreso itu di meja lalu berjalan menghampiri Ara yang tengah berdiri di jendela kaca transparan yang besar. Lelaki itu adalah Shaka Sadewa, CEO sekaligus pewaris dari Tecno group.
"Iya Sayang, besok pagi jam delapan, kamu nggak usah dateng aja ya."
Shaka menyingkirkan anak rambut Ara yang menutupi wajah gadis itu karena sekarang Ara sudah mulai tertunduk. Ara memang merasakan sakit di hatinya, seharusnya memang tadi ia tidak perlu memaksa Shaka untuk memberitahunya tentang pernikahan lelaki itu.
Yap, besok adalah pernikahan Shaka tetapi bukan dengan Ara, melainkan dengan gadis lain. Hubungan mereka berdua ini terlalu rumit untuk dijelaskan.
Merasakan Ara yang mendadak diam, kini Shaka menggoyangkan pelan bahu Ara. "Hei, jangan cemberut gitu dong."
Mana ada gadis yang bisa bersenang hati, saat tahu jika orang yang bertahta di hatinya akan menikahi orang lain. Hal itupun yang dirasakan oleh Ara, ia benar-benar bersedih mengetahui hal ini. Meski begitu ia tidak boleh terlalu menunjukkan kesedihannya ini depan Shaka.
Ara menggulas sebuah senyuman, "Semoga besok semuanya nggak lancar, harus hujan gitu dari pagi sampai malem." celetuk Ara yang selanjutnya diikuti oleh kekehan Shaka.
"Iyadeh, terserah kamu mau doa kaya apa." ucapan Shaka itu disertai elusan pelan pada kepala Ara.
***
Gaun putih gading dan sebuah buket bunga berada di pangkuan wanita berkulit putih pucat itu. Wajahnya penuh dengan riasan yang semakin mempercantiknya, senyumannya semakin merekah saat seorang wanita memasuki ruangan itu.
"Kamu cantik sekali, Putriku."
"Tentu Ma, Kalina harus jadi yang paling cantik karena ini kan pernikahan Kalina."
Ibu dari Kalina itu mengusap pelan pundak putrinya, "Semoga saja Shaka bisa membawa kebahagiaan buat kamu, mama harapin yang terbaik dari pernikahan ini."
Kalina menyentuh tangan ibunya lalu tersenyum hangat.
"Mas Shaka itu orang baik, dia bisa memimpin ratusan orang di perusahaannya jadi pastinya ia juga bisa memimpin rumah tangga kita dengan baik."
"Ya, mama harap seperti itu Kalina."
Kalina adalah putri kesayangannya, dia adalah anak semata wayangnya. Diperlakukan seperti ratu dari kecil, dididik dengan sangat hati-hati dan tentu saja akan diusahakan oleh kedua orang tuanya untuk mendapatkan kehidupan yang terbaik.
Menyerahkan Kalina pada Shaka tentu saja membuat seluruh keluarganya tenang, Shaka berasal dari keluarga baik-baik. Selama ini reputasi Shaka juga sangatlah baik, tidak pernah ada gosip miring tentang lelaki itu.
Ceklek,
Pintu terbuka, menampilkan kepala yang menyembul dari balik pintu.
"Ayo, acaranya sudah akan dimulai." itu adalah ayah dari Kalina.
Dengan hati-hati kalina dibantu bangkit oleh ibunya, ia membantu merapikan gaun kalina, tidak lupa juga memastikan tidak ada yang salah dengan penampilan putrinya.
"Semoga semuanya lancar ya, Sayang."
"Iya, Ma semoga semuanya lancar."
Doa itu benar-benar tulus, acara besar sebagai proses Kalina untuk menempuh jenjang kehidupan yang lebih tinggi tentu haruslah lancar.
...════════ ❁ཻུ۪۪ ═══════...
...Dont forget to click the vote button!...
...════════ ❁ཻུ۪۪ ═══════...
Jika ada pertanyaan tuliskan saja di kolom komentar, terima kasih sudah mampir di cerita ini silahkan tunggu episode selanjutnya ^_^
And, see you.
Ara berdiri di depan gedung Respati dengan berbalut kebaya berwarna peach dengan model v-neck yang membuat leher jenjangnya nampak indah. Meski konsep dari acara pernikahan ini adalah pernikahan modern dengan gaya eropa tetapi Ara lebih memilih tampil berbeda dengan sebuah kebaya.
Awalnya memang Ara tidak berencana sama sekali untuk hadir, tapi entah mengapa ia sudah sibuk dari pagi hingga sekarang sudah tiba di depan tempat acara penikahan Shaka dan Kalina ini berlangsung.
"Padahal udah berdoa biar hujan deres dari pagi, tapi malah cerah banget kaya gini."
"Ara!"
Sebuah panggilan membuat gadis itu memperhatikan sekitar untuk mencari sumber suara. Seorang wanita dengan rambut sepanjang leher menghampirinya.
"Dena! Tumben nggak sama Rio? Biasanya nempel terus kayak kucing sama ekornya."
"Rio hari ini keluar kota, jadinya nggak bisa dateng deh."
Dena dan Rio ini adalah teman satu kantor Ara, sama-sama bekerja di Tecno group. Dena adalah bagian dari tim marketing perusahaan itu, begitu juga dengan Rio, kekasih Dena.
"Yaudah yuk Ra, masuk."
Dena menggandeng tangan Ara untuk masuk tetapi Ara justri diam ditempat, ia seketika menjadi ragu. Apakah ia akan sanggup melihat semuanya?
Dena memperhatikan Ara dengan dahi berkerut, "Kenapa Ra?"
Ara menggeleng, "Enggak papa, ayuk masuk."
Mereka berdua memasuki pintu masuk, tidak lupa menulis daftar hadir baru memasuki gedung itu.
Tatanan dekorasi yang begitu megah kini sudah menyambut mereka, gedung luas ini di dekorasi sedemikian rupa untuk menjadi tempat yang super mewah. Pelaminannya sangat cantik, penuh dengan bunga dan didominasi oleh warna putih.
"Woah, bagus ya Ra. Nanti kalo nikah aku pengen deh ambil konsep serba putih gini."
"Putih memang melambangkan kesucian, nggak cocok buat mereka." ucap Ara tanpa sadar.
Ara tidak begitu mengenal Kalika, bagaimana sebenarnya wanita itu dan seperti apa ia. Karena Ara tidak begitu peduli yang dia inginkan hanyalah Shaka, sedangkan hal lain Ara tidak begitu peduli.
"Loh kok gitu? Jangan bicara sembarangan Ara, nanti ada yang denger!" peringatan itu Dena serukan agar Ara tidak berbicara kelewat batas.
Dena sendiri tidak mengetahui hubungan antara Ara dan Shaka. Mereka berdua menyimpan hubungan mereka rapat-rapat hingga tidak siapapun bisa mengetahuinya, bahkan Dena sendiri yang merupakan sahabat Ara.
"Iya-iya,"
"Eh itu mempelai wanitanya,"
Ara mengikuti arah pandang Dena menuju pada Kalika yang muncul dari dalam gedung, di sampingnya ada kedua orang tuanya yang setia menggandeng tangan putrinya. Lalu di belakangnya ada beberapa bridesmaid yang mengenakan gaun warna putih juga, senyuman di bibir Kalika tidak pudar membuat gadis itu menjadi semakin cantik.
Sejenak Ara meruntuhkan keyakinannya, Kalika ini tentu saja cantik karena berasal dari keluarga kaya. Ketakutan itu mulai tumbuh, Ara sangat takut jika setelah ini ia akan benar-benar dicampakkan oleh Shaka.
"Wah cantik banget ya istri Tuan Shaka, memang dia nggak salah pilih. Selera Tuan Shaka udah pasti bagus."
Sekali lagi, kalimat itu benar-benar menghancurkan Ara. Meremukan sebuah hati kecil yang sudah sedari pagi ia kuatkan untuk datang ke tempat ini.
Ara beralih lagi pada Kalika yang sudah sampai di panggung pelaminan, kini gadis itu menggadeng lengan Shaka untuk bersanding bersama di atas pelaminan.
Ara sudah tidak kuat lagi melihat pemandangan menyakitkan itu, kini air matanya menetes membentuk sebuah sungai di pipinya. Menyadari hal itu Ara segera berlari meninggalkan tempat itu, ia bahkan sudah tidak peduli lagi dengan teriakan Dena.
"Ara?! Kamu Mau kemana?"
Ara berlari menjauhi ballroom gedung, ia menuju ke arah kamar mandi. Berdiri di depan vanity mirors lalu melihat dirinya sendiri tidak membuat keadaan Ara semakin baik, gadis itu justru semakin mengeraskan tangisanya.
Di tengah tangisnya itu ada sebuah tangan yang menyodorkan sebuah sapu tangan untuknya, menyadari ada orang lain selain dirinya disana kini Ara menghentikan tangisnya meski masih saja sesenggukan.
"Saya kira setan loh, kok tiba-tiba ada suara orang nangis di kamar mandi pria."
Mendengarnya Ara sontak memperhatikan pintu, ternyata ini adalah kamar mandi pria. Saking tidak fokusnya karena memangis, ia jadi salah masuk seperti ini.
Lelaki itu memberikan isyarat melalui matanya agar Ara mengambil sapu tangan yang masih ia sodorkan. Ara pun memgambilnya untuk mengerikan wajahnya yang basah karena air mata.
"Kalau kamu menangis itu artinya kamu kalah sama masalah kamu, jadi berhenti menangis dan tetap yakin masalah itu bisa dilalui pelan-pelan, seberat apapun itu dan jangan sampai salah masuk lagi ke toilet pria." setelah selesai dengan kalimatnya, kini lelaki itu melangkah pergi darisana.
Ara menatap punggung yang menghilang dibalik pintu itu, sembari mencerna kalimat yang ia serukan. "Benar, aku nggak boleh kalah!"
...════════ ❁ཻུ۪۪ ═══════...
...Dont forget to click the vote button!...
...════════ ❁ཻུ۪۪ ═══════...
Jika ada pertanyaan tuliskan saja di kolom komentar, terima kasih sudah mampir di cerita ini silahkan tunggu episode selanjutnya ^_^
And, see you.
Kalina menyisir rambutnya yang basah, lalu ia mengambil sebuah hairdryer di dalam paper bag untuk mengeringkannya. Acara pesta pernikahan mereka baru saja selesai di pukul satu dini hari, meski tubuhnya sangat lelah Kalika tetap memutuskan untuk mandi. Ia tidak ingin jika tidak wangi, mengingat ini adalah malam pertamanya dengan Shaka.
Setelah memastikan rambutnya kering, kini ia menyemprotkan pewangi rambut. Setelahnya ia memakai rangkaian skincare agar kulitnya tetap bersih.
Kalina menengok jam di ponselnya yang sudah menunjukkan pukul dua lebih sembilan belas. Pandangannya beralih ke arah pintu yang tidak juga terbuka dari luar, ia tengah menunggu Shaka untuk mendatangi kamar pengantin mereka. Meski masih berada di hotel tetapi kamar ini sudah dihias seperti kamar pengantin, dengan kelopak bunga mawar di ranjangnya.
"Apa Mas Shaka masih menemui teman-temannya?" Tanyanya dalam hati.
Pasalnya tadi saat Kalina pamit undur diri, ia memang melihat Shaka tidak mengikutinya masuk melainkan lelaki itu masih asyik mengobrol dengan teman-temannya. Tapi teman macam apa yang tega menganggu acara malam pertama pengantin baru hingga mengajak ngobrol jam segini.
"Nggak sopan kalau harus lihat keluar, aku tunggu aja deh pasti sebentar lagi kesini."
***
"Woah Ibu masak banyak banget,"
Mata itu berbinar melihat berbagai hidangan di depannya, ada tumis tempe, ikan asap pedas dan juga ayam kecap. Di meja makan itu ada ayah tirinya, Wirna adik keduanya dan Satria adik bungsunya yang masih duduk di taman kanak-kanak.
"Hore Kakak pulang!"
Satria langsung memeluk kaki Ara, gadis itu langsung merendahkan dirinya dan membopong Satria ke dalam pelukannya. Ara mengajak Satria duduk kembali ke meja makan, tapi kali ini ia membiarkan Satria duduk di pangkuannya.
"Minta duit buat beli rokok, bawa duit nggak?"
Ara memutar bola matanya kesal mendengarkan hal itu, bukan hal baru lagi ayah tirinya ini akan meminta uang padanya.
Ayah kandung Ara sudah meninggal saat Ara masih balita, ibunya menikah lagi dengan seorang pria yang bisa dibilang kurang memiliki tanggung jawab. Ibunya melahirkan dua anak setelahnya dan hanya hidup mengandalkan warisan keluarga ayah tirinya ini, karena ia adalah seorang pengangguran.
Tetapi yang namanya warisan juga akan habis jika digunakan terus, jadinya saat Ara duduk di bangku SMP ibunya memilih untuk pergi menjadi TKW untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka.
Jika dulu ibunya yang menjadi tulang punggung, setelah ibunya pulang maka sekarang Ara yang mengemban peran itu. Dari biaya listrik, air, makan hingga semua kebutuhan sekolah adik-adiknya Ara yang menanggungnya.
"Nih," Ara menyerahkan satu lembar uang lima puluh ribuan untuk lekaki itu, selanjutnya ia pergi dengan membawa uang itu.
Ara tidak pernah mengeluh, meski setiap bulan gajinya harus habis untuk keluarganya, bahkan tak jarang gajinya itu kurang untuk ia berikan pada keluarganya. Padahal gajinya bisa dibilang lumayan.
"Ibu masih di dapur Wir?"
Wirna yang masih fokus pada buku ditangannya itu memperhatikan kakaknya sebentar, "Iya Mbak, lagi nyiapin piring."
Ara mengangguk, "Sebentar ya, Satria sayang." Ara mengalihkan Satria ke tempat duduknya sendiri lalu ia beranjak ke arah dapur.
"Ibu,"
Ia menyapa ibunya yang baru saja selesai mengelap piring.
"Eh Sayang kamu pulang, tumben bukan hari libur tapi pulang."
Jarak rumah dan kantor terlalu jauh, tidak memungkinkan untuk pulang pergi setiap hari. Maka dari itu Ara memutuskan untuk tinggal di apartemen. Bisa dibilang apartemen itu cukup mewah jika dibandingkan dengan rumah keluarganya ini, karena apartemen itu dibelikan oleh Shaka. Tentu saja Ara tidak akan mampu membeli apartemen semahal itu.
"Ibu denger Tuan Shaka menikah kemarin, lalu gimana hubungan kalian?" Ibu terlihat memelankan suaranya, tentu saja tidak ingin siapapun mendengarkannya.
Ara menggeleng, ia juga tidak tahu akan bagaimana hubungannya dengan Shaka ke depan. Beberapa hari sebelum lelaki itu menikah, memang Shaka mengatakan jika Ara harus tenang karena tidak akan ada apapun yang berubah.
Tetapi melihat keadaan sekarang, Ara menjadi tidak yakin. Lelaki itu sudah terikat janji suci dengan orang lain, istrinya cantik dan kaya, apalagi memang yang kurang dari Kalina.
"Ara nggak tahu gimana bisa melanjutkan hidup tanpa Shaka."
Bisa dibilang Ara sangat mencintai Shaka, cinta itu begitu besar hingga Ara masih saja mencintainya meski tahu Shaka sudah menikahi orang lain.
Tetapi perkataan tidak bisa melanjutkan hidup tanpa Shaka itu benar adanya, selama ini gajinya selalu kurang untuk diberikan untuk kebutuhan keluarganya. Seluruh biaya hidup pribadi Ara ditanggung oleh Shaka, tas bermerk dan juga pakaian mahal itu berasal dari Shaka sehingga Ara terlihat sangat berkelas dari penampilannya.
"Kamu bisa Ara, lupakan Shaka. Kalau perlu resign dari sana. Cari pekerjaan lain, nanti ibu juga akan cari kerja agar tidak hanya mengandalkan kamu."
Ara diam, ia memendam semuanya di dalam pikiran meski pikirannya begitu sesak dan seperti ingin meledak.
"Ibu kan sudah bilang dari dulu jika, Tuan Shaka terlalu jauh untuk digapai."
...════════ ❁ཻུ۪۪ ═══════...
...Dont forget to click the vote button!...
...════════ ❁ཻུ۪۪ ═══════...
Jika ada pertanyaan tuliskan saja di kolom komentar, terima kasih sudah mampir di cerita ini silahkan tunggu episode selanjutnya ^_^
And, see you.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!