Sudah satu bulan ini Dakota disibukkan oleh pekerjaan. Seharusnya semua bisa terasa lebih mudah karena menjadi sekretaris adalah keahliannya. Namun, sekarang profesi yang digeluti tidak nampak menyenangkan seperti dahulu. Kini ia selalu direpotkan oleh bosnya, harus pulang pergi selama enam jam karena atasannya berada di tempat yang jauh dari perusahaan.
Lihatlah betapa kusut wajah seorang Dakota Cynthia Higgins yang baru saja menghempaskan tubuh di kursi kerja. Padahal waktu sudah menunjukkan malam hari, tapi ia masih harus kembali ke kantor setelah menemui bosnya hanya untuk meminta tanda tangan pada dokumen penting.
"Argh ... aku benci pekerjaan ini!" teriak Dakota. Tangan dan kaki bergerak tak tentu arah. Dia hanya ingin meluapkan rasa kesal.
Jika tidak ingat butuh uang untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, mana mungkin Dakota bertahan dengan bos yang tidak mau mengalah. Atasannya sekarang sedang tinggal di sebuah desa yang waktu tempuhnya butuh enam jam.
Bayangkan kalau setiap kali butuh, harus ke sana, lalu kembali lagi ke kantor. Setengah hari sendiri dihabiskan untuk perjalanan. Apa lagi hanya bisa menggunakan transportasi darat saja.
Pekerjaan yang dahulu menyenangkan, sekarang justru menjadi petaka bagi Dakota. "Rasanya mau resign saja, tapi gajinya banyak," keluhnya kemudian.
Dilema bagi budak corporate seperti Dakota. Bertahan demi uang, tapi tidak tahan dengan bos yang toxic.
Ingin mencari pelarian agar pikiran lebih santai dan bisa kembali menjadi manusia normal. Tapi apa? Dakota bingung. Hidupnya terlalu dominan oleh pekerjaan, sampai lupa caranya menikmati masa muda.
Tepat sekali ketika Dakota berpikir, lamunannya dibuyarkan oleh dering ponsel. Membaca sekilas nama yang tertera di layar, barulah ia menekan logo bulat berwarna hijau, dan menempelkan alat komunikasi tersebut ke telinga. "Ya, Bel?"
"Mau ikut ke club malam?" tawar Bella, teman Dakota semasa kuliah.
"Badanku lelah sekali, dan masih di kantor." Dakota tak berbohong, buktinya dia dalam posisi bersandar di kursi sejak tadi.
"Kerja terus ... kaya tidak, tipes iya." Bella terdengar tertawa renyah. "Ayolah ... malam ini saja kita bersenang-senang, aku sedang ulang tahun. Jangan fokus memperkaya bosmu terus," bujuknya.
Dakota terdiam sebentar untuk berpikir. Tadi dia sedang bingung mencari cara menghilangkan penat, lalu sekarang diajak party di club malam. Mungkin dengan cara itu bisa membantu melupakan segala rasa kesal pada bosnya.
"Oke, aku akan datang," putus Dakota.
"Good girl, di Patt night club, ya."
Dakota mengangguk walau tidak mungkin ada yang bisa melihat. Dia lalu mengemasi barang-barang, dimasukkan ke dalam tote bag.
Padahal baru saja berkendara jauh, Dakota tetap nekat menyupir sendiri sampai ke tempat pesta. Langsung turun dan mencari meja yang tadi sudah diberi tahu oleh temannya melalui pesan.
"Sibuk sekali sekretaris satu ini, diajak pesta pun masih menggunakan pakaian kerja." Bella memeluk Dakota dan mengecup pipi kanan dan kiri temannya.
Dakota berdecak, lalu duduk di samping Bella. "Terpaksa." Dia meminta satu gelas kosong. "Isi penuh, tolong. Aku ingin malam ini tidak mengingat pekerjaan satu pun."
Bella menatap seolah tidak percaya. "Yakin? Biasanya juga pesan mocktail."
"Sudahlah ... aku sedang kesal dengan bosku. Jadi, biarkan malam ini mabuk sampai tak ingat lagi segala kesusahan yang ku alami."
"Baiklah, rupanya temanku sedang lelah dengan kehidupan sekretaris." Bella pun menuangkan minuman dengan kadar alkohol tinggi.
Dakota meneguk sekali. Berhenti sebentar karena merasakan panas di tenggorokan. Tapi, tetap dilanjutkan hingga gelas pertama habis.
"Wih ... sepertinya berat sekali masalah pekerjaanmu," ucap Ame, teman Bella.
"Hm ... aku benci sekali dengan bosku." Dakota meneguk lagi untuk kedua kali.
"Padahal bekerja di perusahaan keluarga Dominique adalah impian banyak orang. Tapi, setelah melihatmu begini, ku rasa sangat tertekan di sana." Bella menepuk punggung Dakota.
"Uangnya saja yang enak. Aku sudah memutuskan untuk menjadi anti keluarga Dominique, akan ku benci semua keturunannya tanpa terkecuali." Dakota mulai tipsy saat mengatakan itu. Tapi, memang berasal dari lubuk hati.
Tiga wanita itu pun terus minum tanpa henti, sembari berbincang. Lebih tepatnya Dakota yang banyak menghabiskan, meracau, dan bercerita tentang bagaimana beratnya hidup yang dijalani.
"Hari ini aku ulang tahun, kau mau memberikan aku hadiah yang lucu, tidak?" pinta Bella saat ia melihat seorang pria baru saja duduk di stool depan meja bar.
"Apa?" Dakota sudah sangat mabuk, bahkan melihat pun kabur. Kepala amat berat, rasanya ingin memejamkan mata. Dia bukan lagi Dakota yang bertingkah rasional, tapi berubah dari sifatnya ketika sedang dalam pengaruh alkohol.
Bella merangkul Dakota, lalu mengarahkan temannya itu untuk menatap pada pria yang tadi duduk di depan meja bar. "Kau goda dia, lalu ajak bercinta, jangan lupa foto supaya aku percaya."
"Oke, siapa takut." Dakota lekas berdiri sempoyongan.
Bella menyeringai puas, bahkan bisa bertambah senang kalau Dakota berhasil melakukan apa yang ia minta. "Bodohnya dia saat sedang mabuk, padahal pria itu salah satu keluarga Dominique yang katanya akan dibenci seluruh keturunannya." Ia tertawa terbahak-bahak ketika melihat tubuh temannya bergerak menuju sasaran.
Brennus Finlay Dominique baru saja menerima gelas pertama yang dipesan. Menikmati tegukan awal dengan penuh penghayatan supaya sensasi alkohol terserap secara maksimal. Dia memang sering datang ke Patt night club hanya untuk menikmati kebisingan dari musik yang begitu memekakkan telinga. Niatnya sebatas membuang rasa lelah ketika banyak masalah.
Seperti malam ini, Brennus baru saja bertengkar dengan kekasihnya. Hanya masalah sepele. Dia seharian sibuk dan lupa tidak menjemput di klinik kecantikan. Tapi, di mata wanita yang sudah menjalin hubungan dengannya sejak di bangku sekolah, hal itu adalah kesalahan fatal.
Paling anti dengan keributan yang terlalu berlebihan, maka Brennus memilih untuk menenangkan diri. Bahkan ia datang ke club malam memakai kaos dan celana pendek biasa, outfit yang lebih cocok digunakan untuk tidur.
Tidak ada teman yang diajak, Brennus rencananya hanya ingin menghabiskan beberapa gelas saja. Mendengar suara bising selalu berhasil membuatnya lebih relax.
"Satu lagi," pinta Brennus. Menyodorkan gelas yang sudah kosong.
Mata pria itu fokus pada cairan yang terjun ke dalam gelas secara perlahan. Memastikan diisi sesuai batas yang diinginkan.
Brennus seketika terhenyak kala merasakan ada seorang wanita yang mengusap pahanya. Mata pun melotot dan menelisik sosok itu dari atas sampai bawah.
"Kau sekretaris Aloysius, kan?" tanya Brennus. Tentu ia kenal wanita itu karena sering melihat dan bertemu jika sedang ada urusan dengan kembarannya.
"Diam ...." Dakota membekap mulut Brennus supaya tidak mengatakan kalimat tadi. "Jangan kau sebut nama bosku yang gila itu!" Dia mulai meracau, bisa dikatakan kewarasan telah dilahap habis oleh alkohol.
Brennus sedikit menarik pergelangan tangan Dakota supaya membiarkan ia bicara. "Kenapa?"
"Karena aku kesal dengan dia." Dakota memukul dada Brennus saat meluapkan segala amarah.
Kedua alis Brennus naik serempak. Seburuk itu sifat kembarannya dalam urusan pekerjaan, sampai membuat seorang sekretaris yang rajin dan cekatan pun frustasi.
"Aku bukan Aloysius. Jadi, jangan pukuli aku terus." Brennus berbisik di telinga Dakota agar terdengar karena harus berlomba oleh suara musik. Sejak tadi ia membiarkan dada merasakan hantaman yang tidak terlalu menyakitkan dari tangan kecil itu.
Dari marah-marah, Dakota kini berubah kilat menjadi tertawa seperti orang gila. "Oh ... sorry." Kepalanya sedikit menunduk sempoyongan.
"Ok, ada apa kau menghampiriku?" tanya Brennus. Meski orang yang diajak komunikasi tidak fokus menatapnya, tapi ia selalu menatap lawan bicara, siapapun.
Dakota tersenyum. Sangat tidak waras, nyaris menyerupai orang gila. "Aku mau menggodamu." Jemari membelai pipi dan dagu pria yang entah siapa, tak melihat jelas karena wajah sedikit kabur.
Kening Brennus mengerut dalam. "Kau mabuk berat, ya?" tebaknya kemudian. Ia menahan tangan Dakota yang mulai membelai tengkuk. Itu salah satu titik sensitifnya.
"Mabuk? Tidak, aku sangat kuat minum banyak." Dakota merubah posisi, dari berdiri di samping, sekarang di depan pria itu.
"Aku yakin kau mabuk." Brennus mendekatkan wajah untuk menghidu aroma alkohol dari bibir Dakota. "Pasti kau minum banyak."
Mata Brennus mengerjap ketika bibir merasakan dikecup oleh Dakota. Dia tidak menolak atau mendorong wanita itu karena terjadi hanya sekilas, tidak lebih dari tiga detik.
"Diamlah ... aku mau mulai menggodamu." Dakota melancarkan aksinya. Kedua telapak mulus memegang paha pria itu yang tidak tertutup kain. Dia membuka lebar dan mencondongkan tubuh hingga posisi sekarang mendempel pada tubuh Brennus.
Mata Brennus membulat ketika merasakan telapak tangan halus membelai paha. Gelenyar aneh perlahan menjalar dari pangkal paha. Ada sengatan listrik yang membangkitkan bulu-bulunya akibat ulah tak terduga Dakota.
Ludah biasanya begitu mudah tertelan, tapi kali ini sulit sekali dilakukan oleh Brennus. Dadanya mulai berdebar ketika ada bibir bergerak di lehernya. Memberikan sesap di sana, menggelitik dengan lidah hingga pikiran nyaris gila karena kini ia mulai terpengaruh oleh segala pancingan yang dilakukan oleh Dakota.
Sesaat Brennus terpedaya, terlena oleh sensasi nikmat walau sekadar percikan geli dan pemantik hasrat biasa. Tapi, ia teringat bahwa saat ini memiliki kekasih. Tidak boleh tergoda dengan wanita lain, sama saja berselingkuh kalau sampai terjadi.
Kedua tangan kekar Brennus berusaha mendorong pundak Dakota agar menjauh. Tidak dengan cara kasar, dia berusaha tak menyakiti wanita.
“Cukup, Dakota. Kau sedang mabuk.” Brennus menahan dua tangan wanita itu supaya tidak membelai kulitnya lagi.
Kepala Dakota menggeleng tak beraturan. Mata saja sudah tak fokus dan nampak sayu. Begitu masih mengatakan tidak mabuk. “Ayolah ... biarkan aku menggodamu. Sekali ini saja.” Ia meronta, meminta tangannya supaya dilepaskan.
Brennus tetap menolak walau wanita itu terang-terangan merayu. Dia masih cukup waras untuk tidak selingkuh, meski saat ini sedang bertengkar dengan kekasih.
Tiba-tiba suara tawa Dakota meledak bagai manusia yang tidak bisa mengendalikan diri. “Jangan bilang kalau ... ini—” Ia menunjuk bagian pangkal paha pria di hadapannya. “Kecil dan tidak bisa memuaskan, ya?” Terkikik geli penuh ejekan. “Pantas saja menolak, ternyata ukurannya seperti cacing,” selorohnya kemudian.
Tidak mungkin Brennus membiarkan wanita yang mabuk berat dan menggoda lelaki seperti itu. Meracau tidak jelas sampai mengejek miliknya yang bahkan belum pernah dilihat. “Untung pria itu adalah aku, masih waras untuk tak menyeret dan menyetubuhi langsung. Coba saja orang lain yang digoda, pasti sudah habis,” gumamnya.
“Bibirmu seksi saat bicara.” Dakota mengusap bagian wajah yang tadi diamati.
“Aku antar pulang saja, ya?” tawar Brennus dengan berbisik di telinga. Bisa saja ia pergi sendiri dan biarkan Dakota di sana. Tapi, tidak setega itu meninggalkan wanita mabuk yang kehilangan akal sehat. Bisa jadi ada pria jahat yang akan memanfaatkan Dakota.
“Oh, mau bermain di apartemenku? Ayo, boleh.” Dakota menarik pria itu agar bergerak menjauh dari bar.
“Sebentar, aku bayar dulu.” Dengan satu tangan, Brennus mengeluarkan dompet dari saku celana. Mengambil uang cash karena ia tak habis terlalu banyak.
“Ikuti aku.” Dakota berjalan mendahului. Sempoyongan sampai menabrak bahu orang-orang disekitar.
Brennus lekas menyusul dan reflek merangkul pinggul saat Dakota hendak jatuh karena dibalas tubruk oleh orang. “Hati-hati.”
“Wah ... superhero.” Dakota sambil memukul dada Brennus.
Brennus tak memedulikan pujian itu. “Di mana tasmu?”
“Sana.”
Brennus pun menuju meja yang ditunjuk oleh Dakota. Tidak ada satu orang pun di sana, hanya ada satu tas saja.
“Kau datang ke sini sendirian?” tanya Brennus. Mengambil totebag dan ia membawa tas wanita itu di tangan, tanpa ada rasa malu sedikit pun.
“Ada dua temanku.” Telunjuk dan jari tengah Dakota diangkat ke atas. “Lupakan saja mereka, yang penting malam ini aku akan menggodamu sebagai hadiah ulang tahun.”
Brennus membawa Dakota keluar. Memasukkan ke dalam mobilnya karena tidak mungkin membiarkan wanita itu berkendara sendiri. Waras saja tidak, nanti yang ada kecelakaan.
“Oke, Dakota, di mana apartemenmu?” Brennus siap memijak pedal gas, tapi ia tak tahu tempat tinggal wanita itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!