Tubuhku terasa ditusuk-tusuk oleh jarum. Kepalaku berputar-putar. Aku merasakan sakit yang luar biasa hebat di sekujur tubuhku.
“Eurghhh.” Erangku.
Aku berguling tidak jelas. Mataku terasa sulit sekali dibuka. Mengapa ada hal seperti ini yang terjadi padaku? Perlahan, aku memaksa mataku untuk terbuka.
“Nona!” seru seseorang yang tidak aku ketahui siapa.
“Tuan! Nyonya! Nona Zevanya sudah bangun!” teriaknya. Aku belum mengetahui dia siapa, tapi, samar-samar aku melihatnya keluar dari ruangan yang aku tempati.
Dalam hati, aku berkata, “jadi, aku Zevanya?” aku menggelengkan kepalaku. Maksudku, ingin mengusir rasa pusing yang ada di kepalaku. Namun ternyata, malah semakin berdenyut.
Suara berisik mulai menyapa indera pendengaranku. Ribut, dan ribet. Aku bisa merasakan orang-orang mengelilingi aku. Aku bertanya-tanya, sebenarnya ada apa denganku? Mengapa aku seperti orang yang sudah lama mati lalu dikelilingi orang-orang?
Aku masih merasakan pening, aku kembali menutup mataku. Perutku juga tambah nyeri, seakan ada sesuatu yang *******-*****.
Aku merasakan sebuah benda dingin meraba tubuhku. Aku tidak tahu itu benda apa. Pendengaranku masih berfungsi baik.
“Nona Zevanya Laureen tidak mengalami komplikasi, hanya saja dia butuh beradaptasi untuk beberapa saat ini. Saya mohon untuk memberikannya ketenangan. Jangan ribut dan berisik. Saya juga akan meresepkan obat untuk memulihkan ingatannya.” Ucapnya. Aku berpikir bahwa itu Dokter.
Apa katanya? Memulihkan ingatan? Ini berarti aku hilang ingatan? Pantas saja kepalaku rasanya pusing! Namun, sepertinya, aku sangat asing dengan suara ini? Perawakannya juga, aku tidak mengenalnya!
Belum lagi, Zevanya? Siapa Zevanya? Mataku sudah lebih normal setelah beberapa kali aku mengedipkan mata.
“Kamu siapa?” tanyaku tiba-tiba.
“Nona tidak kenal aku? Aku adalah pelayanmu, Nona. Sekaligus Suster yang merawatmu selama ini.” Ucapnya tersenyum ramah. Matanya berkaca-kaca, aku bisa menebak bahwa dia sedang menahan tangisnya.
“Sepertinya aku melupakanmu, maaf.” Ucapku. Setelah itu, aku melihat-lihat ruangan yang aku tempati ini.
Walpaper berwarna biru muda dengan campuran pink ada di depan mata. Bersama sebuah lukisan yang terpajang di depan sana.
Apakah itu aku? Aku sedang memakai topi apa? Bajuku juga tampak bagus. Batinku. Aku termenung.
“Tidak apa-apa, Nona. Mari, saya bantu minum obatnya.”
Aku kaget, tetapi sedetik kemudian mengangguk, mulai mengangkat badanku dan bersandar pada kepala ranjang.
“Eh, Nona. Hati-hati.” Ucapnya tersirat nada khawatir.
“Gapapa, aku bisa sendiri.” Aku mencoba mengambil mangkuk bubur yang dia bawakan.
“Nona ga haus?” tanyanya.
“Nggak, Kak.” Ucapku yang tak tahu harus memanggilnya bagaimana.
“Baik, Nona. Saya akan membawa ini untuk diganti. Jika ada apa-apa, tolong pencet bel di sebelah anda, ya.” Titahnya.
Aku mengangguk mengerti. Menurutku, lebih baik seperti ini. Aku bisa bernapas lega. Aku memperhatikan dengan saksama setiap sudut ruangan ini.
Pikirku, ini kamar. Ya, kamar Zevanya. Eh, Zevanya? Ngomong-ngomong, sepertinya namaku bukan ini? Aku mulai kembali memutar otak untuk menemukan jawabannya.
Saat memikirkannya, kepalaku berdenyut sakit. Ah, iya, aku ingat. Aku Zeva, dengan nama lengkapku Zevanya Laureen.
Namun, mengapa aku bisa di sini? Aneh. Bukankah sebelumnya aku tertidur di gudang? Dengan tubuh dan pikiran yang berkecamuk.
Ah, iya, aku kembali ingat. Ini semua ulah El. Ya, dia! Dia yang membuat aku pingsan dengan suntikannya!
“El, aku bersumpah, jika di kehidupan ini kita kembali bertemu, kamu harus membayar semuanya! Kamu tidak boleh lepas, mangsa!” lirihku.
Aku menggeram marah, mataku bahkan terlihat memerah dari kaca. Aku menarik napas. Aku mengingat semuanya, sekarang.
Pelayan itu kan yang akhirnya membantu El, dalam meracuniku. Ah, aku harus sangat berhati-hati.
“Aku pastikan, kali ini semuanya gagal.” Lirih Zevanya, menutup matanya menahan emosi.
Aku kembali membuka mata, saat mendengar langkah kaki yang mulai mendekat.
“Nona muda sudah bangun, Tuan kedua.” Ucapnya membukakan pintu. Aku tahu dia melihatku, tetapi dia berpura-pura tidak melihat dan sibuk cari perhatian kepada kakakku.
Aku tahu kakak bukan orang yang mudah digapai olehnya, maka aku tidak boleh terpengaruh juga. Mana mungkin dia cocok menjadi kakak iparku setelah apa yang sudah terjadi kemarin.
“Kamu siapa?” tanyaku masih pura-pura polos.
Dia menoleh dingin kepada pelayan disampingnya. Dia menyuruh mereka keluar. Hal ini, membuat aku menahan gugup mati-matian.
“Saya bilang keluar. Atau kamu mau dipecat?” ancam kakakku. Dia memang sangat sadis.
Aku bisa melihat pelayan itu bergidik ketakutan. Dia langsung lari terbirit-birit mendengar ancaman yang dilontarkan kakaknya ini.
“Kamu nggak lupa ingatan kan?” tanyanya langsung. Tampaknya dia mengatahui aku. Aku berkata selirih mungkin di tempat tidurku. Semoga saja dia tidak mendengar.
“Aku tahu, Zeva. Aku juga lah yang membuat dunia kita kembali berputar. Zeva, asal kamu tahu. Kita berdua adalah reinkarnasi dari masa depan. Kamu sadar tidak?” tanyanya membuatku terdesak.
Aku hanya menggeleng. Meskipun tubuhnya jauh, auranya tetap terasa sampai ke sini. Bau tubuh maskulinnya, aura dingin dan mencekam, mata setajam elang. Sudahlah, aku takut.
“Aku mau tidur, kak.” Ucapku. Aku hendak merebahkan tubuhku, tapi dia berkata.
“Jangan menghindari aku, Zevanya.” Namun dia tetap menurut. Setelah berucap seperti itu dia keluar. Aku menghembuskan napasku. Rasanya, sangat-sangat mencekam!
Aku memasukkan tubuhku ke dalam selimut. Aku meringkuk dan mencoba untuk tidur. Namun, perutku terasa sakit. Aku berguling ke sana dan ke mari.
Ekor mataku melihat sosok bayangan di balik tirai, tetapi mataku tertutup dengan letih.
Aku meremas perutku sendiri, hingga rasa nyaman datang, dan aku mulai tertidur secara perlahan.
Sebelum aku benar-benar terlelap, aku berdoa, agar aku bisa tidur dengan nyenyak, dan bangun dengan lebih baik.
Aku menutup mataku kembali, masih dengan selimut yang membungkusku, aku tertidur dengan lelap. Aku menyadari jam perlahan mulai berganti, dari detik menuju menit, dan mereka berubah.
Aku tidak benar-benar tidur dengan nyaman, karena aku masih bisa mendengar suara bising di sekitarku. Aku heran, mengapa mereka bisa menggangguku.
Namun, itu tidaklah penting. Saat ini, pelayan itu membangunkanku dengan paksa. Aku hanya bertanya kenapa, dan dia marah-marah padaku.
Aku bingung. Situasi ini membuatku benar-benar bingung. Bukankah aku hanya bertanya sebab aku tak tahu? Ah, menyebalkan.
“Kakak anda pingsan, Nona. Anda tidak khawatir?” tanyanya sebal.
“Dia? Mengapa bisa pingsan?” heranku.
“Setelah dari kamar anda, dia mogok makan. Dia bilang kamu sudah menyakiti hatinya. Kamu keterlaluan, Nona.” Ucapnya dengan datar.
“Aku? Aku tidak membuatnya sakit hati! Hei!” sentakku tidak menerima kenyataan itu.
Tadi kan aku hanya menyuruhnya pergi, tidak untuk membuatnya sakit hati. Hah, dasar merepotkan. Lagipula, mengapa dia menjadi lelaki yang mudah tersinggung? Itu berarti salahnya kan? Aku juga tidak memintanya menjengukku kok.
Aku merasa panik. Aku berlari keluar kamarku. Eh, kamar kakakku? Di mana? Aku menoleh.
“Di mana kamar kakak?” tanyaku ke pelayan itu. Dia terkekeh, “kamu benar-benar lupa ingatan?” sepertinya dia sangat tidak percaya denganku.
“Kau pikir aku bohong?” tanyaku sedikit emosi. Dia terkekeh lagi? Ah, menyebalkan.
“Tentu saja nona Zevanya!” serunya, lalu tertawa keras.
Aku melihatnya. Apakah dia tidak tahu malu? Eh, apa barusan? Ekor mataku melihat seorang pelayan. Aku memanggil pelayan itu.
“Maid!” panggilku.
“Ya, Nona, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya.
Aku tidak mau dianggap bodoh lagi. Maka, kali ini, aku akan menyuruhnya untuk mengantarku saja ke sana.
Masih mempertahankan senyumannya, dia mengantarkan aku ke tempat kakakku berada. Aku melihat seorang dokter yang sedang meracik obat.
Aku mendekati kakakku, aku mengusap punggung tangannya. Aku dapat merasakan hangatnya tubuh itu. Dia tidak seperti orang yang sedang sakit. Tentu saja aku terheran-heran.
“Kakak?” panggilku.
Dokter itu menghampiriku, “nona. Tuan Leon mengalami syok sementara, kondisi ini akan pulih, kamu bisa membantu dia meminum ini.” Dia tersenyum.
Aku rasa, dia menghipnotis aku dengan senyumannya. Karena, seketika aku mengangguk, mengambil mangkuk itu, lalu membantu kakakku meminumnya dengan kondisi dia yang masih tidak sadar. Aku dapat merasakan bahwa dia menelannya, dengan usaha dia sendiri.
Aku tersenyum kecut. Dia sedang melakukan lelucon. Baiklah kakak, aku akam menuruti permainanmu. Aku memanggil dokter itu, dan mengatakan ingin ke toilet.
Beruntung, dia menurut. Dia akhirnya yang menyuapi kakakku itu. Eh, siapa namanya? Tadi dokter, menyebutnya siapa ya? Lion? Lego? Apa sih. Gatau ah. Dengusku sebal. Lagipula, namanya sulit sekali.
Aku kembali ke kamarku. Aku menjelajahi setiap sudut kamarku. Ada satu dinding, yang membuatku merasa aneh. Dinding apa itu? Seingatku, ini bukan dinding rumahku yang dulu.
Aku bingung. Sangat-sangat bingung. Aku mendorong pelan dinding itu. Dinding itu berputar, memperlihatkan sebuah jam besar yang berdetak.
Aku kaget melihat hal itu. Untuk mengamankannya, aku memgunci pintu kamarku. Lalu, duduk di ranjang hangatku. Memperhatikan dengan jelas apa yang terjadi. Dinding dan jam? Sebenarnya aku di mana? Kenapa semuanya terasa seperti misteri?
Eh, barusan, apa yang lewat? Ular? Ada sesosok ular yang memperhatikan aku? Kenapa ular? Tapi, dia ular yang aneh. Dia, sangat-sangat putih, dengan ekornya yang berwarna keemasan bercampur merah.
Aku melihatnya dengan sangat jelas. Aku penasaran dengan ular itu. Aku mengikutinya pelan-pelan. Mengintip ke arah kiri dan ke arah kanan.
Sebenarnya, aku merasa takut. Tapi, aku sangat-sangat penasaran. Aku berhenti, menyenderkan tubuhku di tembok belakangku.
Aku menetralkan napasku untuk beberapa saat. Huh. Aku lelah. Ini sudah cukup jauh dari rumah, tetapi tampaknya ular ini ingin membawaku sangat-sangat jauh.
Sepertinya dia ingin menjebakku. Apa sebaiknya aku pulang saja ya? Huh, tapi aku mau duduk dulu deh. Nyesel banget gak bawa pelayan, kan aku gabisa ngikutin lagi. Sebalku.
Aku masih terengah-engah. Aku memang sempat berlari-lari kecil saat mengejar ular putih berukuran sedang itu. Namun, aku tidak tahu, jika itu akan melelahkan.
Aku masih duduk, tetapi tiba-tiba, sesosok laki-laki muncul, dan memegang daguku. Dia menatapku, jujur saja, ini sudah kedua kalinya aku terpesona, hari ini! Oh My God!
“Kau? Sedang apa di sini?” tanya lelaki itu.
“Melihat hal yang unik!” balasku singkat. Entahlah, aku tak nyaman. Aku ingin segera kembali ke rumah. Aku berdiri, hendak bersiap balik.
Namun, belum ada sedetik aku berdiri. Dia menarikku. Aku jatuh terduduk di pangkuannya. “Ahhh! Apa-apaan kau ini?” sentakku marah. Menyebalkan!
“Bukankah tadi kamu mengikutiku? Kenapa sekarang lari?” bisiknya meremang di telingaku.
Aku tertegun, tapi hanya sebentar, ingat, sebentar. Aku memberontak dari pelukannya, aku tak suka seperti ini. Aroma maskulinnya membuat aku mabuk! Menyebalkan. Entahlah, aku sangat-sangat sensitif hari ini.
Eh, sebentar. Aku berhenti, lalu aku melirik ke arahnya, “kau? Kau ular tadi?” tanyaku.
Dia mengangguk. Aku kembali memberontak, tetapi pelukannya semakin kencang. Eh, yang benar saja? Aku bisa gila lama-lama.
“Zevanya Laureen, berhenti. Atau kamu akan membuat adikku bangun?” tanyanya dengan nada rendah.
Aku berhenti memberontak, aku melirik ke bawah dengan takut-takut. Siapa tau dia membawa adik ularnya? Eh, benar kan? Dia kan ular tadi, berarti memiliki adik ular. Mengerikan!
“Lepas.” Sentakku kesal. Untungnya dia menurut. Dia menurunkan aku, lalu mendudukkan aku di sebelahnya.
Ya, saat ini, kami duduk bersebelahan, berdua! Tampak seperti orang pacaran, atau lebih layak disebut tertawan kekasih hati. Eh, apa? Aku bilang apa? Ah, menyebalkan. Mengapa aku bisa berpikir sampai sejauh itu ya? Seharusnya tidak boleh.
Imajinasiku sangat liar sekali. Aku merutuki kebodohanku. Lihatlah, dia terkekeh macam orang gila! Dia menertawakan aku kan? Aku negatif thinking selalu. Aku meliriknya, tetapi aku tidak mampu berkata apapun.
“Hahaha! Jangan mendumel, aku bisa mendengarnya. Hahaha!” tawa dia terdengar sangat jahat sekali.
“Kau sedang apa di sini?” tanyaku sebal. Tapi, aku penasaran!
“Tentu saja berburu, tetapi ternyata aku bertemu manusia cantik di sini.” Setelahnya dia kembali tertawa. Yaampun, itu sangat menyebalkan.
“Kamu? Berburu? Hei, kita ini sudah hidup di zaman modern, untuk apa kamu berburu?” gantian, aku yang tertawa kali ini.
Dia berdecak, itu membuatku semakin lucu. Dia melirikku, “tertawa lagi saja, dan lihat hukumanmu.” Deliknya.
“Hukuman apa? Eh, kita belum berkenalan ya?” tanyaku tiba-tiba. Aku lupa, menanyakan namanya sedari tadi.
“Aku sudah mengenalmu, cih. Kamu saja yang melupakan aku. Kenalin, Reyhan si paling ganteng.” Ucapnya narsis, sekaligus sombong.
Uh, menjijikan. Aku bersikap ingin muntah. Dia mendelik lagi. Eh, apa? Kenapa dia suka sekali mendelik? Ish.
“Di dekat sini ada sungai. Mau ke sana tidak?” tanyanya, setelah beberapa saat kita berdua saling diam, tidak berbincang apapun.
“Mau!” ucapku cepat. Sekaligus beradaptasi. Dengan senang, aku menarik-narik dia untuk segera sampai di sungai.
Namun, dia tampak sengaja. Dia menahan-nahan jalannya. Aku berdecak malas. Akhirnya, aku memutuskan jalan sendiri.
Aku sudah tidak peduli lagi, mau dia di mana atau sedang apa, yang pasti, aku ingin ke sungai! Aku haus dan penasaran.
Aku berjalan sembari meloncat-loncat. Eh, “akhhhh!” kakiku sakit sekali.
Dia terkekeh, “mau dibantu nggak?” mendengarnya terkekeh, tentu saja aku tak mau ditolongnya. Enak saja, dia meremehkanku? Dia tidak tahu aku siapa ya? Huh!
Aku mencoba untuk naik ke atas sendiri berulang kali. Namun, nihil. Kakiku malah semakin sakit akibat terkilir.
Pada akhirnya, dia menolongku. Aku sudah tidak punya muka sekarang! Dia mengurut kakiku yang terkilir, aku berteriak kesakitan beberapa kali.
“Coba, gerakkan.” ujarnya.
Coba digerakkan.” Titahnya.
Aku menatap dia berkaca-kaca. Jujur saja masih ada rasa nyeri sedikit. Aku takut. Ah, tapi tidak apa-apa, kita harus mencobanya meskipun tidak terlalu kentara.
Aku merintih, sakit itu masih terasa, bahkan setelah satu kali pergerakan, aku sudah tidak mau bergerak lagi.
“Sakittt...” aku merengek.
Dia berjongkok, kembali mengecek kakiku. Dia menarik kakiku, aku meringis. Memang dia sangat kejam! “Ssshhh.” Sepertinya dia betul-betul bisa mendengar batinanku. Sebab dia langsung menekan daerah di mana rasa sakit itu masih terasa.
“Coba, Ze.” Titahnya lagi. Aku menggerakkan kakiku perlahan. Saat dirasa tak sakit, aku mulai menggerakkannya. Benar-benar sudah tidak sakit!
“Terima kasih, Riy. Eh, iya kan? Namamu Rizan?” tanyaku, takut salah.
“Namaku, Reyhan!” gemasnya.
“Eh, iya, Rey. Maaf ya, aku lupa.” Aku mengedipkan kedua bola mataku. Lalu, dia memalingkan mukanya.
“Kalau kamu mau berterima kasih, ada syaratnya!” seru dia, si Reyhan.
“Hehe. Iya, Rey. Emang apa syaratnya? Aku janji aku bakal turutin!” aku membentuk piece di kedua tanganku.
“Kamu bener kan janji?”
Aku mengangguk dengan cepat.
“Nih, syaratnya, kamu harus turutin apapun yang aku mau hari ini!” serunya semangat.
“Ck, pengambil kesempatan!” seruku tak terima. Menyebalkan. Aku? Seperti menjadi babunya saja.
“Aku Cuma minta kamu buat nemenin aku jalan-jalan, nggak berontak dan lain-lain, nggak kayak pelayan di rumah kamu, kok.”
Aku lupa, dia kan bisa membaca pikiranku! Ah, memang Zevanya bodoh! Eh. Aku melirik ke arahnya. Dia terkekeh menggemaskan.
“Sudah. Ayo. Mari kita bersenang-senang. Aku juga sudah memberitahukan salah satu pelayanmu bahwa kamu pergi berjalan-jalan.” Ucapnya tersenyum. Bukankah sedari tadi dia bersamaku? Mengapa bisa? Aku sangat heran sebenarnya.
“Baiklah. Mau ke mana kita?” tanyaku.
“Mencari monyet.” Candanya.
“Ish. Kamu aja sendiri.” Seruku.
“Ingat peraturan awal, udahlah diem aja. Aku jamin kamu suka kok!” dia tampak berseri-seri. Aku menurut saja untuk mengikuti dia.
Kami tiba di sebuah hamparan luas. Tak ada rerumputan, pepohonan, ataupun sesuatu yang berdiri di sini. Aku perkirakan ini lapangan pasir.
Satu hal yang tidak aku mengerti, untuk apa kemsri? Bukankah dia bilang ingin berburu monyet? Sedangkan, monyet itu, di pohon kan? Eh, aku benar kan? Setelah sadar, sepertinya aku makin bodoh. Dengusku.
“Kita akan berlatih pedang, Ze. Ini akan sangat penting untukmu suatu hari ini. Ayo!” ucapnya mengajakku. Namun, sayang, aku bahkan tidak tahu dasar-dasar bermain pedang.
“Aku nggak bisa, Reyyyyyy.” Rengekku.
“Karena nggak bisa, ayo belajar! Cepat berdiri. Masih banyak hal yang harus kita lakukan selain ini.” Peringatnya.
Hah, baiklah-baiklah. Sebagai manusia yang tahu diri untuk balas budi, aku akan melakukannya. Tapi ingat, tertindas bukanlah prinsip yang aku jalani selama ini.
Aku berulang kali melukai Reyhan dengan pedang yang aku pegang. Jujur saja aku khawatir, dan merasa sangat bersalah. Sebab, dia yang mau mengajari, tetapi dia juga yang harus terluka karena aku. Ah, aku tidak suka.
“Rey, maafin aku yaa...” mataku berkaca-kaca menahan tangis yang sedang ingin keluar. Setelah reinkarnasi, aku menjadi orang yang sangat sensitif. Aneh!
“Gapapa, Ze, namanya juga latihan, apalagi kan aku yang mau ngajarin kamu, jadi, yaudah, gapapa.” Aku tersenyum, tetapi berbanding terbalik dengan mataku yang sudah berlinang air mata.
Namun, ada yang aneh. Sedetik kemudian, tubuh Reyhan, iya, tubuhnya, sudah pulih dari luka-luka itu! Siapa sebenarnya Reyhan? Aku hendak membuka suaraku, ketika Reyhan mengajakku untuk berlindung di balik semak-semak.
“Kenapa?” tanyaku tak mengerti. Dia menyuruhku diam. Ini membuatku tambah bingung. Aku mengikuti arah pandangnya.
Ya Tuhan. Apa itu? Senapan besar melingkar di bahunya. Dia, pembunuh?
“Gila!” teriakku tiba-tiba, membuat mereka melirik ke arahku. Terlihat dengan Orang Senapan itu berjalan ke arahku, dan Reyhan yang menyuruhku lari. Otakku berpikir, “apa salahku?” sepertinya otakku memang sedangkal itu untuk berpikir.
“Syutt! Dia pemburu!” seru Reyhan, sembari terus menarikku berlari menjauh. Pemburu? Aku tidak tahu pemburu. Apa itu pemburu? Aku tak mengerti. Eh, emangnya kapan aku mengerti.
Aku terbengong sesaat, sampai aku kembali jatuh lagi. Aku meringis lagi. Kaki yang sudah pernah terkilir tadi pagi, kembali terkilir.
“Aakkkhhh!” teriakku kaget. Saat ini, aku tiba-tiba berada di pangkuannya. Dengan lebam-lebam di tubuhnya, dia membawaku lari dalam gendongannya.
Sesaat kemudian, di belakang batu besar dia menurunkanku, lalu menyuruhku diam. Aku hanya mengangguk-angguk kecil. Aku menurut.
Dia mendekapku. Sepertinya dia tahu, bahwa aku sedang sangat ketakutan saat ini. Huh, baiklah, Ze. Tenanglah. Aku menarik napas dan menghembuskannya beberapa kali.
Ya, aku sedang berusaha untuk tenang. Namun, mendengar suara pemburu yang berteriak memanggil kita berdua, jantungku berdetak tak karuan. Sangat-sangat cepat. Aku takut, sangat takut. Jika ketahuan, pasti tidak akan selamat.
Aku memeluk Reyhan karena merasa takut. Aku bisa mendengar detakan jantungnya yang juga ikut memburu sepertiku. Namun, sebisa mungkin aku tidak membuat dia dalam bahaya lagi. Aku menggigit bibirku menahan rasa takut.
Aku juga menyembunyikan wajahku dalam dekapannya. Ya, pikiranku saat ini semakin kacau. Hangat, nyaman, dan harum!
Sepertinya aku mengalami kecanduan. Aku menyukai dekapannya. Aku menyukai napasnya. Aku menyukai semuanya!
“Ze, bangun Ze.” Rupanya saat aku mulai mengkhayal tadi, aku malah tertidur.
Ah, aku malu sekali. Aku memalingkan wajah darinya. Namun, tampak sia-sia saja, karena sepertinya dia masih bisa melihat mukaku.
“Mau pulang nggak, Ze? Udah mau jam 6 sore.” Ucapnya.
“Hah? Jam 6? Aduh, nanti aku kena marah nih.” Gerutuku panik.
“Ze, ini kan bukan hidupmu yang sebelumnya.” Peringat dia.
Eh, iya juga. Hidupku yang sebelumnya itu sudah menjadi masa lalu. Eh, nggak! Aku? Masa lalu? Gatau ah. Aku tak paham. Benar-benar tak paham. Seandainya saja otakku berkapasitas lebih besar, aku akan lebih mengerti, ya andai saja sih.
“Masa lalu apaan? Orang aku aja baru sadar lagi.” Ucapku sebal. Dia suka sekali membuatku merasakan bingung seperti itu.
“Iya deh, si paling bingung.” Dia terkekeh.
Lalu, setelah itu, dia memangku aku. Dia berbisik, “jangan kasih tahu ini ke siapa-siapa ya. Banyak orang yang tak suka dengan statusmu saat ini.” Ucap dia.
Perlahan, dia menjelaskan dengan detail tentang siapa aku sebelumnya. Dia membisikkan di telingaku, agar tak ada yang mendengar.
Aku baru tahu. Ternyata dulu aku sesakit itu. Seorang anak yang dikatakan anak haram secara diam-diam. Putri yang mengalami kekerasan secara mental dan fisik.
Lebam dan ruam seringkali didapatkan saat dia tak menuruti ayahnya. Entahlah, aku merasa ini seperti dunia-dunia kerajaan di abad kesepuluh, mungkin? Sebenarnya, ada rahasia apalagi selain ini?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!