POV SINTA
"Ipah mana makanannya, kami sudah kelaparan di sini!." teriak Nenek kepada Ibu.
Aku yang baru saja pulang dari sekolah menghentikan langkah saat akan masuk rumah, karena mendengar teriakan Nenek. Kemudian berbalik melangkahkan kaki ke rumah Nenek, takut Ibu di sakiti oleh Nenek.
Saat aku sudah masuk ke dalam, di rumah Nenek emang sedang ada acara kumpul keluarga. Karena aku harus sekolah dan kerja kelompok jadi aku tidak bisa membantu Ibu mempersiapkan semua.
Sebenarnya aku khawatir dan berniat untuk bolos sekolah dan membantu Ibu di dapur. Tapi Ibu melarang dan menyuruh ku tetap berangkat sekolah.
Padahal ada Tante Adel yang juga sama menjadi menantu Nenek, Istri dari Om Zainal adik Ayahku yang sedang merantau. Tapi yah Tante Adel mana pernah mengerjakan pekerjaan rumah, dia hanya tahu hp, salon dan shoping. Sungguh manusia yang tak berguna sama sekali.
"Nek, ada apa?. Kenapa Nenek teriak-teriak? sampai terdengar Sinta di luar." tanyaku saat sudah ada di dalam rumah dan menghampiri Nenek.
"Kamu pulang ke sekolah bukannya ucapin salam, malah kurang ajar sama orang tua!." Sinis Tante Adel.
Tuh kan Tante Adel mulai ngajak perang, aku bertanya sama Nenek malah di jawab sama dia. Caper banget!. "Siapa yang kurang ajar Tante, Sinta cuman nanya sama Nenek, kenapa Nenek teriak-teriak." Jawab ku lantang.
Tante Adel memasang wajah jutek sembari mata nya melotot ke arah ku karena aku berani menjawab perkataan nya. Aku tidak mau kalah aku juga membalas pelotottan Tante Adel.
"Ipah cepetan! kok kamu kerja nya lelet banget sih! sudah bagus anak saya Bagas mau nikahin kamu. Udah jelek, hitam, miskin lagi." hina Nenek pada Ibu di depanku dan keluarga besar lainnya.
Tidak ada yang membela Ibu sama sekali, begitu juga dengan Ayah, dia hanya diam saja melihat istri nya di hina oleh Ibu nya sendiri.
"Iyah Bu. Maaf tadi rasa-rasa nya kurang pas. Jadi saya rasa-rasa lagi bumbunya." Jawab Ibu sambil lari tergopoh-gopoh ke arah nenek sembari membawa panci yang terlihat masih panas.
Aku miris melihat penampilan Ibu yang berbeda dengan menantu yang lain. Jika menantu yang lain berpakaian bagus. Namun Ibu hanya memakai daster kumal yang biasa Ibu pakai di rumah, padahal ini acara keluarga besar, sudah jelas Ibu tidak di anggap keluarga.
"Halaaah terus saja membela diri seperti itu. Kamu itu ngaku ajalah kalau kamu itu lelet kerja nya, nggak bisa di andelin. Sini mana biar aku koreksi rasa makanannya. Aku pengen tahu bagaimana rasa masakan kamu sampai kamu membutuhkan waktu cukup lama dan membuat kami semua kelaparan." timpal Tante Adel merebut panci panas dari tangan Ibu.
"Arrggghhh!. Panas." Tante Adel menjerit kepanasan. karena merebut panci panas dari tangan Ibu.
'Syukurin!' jerit ku dalam hati. Padahal harus nya dia tahu kalau panci itu pasti panas karena terlihat sekali bahwa sayur yang di masak Ibu masih sangat panas karena asap nya masih mengepul.
Kalau sudah seperti ini, pasti Ibu yang di salahkan.
"Dasar kurang ajar, kamu sengaja memberikan sayur panas ini kepadaku?, kenapa tidak bilang kalau ini panas, dasar to-lol, otak udang." maki Tante Adel pada Ibuku. Bukannya kebalik' gumam ku merasa aneh mendengar makian Tanteku ini kepada Ibu.
Sebenarnya ini bukan kali pertama aku melihat Ibu di perlakukan seperti ini, sudah sangat sering Ibu di perlakukan sangat kasar, dahulu aku diam dan takut pada Ayah dan Nenek, tapi sekarang kesabaran sudah habis.
"Nah kan! lama-lama si Ipah ini ngelunjak, kamu pasti syirik kan karena kalah cantik dan mulus kayak Adel !, makannya kamu sengaja memberikan sayur yang sangat panas agar Adel punya luka bakar!," hardik Nenek pada Ibu dengan suara lantang.
Lagi-lagi aku melihat sekitar, di sini sekitar ada 10 orang termasuk Ayahku, namun tidak ada yang membela Ibu sama sekali. Meskipun aku yakin mereka tahu kalau Ibu tidak bersalah.
"Bu itu salah Adel, salah dia sendiri kenapa dia main rebut sayur yang aku pegang. Padahal aku memegang ya pun pakai kain tebal, kenapa Adel main rebut begitu saja." Ibu membela diri, mungkin Ibu sudah kesal terus-terusan di salahkan.
"Kurang ajar, bukannya minta maaf malah membela diri. Rasakan ini!."
Plak, tangan Tante Adel lancang menampar pipi Ibu. Melihat kejadian seperti ini aku langsung berjalan menghampiri.
"Berani nya kamu Adel menampar Ibuku!," Aku berteriak sekencang mungkin melihat Ibuku di tampar keras oleh Tante Adel.
Dengan emosi memuncak, aku mengambil panci yang isi nya sayur panas lalu menyiramkan nya ke wajah Tante Adel. Mungkin karena aku sedang emosi panci tidak berasa panas di tanganku.
Byuurrr.
"Arggghhhh tolong ini sangat panas, dasar kamu anak kurang didikan kamu Sinta." teriak Tante Adel. Semua orang yang ada di sini langsung membantu Tante Adel yang menjerit kesakitan, begitu pun dengan Ayah, Ayah terlihat khawatir dengan apa yang terjadi dengan Tante Adel seolah Tante Adel adalah istri nya. Dan Ibu sudah jelas istrinya tapi Ayah cuek saja melihat Ibu di hina-hina.
"Sinta! kamu keterlaluan. Kamu akan mendapatkan pelajaran dari Ayah?, tunggu saja!." ancam Ayah padaku.
"Silahkan aku tunggu. Tapi aku penasaran yang sebenernya jadi istri Ayah itu, Ibu atau Tante Adel sih. Kok Ayah seperti nya khawatir banget sama Tante Adel?." ucapku pada Ayah dengan sinis.
Ayah terlihat mengepalkan tangan menahan emosi kepadaku.
"Sudah jangan dengarkan anakmu yang lahir dari rahim si miskin itu. Sebaiknya bawa Adel ke rumah sakit. Dan untuk kamu Sinta!. Jika terjadi sesuatu pada Tante mu, Nenek pasti kan kamu babak belur di tangan Ayah mu." Ancam Nenek sembari menunjuk wajahku.
"Tidak usah menunjuk-nunjuk aku seperti itu. Aku tidak takut, karena aku akan selalu melindungi Ibu ku. Ayo bu kita pergi dari sini!" Ajak ku kepada Ibu yang seperti menangis ketakutan.
Rumah kami dan rumah Nenek bersebelahan, bisa di bilang Nenek orang berada di wilayah ini. Bahkan tempat tinggal yang sedang kami tempati pun adalah rumah Nenek yang di wariskan untuk Ayah.
"Ibu memang tidak pernah mengajariku kasar kepada orang lain, tapi aku tidak terima jika Ibu di perlakukan seperti itu oleh orang lain. Aku sangat sayang Ibu tak peduli itu tua muda, Nenek atau Ayah sekalipun. Jika mereka lancang kepada Ibu, maka aku tidak akan tinggal diam." ucap ku seraya menangis memegang bahu Ibu.
"Tapi bukan begitu caranya Sinta. Sebentar lagi kamu lulus SMK. Kalau Ayah mu tidak mau membiayai mu kuliah gimana?, Sedangkan Ibu hanya Ibu rumah tangga biasa. Ibu tidak ingin masa depan mu suram." sanggah Ibu.
Betapa mulia nya hati Ibu, sudah berkali-kali di sakiti oleh Nenek dan Ayah tapi masih terus memikirkan anak-anaknya.
"Bu aku tidak ingin kuliah dengan pengorbanan Ibu di injak-injak oleh Ayah dan keluarganya. Toh tidak semua lulusan SMK masa depan nya suram. Percayalah pada Sinta Bu." timpalku memberi pengertian pada Ibu.
Kemudian aku dan Ibu berpelukan dan menangis bersama meratapi nasib yang terus di sakiti oleh Ayah dan keluarga nya.
"Bu!." panggil seseorang dan kemudian kami berdua menoleh ke arah pintu.
.
.
.
Bersambung
"Bu!." panggil seseorang dan kemudian kami berdua menoleh ke arah pintu.
"Astaghfirulloh Bayu, apa yang terjadi dengan wajahmu?." tanya Ibu berlari menghampiri adikku yang bernama Bayu.
"Tidak apa-apa kok Bu, biasalah kenakalan remaja yang memberontak Ayahnya. Memangnya Kak Sinta saja yang sakit hati melihat Ibu di perlakukan seperti itu, Aku sebagai anak laki-laki merasa gagal karena tidak ikut melawan tadi." Jawab Dimas yang tahun ini akan masuk SMK.
"Ya Allah Nak harusnya kamu tidak melakukan ini. Wajahmu pasti sakit, sini Ibu obati tapi lain kali kamu jangan seperti ini lagi Bayu." Ibu menasehati Bayu sambil mengobati wajah yang cukup banyak luka.
"Isshhh...." ringis Bayu saat Ibu menekan kain basah pada luka di wajahnya, pasti sakit. Kasihan Adikku.
"Bu, Sinta mau tanya sesuatu pada Ibu deh. Kenapa keluarga Ayah sangat membenci Ibu dan bahkan Ayah tidak membela Ibu?." akhirnya aku memberanikan diri bertanya kepada Ibu, walaupun sebenarnya aku sudah menduga dengan jawaban Ibu. Tapi aku ingin mendengar langsung dari mulut Ibu.
Ibu menatap mata ku dengan lekat, seperti ada keraguan yang tersimpan di hati Ibu untuk bercerita.
"Intinya karena Ibu bukan dari keluarga berada. Dan Ibu juga yatim piatu dan berasal dari kampung. Itulah alasan keluarga Ayah mu tidak menyukai Ibu."
"Tapi kenapa Ayah tidak membela Ibu melihat Ibu di perlakukan seperti itu. Harusnya sebagai seorang suami harus bisa melindungi istrinya. Tapi Ayah?.... Untuk apa Ayah menjadi suami jika tidak bisa melindungi istrinya." sanggahku dengan nada emosi. Emosi ku sekarang seakan meledak saat mengingat-ngingat segala perlakuan buruk mereka pada Ibu. Saat itu aku masih kecil dan tidak bisa melawan, tapi sekarang aku tidak akan tinggal diam.
"Entahlah dulu padahal Ayahmu sangat mencintai Ibu. Bahkan Ayahmu rela menentang Ibu nya agar tetap menikah dengan Ibu. Namun Ayah mu berubah sejak Om Zainal menikah dengan Tante Adel menikah. Sejak itu Ayahmu mulai temperamen pada Ibu entah apa alasannya, Ibu tidak tahu." Jawab Ibu.
Brakkk....
"Kamu jangan mencoba mendokrin otak anak-anakku dengan sengaja menanamkan kebencian padaku. Ibu macam apa kamu Saripah?." tiba-tiba saja pintu di tendang dengan keras oleh Ayah.
Saat aku melihat wajah Ayah sangat babak belur, bahkan matanya memerah seperti terkena pukulan.
Wajah Ayah kenapa?.
"Ibu sama sekali tidak mendokrin aku untuk membenci Ayah. Kelakuan Ayah yang selama ini membuatku dan Bayu membenci Ayah. Ayah pikir Ayah sudah memberikan contoh yang baik untukku dan juga Bayu?." hardikku kepada Ayah, mungkin urat leher ku sepertinya akan keluar jika berbicara dengan Ayah.
"Jaga nada bicara mu Sinta. Aku ini Ayahmu. Jadi kamu harus hormati aku." Sergah Ayah yang bersiap melayangkan tangan ke arah ku.
"Apa Ayah ingin menamparku?, Silahkan tampar!, tapi jika sampai lengan Ayah menyentuh pipiku. Akan aku pastikan jika nanti Ayah sudah tua dan mulai sakit-sakitan. Aku akan membiarkan Ayah mati kesepian di hari tua." ancamku pada Ayah. Mendengar itu Ayah menurunkan tangannya.
"Hebat sekali kamu Ipah mendidik anak perempuan mu menjadi sok jagoan dan anak laki-laki mu menjadi tukang pukul. Dan lebih parahnya lagi anak laki-laki mu ini memukul Ayah nya sendiri. Aku menyesal karena telah menikahi mu, ternyata benar apa yang di katakan Ibuku, bahwa menikahi perempuan kampung yang tidak berpendidikan itu akan menjadi malapetaka." ujar Ayah panjang lebar menghina Ibu.
"Jangan berbicara seperti itu pada Ibuku!. Mungkin saja dalam hati yang paling dalam justru Ibu yang menyesal telah menikah dengan laki-laki brengs*k macam Ayah. Seorang suami yang tidak bisa melindungi dan menjaga keluarganya sendiri." timpal Bayu, bahkan luka di wajahnya sama sekali tidak membuat dia kesakitan ketika berbicara setengah berteriak seperti itu.
"Kurang ajar, mulai besok tidak ada lagi uang jajan dan jatah makan untuk kalian. Kalian pikirkan saja sendiri bagaimana kalian bisa makan besok.!" ucap Ayah seraya masuk ke dalam kamar dan menutup nya dengan sangat kencang.
Aku, Ibu dan Bayu saling pandang dan terdiam sejenak.
"Bu, sebaiknya kita pergi saja dari sini. Aku rasa untuk tetap tinggal di rumah ini apalagi berdekatan dengan Nenek, itu bukan pilihan yang bagus, hidup kita pasti selamanya tidak akan pernah tenang." Aku mencoba memberi usul kepada Ibu untuk meninggalkan rumah ini dan lebih baik hidup mengontrak bersama.
"Ada satu hal besar yang harus Ibu pertahankan, Ibu harus bersabar sebentar lagi, yang harus kita pikirkan sekarang adalah bagaimana kita bisa bertahan hidup di rumah ini tanpa pemberian apapun dari Ayahmu." Jawab Ibu dengan kekeh ingin terus tinggal di rumah ini. Aku bingung dengan ucapan Ibu seperti ada satu hal yang Ibu sembunyikan dari ku dan juga Bayu.
"Aku tidak mau tinggal di sini kalau Ibu masih diam saja di tindas Ayah dan keluarganya. Aku lebih baik tinggal di kolong jembatan daripada melihat Ibu di tindas dan terluka hatinya." tolakku para Ibu, apalagi aku dan Bayu harus pergi sekolah. Jadi aku tidak bisa memantau Ibu 24 jam full.
"Ibu berjanji demi kalian. Ibu akan melawan Ayah dan keluarganya. Tapi kalian juga berjanji pada Ibu juga. Kalau kalian harus sekolah yang betul, jangan sampai karena masalah ini kalian jadi tidak fokus sekolah." sanggah Ibu berjanji pada kami.
"Aku berjanji, jika aku melihat progres Ibu berani melawan Ayah dan keluarganya, maka aku dan Bayu akan semangat bersekolah dan semangat mengejar cita-cita." ujar ku. Akhirnya kami bertiga pun berpelukan, lebih tepatnya aku dan Bayu yang memeluk Ibu.
"Oh iyah Bu, Sinta punya tabungan, tidak banyak sih. Tapi seperti nya cukup untuk di jadikan modal usaha." ujar ku memberitahu Ibu.
"Bayu juga punya tabungan kok Bu untuk tambah-tambah, tapi kira-kira usaha apa yah?." tanya Bayu pada kami.
"Ya ampun itu kan tabungan kalian, sebaiknya simpan saja. Ibu juga ada sedikit tabungan kok dari sisa uang pemberian Ayah kalian berikan." tolak Ibu menolak uang pemberian kami.
"Biar nggak banyak juga, Ibu jangan nolak yah!. Ini sebagai bukti bakti kami pada Ibu." Sahutku menyakinkan Ibu dan pada akhirnya walaupun ada sedikit perdebatan, Ibu pun setuju dan menggunakan uang tabungan kami.
Selanjutnya aku dan Bayu ke kamar masing-masing untuk mengambil celengan. Lalu kami kembali ke tengah rumah untuk menemui Ibu.
"Ayo Bayu kita pecahkan sama-sama supaya asyik." Bayu pun setuju lalu memecahkan celengan bersama.
Pyarrrrr
.
.
.
Bersambung....
"Wah beneran juga nih kak, jadi tambah banyak kayaknya kalau di satuin." ujar Bayu dengan mata berbinar.
Lalu kami bertiga menghitung uang dari dua celengan itu. Uangnya beraneka ragam ada yang merah muda, hijau, coklat bahkan beberapa lembar uang berwarna biru.
"Ini total semua nya ada empat juta. Ibu salut deh sama kalian. Kok kalian bisa sih nabung sebanyak ini?." Puji Ibu pada kami.
"Ini Bayu nabung nya dari smp kelas 1. Makannya banyak." Jawab Bayu dengan bangga.
"Maafkan Ibu yah suatu saat nanti pasti Ibu ganti uang kalian. Terima kasih karena kalian Ibu bisa kuat sampai saat ini, Ibu janji mulai sekarang Ibu tidak akan diam saja di perlakukan tidak baik oleh Ayah atau keluarganya." ucap Ibu dengan mata berkaca-kaca.
"Tidak apa-apa bu kami ikhlas kok membantu Ibu. Tidak usah Ibu pikirkan untuk mengganti uang kami. Yang penting uang kita gunakan sebaik mungkin untuk modal usaha. Bagaimana kalau kita jual gorengan aja Bu? soalnya rata-rata teman-temanku pada malas ke kantin jadi otomatis kalau kita jualan pasti laku." Aku memberikan usul kepada Ibu karena Ibu pandai membuat jajanan atau kue dan rasanya sangat enak.
"Oke, kalau begitu. Kapan kita mulai jualan?." tanya Ibu.
"Lebih cepat lebih baik Bu, Bayu juga mau bantu. Emang cuman kakak saja yang bisa bantuin Ibu, Bayu juga bisa!." ucapnya sombong.
"Huh ikutan aja." ejek ku.
"Udah-udah kalian anak-anak Ibu emang paling baik. Ibu sangat bangga memiliki anak seperti kalian." ucap Ibu sembari tersenyum.
"Bagaiman kalau mulai besok kita jualan nya bu? Sekarang kita list barang-barang kebutuhan yang akan kita buat." ucapku pada Ibu.
"Yah sudah baik nya gimana, Ibu ikut saja." Jawab Ibu.
Akhirnya aku dan Ibu berpikir apa yang akan kita jual dan kami buat untuk besok. Aku sangat senang bisa melihat Ibu tersenyum seperti ini. Semoga Ibu selalu sehat, panjang umur dan bisa terus tersenyum.
"Ya sudah sekarang kita belanja ke grosir, Bu. Aku panaskan dulu motor, Ibu siap-siap aja!." ucapku pada Ibu. Bayu sudah pergi entah kemana, mungkin kebelet kali karena dia tadi terburu-buru.
Aku berjalan ke teras rumah hendak memanaskan motor sambil menunggu Ibu bersiap-siap.
Setelah selesai Ibu keluar dari rumah, "Ayo Sin, kita belanja ke grosir depan!."
Aku dan Ibu pun belanja ke grosir yang tak jauh dari rumah kami, karena kebetulan rumah kami dekat dengan jalan raya, tinggal keluar kompleks sudah masuk jalan raya besar dan di sana banyak grosir dan jajan-jajanan.
Setelah sampai di grosir Aku membiarkan Ibu memilih dan membeli bahan-bahan yang di butuhkan, tidak butuh waktu lama Ibu sudah selesai membeli bahan untuk keperluan jualan besok karena sebelum nya Ibu sudah meng list bahan-bahan yang di butuhkan.
"Sudah selesai Bu?." tanyaku.
"Sudah, mungkin kamu nanti dua kali balikan soalnya barang yang Ibu beli sangat banyak. Ga papa kan, Nak?." tanya Ibu.
"Ngga papa Bu. Ini aku bawa ke rumah dulu yah?." tanyaku.
"Iyah." Jawab Ibu. Aku pun melajukan kendaraan roda dua untuk pulang ke rumah duluan. Barang-barang aku ikat di jok belakang dengan tali yang kebetulan aku bawa dari rumah.
Sepuluh menit aku tiba di rumah, kulihat Nenek melihatku di teras. Mungkin ia penasaran dengan apa yang aku bawa.
"Bawa apa kamu, Sin?." tanya Nenek.
"Kepo." jawabku berlalu membawa barang masuk ke dalam rumah.
Aku sekilas wajah Nenek tampak kesal, saat aku kembali ke depan dan hendak melajukan motor.
Nenek berseru "DASAR ANAK KURANG AJAR!, SINI KAMU!." teriaknya sambil memegang gagang sapu hendak menghampiriku.
Namun aku tidak memperdulikannya, kemudian melajukan motor dengan sangat kencang. Tepat saat Nenek mendekat, asap knalpot motor ku mengenai wajah Nenek. Aku hanya bisa tertawa di jalan.
Setibanya di grosir, Ibu berdiri menungguku lalu membawa sisa barang yang belum aku bawa.
"Ibu belikan makanan matang untuk kita bertiga, karena Ibu hari ini nggak masak." seru Ibu seraya naik ke boncengan.
"Iyah Bu."
.
.
.
Setibanya di rumah, sudah ada Nenek yang tampak marah ia berkacak pinggang melotot ke arah ku saat aku tiba di halaman rumah.
"Wah wah bisa-bisanya kalian belanja banyak seperti ini. Kalian harus menanggung semua biaya dokter yang telah saya keluarkan untuk pengobatan Adel. Kamu harus tanggung jawab Sinta!." sergah Nenek. Kulihat Tante Adel keluar rumah dengan wajah sebelah kiri di perban. Tante Adel menatap ku tajam tapi tidak berbicara apapun.
"Bu denger suara nenek-nenek nggak? kok ada suara nya nggak ada wujudnya? Apa mungkin demit yah yang mau keluar menjelang maghrib?. Lebih baik kita cepat masuk ke dalam Bu! takut sawan kayak orang di rumah sebelah." Aku sengaja mengejek Nenek agar darah tinggi nya kumat.
"Dasar anak edan, kamu pikir Nenek mu ini hantu?." Nenek berteriak-teriak tidak tahu malu. Aku dan Ibu cuek saja masuk ke dalam rumah.
"HEI IPAH, AJARI TUH ANAK MU BIAR SOPAN SAMA ORANG TUA!." teriak Nenek yang masih bisa ku dengar di dalam rumah.
Krieeet...
"Kalian habis dari mana? berbelanja? uang dari mana?." cerca Ayah dengan banyak pertanyaan saat kami sudah masuk ke dalam rumah. Ia sedang duduk kursi dengan bersidekap tangan di dada menatap Aku dan Ibu dengan wajah penuh penasaran.
"Yang pasti bukan uang Mu." cemoh ku.
Ayah sontak berdiri hendak menghampiriku namun dihalangi oleh Ibu.
"Anak kurang ajar!." teriak Ayah seraya menatapku tajam.
Aku pun membalas tatapan nya tanpa rasa takut.
"Sudahlah Ayah tidak ingin berdebat," ucapnya lalu ia duduk kembali.
Aku tersenyum penuh kemenangan. Sinta di lawan, aku mengalihkan pandangan ke arah Ibu. Ibu seperti berbicara padaku dengan nada pelan. "Sudah, cukup."
Baiklah mungkin sudah cukup, lain waktu aku pasti akan berdebat lagi dengan Ayah. Dan aku pastikan aku akan menang.
"Oh yah Ipah, buatkan aku makanan. Aku sedang ingin makan ikan bakar dan tumis kangkung. Cepetan buatkan nggak pake lama!" titah Ayah pada Ibu.
Aku kembali kesal dan gemas melihat Ayah yang selalu bersikap seenaknya pada Ibu.
"Tidak ada makanan untukmu, Mas. Orang hari ini kamu tidak memberiku uang belanja untukku."
"Ini nih yang bikin aku muak sama kamu, di pikiran kamu tuh uang, uang terus. Mending kamu minta uang bisa bikin kamu jadi cantik terawat, seperti Adel. Ini malah kucel udah kayak Babu." Aku terkejut mendengar hinaan Ayah untuk Ibu. Yang aku heran kenapa Ayah malah membawa-bawa Tante Adel, emang sih Tante Adel cantik terawat tapi bukan berarti Ayah bisa menghina Ibu seperti itu.
Saat aku ingin membalas ucapan Ayah, Ibu sudah lebih dulu berbicara.
"Kenapa kamu membanding-bandingkan ku dengan Adel. Ya jelas Adel bisa perawatan karena Zainal memberi uang padanya cukup banyak. Lah ini ngasih uang belanja aja pas-pasan belum untuk membayar sekolah anak-anak jadi jangan bandingkan dengan istri yang suaminya becus menjadi kepala rumah tangga." ucap Ibu dengan nada tegas tanpa takut kepada Ayah.
Aku salut dan cukup senang dengan perubahan dan tindakan Ibu. Ibu benar-benar menepati janji nya untuk melawan dan tidak diam saja saat di tindas oleh Ayah atau keluarganya.
.
.
.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!