Malam nan temaram tanpa sinar sang rembulan bersambut suara derit asahan pedang yang begitu tajam. Lampu gantung trus bergoyang bermain ayunan memantulkan sinar kilauan. Tangan yang sibuk bergerak maju mundur menikmati kesunyian tak bertuan dari arah belakang.
"Bagaimana rasanya, pasti ngangenin. Iya kan?" Suara tanya nan sinis dari sang pemilik lengan kekar dengan perut buncit bergema di seluruh ruangan.
Gurat ketidaksabaran tanpa kasih sayang siap melayangkan kibasan kematian, tetapi tujuannya bukanlah merenggut nyawa. Rasa sakit yang sebenarnya bukan luka sayatan di tubuh manusia, melainkan penekanan emosi dengan kesadaran nyata. Ia hanya ingin mendengar kebenaran tanpa belenggu ilusi kenyataan.
Suara rintihan yang ingin ia dengar tak kunjung bergema menghadirkan rasa lelah tak berkesudahan. Apa sanderanya tak memahami arti derita? Ketika luka tak lagi bermakna, lalu bagaimana rasa takut datang menyapa.
"Apa yang sangat berarti untukmu?" Langkah kaki berjalan memutari meja tempatnya berada, lalu meletakkan senjata yang mengkilap kembali ke tempat semula. "Istrimu atau putri manis yang saat ini terlelap di pangkuan sang paman?"
Lagi-lagi terdengar suara tanya yang membuat si sandra hanya tertawa di dalam hati. Sorot matanya tajam tak berperasaan membawa semangat berkobar di dalam dada. Ia tak habis pikir dengan kesombongan pria yang berdiri di bawah lampu hanya karena berhasil menculiknya.
Apa pria itu bodoh? Sungguh tidak menyadari kesalahan terbesar dalam hidupnya adalah berani menyentuh keluarga seorang pemimpin mafia. Akan tetapi, membiarkan kesenangan lawan dianggap perbuatan baik. Sehingga biarlah mau berkata apa karena ia tak peduli.
Suara detak jarum jam kian terdengar jelas membelah kesunyian malam. Tak terasa kepergiannya sudah lebih dari lima belas menit. Perlahan memejamkan mata mencoba menikmati guyuran air panas dari arah belakang tanpa suara jerit penyiksaan.
Seulas senyum manis pemilik manik mata hazelnut menyapa menghangatkan rasa. Parasnya kan selalu menjadi kekuatan di dalam setiap luka yang tertera. Rindu kian menyapa membuai asa melepaskan emosi dari dalam dada, merengkuh kedamaian di setiap tarikan napasnya.
"Cobalah lebih keras lagi!" titah sang tawanan mengubah suasana.
Setelah menunggu begitu lama, tapi yang terdengar justru permintaan penyiksaan tambahan. Apa pria itu, sudah gila? Di luar sana tak seorangpun mau menikmati rasa sakit cambuk bersambut siraman air panas yang melepuhkan kulit dan sang tawanan mengharapkan hal sebaliknya. Benar-benar tidak waras.
Perih, panas, ngilu bercampur menjadi satu. Siksaan yang ia dapatkan hanyalah hasil dari luka hati yang patah. Sungguh tidak ada kata lain untuk menyadarkan seorang pria karena terbelenggu cinta buta. Semua orang pernah jatuh cinta, tetapi tak seorangpun akan mengharapkan duka dalam kisah cintanya.
Apa salah berkata mengenai kebenaran? Meski pada akhirnya yang tersisa hanyalah ketidakpercayaan. Lelah bukan karena rasa yang menyergap raga, tetapi penjelasan tanpa ujung kepastian. Entah sudah berapa kali, ia mengatakan tidak tahu keberadaan putri si pria di depan sana.
"Dasar pembohong!" bentak Tuan Manish menghempaskan vas dari atas meja.
Apa kejujuran bisa dipercaya? Pria itu tak mau mendengarkan, bahkan enggan mengerti tentang kenyataan yang ada. Kini yang tersisa hanyalah keegoisan hati dengan keras kepala seorang ayah. Jujur saja, sebagai sesama ayah dari seorang putri, maka ia tak memperdebatkan luka hati.
Namun, sebagai seorang pria pemilik kebenaran. Ia bisa menegakkan keadilan tanpa harus berpikir ulang, "Tuan Manish, putrimu itu, tidak bersamaku. Dia bersama kekasihnya!"
"Apa kau pikir, hidupku kurang bahagia? Istriku lebih sempurna dari putrimu, lalu untuk apa membuang waktu hanya karena Meyliza. Seorang gadis yang suka menggoda banyak pria," Tawanan itu, tanpa basi basi mengatakan kebenaran dari seorang gadis yang sebenarnya adalah teman sekampus sang istri.
Banyak orang yang bisa mengatakan fakta dari gadis itu karena terlalu sering menggoda beberapa pria seperti sebuah mainan saja. Meski begitu, Meyliza merupakan teman yang baik dengan arti kata lain. Seperti apa kepribadian si gadis, maka tak seorang pun berhak untuk berkomentar, tapi tindakan Tuan Manish dengan menculiknya. Tidak bisa dibenarkan.
Penjelasan yang terdengar sebagai tuduhan kian menyulut kemarahan di dalam dada. Bagaimana bisa, sang tawanan mengelak telah menyembunyikan putrinya? Ia bahkan melihat banyak foto pria itu terpajang di dinding kamar Meyliza bahkan bersambut tulisan aku mencintaimu Alkan Saputra.
"Kau!" Tuan Manish tak bisa lagi mendengarkan ocehan sang tawanan mengenai putrinya. Ia merasa pria itu hanya berusaha untuk mengelabui keyakinan seorang ayah.
Tidak ada lagi kesempatan yang bisa ia berikan. Tangan menarik pedang dengan tatapan mata tak mau diabaikan. Langkah kaki berjalan tanpa keraguan hingga mengalahkan suara detak jarum jam. Suasana kian mencekam hingga satu gerakan berayun siap menikam sang tawanan, tapi tiba-tiba terdengar dentuman keras dari arah belakang.
Derap langkah cepat dalam sekejap mengepung Tuan Manish hingga ia tak bisa bergerak. Senapan laras panjang menjadi pertemuan ketegangan dalam kemurkaan. Tatapan mata nyalang memburu kesadaran. Sebenarnya siapa sang tawanan di dalam ruangan itu? Mendadak buram berganti ia yang tertahan.
"Bos Altra, maafkan keterlambatan kami," ucap seorang ninja hitam seraya melepaskan ikatan tangan yang berani menahan sang tuan.
...****************...
😍Hay, reader's. Welcome again di Family keluarga Putra. Othoor kangen sama semua pemainnya, tapi novel kali ini, pusat cerita buat couple beda usia, ya.
Tangan terlepas tanpa jawaban akan keterlambatan para anak buahnya. Sebagai seorang pemimpin, ia tahu dan tidak membebankan semua kesalahan karena hal sepele. Meski begitu, kesadaran akan selalu menjadi alasan untuk mengingatkan akan waktu yang terbuang sia-sia.
Terbebas dari ikatan sang penahan hanya membuatnya merasa harus segera menyudahi ketidakadilan yang ada di depan mata. Apalagi rasa perih di punggung mulai tidak bisa dikendalikan. "Tuan Manish, coba ulangi niat hatimu untuk keluargaku!"
Suara dingin penuh tekanan bergema memecahkan keheningan malam. Dimana tubuh tegang akibat menikmati todongan senjata api dari semua orang. Tangan yang memegang pedang tak lagi bisa digerakkan, ia paham keadaan telah berbalik. Akan tetapi, bukan berarti ingin melepaskan pria yang telah menyembunyikan putrinya.
Gurat wajah tanpa senyuman, bibir bergetar menyatu bersama tatapan nanar berselimut ketakutan menjadi bukti kesendirian hingga membuat sang tuan Altra mengibaskan tangan karena merasa kasihan. Isyarat tangan yang membuat para ninja merenggangkan senjata melepaskan si tawanan.
Tindakan Altra hanya sekedar memberikan kesempatan agar seorang ayah memahami tengah berhadapan dengan siapa. Bukankah pria itu dalam keadaan terjebak? Dimana baik maju atau mundur akan tetap berakhir hukuman.
"Aku akan melakukan apapun agar putriku bisa kembali! Kau tidak pantas untuk dimaafkan," ucap Tuan Manish dengan kepalan tangan mengeratkan genggaman pedang yang ia pegang.
Seulas senyum tipis dengan tatapan mata tajam tak lagi mengharapkan belas kasihan. Sadar akan ketidakpahaman dari sang tawanan yang masih memberikan tuduhan padanya. Kini apa lagi yang ia tunggu?
Pandangan mata lurus ke depan bertarung menatap manis mata kesedihan. "Tuan Manish, apa kau tau masalah setiap ayah itu sama. Aku tidak akan memberikan perintah pada anak buahku untuk membunuhmu, tapi lihatlah hadiahku!'
Apa maksud dari pria itu, memang hadiah mana yang dibicarakan? Belum juga mencerna apa yang akan dilakukan oleh Altra tiba-tiba terdengar suara dentuman seperti benda dilempar tanpa rasa kasihan dari arah belakang. Sontak dirinya berbalik melihat apa yang terjadi. Mata terbelalak tak menyangka menatap diam tanpa kata.
Sesaat kesadarannya terhempas, lalu kembali datang ketika melihat lambaian tangan dari gadis yang menjadi hidupnya. "Meyliza!"
"Hola, Papa. Eh, ada Om Al," Mey yang dalam keadaan setengah polos berusaha berdiri, tetapi sayang tubuhnya limbung tak mampu menguasai diri sendiri. "Om Al, bantuin donk!"
Racauan Mey terdengar begitu manja, membuar Al jengah. Inilah sisi lain dari gadis yang menjadi teman sebangku dan sefakultas sang istri. Disaat lelah akan kehidupan saja, ia enggan menanggapi wanita di luar sana, apalagi dalam keadaan waras. Baginya, satu wanita sudah cukup agar bisa merangkai kehidupan sempurna.
Tangan terentang seraya memainkan mata menggoda pria yang sudah mencuri hatinya. Bibir tak mau diam mencoba tuk menunjukkan keseriusan. Kecupan jarak jauh menjadi pilihan menanti jawaban. Tindakan di tengah ketidak sadarannya, membuat sang papa terdiam tak mampu bersuara.
Apa yang terjadi dengan Meyliza? Ia merasa pasti ada yang telah menjebak putrinya. Ya, itu sudah pasti. Niat hati ingin membuat perhitungan, tapi tiba-tiba tubuhnya limbung hingga tersungkur ke depan akibat dorongan dari belakang.
Belum usai tersentak karena apa yang baru saja terjadi padanya, tiba-tiba tekanan datang dari arah belakang. Dimana terasa ujung runcing yang menusuk di punggungnya kembali merengkuh kesadaran akan sentuhan benda panjang. Diam tak berkutik menikmati perih menyiksa raga akibat hukuman.
Altra mengibaskan tangan, membiarkan para ninja untuk mundur dan tidak lagi mengekang sang tahanan. Pedang yang dipegang sang pemimpin ninja terpaksa dilepaskan tak bisa melawan perintah darinya, "Kau ingin menghukumku, tapi mereka siap memenggal kepalamu. Lemparkan bukti atas kesenangan putri terkasihnya, sekarang!"
Suara gelegar sang tuan bergema menambah ketegangan memeluk hawa dingin malam tanpa sentuhan. Tuan Manish tersudut tak bisa melakukan pemberontakan hingga selebaran kertas dari arah depan yang terbang berjatuhan memenuhi seluruh ruangan.
Lembaran kertas bertema romantik menghadirkan hasil jepretan terbaik dengan warna cerah menunjukkan banyak pose adegan di atas ranjang. Wajah familiar memenuhi pelupuk mata mencabik sisa kepercayaan dari dalam jiwa. Apa itu, Meyliza?
Beberapa foto lain menampilkan pose sang putri yang tengah menikmati kepulan asap putih dan ia yakin bahwa itu adalah obat-obatan. Apakah benar Meyliza menjadi pecandu? Tak kuasa menahan kebenaran yang tersaji, tapi hati enggan tuk mempercayai.
Tangan sibuk memungut beberapa selebaran foto yang mengotori pemandangan mata. Lalu, ia bangkit dengan sisa kepercayaan yang ada, "Semua ini, pasti ulah kalian 'kan? Ciih!Kalian mencoba menjatuhkan putriku? Dasar tak punya hati."
Tuduhan yang dilayangkan Tuan Manish tak akan mengubah fakta. Dimana Meyliza memanglah gadis yang hidup menikmati pergaulan bebas. Bukti yang diberikan hanya menjadi saksi atas pembalikan ketidakadilan yang terjadi pada Altra, tetapi bagi sang tawanan hanya ada kepalsuan.
Bukti yang diberikan justru menambah rumit keadaan karena hati seorang ayah menolak kebenaran tentang putrinya. Melihat itu, salah satu anak buah yang berdiri di depan gudang menarik tangan pemuda yang ada di sebelahnya. Lalu, mendorong pemuda itu hingga masuk ke dalam ruangan.
Tubuh jatuh tersungkur tanpa bisa melakukan perlawanan karena tangan dan kakinya terikat. Pemuda yang berpenampilan kacau memiliki tato ular di tangan kiri tak berkata-kata, lagi. Sebab ia masih trauma mengingat intimidasi yang dilakukan oleh para ninja terhadapnya.
Sekali lagi, perhatian Tuan Manish teralihkan. Tatapan mata kesal menatap si pemuda dengan wajah penuh lebam tanpa senyuman menghiasi wajah pucat dengan bercak merah di sudut bibir. Sebenarnya apa yang terjadi? Bingung melihat situasi semakin tak karuan tanpa penyelesaian.
"Ferron, kekasih sekaligus pemasok sabu-sabu yang menjebak putrimu," ucap Altra memperkenalkan pemuda itu dengan santainya.
Pernyataan Altra masih cukup jelas mengetuk gendang telinganya, tetapi hati tak menerima kebenaran itu hingga tatapan mata menyadari akan wajah si pemuda tampak tidak asing. Pandangan beralih menatap selembar kertas yang tergeletak di bawah kaki.
Wajah dari pemuda itu, kenapa sama persis dengan pria di foto yang tengah memeluk Meyliza? Apa mungkin Altra tidak bersalah? Ragu, bingung, kecewa dan marah bercampur menjadi satu. Bibir kelu tak sanggup berkata-kata dengan semua serangan bukti yang menampar kesadaran akan kenyataan.
Bagaimana caranya menyakinkan diri bahwa Meylieza adalah gadis baik. Hancur akan fakta yang menggulingkan rasa hingga sentuhan di pundak menyentak kesadaran. Aroma anyir menyeruak mengalihkan perhatian, tetapi tak sanggup menoleh ke arah belakang.
"Tuan Manish, semua bukti bukan untuk menunjukkan seberapa bebas pergaulan putrimu. Sebagai seorang ayah, jujur aku bisa melakukan kesalahan yang sama karena ingin melindungi anak sendiri. Aku tidak menyalahkan semua yang sudah terjadi, tapi coba renungkan sekali lagi!
"Seorang putri yang selalu tergoda pada pria di luar sana dan mengonsumsi obat-obatan. Apa kau pikir, aku memiliki waktu untuk mengurus semua itu? Tidak. Keluargaku lebih dari cukup menjadi kehidupan bahagia tanpa kekurangan suatu apapun.
"Seorang ayah memang mencintai anak-anaknya, tetapi ketika cinta itu berlebihan. Maka yang tersisa adalah ketidakbenaran. Tindakanmu dengan menculikku sudah di luar batas, bagaimana jika aku melaporkan perbuatan tak menyenangkan ini pada pihak berwajib?"
Kebenaran dan Fakta yang menjadi sebab serta akibat meredam amarah Altra. Dimana kini, ia hanya bisa menjadi seorang ayah untuk memahami duka dari ayah yang lain. Jika satu peluru bisa merenggut nyawa, maka usaha hati mampu mengetuk rasa yang terlupakan.
Apalagi, ia juga seorang ayah yang selalu memikirkan Almaira di setiap menghadapi kenakalan anak-anak lain. Termasuk menyikapi perbuatan Meyliza yang terkadang suka menggodanya ketika bertemu tanpa disengaja. Posisi sebagai ayah lebih diutamakan agar mencapai titik damai tanpa menyisakan dendam.
Sadar bahwa tindakan Tuan Manish melanggar hukum, ia ingin mengingatkan bahwa semarah apapun seorang ayah. Tetap tidak dibenarkan melakukan penculikan dan juga melayangkan tuduhan tak mendasar.
Al melepaskan tangannya dari pundak Tuan Manish. Lalu melangkah maju, "Kewajiban seorang ayah bukan hanya memberikan fasilitas, tapi membimbing putrinya ketika melakukan kesalahan. Bawalah putrimu pulang! Jika mungkin, masukkan dia ke pusat rehabilitasi. Selamat berjuang, Tuan Manish."
Penjelasan sekaligus pernyataan Al menyudahi malam tanpa kebahagiaan. Langkah kakinya berjalan meninggalkan gudang membiarkan para ninja menyelesaikan kekacauan tanpa perintah darinya. Rasa tak sabar datang menyapa ingin segera merengkuh cinta yang selama ini memberikan kekuatan agar tetap bertahan menjadi orang baik.
"Tuan, apa kita langsung pulang?" tanya si sopir begitu melihat tuannya masuk, lalu duduk menyandarkan tubuh ke belakang dengan mata mulai terpejam.
Apa gunanya bertanya ketika sudah tahu jawaban akhir yang akan didapatkan. Diamnya sang tuan menjadi awal perjalanan pulang. Suara deru dari kendaraan Maybach 62 yang merupakan jenis mobil limousine terdengar bagaikan dongeng. Mobil ini memiliki desain yang elegan dan mewah. Terlebih lagi didesain anti peluru, serta dibekali dengan mesin V12 AMG, sehingga mobil ini mampu mencapai kecepatan hingga 100 km/jam hanya dalam waktu 7 detik.
Keheningan yang melanda menghantarkan fokus tanpa batas menikmati perjalanan baru. Sementara di sisi lain, tatapan mata gusar dengan jantung berdebar kian terasa menguasai jiwa. Tangan tak hentinya menekan tombol on menghidupkan ponsel untuk kesekian kalinya.
Bingung, kesal bercampur rasa khawatir yang tidak bisa dijabarkan. Janji temu makan malam terabaikan tanpa ada penjelasan. Lagi-lagi hanya mendapatkan ketidakpastian dari orang terkasihnya, tetapi hati tak bisa berbohong. Ia hanya ingin sang suami selalu baik-baik saja meski seringkali merasa dikecewakan.
Rasa kantuk yang melanda tak mampu mengusik rasa gundah gulana dari dalam hatinya. Perlahan menghirup udara, lalu menghembuskan secara perlahan-lahan berharap mendapatkan sedikit ketenangan. Sayangnya ketidaksabaran menjadi alasan tak ingin melanjutkan penantian.
"Om, cepatlah pulang! Kami menunggumu dalam kesunyian malam," gumam si gadis pemilik mata hazelnut yang mengalihkan menoleh ke arah ranjang. Dimana malaikat kecil yang menjadi permata hati sudah terlelap dengan hangatnya dekapan boneka beruang.
Penantian itu, salah satu alasan di antara banyak alibi yang paling menjenuhkan. Akan tetapi, baginya setiap detik yang berlalu tak lagi untuk dipertanyakan. Hidup bagaikan sinar sang rembulan menerangi kegelapan malam.
Detik berganti menit menjadi waktu tak berkesudahan. Rasa lelah yang mendera menghempaskan kesadaran menyambut alam bawah sadar tanpa keinginan. Kegelapan yang tersisa menjadi akhir penantian hingga suara derit pintu tak lagi mampu mengalihkan perhatiannya.
Seulas senyum tipis dengan tatapan lembut terpatri memperhatikan wajah cantik yang terbaring di atas sofa. Sungguh ia sadar akan kesalahan yang sama karena selalu membuat istrinya menunggu di setiap pertemuan malam nan panjang, "Maafkan suamimu, ya. Pasti bosan selalu menunggu kepulangan suami yang sibuk seharian."
Malam kian menjelaga, membuatnya tak ingin mengusik waktu istirahat sang istri. Sehingga tanpa memindahkan tubuh yang terbaring menikmati lelapnya mimpi, ia hanya mengambil selimut untuk menyelimuti raga mungil istrinya. Lalu bergegas ke kamar mandi membersihkan diri.
Entah apa yang terjadi selama beberapa hari terakhir, ia rasa kehidupan tenangnya mulai terusik. Bukan karena masalah yang baru saja dihadapi, tetapi ada hal lain. Sungguh keraguan hati mulai menyadarkannya akan sesuatu yang salah hanya saja apa? Kenapa tidak ada petunjuk pasti.
Kekhawatiran yang menyergap memeluk hati tak mengubah rasa yang terus meronta bahkan guyuran dingin air shower tidak mengubah kekalutan di dalam benaknya. "Debaran ini," Al memegang dada menikmati detak jantung tak beraturan, "Sifani!'
Satu nama yang meluncur bebas tanpa ada keraguan seketika menyentak kesadaran Al.
Bayangkan seorang wanita dengan tubuh ideal, rambut hitam lurus sepinggang, bermata abu, bulu mata yang lentik, senyuman manis berhias lesung pipi datang menyapa. Tanpa diminta emosi hati beralih menikmati bayangan masa lalu yang membius menghempaskan rasa tak bertuan.
Biarlah angan menjadi akhir malam tanpa sisa harapan. Luka dan cinta hanyalah sekedar kata tanpa asa dari penghujung cerita. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu menghantarkan awal dari kehidupan tanpa rencana.
Sentuhan lembut jemari mungil memainkan wajahnya mengusik mengusir rasa kantuk yang tersisa. Perlahan membuka kelopak mata bersambut senyum manis nan menggemaskan dari gadis pemilik mata hitam bergaris coklat nan meneduhkan.
"Morning, Papa," ucap si gadis semakin mendekati wajah papanya, lalu membenamkan kecupan sayang yang mendarat di pipi sang papa.
Pagi yang cerah dengan kehangatan dari sang putri tercinta, "Morning too, Almaira. Dimana mommy?'
Satu pertanyaan dari papanya membuat Almaira menatap ke belakang di mana itu arah itu merupakan balkon sebagai tempat kebersamaan keluarga di setiap pagi dan malam mereka. Sepertinya sang istri tengah sibuk menata makanan diatas meja untuk sarapan. Rutinitas setiap hari tanpa ada paksaan.
Tak ingin membuat istrinya menunggu seperti semalam. Al beranjak dari ranjang, lalu merengkuh tubuh Almaira ke dalam gendongan, kemudian berjalan meninggalkan kenyamanan. Suara musik terdengar begitu pelan dari luar menjadi bukti keberadaan sang pemilik hati. Sentuhan lembut embusan angin menerpa wajah tampan.
Tiba-tiba Almaira menepuk dada menatap manik matanya bersambut kedipan mata seraya memberikan sekuntum bunga lily yang entah didapatkan dari mana. "Dariku untuk Papa, milik Mommy."
Tersenyum menawan tak kuasa menahan haru akan perhatian kecil yang selalu bermakna menyentuh relung hati terdalam. Gadisnya memperhatikan kesedihan seorang istri karena kesalahan sang suami. Almaira sungguh malaikat tak bersayap yang menjadi perekat hubungan rumah tangga kedua orang tuanya.
"Thank you, my sweetheart," Al mengecup kening Almaira dan dengan senang hati menerima bunga dari putrinya.
Setelah melakukan yang seharusnya. Gadis berusia tujuh tahun itu minta turun dari gendongan sang papa, "Mommy, Papa udah bangun, nih. Alma ke taman, ya! Bye bye, Pa, Mom."
Tanpa menunggu jawaban Almaira berlari meninggalkan balkon karena ia tak ingin mengganggu usaha sang papa untuk membujuk wanita tersayangnya. Kesedihan yang terpancar dari binar mata mommynya sejak ia bangun tidur sungguh menyiksa hati.
Derap langkah kaki sang putri kian terdengar semakin lirih, itu berarti gadis itu benar-benar pergi keluar dari kamar mereka. Hal itu membuat Al tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk berusaha meluluhkan hati istrinya yang saat ini berdiri diam di tempat membelakangi.
Lirikan mata terpaku pada bunga lily putih yang bisa menjadi penarik senyum manis menghiasi wajah wanitanya. Yah, itulah harapan yang kini menyertai langkah kaki berjalan menghampiri sang pemilik hati. Tidak ada keraguan tuk meminta maaf atas kesalahan semalam.
Niat hati ingin menyentuh pundak wanita yang berdiri di depannya tapi tiba-tiba sang istri melangkah maju menjauhkan diri, "Bunga!"
"Tidak sekarang, Om. Aku tidak ingin berdebat tentang apapun. Duduklah, kita sarapan bersama!" Bunga membalikkan piring, lalu mengambil roti bakar dari wadah khusus. Diletakkannya menu sarapan pagi serta ditambah secangkir kopi hitam kesukaan sang suami, tetapi pria yang diminta duduk masih diam tak mau menurut.
Sikap tegas dari Bunga dengan suara yang terdengar tak ingin dibantah membuat Al bingung karena sejak menikah dengan Bunga. Wanita itu selalu tenang, santai tanpa ada penekanan kata kecuali ketika ada sesuatu yang mengusik pikiran dan hati, hanya saja apa yang terjadi pada wanitanya? Ia sungguh tidak mengerti.
Putri semata wayang dari Bima dan Milea yang merupakan adik kandung Ka Bella, sang kakak ipar. Dimana gadis itu menjadi keponakannya juga, meski tanpa ikatan darah. Bunga selalu terlihat berbeda setiap kali dipengaruhi emosi hati yang membuat pikirannya ikut tak tenang.
Sekali lagi, debaran detak jantung yang semalam kembali datang menyudutkan harapan merenggut kesadaran menapaki kenyataan. Lagi-lagi bayangan itu datang, tetapi hati enggan mengasingkan diri. Terhanyut akan sekelebat kenangan yang menguasai emosi.
"Om! Apa kamu mendengarkan aku?" Bunga berbalik menatap wajah yang selalu menjadi raja di hati.
Akan tetapi yang ia lihat justru Al sedang melamun dengan tatapan mata kosong, bibir diam terkunci seraya tangan menggantung menggenggam bunga lily. Suaminya itu entah tengah memikirkan apa hingga tak mendengar perintah yang ia lontarkan. Rasa kesal berganti khawatir membuat ia menggoyangkan tubuh sang suami tetapi yang didapat hanya balasan senyum palsu tanpa emosi.
"Om, are you okay? Tell me!" Ditatapnya Al tanpa ingin mengakhiri pandangan mata yang semakin dalam karena hati mulai takut akan kebiasaan sang suami. Di mana suaminya selalu berusaha menyimpan masalah sendiri tanpa ingin berbagi.
Sentuhan tangan yang membuat tubuhnya terhuyung ke kanan, lalu ke kiri mengembalikan kesadaran bersambut tatapan mata khawatir dari sang istri, "I am okay, but ...,"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!