NovelToon NovelToon

FATIMAH

Episode 1

"Fatimaaah..... kamu ngapain sih ngerem aja di kamar, gak tahu orang tua lagi sibuk, keluaaarr... molor aja kerjaan lo, berguna dikit kek jadi anak!" itu sarapan pagi Fatimah, cacian makian juga kata kata kasar yang selalu ia Terima setiap paginya, seakan sudah jadi biasa.

Perlahan Fatimah menyimpan mukena dan sajadahnya, lalu ia melangkah keluar dari kamar, di depan pintu nampak bu Rohana sedang berkacak pinggang matanya melotot kearah Fatimah.

"Bagus ya, enak enakkan di kamar kayak ayam lagi ngeram, sini kamu, nih kerjain, ingat cuci yang bersih kalo sudah selesai bersihkan seluruh rumah, ibu mau ke pasar dulu, besok mau ada tamu, awas kalo sampai ada yang kotor!" keranjang cucian di lemparkan ke arah Fatimah sambil terus ngomel tiada henti setelah capek sendiri kemudian pergi, sedangkan Fatimah gak pernah bicara atau melawan satu kata pun. ia hanya menjalankan perintah ibunya bagai robot.

Setelah semua pekerjaannya selesai, ia menghempaskan bokongnya di sebuah kursi yang ada di teras belakang rumahnya, saking lelah di pejamkan matanya, namun baru saja terpejam ia melonjak kaget ketika suara barang jatuh dan pecah terdengar dari arah dapur.

Pyaar

'Astaghfirullah!" Fatimah memegang dadanya, kemudian berlari menghampiri suara tadi, ia termangu ketika mendapati makanan berserakan dan pecahan piring berhamburan.

Fatimah segera membereskan kekacauan akibat kucing tetangga yang maling ikan.

Namun belum juga selesai kembali ia di kejutkan oleh teriakan ibunya.

"Fatimaaahh... dasar anak tak berguna, sudah ku bilang tadi, bereskan... bereskan semua nya ini malah di Berantakin, kamu sengaja ya biar aku tuh darah tinggi?" Bu Rohana menghampiri Fatimah yang sedang berjongkok mengambil pecahan piring kemudian menjewer telinga Fatimah sampai meringis.

"Cepat bereskan semua, dan ingat gak ada jatah makan buat kamu, ingat ini hukuman buat kamu yang sudah berani melawan!" Bu Rohana menempelkan telunjuknya ke kening Fatimah kemudian menoyor nya, membuat tubuh Fatimah mundur.

Seperti biasa, Fatimah tidak melawan bahkan tanpa berkata apa apa, hingga dapur kembali kinclong seperti sebelumnya, ia beranjak ke kamarnya yang bersebelahan dengan dapur.

Dan di kamar lah ia baru menangis, meratapi nasibnya, tangisan yang terpendam, ia menutupi mulutnya dengan bantal, karena tak ingin suara tangis nya sampai terdengar keluar.

Sementara di luar.

"Lo, Mima ke mana bu, kok gak ikutan makan?" Pak Suganda bertanya heran karna di meja makan gak melihat mima (panggilan untuk Fatimah). "Maya, panggilin adikmu sana!" perintahnya pada maya Panggilan untuk Maryam kakaknya mima.

"Sudah gak usah, dia sudah duluan makan tadi, tuh lihat saja, bahkan dia gak ingat sama kita ngabisin ikan gak bersisa." bu Rohana cepat menghalangi Maya, yang akhirnya duduk kembali.

"Masa sih, biasanya juga gak pernah mendahului kita." pak suganda seakan tak percaya akan perkataan istrinya.

"Ya sudah kalo gak percaya." bu Rohana menggedikan bahunya, lalu melanjutkan makan seakan tanpa beban.

"Oh ya, pak, besok jadi kan tamu nya datang?" mengalihkan obrolan tentang mima.

"InsyaAllah jadi, bu, kamu sudah belanja kan? ingat jangan sampai kita malu ya bu, soalnya mereka tuh orang yang selama ini berjasa sama kita, sajikan makanan yang special!"

Fatimah meringis sambil memegang perutnya yang terasa melilit, ia merasa lapar sebab dari pagi belum terisi makanan sedikitpun apalagi dia habis mengerjakan semua pekerjaan rumah yang telah ibu nya bebankan. Perlahan ia bangun tujuan nya mau ke dapur untuk mengambil makanan supaya ia terbebas dari rasa lapar.

Begitu sampai di dapur bukan makanan yang ia dapat kan tapi piring kotor yang bertumpuk bekas keluarga nya makan tadi dan belum ada yang mencuci, karena biasanya dia sendiri yang mengerjakan.

Fatimah mengabaikan semuanya, ia beranjak ke dekat lemari terus membukanya, kosong...

"Aduuhh... "dia semakin meringis, dibukanya lemari yang tergantung di atas kompor, mencari mie atau apapun yang bisa dia makan, sial gak ada apa pun beranjak ke kulkas, matanya berbinar melihat aneka makanan dan juga buah buahan, tangannya terulur hendak mengambil puding, namun terhenti ketika mendengar suara sang kakak menegurnya.

" Kamu lagi ngapain, awas kalo ngambil puding, itu punya ku buat nyuguhin temen temen yang sebentar lagi mau datang."

"Minta dikit ya, kak, aku lapar." Fatimah menatap kakak nya tatapan memelas.

"Enggak.. enak aja, minggir." maya mendorong tubuh Fatimah agar menjauh, lalu mengambil puding dan membawanya ke depan karena sudah terdengar beberapa temennya datang.

"Kak... aku lapar, dari tadi belum makan apa apa." Fatimah mengikuti kakaknya.

"Terus, aku peduli gitu.. BODO AMAT."

Fatimah hanya menatap kepergian kakaknya dengan tatapan sendu.

Fatimah masuk ke kamar dengan perasaan sedih, di ambilnya dompet yang tergeletak di atas meja, di bukanya hanya terdapat 2 lembar 5 ribuan, di ambilnya selembar kemudian kembali pergi menuju warung dan membeli mie instan lalapan pakcoy, lalu di masak.

"Wuuiiihh... enak banget ya jadi tuan putri, bangun makan trus tidur lagi." bu Rohana yang baru datang meletakkan belanjaan nya di atas meja lalu melotot ke arah Fatimah yang lagi makan mie. saking laparnya tak di gubris nya perkataan ibunya, ia tetap anteng memakan makanannya yang baru separuh nya, sampai terjengkat kaget ketika tangan ibunya dengan sengaja menumpahkan makanannya.

"Ibuu.. apa apaan sih." Fatimah segera berdiri karena kuah mie mengucur di atas pangkuan nya.

"kamu yang kenapa, sudah budek kamu, makan aja yang di gedein, tuh lihat piring kotor numpuk malah enak enakan makan,"

"Apa ibu bilang, aku enak enakan makan? gak salah, justru kalian yang seenaknya, makanan habis gak bersisa, aku kelaparan, lantas cucian bekas kalian makan aku yang harus kerjakan? apa apa aku yang kerjakan, masih bilang aku anak gak berguna, bu, dasar orang tua gak punya perasaan." Fatimah membalas tatapan tajam ibunya, sementara bu Rohana yang baru mendengar Fatimah melawannya replek melayang kan tamparan ke pipi mulus Fatimah.

"Berani kamu melawan ibu, hah!"

Plak tamparan kembali di layangkan ke pipi Fatimah, sehingga menimbulkan panas di kedua pipinya, lalu...

PRAAANG...

Fatimah membanting mangkuk ke atas lantai hingga hancur.

"KAMU..!" bu Rohana kembali melotot ke arah Fatimah, giginya bergemeluk menahan marah.

"Apa... mau nampar lagi? belum puas nyiksa aku, sok silahkan, bunuh aku sekalian, kalo cuma bikin aku kelaparan, aku masih bisa nahan, Sekarang bunuh aku bu... bunuuh!"

Fatimah meraih pisau dapur kemudian menyodorkan ke arah ibu nya, yang nampak tertegun.

Bu Rohana nampak shok, dengan teriakan Fatimah, yang biasanya diam aja walaupun ia perlakukan seenak jidatnya.

Suara barang yang di banting di tambah teriakan Fatimah membuat yang mendengar berlarian menghampiri ke arah dapur, termasuk pak Suganda yang saat itu sedang berada di belakang dekat kolam, ia nampak tertegun melihat putrinya sedang mengarahkan pisau ke arah ibunya.Buru buru ia mendekati anaknya.

"Istighfar nak, nyebut, apa yang kau lakuin." pak Suganda mencoba meminta pisau yang ada di tangan Fatimah, dia menyangka, bahwa Fatimah akan melukai istrinya, setelah pisau berpindah ke tangannya ia meletakkan kembali ke tempatnya.

"Nak, kamu kenapa sampai hilang kontrol begitu? ingat dia itu ibumu, dosa jika kamu berbuat sesuka mu apalagi berniat untuk menyakiti nya." Pak Suganda memegang bahu Fatimah lalu mendudukan nya di kursi yang tadi ia tempati.

"Tahu tuh, cari sensasi aja, lo." Maya menatap Fatimah sambil bergidik ngeri melihat tatapan tajam Fatimah, seumur umur baru kali ini dia melihat Fatimah marah. Sementara bu Rohana nampak masih shock.

"Minum bu," menyodorkan segelas air minum ke arah istrinya yang langsung di minum sampai tandas.

"Siapa yang mau bercerita, kenapa ni dapur sampai begini, kayak habis kena gempa!" untuk menghilangkan suasana tegang pak Suganda bercanda sambil memunguti pecahan mangkok yang banting sama mima.

"Pak, aku hanya ingin kalian jujur." lirih Fatimah berucap setelah beberapa saat sambil menatap ayah dan ibunya yang duduk di hadapannya.

"Tentang apa?"

"Sebenarnya aku anak siapa?"

EPISODE 2

🌺Happy Reading 🌺

Pak Suganda nampak kaget dengan pertanyaan yang Fatimah ajukan kepada dirinya.

"Apa maksudnya?"

"Ak--aku anak si--siapa pak?" Fatimah menatap sendu kearah pak suganda, sementara yang di tanya melongo.

"Kenapa kamu bertanya seperti itu?"

"Tolong jawab dengan jujur, pak, aku hanya ingin tahu orang tua kandungku yang sebenarnya, mima mohon!" Fatimah mengatupkan kedua tangan nya di dada memohon, sementara air mata nya terus mengalir membasahi pipi mulusnya tanpa mampu di bendung.

"Kenapa kamu punya pikiran seperti itu, tentu saja kami ini orang tua kandung mu." jawab pak Suganda.

"Aku gak percaya, pak, kalo memang aku anak kandung kalian tapi kenapa kalian tidak pernah menganggap aku seperti yang kalian lakukan terhadap kakak kakakku?"

"Eh Fatimah! maksud kamu apa?" bu Rohana melotot ke arah Fatimah.

"Sikap kalian yang harus aku pertanyakan, apakah aku anak kalian, atau aku hanya seorang anak yang keluar dari sebuah teko yg kalian usap lalu lahir aku, "

"Fatimah, kau memang lahir dari rahim ku, tapi kau anak yang tak pernah aku harapkan, kamu mau tahu alasannya apa?" bu Rohana menatap sinis Fatimah. "kamu anak perempuan dan aku menginginkan anak laki-laki."

"Kalau aku tak pernah kalian harapkan, lalu kenapa kau lahirkan, kenapa tidak kalian bunuh saja aku sejak aku masih bayi, atau saat aku dalam kandungan," Fatimah menatap kecewa sama bu Rohana.

"Itu salah satu penyesalan ku, kenapa tidak menyingkirkan kamu sejak dulu." dengan entengnya bu Rohana mengucapkan semua kata, dia tak peduli apakah ucapan nya sangat menyakitkan hati Fatimah.

Mendengar semua perkataan ibunya Fatimah memegang dadanya, ada rasa yang berdenyut dan sakit yang tak terkira, tanpa berkata lagi Fatimah pergi dari hadapan bu Rohana.

Sejak kejadian itu, Fatimah tak pernah lagi membantah apa yang di perintahkan oleh ibu dan kakaknya, tak peduli selelah apapun ia terus mengerjakan semua pekerjaan rumah dari mulai beberes memasak sampe mencuci ia kerjakan, di mulai dari saat ia bangun tidur sampai tidur lagi ia tak pernah merehatkan badannya, hingga suatu malam, tubuhnya terasa menggigil, Fatimah demam.

Sepanjang malam Fatimah tidak bisa tidur, suhu tubuhnya panas namun ia kedinginan.

hingga pagi menjelang, tubuhnya sudah tak kuat lagi untuk menahan segala rasa sakit yang menjalar, Fatimah gak kuat untuk bangun bahkan sekedar untuk membuka mata pun ia tak kuat, hingga gedoran di pintu kamar terdengar.

DOR... DOR.. DOR

"Fatimaaahh... bangun! keluar kamu--!"

Gedoran tak pernah berhenti di iringi cacian dan omelan bu Rohana sangat memekakkan telinga, tapi Fatimah tetap tak bergeming ia sungguh tak kuat untuk bangun. Sampai akhirnya suara pintu di dobrak.

"Kamu sudah mulai membantah lagi, heh... bangun, pemalas!" bu Rohana mengguncangkan tubuh Fatimah.

"Buu.. a-akuu sa-sak-it maafkan a-ku, bu... " dengan tersendat Fatimah berucap memohon dan memelas.

"Aku tak peduli, cepat bangun bersihkan rumah, lalu nyuci."

Air mata Fatimah mengucur deras, dengan terpaksa ia bangun karena tangannya di tarik dengan sangat kuat hingga terhuyung dan jatuh.

"Gak usah drama, lo lebay banget jadi orang," Maryam yang muncul dari arah kamar mandi mencibir kan bibirnya melihat Fatimah yang tergolek lemas di pintu kamar.

"Eehh... malah tiduran di situ, cepat bangun, bersihkan semua rumah, pemalas!" Bu Rohana mengguyur tubuh Fatimah dengan seember air yang ia ambil dari kamar mandi tadi, Fatimah yang sejak semalam demam tentu saja semakin menggigil, karena ia sudah tidak sanggup lagi untuk bangun akhirnya ia membiarkan tubuhnya semakin menggigil bahkan giginya sampai gemeletuk.

"Rasain, dasar manja!" Maryam lewat begitu saja sambil melangkahi tubuh Fatimah.

Kelakuan mereka sungguh sangat tidak manusiawi, bahkan mereka meninggalkan Fatimah yg meringkuk di depan kamar mandi, hingga gak berapa lama pak suganda datang, Ia heran melihat Fatimah meringkuk di depan kamar mandi dengan tubuh basah dan terlihat kedinginan.

"Mimah, kenapa tiduran di sini, bangun nak pindah ke kamar, ganti bajumu basah begini," pak suganda mengguncangkan tubuh Fatimah tapi sedikitpun gak ada respon dari Fatimah, tentu saja membuat pak suganda khawatir, dirabanya tubuh Fatimah trus ia tempelkan telapak tangannya di kening anaknya itu, ia terlonjak kaget.

"Astaghfirullah, kamu demam, nak, ayok bapak bantu ke kamar." pak suganda membopong tubuh Fatimah dan membawanya ke kamar.dibaringkan nya tubuh itu kemudian ia keluar sambil berteriak memanggil istri dan anak sulungnya.

"Bu.. ibu, Maryam.. "

"Ada apa sih pak teriak-teriak kayak di hutan," bu rohana datang.

"Kamu darimana saja, lihat tuh keadaan anakmu, ia demam sampei jatuh di depan kamar mandi, sana gantiin bajunya dulu, kasian basah begitu! aku mau nelpon mantri kesehatan dulu." pak suganda menunjuk kearah Fatimah yang sedang meringkuk kedinginan, dengan terpaksa bu Rohana melakukan perintah suaminya mengganti semua pakaian Fatimah yang basah karena guyuran air yg ia lakukan tadi sambil menggerutu.

"Kamu tuh nyusahin amat sih, jadi anak," setelah semua selesai ia pun keluar. Tak lama mantri kesehatan datang, langsung masuk ke kamar Fatimah diantar pak suganda.

"Mimah sakit apa, pak?" tanya pak suganda.

"Gak apa apa pak, ia hanya kelelahan dan telat makan aja, usahakan di suruh makan terus minum obatnya pak, dan istirahat yang cukup, takutnya nanti tubuhnya nge-drop." pak mantri memberikan sejumlah obat lalu beranjak dari duduknya. sambil menatap iba pada Fatimah. "Cepat sembuh ya, kamu anak yang kuat." ia menepuk lembut tangan Fatimah, lalu keluar.

"Bu, kasih makan Fatimah kalo perlu suapin, kasian, jika kamu keberatan suruh Maryam, kesampingkan dulu rasa bencimu." pak suganda menatap bu Rohana yang masih anteng di depan tivi gak menghiraukan perintah suaminya, sampai sampai pak suganda menggelengkan kepala melihat sikap istrinya yang notabene masih ibu kandung Fatimah.

"Bu... ibu dengar perintah bapak kan? lakukan atau aku akan panggil Halimah untuk mengurusnya kalo perlu sekalian Fatimah suruh di bawa ke rumahnya." Ucap tegas pak suganda.

Halimah adalah adik kandung pak suganda yang tak kunjung mendapatkan anak hingga kini, melihat perlakuan Rohana terhadap Fatimah seringkali ia berniat untuk meminta Fatimah untuk dia angkat menjadi anak, namun semua itu tak pernah ia dapatkan karena pak suganda tak pernah mengizinkannya, dengan alasan bahwa ia gak mau kehilangan salah satu anaknya, meskipun selama ini ia tahu perlakuan istrinya, bu Rohana yang gak pernah melakukan Fatimah dengan baik beda banget dengan Maryam semua keinginan nya pasti ia turuti.

Bu Rohana masih iam tak beranjak sedikitpun dari tempat duduknya, membuat pak suganda meradang.

"Apa aku minta Halimah aja buat bawa Fatimah dan mengurusnya, kasian disini pun ia tak pernah mendapatkan keadilan dan kasih sayang ibunya, tadinya aku berharap seiring berjalan nya waktu, Rohana akan berubah tapi ternyata... "

"huups.. " pak suganda menghirup napas panjang, setelah berpikir cukup lama dan melihat keadaan Fatimah ia pun meraih hpnya lalu memencet nomor adiknya meminta datang tak lupa mengabarkan keadaan anak keduanya Fatimah.

Satu jam kemudian Halimah dan suaminya

Rustam datang.

"Apa yang terjadi dengan Fatimah, kang?" tanyanya begitu masuk ke rumah kakak laki-laki satu satunya itu.

"Kamu lihat aja di kamar, dia sakit kalo kamu gak keberatan tolong urusi dia kasian." Ujar pak suganda sambil berjalan memasuki kamar Fatimah diikuti Halimah.

Melihat Fatimah tertidur sambil menggigil kedinginan membuat Halimah khawatir, ia lantas mendekat sambil mengulurkan tangannya memegang tubuh Fatimah, ia kaget begitu tangannya nempel di tubuh Fatimah yang seakan terbakar saking panasnya.

"Ya Alloh, sampai panas begini, sayang bangun ya kita ke rumah sakit, Bibi takut kamu kenapa napa, ayo kang bantuin!" ia melihat ke arang kakaknya lalu mengalihkan tatapannya ke suaminya, yang langsung sigap, sementara bi Halimah memasukkan beberapa pakaian Fatimah buat ganti lalu mereka keluar menuju mobil untuk membawa Fatimah ke rumah sakit.

Bu Rohana yang melihat semua itu gak ngomong apa apa bahkan cenderung cuek, seakan senang Fatimah ada yang membawa pergi dari rumahnya.

-

-

TBC....

Episode 3

      🌺Happy Reading🌺

Seminggu telah berlalu, dimana setelah dua hari di rawat di rumah sakit sakit, Halimah memutuskan untuk membawa keponakannya ke rumahnya dan dengan senang hati Fatimah pun mengiyakan nya, sebab ia tahu bahwa bibinya itu sangat menyayangi nya melebihi siapa pun termasuk kedua orang tuanya yang bahkan selama Fatimah dirawat tak pernah sekalipun mereka menengok bahkan untuk sekedar menanyakan keadaan Fatimah anaknya itu, sungguh mereka orang tua yang ajaib menurutnya.

"Bi, emang bibi gak keberatan kalo Fatimah terus tinggal di sini?" tanya Fatimah suatu hari ketika mereka sedang nonton sinetron, dan bibinya meminta ia tinggal selanya di rumah bibinya itu. "apa mamang juga mau menerima aku?"

"Keberatan gimana, apa selama ini kamu bibi gendong?" canda bi Halimah, ucapan nya itu sengaja biar Fatimah merasa terhibur, karena selama ini bi Halimah merasa sedih melihat Fatimah yang bahkan tak pernah melihatnya tersenyum, ia takut Fatimah psikisnya terganggu akibat perlakuan dari orang tua nya.

"Bibi dan mamang tuh menyayangimu, bibi ingin kamu menemani bibi disini, apa kamu gak kasian sama bibi yang selalu kesepian jika mamang lagi kerja, kamu mau ya, bibi janji akan menganggap kamu itu anak bibi sendiri, akan menyekolahkan kamu hingga semua keinginan mu tercapai." bi Halimah menggenggam tangan Fatimah sambil tersenyum penuh kehangatan kasih sayang membuat mata Fatimah berembun seketika.

"Stop sayang kamu jangan pernah menangis lagi, kecuali tangisan bahagia, anggap bibi ini ibumu, mulai sekarang panggil bibi mama dan papa untuk mamang mu," tangan bi Halimah terulur menghapus air mata yang mengucur deras dari mata Fatimah.

"Baiklah, terima kasih, ma.. " Fatimah menganggukan kepalanya sambil tersenyum. sementara bi Halimah tersenyum lebar sambil memeluk tubuh Fatimah yang kurus.

"Panggil mama sekali lagi sayang." bi Halimah memegang kedua bahu Fatimah dengan tatapan lembut nya.

"Mama.. aku sayang mama, dan papa, " Fatimah melirik Rustam, kemudian mereka kembali berpelukan.

Dan sejak hari itu Fatimah resmi menjadi anak angkat Halimah.

Pak Suganda yang semula keberatan akhirnya mengizinkan setelah ia di beri pengertian oleh Rustam.

Bahkan ia merasa senang melihat Fatimah kembali tersenyum ceria seperti ketika ia masih kecil, walau di sudut hatinya merasa tersentil, Fatimah tersenyum lepas ketika di luar rumah tapi kembali murung ketika di dalam rumah.

Sementara Ibu Rohana terkesan cuek malah terlihat senang dengan perginya Fatimah.

...****************...

Hari berganti waktu telah berlalu.

Sejak diangkat anak dan tinggal dengan bibi nya kehidupan Fatimah berubah drastis, tubuhnya yang semula tinggi kurus kini nampak berisi, aura kecantikan semakin terpancar, apalagi jika ia tersenyum manis, jangankan para kaum lelaki emak emak berdaster pun pesona dan jatuh hati pada sosok putih, yang selalu bersikap ramah dan rendah hati itu.

Fatimah kini sudah duduk di kelas 3 bahkan sebentar lagi akan lulus SMA. Selama ia tinggal terpisah dengan kedua orang tua dan saudaranya, ia hanya beberapa kali mampir ke rumah masa kecilnya bahkan tak pernah sekali pun menginap.

Seperti hari itu, ia sengaja datang karena ayahnya sakit dan minta bertemu dengannya, semula ia enggan untuk datang tapi karena nasihat mama nya ia akhirnya pergi juga dengan catatan, mama Halimah harus menemuinya.

Dan di sinilah sekarang Fatimah berada.

"Sudah enak ya sekarang hidupmu, sampai lupa siapa orang tuamu, " bu Rohana menatap sinis pada Fatimah yang sedang duduk di ruang keluarga dengan ayah dan bibi yang sekarang jadi mama nya.

"Maafkan aku, bu, aku lagi sibuk untuk menghadapi ujian yang sebentar lagi di laksanaka. " Ucap Fatimah sambil meremas kedua tangan nya, seakan takut dan gugup menghadapi ibunya itu.

"Sudahlah, bu, Fatimah baru datang, masih untung dia masih mau melihat keadaan kita. " Pak suganda cepat berucap ketika melihat Fatimah seakan tak enak hati mendengar perkataan ibunya.

"Halah... itu pasti karena hasutan kamu kan, Halimah, supaya Fatimah melupakan keluarga nya, dasar perempuan mandul,"

"Jaga ya mulutmu, gak perlu aku hasut pun, Eva tahu mana keluarga yang tulus menyayanginya dan mana yang hanya memanfaatkan tenaganya bahkan mendzolimi nya!" Halimah merasa tersinggung dengan ucapan kakak iparnya yang sangat pedas dan berusaha untuk memojokkan dirinya.

"Sudah... sudah... kalian kenapa sih, kalo ketemu pasti aja cek cok, kamu juga bu, aku memanggil Fatimah ke sini tuh, karena bapak kangen, karena semenjak ia tinggal dengan Halimah kita tuh gak pernah nengokin dia, dan tanya kabarnya, emang kamu gak merasa kangen sama anak kandung sendiri?" pak suganda berusaha untuk melerei percekcokan antara istri dan adiknya itu, sementara Fatimah hanya menunduk.

Bu Rohana terdiam, sebenarnya di dalam hati kecilnya juga merasakan rindu pada Fatimah, walau bagaimana pun ia merasa kehilangan tapi ia gengsi untuk mengakuinya.

Setelah berbasa basi, sore harinya Fatimah pamit mau pulang, pak suganda berusaha untuk menahannya dan menyuruh Fatimah untuk menginap barang semalam, namun dengan halus Fatimah menolak dengan alasan akan belajar untuk persiapan ujian.

"Maaf, pak lain kali mungkin saat selesai ujian aku nginap." ujar Fatimah sambil menyalami bapak dan mencium tangannya.

"Baiklah, maafkan bapak ya, nak, gak bisa menjadi ayah yang baik tidak bisa melindungi mu, " pak suganda dengan berat hati akhirnya melepaskan Fatimah dalam rengkuhannya, "jaga diri mu baik baik, nak!" ia mengusap lalu mendaratkan kecupan nya di kepala Fatimah yang tertutup hijab biru dongker. tak lupa ia menyisipkan sebuah amplop ke tangan Fatimah anaknya.

"I--ni apa, pak?" tanya Fatimah terkejut.

"Ini uang untuk membeli keperluan mu, jangan di tolak, karena kamu berhak menerimanya, maaf jika sedikit dan baru kali ini bapak bisa memberi mu, gunakan sebaik baiknya." pak suganda berbicara dengan perasaan yang teramat sakit jika mengingat penderitaan yang Fatimah alami dulu.

"Baiklah, pak, aku pulang dulu, semoga bapak sehat selalu." akhirnya Fatimah menerima uang tersebut lalu di masukinnya ke dalam tas. kemudian kembali memeluk ayahnya.

"Iya nak, Hati-hati di jalan! " ucapnya sambil tersenyum melepaskan kepergian anaknya.

Fatimah pun tak lupa pamitan sama ibunya.

"Bu, Fatimah pulang dulu, ibu jaga kesehatan." ia mencium tangan ibunya.

"Iyaa... " bu Rohana menjawab singkat, lalu ia beranjak ke dalam rumah, untuk menyembunyikan airmata yang mulai tergenang tanpa mampu ia tahan.

Sejak hari itu hubungan Fatimah dan keluarga nya mulai terjalin kembali, bu Rohana gak sejudes dulu, kalo Fatimah berkunjung ia juga suka ikutan nimbrung, bahkan anak anaknya yang sudah menikah dan hidup terpisah pun suka sengaja datang jika Fatimah berkunjung.

...****************...

Lima tahun kemudian.

hoeekk... hoeekk..

Perempuan muda dengan tubuh rampingnya telihat pucat sambil terus mengeluarkan isi perutnya, di kamar mandi sebuah perkantoran yg terletak di tengah kota.

"Eva, lo kenapa?" tanya seorang temannya.

"Gak tahu deh, Ra, perutku rasanya seperti diaduk begini, begah dan mual lagi." ucap perempuan yang di panggil Eva tadi.

"Apa jangan jangan kamu hamil, Va." ujar lira.

"Apa iya ya, seingat ku semenjak aku nikah, aku datang bulan tuh pas ijab kabul dan sampai sekarang belum dapat lagi." Eva atau Fatimah terlihat berpikir sambil kepalanya manggut manggut.

"Biar lebih pasti, gimana kalo ku antar untuk periksa ke rumah sakit, ayo!" beberapa saat setelah menjentikan jarinya lira langsung menyeret tangan Eva, dengan semangat..

"Eehh... nanti dulu, ini masih jam kerja, Ra, udahlah nanti aja." sahut Eva sambil menghentikan langkahnya.

"Alah, gampang masalah itu mah nanti aku izin, yang penting sekarang lo ikut dulu, biar gak penasaran."

"Kenapa lo yang bersemangat?"

Lira hanya cengengesan, tak urung membuat Eva pingin nguyel pipi lira yang chubby.

Dan disinilah mereka sekarang berada, di ruang tunggu klinik kesehatan milik dokter Mariana, dokter spesialis kandungan. Setelah mendapatkan no antrian mereka menunggu giliran.

"Ra, mau gimanapun hasilnya, lo jangan dulu kasih tahu siapa siapa ya." imbuh Eva.

"Kenapa?" tanya lira

"Pokoknya jangan aja, janji ya! " Eva menatap lira sambil mengatupkan kedua tangannya.

"Iya deh. " jawab lira pasrah membuat Eva tersenyum, tak lama suster memanggik namanya.

"Ibu Fatimah Az-Zahra! "

"Iya saya, Sus " Fatimah berdiri mendekati suster ditemani Lira sahabatnya.

"Silahkan duduk, bu, kita cek dulu tensinya ya, " sambil memeriksa Eva.

"120/90 tensi ya bagus bu," kemudian suster menanyakan usia dan nama suami Fatimah, menimbang berat badan juga mengukur lingkar lengan atas sambil menanyakan kapan terakhir mendapatkan haid, setelah di jawab secara rinci suster tersebut menyuruh menunggu beberapa saat sampai pasien yang ada di dalam ruangan dokter keluar.

Fatimah masuk ke ruangan dokter setelah suster membuka pintu dan mempersilahkan nya untuk masuk.

"Assalamu'alaikum, selamat siang, dok. "

"Waalaikum salam, silahkan duduk! " sahut dokter berkaca mata yang terlihat masih cantik walaupun tidak muda lagi.

"Terimakasih." Fatimah pun duduk diikuti lira yang masih setia menemani ya.

"Ada keluhan apa, bu? " dokter mariana mengangkat kepalanya sambil tersenyum ke arah Fatimah.

"Eeum.. ini dok, mau periksa, saya tuh suka mual dan pusing, apa kemungkinan saya hamil ya, dok. " jawab Fatimah.

"Sudah pernah di cek kapan terakhir haidnya,?

" Belum dok, ini saya hanya menduga-duga saja, soalnya akhir akhir ini bawaanya lemes dan mual, kalo terakhir haid tuh, eeuumm...tiga bulan yang lalu, dok, pas saya nikah dan sampei sekarang belum dapet lagi."

"Oalah... masih pengantin baru toh," dokter Mariana tersenyum kemudian mempersilahkan untuk berbaring di atas brankar di bantu suster.

"Maaf ya bu. " Ucap suster sambil menyingkapkan baju bagian atas yang Fatimah pakai kemudian mengoleskan jel yang terasa dingin di perut Fatimah.

Dokter menggeser sebuah alat di atas perutnya Fatimah yang telah di olesi jell tadi tak lama dia pun berucap.

"Alhamdulilah, ibu bener lagi hamil dan usianya sudah 8 minggu, ini kantung janinnya, " sambil menunjukkan sebuah benda sebesar kacang. "Ini baru trimester pertama, dijaga ya bu, sebab di usia begini masih rentan." ucapnya, kemudian menyuruh suster untuk membersihkan kembali perut Fatimah yang masih rata dari bekas jell tadi, setelah bersih suster itu membantu untuk turun dan duduk kembali di kursi yang hanya terhalang sebuah meja di hadapan dokter.

"Ada yang mau di tanyakan?" ucap dokter.

"Dok, apa ada makanan yang di larang atau apa gitu, "

"Untuk makanan gak ada pantrangan, bu, asal jangan berlebihan, dan untuk sementara kegiatan malam sama si bapaknya di kurangin dulu, ya, soalnya ini masih rentan ya bu, dan jangan terlalu capek istirahat yang cukup. itu saja sih." kemudian dokter tersebut memberikan resep vitamin dan penguat kandungan.

"Alhamdulillah Lira... aku berasa mimpi ini." Ucap Fatimah sambil memeluk sahabatnya, Lira begitu keluar dari ruangan dokter.

"Alhamdulillah.. selamat ya Eva, aku turut bahagia." Lira membalas pelukan Fatimah.

#Kayak teletubies aja 🤭

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!