..."Apa aku masih memiliki kekuatan, jika nyatanya kekuatan itu di ambil kembali oleh 'Nya." -Viona Kamelia-...
...----------------...
Toko kue kue yang lumayan besar dengan nama 'E'Bakery' itu sangat ramai pembeli, bahkan dari awal buka tadi pagi, pengunjung sudah banyak yang antre untuk membeli roti. Baik untuk bekal maupun sarapan, ada juga yang mengambil pesanan. Dan di pojokan toko saat ini, wanita cantik berjilbab segitiga berwarna hitam itu tengah mengisi kembali rak kue yang sudah kosong.
Dia adalah Viona Kamelia. Perempuan cantik berusia 24 tahun yang sudah lumayan lama kerja di sana. Dua tahun dia menghabiskan pagi sampai sorenya di toko tersebut. Dari awal gaji sedikit, sampai saat ini sudah bisa di bilang lumayan. Buktinya, hanya dengan dia bekerja di toko itu, dia bisa untuk menghidupi dirinya dan sang ibunda tercinta.
Sayangnya sebulan ini, keuangannya menipis, lantaran sang ibu yang harus bolak-balik masuk rumah sakit. Karena sakit jantung. Dan semalam, sang ibu harus kembali di rawat di rumah sakit. Dan yang lebih membuat Viona pusing adalah, saran dokter yang katanya harus segera di lakukannya tindakan untuk sang ibunda, lantaran jika tidak segera, maka, akan sangat fatal akibatnya.
Semalam sampai detik ini Viona kebingungan, ia hanya bisa berdoa sembari mengeluarkan air mata, mencurahkan keluh kesahnya pada Sang Maha Kuasa. Karena jujur saja, untuk saat ini ia benar-benar bingung dan tidak mengerti. Entah apa yang harus ia lakukan agar sang ibu bisa sembuh, dan entah harus ke mana dia mencari uang yang tidak sedikit untuk biaya operasi sang ibu.
Mata sembabnya tidak bisa di sembunyikan, hidungnya bahkan masih terlihat merah. Jangan lupakan bibir yang semakin merona, padahal tidak diberi pewarna. Setiap pembeli sedari tadi selalu saja fokus pada wajah Viona yang memang sangat ketara, bahwa dirinya baru saja menangis. Padahal, dia sudah mandi dan mencuci mukanya dengan sabun, namun ternyata wajahnya tidak bisa di ajak kompromi.
Sampai pada sore hari. Saat pukul 17.00 WIB, toko pun tutup. Namun dia masih di sana, guna untuk membersihkan lantai. Maklum, dia di sana memang hanya bersih-bersih dan melayani pembeli yang membutuhkan bantuan, jadi saat sore tiba ia biasa pulang paling akhir, karena bukan hanya bagian depan saja yang ia bersihkan. Melainkan bagian dapur juga.
Saat baru saja ia keluar dari arah dapur, dia terkejut saat mendapati sang bos tengah berdiri menghalangi jalannya. Viona melihat sebentar ke arah Erina, sedetik kemudian dia pun bertanya. "Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanyanya seraya menundukkan kepala.
"Ke ruangan saya sebentar." begitu perintah Erina seraya memutar tumit dan berjalan menuju lantai dua, tempat ruangan khusus untuknya berada.
Terkejut dan takut. Begitulah yang Viona rasakan saat ini. Tidak biasanya sang bos memanggil karyawan ke ruangannya. Terkecuali saat tanda tangan gajian. Namun, karena dia tidak bisa bertanya ada apa, jadi, yang bisa dilakukannya hanyalah menurut. Membuntuti langkah sang bos cantik, berbadan ideal, dan berpakaian branded.
Begitu sampai di ruangan Erina, dia disuruh untuk masuk dan duduk. Sementara bos cantik itu sudah duduk terlebih dulu dengan menyilangkan kaki.
"Kamu kenapa?" tanya Erina yang lantas membuat Viona sebentar melihat ke arahnya.
"Saya tidak apa-apa, Bu," jawabnya. Berharap tidak ada karyawan lain yang mengadukan pada sang bos, kalau seharian ini dia tidak segesit biasanya.
"Ibu kamu, sakit?" tanya Erina lagi.
Dengan alis yang berkerut bahkan hampir bersatu itu, dia mengangguk. Entahlah, kenapa tiba-tiba bosnya itu jadi perhatian. Padahal biasanya, bos cantiknya itu tidak pernah basa-basi bertanya tentang keluarga karyawannya, apalagi ngobrol dan duduk berhadapan seperti sekarang ini.
Maklum saja, Erina adalah perempuan dewasa yang sangat sibuk. Toko kue yang ia punya tidak hanya satu, jadi, tidak ada waktu mungkin untuk wanita itu sekedar basa-basi. Begitu pikir Viona dan karyawan lain saat penasaran dengan keseharian sang bos mereka.
"Iya, bu," jawab Viona lagi, masih dengan kebingungannya.
"Kamu butuh uang berapa?"
Kelopak mata Viona melebar, bahkan mungkin bola matanya hampir keluar saking terkejutnya. "Ma-maksudnya, Bu?" tanya balik dirinya yang masih tak percaya.
Tiba-tiba saja, bos yang jarang banget bicara dengan karyawannya menanyakan berapa uang yang ia butuhkan. Mungkinkah, ini jawaban dari doa-doa yang ia panjatkan semalam?
"Banyak Bu, ibu saya harus segara operasi soalnya," kata Viona. "Sebelumnya, maaf Bu. Tapi, dari mana ibu tahu?" sambung gadis itu memberanikan diri bertanya.
"Enggak penting, yang terpenting adalah, saya bisa bantu kamu, dengan syarat," ucap Erina.
"Syarat?" tanya Viona meminta penjelasan. "Syarat apa, Bu?" sambungnya bertanya.
"Menikahlah dengan suamiku, maka aku akan membayar semua biaya pengobatan ibu kamu, Viona." kata Erina seraya mencondongkan tubuhnya ke depan gadis itu, dengan nada suara yang sedikit ia pelankan.
Kini kelopak mata Viona kembali melebar, bola matanya pun kembali hampir keluar. Apa yang baru saja dikatakan bosnya sungguh g i l a. Gadis itu bahkan sampai menggelengkan kepalanya tidak mengerti.
'Menikah? Dengan suami orang? Ah, Ya Tuhan ... apa ini, kenapa Engkau mengabulkan lewat jalan yang aneh seperti ini," kata Viona dalam hati.
Gadis itu masih diam membisu, dia tak mengerti dengan apa yang dikatakan sang bos dinginnya itu. Pasalnya, suami dari Erina adalah lelaki tampan dengan sejuta pesona, kendati usianya sudah kepala empat, namun percayalah, kalau wajah dan tubuhnya tak memperlihatkan bahwa lelaki yang sudah beristri itu sudah bisa dibilang tua.
"Pikirkan baik-baik tawaran ini, Viona," ucap Erina lagi. "Tenang aja, aku dan suamiku nggak akan aneh-aneh sama kamu. Kalian hanya menikah kontrak saja, setelah kamu bisa memberikan kami anak, kamu bisa pergi dengan catatan sudah melunasi hutang."
"Saya masih tidak mengerti, Bu. Jadi, saya dan Bapak menikah kontrak, dan intinya saya menjual anak saya, begitu?" tanya perempuan muda itu lagi, memastikan.
"Viona, saya tidak bisa memberikan suami dan keluarga besarnya keturunan, dan satu-satunya cara adalah menikahkan dia dengan kamu. Wanita yang tengah membutuhkan uang."
Viona masih diam. "Selain kontrak, dan siri. Status kamu juga tidak akan diketahui siapapun. Ini bersifat rahasia. Kamu, jadi madu rahasia," sambung Erina.
Hening. Viona masih memikirkan apa yang dikatakan sang bos. Dia memang membutuhkan uang untuk saat ini. Tapi ... apa harus dengan cara seperti itu, guna untuk mendapatkan uang dengan cara kilat. Viona masih tidak mengerti.
"Silakan pikirkan baik-baik tawaran aku ini, Viona. Nyawa ibumu dalam bahaya. Mikirnya jangan lama-lama," kata Erina lagi.
"Pulanglah, pikirkan. Jika kamu setuju, besok kamu bisa langsung ke rumah."
"Percaya deh, kalau kamu terima tawaran ini. Tidak akan ada tangis yang akan mengakibatkan wajah kamu sembab berhari-hari."
Erina beranjak dari duduknya dan pergi dari sana, meninggalkan Viona yang masih terbengong ditempatnya.
...----------------...
Dengan langkah gontai Viona berjalan di lorong rumah sakit. Ia masih memikirkan apa yang dikatakan sang bos. Tawaran itu sangat menggiurkan, tapi ... menikah?
Viona mengembuskan napas kasar, "apa tidak ada cara lain, selain menikah dan memberikan anak?" gumamnya.
"Apa, aku tidak seperti tengah menjual anakku?" tanyanya pada angin yang berembus.
Sore menjelang magrib ini lorong rumah sakit lumayan rame. Tapi, Viona tak perduli pada lalu-lalang orang. Yang jelas, ia tengah memikirkan tawaran aneh dari bosnya itu. Lalu, wanita cantik yang saat ini masih mengenakan seragam toko itupun duduk di kursi yang ada, yang kebetulan ia lewati dan tidak ada yang menduduki.
Ia r e m a s-r e m a s tangannya, dengan wajah yang menunduk melihat ke arah sepatu bututnya berada. "Kalau ibu tahu, aku jelas tidak dibolehkan seperti itu."
Ya, Viona masih dalam kebimbangan. Antara iya dan tidak. Sampai akhirnya kumandang adzan magrib terdengar, wanita cantik itu lantas mendongak mendengarkan adzan seraya berucap syukur. Dia berniat akan shalat di masjid rumah sakit terlebih dulu, setelahnya baru menemui sang ibu.
Viona sedikit tenang karena tidak ada telepon untuknya, jadi dia bisa memikirkan sendiri terlebih dulu dan meninggalkan sang ibu di rungan kelas tiga dengan banyak orang. Ya, karena satu ruangan itu ada enam ranjang yang hanya diberi sekat gorden saja.
Maklum, uang Viona tak akan mampu jika untuk membayar kamar nomor dua apalagi satu. Karena sekarang ini, tabungannya saja sudah sangat tipis.
Di dalam masjid, dia bersimpuh. Berdoa dan memohon kepada Sang Maha Kuasa, agar diberikannya jalan yang terbaik. Tangannya masih menengadah ke atas sampai di mana ponselnya berbunyi menandakan ada telepon masuk. Segera ia usaikan doanya, dan melihat siapa yang menghubungi dirinya.
"Nomor ibu," gumamnya.
Perasaan khawatir kembali melanda, dengan cepat dan buru-buru dia membuka mukenah dan segera berlari menuju ruangan sang ibu. Air matanya kembali menggenang, kendati belum mengerti pastinya seperti apa. Hingga saat dia tiba di ruangan yang penuh kamar itu, ia lantas bingung.
"Ibu di mana?" tanyanya dengan air mata yang membanjiri pipi.
"I-ibu."
Dengan pelan Viona mendekat ke arah ranjang yang saat ini sudah rapi dan bersih kembali. Tidak ada ibunya serta barang-barang yang memang hanya termos kecil dan satu gelas. Ia menangis mengusap ranjang kosong itu.
"Ibu," serunya menangisi ranjang kosong. "Ibu di mana," sambungnya.
Setiap orang yang tengah menunggu pasien di sana memperhatikan Viona dengan heran. Sampai ada satu perawat yang datang dan menenangkan tangis gadis itu yang menjadi-jadi, bahkan sampai sesenggukan dan tidak bisa bicara apa-apa.
Perawat muda itu lantas memeluk Viona yang ia kenal karena beberapa kali bertemu di ruangan itu.
"I-ibu saya, Sus," kata Viona terbata-bata dalam pelukan sang perawat bernama Kartika itu.
Sampai di mana ponselnya kembali berdering, dan lagi-lagi dari nomor sang ibu. Dengan perasaan kalut ia menjawab panggilan itu dengan pelan.
"Apa?" tanyanya dengan nada terkejut.
Rasanya dia sangat malu, saat mendapati bahwa seseorang yang ia tangisi ternyata hanya dipindahkan keruangan lain. Viona lantas meminta maaf pada semua orang karena sudah mengganggu kenyamanan mereka, terutama pada orang yang tengah sakit. Begitu juga dengan perawat Kartika.
"Maaf ya, Sus," ucapnya saat tengah berjalan dengan Kartika.
"Iya tidak apa-apa, namanya juga khawatir," ucap Kartika sembari mengusap punggung Viona. Dia tengah mengantar wanita yang baru saja menangis itu ke ruangan sang ibu. Ya, ternyata ibunya hanya pindah ruangan saja, dan tidak terjadi apa-apa.
Seketika saat sadar, Viona memberhentikan langkahnya. "Tapi ... siapa yang memindahkan ibu saya, Sus?" tanyanya.
"Loh, kok malah tanya saya. Katanya keluarga kamu," jawab perawat Kartika.
Viona kembali melanjutkan langkahnya, namun dengan otak yang tengah berpikir. Kira-kira siapa keluarganya yang kaya raya, sampai bisa memindahkan ibunya dari rungan paling rendah sampai ke ruangan yang bisa di bilang paling atas.
Sampai akhirnya dia dan Kartika sampai di depan ruangan bertuliskan VVIP 1A. Viona lantas berterimakasih pada perawat cantik yang kini pamit untuk kembali ke tempatnya jaga. Lantas, dengan pelan gadis itu membuka pintu rungan tersebut.
Hawa dingin dari dalam ruangan langsung bisa Viona rasakan, dengan langkah pelan ia memajukan kaki kanannya. Hal pertama yang dapat ia lihat adalah satu set sofa berwarna krem yang terlihat kosong, lantas setelah dia melangkahkan kakinya dan seluruh badannya kini masuk serta sudah menutup pintu, ia dapat melihat wanita paruh baya yang terlihat terbaring dengan mata yang terpejam.
"Ibu." Gumam Viona seraya mendekat ke sisi ranjang pasien, yang tentu saja beda dari ranjang kosong yang tadi ia tangisi.
Kelopak mata ibu sedikit demi sedikit terbuka, lantas tersenyumlah wanita setengah baya itu. "Vio, akhirnya kamu ke sini," ucap Ibu.
"Ibu, baik-baik saja 'kan?" tanya Viona khawatir.
Ibu terlihat mengangguk, "ibu baik, Nak. Kenapa kamu baru ke sini, ibu teleponin dari tadi."
Viona tersenyum kikuk, tidak mungkin bukan, dia menceritakan bahwa ia baru saja menangisi ibunya tanpa tahu yang sebenarnya. Lantas, melihat ke sekeliling ruangan itu. Lalu, kembali melihat ke arah sang ibu. "Ibu di pindahkan ke sini sama siapa?" tanyanya penasaran.
Belum ibunya menjawab, suara pintu kamar mandi terdengar terbuka. Dan baik Ibu maupun Viona lantas menoleh ke sumber suara. Betapa terkejutnya gadis itu saat melihat siapa yang keluar dari dalam kamar mandi.
"Bu Erina," ucap Viona hampir tak terdengar, ia sangat terkejut dengan apa yang tengah ia lihat.
"Iya, yang pindahkan ibu ke sini, sahabat kamu. Kenapa kamu tidak pernah bilang, kalau kamu punya sahabat sebaik dia." Viona lantas kembali menoleh ke arah sang ibu.
"Sa-sahabat?" tanya Viona bingung.
"Hai, Vi. Akhirnya kamu sampai juga." Viona kembali membeku saat tiba-tiba saja lengan bosnya itu merangkul di pundaknya.
"Ha-hai, Bu," ucap Viona kaku. Sungguh dia tidak mengerti, jika Erina akan sampai se-serius ini. Bahkan saat Viona belum mengatakan iya, tapi sang bos sudah beraksi menunjukan kekuasaannya.
"Lihat Bu, walaupun kita sahabat, dia selalu memanggil diriku dengan sebutan ibu. Anakmu benar-benar baik, dia selalu menganggap ku bosnya, padahal kita adalah teman yang sangat dekat."
Entah sandiwara apa, sampai membuat Viona kebingungan setengah mati. Baru saja ia bingung memikirkan jawaban, sekarang dia justru kembali dibuat bingung dengan sebuah sandiwara.
"Karena Nak Erina memang bosnya anak saya, jadi sudah sepantasnya dia tetap memanggil dengan sebutan ibu," begitu ujar Ibu Viona.
"Iya," Viona membenarkan apa yang dikatakan sang ibu.
"Mmm, Vi. Bisa kita bicara sebentar," ucap Erina pada Viona. "Boleh ya Bu, Erina pinjam sebentar Viona nya," sambung Erina pada ibu yang saat ini tengah memperhatikan keduanya.
Ibu Viona mengangguk dan mempersilahkan untuk keduanya bicara. Lantas, Viona mengikuti langkah Erina yang berjalan menuju keluar ruangan. Dan saat ini, baik Erina maupun Viona sudah duduk di bangku yang ada di depan ruangan.
"Maaf, Bu. Maksud ibu memindahkan ibu saya ke ruangan ini, apa ya?" tanya Viona memecah rasa penasarannya.
"Saya nggak main-main, Viona. Saya punya segalanya, saya bisa membayar dokter termahal sekalipun untuk mengobati ibumu. Asalkan kamu mau, dengan syarat yang saya berikan sore tadi."
"Tapi ... syaratnya apa tidak ada yang lain, Bu, sa-saya--" ucapan Viona dipangkas langsung oleh Erina.
"Viona, dengar. Saya memang punya segalanya, punya uang. Tapi, saya tidak punya anak, dan satu-satunya cara, adalah menikahkan suamiku dengan wanita lain. Yang mana harus bersifat rahasia, karena nanti, saat maduku hamil, disitu saya akan pura-pura hamil."
Penjelasan Erina terdengar menyayat hati. Viona bisa melihat bagaimana rasa sedihnya menjadi wanita dewasa itu. Kendati segala yang bosnya inginkan itu bisa dia wujudkan namun, entahlah kenapa sampai menginginkan anak saja harus seribet ini.
"Maaf Bu, ke-kenapa tidak adopsi anak saja, dari pada seperti ini, saya yakin ... ini tidak akan mudah. Apalagi ...," ucapan Viona menggantung.
'Apalagi jika harus berbagi suami, walaupun hanya untuk sementara. Tapi, aku yakin, semuanya akan sangat sulit,' sambung Viona dalam hatinya.
"Kamu tidak akan tahu secara detilnya, kalau kamu tidak menyetujui apa yang saya inginkan Viona. Saya bisa saja membayar wanita lain yang jelas-jelas mau, tapi entah kenapa, saya lebih percaya sama kamu. Tolong Viona, jika kamu mau, kamu tidak hanya menyembuhkan ibumu, tapi menyembuhkan luka hati seorang istri yang merindukan seorang putra dari benih suaminya."
Mata Erina saat ini terlihat sendu. Kesedihan benar-benar ketara di sana. Kendati make-up tebal memoles seluruh wajahnya. Namun, merah di mata dan hidungnya lantaran menahan tangis tak bisa disembunyikan.
"Saya sudah bicara dengan dokter, sakit ibu kamu sudah parah. Dan jika tidak segera mendapat penanganan, maka kamu akan kehilangan pelita dalam hidup kamu itu," ucap Erina. Terlihat sekali, kalau wanita itu sangat memaksa Viona. Entah apa yang terjadi, sampai Erina begitu menginginkan Viona untuk menjadi ibu bagi anak dari suaminya.
"Lalu, nanti jika saya sudah berhasil memberikan anak. Apa saya boleh pergi jauh, dan tidak lagi berurusan dengan Ibu maupun Bapak?" tanya Viona ragu.
Semuanya terdengar mudah, menikah siri, kontrak, hamil dan setelahnya pergi jauh. Tapi ... apa nanti dia bisa meninggalkan begitu saja darah dagingnya, sementara dia sudah mengandungnya selama sembilan bulan.
"Sangat di perbolehkan, Viona. Pergi sejauh mungkin saat kamu sudah melahirkan anak kamu. Jangan pernah kembali apalagi mengingat bahwa kamu memiliki anak dengan suamiku."
Kalimat yang keluar dari mulut Erina membuat Viona menitikkan air mata. Entahlah, ia merasakan bagaimana rasanya menjadi Erina.
"Ta-tapi Bu, saya masih ragu," ucap Viona.
"Ikut saya." Erina berdiri. Lantas Viona mendongak, melihat ke arah sang bos. "Ke mana, Bu?" tanyanya penasaran.
"Tenang, ibu kamu akan baik-baik saja. Akan saya panggilkan tiga perawat sekaligus untuk menemani dan menjaga ibu kamu."
Dengan langkah yang terburu-buru, Viona mengikuti jejak langkah Erina. Dengan tangan yang digandeng setengah di seret.
...----------------...
Tujuan Erina kali ini ternyata adalah rumah mewah miliknya. Viona lantas turun dari mobil sang bos. Dia menengadah memperhatikan tinggi bangunan mewah berlantai dua itu. Walaupun hanya dua lantai saja. Tapi, bagian atas maupun bagian bawah, semuanya besar.
"Ayo masuk," ajak Erina pada Viona.
"Akan saya tunjukan kenapa saya meminta kamu untuk mambantu saya," ucap Erina lagi.
Dengan menelan ludah kasar, Viona lantas mengikuti langkah Erina. Berjalan dari samping mobil menuju teras saja bagi Viona sangatlah jauh, tidak cukup sepuluh, dua puluh langkah. Sungguh, rumah yang sangat mewah. Jangan lupakan dua pilar besar yang ada di bagian depan.
Dengan sekali dorongan, pintu besar bercat putih itu lantas terbuka. Erina masuk dan Viona membuntuti. Keduanya lantas berjalan melewati ruang tamu yang sangat mewah, ada dua guci besar di pojokan, satu set sofa yang benar-benar mewah, kayu ukiran yang terlihat meliuk-liuk itu sangat mengkilap, ditambah lampu kristal yang menggantung di atasnya, membuat suasana ruang tamu semakin mewah. Apalagi, di sudut ruangan itu terdapat lemari kecil dengan kaca transparan yang didalamnya berisi piring dan guci kristal. Sangat indah.
Setelah puas memperhatikan ruang tamu, ternyata Viona sudah tertinggal jauh oleh Erina. Dia lantas berjalan terburu-buru untuk masuk, dan yang saat ini ia sampai di ruangan yang lebar dari ujung kana sampai ujung kiri. Sebelah kanan ada sofa panjang yang menghadap sebuah televisi, dan disebelah kiri ia bisa melihat satu set meja makan yang sangat panjang. Di belakangnya ada dapur modern dengan mini bar yang sangat memukau di lihat oleh Viona.
"Kamu siapa?"
Viona terlonjak kaget, dia lantas menoleh ke arah belakangnya. "Sa-saya Viona, pak," jawabnya pada pria dewasa yang saat ini berdiri dengan mengerutkan kening dan tangan yang menenteng jas.
"Ngapain di sini?" tanya pria dewasa yang Viona tahu kalau dialah suami dari Erina. Yang jika dia setuju, maka dia akan menikah dengan lelaki itu. "Pembantu baru?" sambung lelaki itu bertanya.
"Bu--" jawaban Viona terhenti saat tiba-tiba saja suara Erina terdengar dari arah tangga.
"Dia Viona, Mas."
Viona dan pria itu lantas menoleh ke sumber suara. Terlihatlah Erina yang saat ini sudah mengenakan pakaian santai. Tak seperti tadi, memakai celana panjang, kemeja, serta jilbab yang segitiga yang membuatnya sangat cantik.
Erina lantas turun dan mendekat. "Viona, ini Ethan, suami saya."
Ethan, lelaki yang tengah dikenalkan oleh sang istri itu terlihat mengeraskan rahang lantaran kesal. "Kamu masih berpikiran aneh, Erina?" tanya pria itu pada istrinya.
"Iya, dan dia ini yang aku pilih untuk ide luar biasa ku." jawaban Erina membuat Viona berdiri dengan bingung, lantaran sepertinya keinginan Erina adalah keinginannya sendiri, tidak dari keduanya.
"Kita bisa adopsi, Erina!"
Teriakan Ethan membuat Viona memejamkan mata, sungguh dia sangat terkejut dengan teriakan itu.
"Iya!" balas Erina tak mau kalah. Sepasang suami-istri yang saling berhadapan di depan Viona saling pandang dengan raut emosi.
"Kamu memang senang 'kan, kalau aku lagi di hina, di caci maki oleh keluarga kamu. Di panggil mandul, di panggil pria, karena aku tak kunjung hamil!" Erina kembali berteriak.
Viona tertegun ditempatnya. Ya, kini dia tahu kenapa Erina begitu ingin suaminya menikah dengan orang lain. Dan saat hamil, dirinya juga akan pura-pura hamil. Sungguh, Viona bisa mengerti bagaimana rasanya jadi Erina yang selalu mendapat perlakuan atau ucapan tidak baik.
"Bukan itu maksudku, Erina," suara Ethan melemah. Lelaki itu terlihat tak tega pada wanitanya saat Erina berteriak lantaran emosi dan sakit hati yang begitu terlihat dari ekspresinya.
Ethan memeluk erat wanitanya itu, lantas diajaknya duduk di sofa. Tak lupa, Viona pun diajak duduk di sana. Demi untuk membicarakan segalanya, perjanjian selanjutnya.
Setelah Erina kembali tenang, dia lalu mengeluarkan suaranya. "Bagaimana Viona, kamu setuju 'kan?" tanyanya.
Gadis itu masih diam, dia hanya bisa menunduk seraya m e r e m a s -r e m a s tangannya. Sampai akhirnya, Ethan pun turut bicara.
"Sorry, Viona. Sebenarnya saya juga tidak setuju dengan keinginan konyol Erina. Tapi, saya juga bingung," ucap lelaki itu.
"Jika kamu setuju, kita buat perjanjiannya dari sekarang," sambung Ethan. Erina yang duduk disebelahnya pun mengangguk pada Viona. Berharap gadis cantik itu mau menyetujui keinginannya.
"Saya bisa saja adopsi, Viona. Tapi dengan seperti itu, saya akan semakin dihina oleh keluarga. Sedangkan jika kamu mau menjadi istri dari Ethan, dan hamil. Lalu aku pura-pura hamil, saya akan bahagia, karena tidak akan lagi di hina."
Viona menatap wajah Erina. Entah kenapa saat ini Erina tidak terlihat judes ataupun galak. Kali ini, bosnya itu justru terlihat sangat patut untuk dikasihani. Karena pada kenyataannya, di balik judesnya Erina ada hati yang selalu merasa tersakiti.
"Kamu boleh minta apa saja, asal mau menyetujui permintaan istri saya ini," kata Ethan lagi.
"Ta-tapi, Pak ...," ucap Viona yang ternyata masih enggan untuk menerima tawaran tersebut.
Percayalah, walaupun dia memang sangat kasihan pada Erina, tapi ... apa iya, dia harus mengorbankan masa mudanya. Tapi, saat mengingat dirinya juga membutuhkan uang, itu juga semakin membuat dia dilema.
Ya ampun, apa tidak ada seorang saja yang akan membantunya keluar dari masalah seperti ini?
"Sebentar." Ethan, lelaki tampan berusia 40 tahun itu lantas berdiri dan pergi dari sana. Meninggalkan dua wanita yang sama cantiknya. Bahkan jika dilihat dengan lamat-lamat, antara Erina dan Viona memang ada sedikit kemiripan, hanya saja wajah Viona kurang perawatan, jadi masih lebih glowing Erina.
"Maaf, Bu. Apa Ibu tidak mencoba bayi tabung?" tanya Viona dengan raut wajah takut.
Erina mengembuskan napas kasar, lantas dia menggeser posisi duduknya ke sebelah gadis itu. "Mau apapun aku lakukan, aku tidak akan bisa hamil, Vi."
Satu lagi Kenyataan yang membuat Viona semakin penasaran. Entah apa yang dimaksud Erina, yang jelas gadis itu tidak mungkin bertanya lebih detil, karena ia takut salah.
Lalu tak lama setelahnya, Ethan kembali dengan sebuah kertas putih dan sebuah pena. Dia bawa dua benda itu dan ditaruhnya diatas meja. Lantas, dia pun duduk kembali disebelah sang istri tercinta.
"Kamu bisa cantumkan apa saja keinginan kamu di sana," begitu ujar Ethan seraya menunjuk kertas yang teronggok diatas meja..
"Iya, Viona. Tulis saja, nanti kita bisa diskusikan. Ayolah Viona, antara saya dan kamu, sama-sama tidak punya waktu yang lama," ujar Erina.
Mata gadis cantik itu lantas beralih kesebuah kertas itu. "Apa yang harus saya tulis, Bu?" tanyanya bingung.
"Apa keinginan kamu, setelah menikah dengan saya. Dan setelah masa kontrak habis, tulis saja."
"Kamu bisa minta rumah besar, berlian, mobil atau apapun. Asalkan kamu setuju Viona," begitu ujar Erina lagi.
Viona masih terdiam, ia sungguh bingung. Namun, akhirnya dia menulis sesuatu di sana.
Saya hanya ingin pengobatan untuk ibu saya.
Tulisan Viona membuat Erina dam Ethan saling memandang. "Kamu tidak ingi apa-apa?" tanya Erina.
Viona menggelengkan kepalanya, "untuk saat ini, saya hanya ingin ibu saya mendapatkan pengobatan yang bagus dan bisa sembuh seperti sedia kala," jawabnya jujur.
"Baik, itu tidak akan sulit. Aku dan Ethan bisa membawa ibu kamu ke rumah sakit Singapure, di sana ibu kamu akan ditemani satu suster yang akan menjaga dan merawat dengan baik. Tentu saja diobati oleh dokter terbaik. Dan kamu di sini, menjalankan semua syarat ini." kata Erina dengan raut wajah yang terlihat sedikit senang.
"Jadi, apa saja syarat-syarat tertulisnya, Bu?" tanya Viona lagi.
Ethan lantas mencondongkan tubuhnya ke depan guna mengambil kertas dan pulpen. "Kita tulis pakai tangan terlebih dulu, besok baru saya urus dengan baik." katanya.
1. Nikah kontrak sampai melahirkan.
2. Setelah menikah, tinggal di rumah dan tidak dibolehkan untuk keluar rumah tanpa izin dan supir.
3. Jika sudah hamil, jangan coba-coba kabur. Dan jika sampai terjadi, nyawa ibumu menjadi taruhannya.
4. Berhubungan hanya 1×seminggu. Dan jika sudah hamil, maka berhenti.
5. Setelah bayi lahir, maka hak sepenuhnya jatuh kepada Erina dan Ethan.
6. Uang 1 Miliar setelah melahirkan bayi sehat dan sempurna.
7. Tidak lagi kenal, saat semua sudah usai.
Viona tertegun membaca tulisan itu. Lalu dia mendongak menatap sepasang suami-istri itu. "Apa, nantinya saya benar-benar tidak boleh bertemu dengan anak saya?" tanyanya.
"Boleh, tapi jangan pernah mengakui kalau kamu adalah ibunya," jawab Erina.
"Kenapa, saya takut ya, Bu," ucap Viona lagi. Perempuan itu menunduk. Ada rasa tak tega dalam dirinya, padahal semua belum terjadi.
"Anggap saja kamu sedang mengobati ibu kamu, Viona." kata Erina dengan kalimat yang memaksa.
Ethan mengusap lengan atas sang istri, agar tenang dan tidak menonjolkan pemaksaan darinya.
"Ba-baiklah, Bu. Saya setuju. Tapi ... ibu saya pasti sembuh 'kan?" tanyanya lagi.
Erina mengembuskan napas kasar. "Pasti."
Entah sembuh ataupun tidak, yang jelas Erina hanya mau dia mendapatkan apa yang dia inginkan.
Lalu, surat kontrak tulisan tangan itu dibubuhi tanda tangan Viona, Erina dan Ethan. Ketiganya sudah menyepakati segalanya. Dan yang membuat Viona semakin takut adalah, pernikahan itu dilakukan esok hari. Dan kini, gadis cantik itu tengah di dalam perjalanan kembali ke rumah sakit dengan diantar oleh supir dari rumah Erina.
Dalam perjalanan yang terasa panjang dan lama itu, Viona merenung. Entah bagaimana caranya nanti dia menyembunyikan segalanya dari sang ibu. Yang jelas untuk saat ini dia harus memikirkan kesembuhan untuk ibunda tercintanya. Wanita yang menjadi pelita dalam hidupnya.
Apalagi setelah ditinggal sang ayah menghadap Sang Kuasa tujuh tahun lalu, saat dirinya baru saja lulus SMA. Dari saat itulah, sang ibu yang bekerja banting tulang untuk hidup mereka. Sampai akhirnya Viona membantu sang ibu dengan bekerja di sebuah toko ponsel, dan dipecat karena ada yang jahil padanya. Yaitu memfitnah dirinya, menuduh dengan bukti palsu kalau dia mencuri satu buah ponsel keluaran terbaru di toko tersebut. Yang akhirnya membawa Viona mencari pekerjaan baru dan ada lowongan bersih-bersih di toko kue, yang sampai sekarang masih ia tempati. Dan ... membawanya ke dalam perjanjian aneh, dalam ikatan pernikahan.
Bibir Viona tersenyum sinis. Entah bagaimana konsep hidupnya, sampai dia jadi seperti ini. Memikirkan apa yang akan tejadi besok membuat gadis yang saat ini tengah berjalan di lorong rumah sakit itu bergidik ngeri. Apalagi saat ia mengingat kembali tulisan-tulisan yang ia baca tadi.
"Satu kali dalam satu minggu?" tanyanya pada keheningan malam. Kebetulan lorong saat ini tengah sepi.
"Setelah melahirkan, terus pergi, meninggalkan anakku?" katanya lagi. "Apa aku bisa se tega itu?"
"Maafkan ke g i l a a n anakmu ini ya bu," ucap wanita itu lagi. Kendati kakinya terus saja melangkah, namun pikirannya sudah terbayang-bayang kehidupan barunya besok hari. Memiliki suami, namun rahasia. Menjadi madu namun ... tak di publish. Lalu ... ah, begitu menyedihkan saat Viona memikirkan segalanya.
Bahkan otaknya sampai ke mana saat nanti, jika suatu saat, bertahun-tahun kemudian dia menemukan lelaki yang cocok, ia akan memberitahunya dengan status apa? Janda dari pernikahan rahasia, atau ... perawan rasa janda.
Lalu, saat nanti dia bertemu dengan anaknya, dan sang anak tak mengenali dirinya. Ya Tuhan, dia yakin itu semua akan terasa sulit. Tiba-tiba saja, dia berpikir untuk kembali ke rumah Erina dan membatalkan segalanya. Namun, baru dua langkah ia membawa kakinya. Ia teringat akan sang ibu yang tengah lemah. Tak bisa apa-apa jika tidak ada bantuan obat-obatan.
"Ya Allah, susahnya jadi diriku," dia terduduk di sana. Di lorong rumah sakit yang sangat sepi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!