Sebuah kampung yang nyaman dengan udara yang masih terasa sejuk. Tepat di kaki Gunung Putri, kediaman rumah Kobar sang Paman, kedatangan tamu bermuka sangar. Tamu-tamu ini bukan datang untuk yang pertama kali, sudah berkali-kali dengan tujuan yang sama, menagih hutang yang ternyata sudah dibengkakkan menjadi 500juta dalam rentang setahun.
Hutang yang mulanya 10 juta, kini menjadi beratus kali lipat. Entah bagaimana perhitungannya? Sebenarnya sudah Kobar bayar di awal bulan tahun pertama dia meminjam uang. Akan tetapi, dengan alasan telat membayar sehari, hutang Kobar didenda dengan bunga yang besar. Bunga itu terus berjalan hingga sekarang.
Zila Arzila sang keponakan yang sudah tinggal dan dititipkan sejak usia dua tahun, 20 tahun yang lalu, kini ikut kena imbasnya. Terpaksa untuk membantu membayar hutangnya, Kobar mempekerjakan Zila di kafe remang-remang miliknya.
Kampung yang nyaman dengan udara yang sejuk itu, kini bagi Kobar dan Zila sudah tidak nyaman lagi sejak setahun yang lalu.
"Cepat bayar, kalau tidak dibayar hari ini, maka juragan Desta akan menaikan hutangmu menjadi 750 juta!" tegas Raga salah satu penagih hutang suruhan Juragan Desta dengan muka menyeringai kejam.
"Iya, cepatlah Kobar, kalau tidak, sebaiknya kau serahkan ponakanmu yang cantik itu untuk juragan kami supaya hutangmu lunas," timpal Ragi, si penagih yang satunya lagi dengan nada mengancam.
"Kalian itu jangan gegabah, aku tidak akan rela memberikan keponakanku pada juragan kalian yang serakah itu. Lagipula hutangku belum jatuh tempo, kenapa kalian ingin menaikan lagi hutangku?" sergah Kobar tidak senang.
"Jangan banyak bacot kau Kobar, kau bayar saja hutangmu itu! Kalau tidak, maka kami akan obrak-abrik usaha kafemu dan aku bawa keponakanmu menghadap juragan Desta," ancam Raga si penagih hutang, berang.
"Jangan mengancam terus kau Raga , Ragi, aku juga bisa melakukan hal yang sama dengan kalian, aku yang akan mengobrak-abrik usaha judi juraganmu yang meresahkan itu!" Kobar mengancam balik.
"Coba kalau berani, sebaliknya kau yang akan mati," ancam si Ragi sembari menggesekkan tangan di lehernya.
"Nih ambil! Kalian datang kemari di jam segini sengaja supaya hutangku jatuh tempo dan kalian akan bilang telat? Lalu dengan seenaknya juraganmu membengkakkan beratus kali lipat hutang itu? Kalian memang sangat culas dan serakah!" hardik Kobar seraya melempar uang itu ke tangan Raga si penagih hutang.
Setelah mereka mendapatkan uang itu, mereka pergi tanpa pamit dan kasar. Kobar yang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan seperti itu hanya bisa mengelus dada.
Zila, sang keponakan yang sejak tadi bersembunyi di balik pintu kamar menghampiri dengan muka yang kusut. Jelas saja dia mendengar semua ucapan dua penagih hutang berwajah sangat tadi.
"Paman, aku bosan hidup kaya gini terus, dikejar-kejar rentenir gara-gara hutang Paman yang membludak. Kapan Zila merasakan senangnya hidup? Lama-lama Zila jadi perawan tua, gara-gara tinggal sama duda lapuk kayak Paman!" omel Zila di depan pamannya kesal. Kobar sebagai sang paman sudah tidak sakit hati lagi dengan omongan ceplas-ceplos keponakan yang manja dan bawelnya itu. Baginya itu sudah biasa.
Lelaki 47 tahun itu menatap sedih ke arah sang ponakan. Walaupun sering ceplas-ceplos, Kobar begitu menyayangi Zila seperti dia menyayangi anak kandung, meskipun Kobar belum pernah memiliki seorang anak satupun.
Zila sudah yatim piatu sejak kecil, usianya dua tahun kala itu. Ayah ibunya meninggal dunia akibat keracunan umbi gadung. Entah bagaimana kronologis kematian kedua orang tua Zila, yang jelas pada saat itu kedua orang tua Zila meninggal di depan umbi gadung yang baru diangkat dari kukusan.
Berita kematian kedua orang tua Zila karena keracunan umbi gadung, menyebar dengan cepat dari mulut ke mulut dalam waktu yang sangat singkat. Akhirnya mau tidak mau, Kobar yang saat itu baru menikah satu tahun, dengan ikhlas merawat dan mengurus Zila dengan penuh kasih sayang. Zila di sekolahkan dan diawasi pergaulannya oleh Kobar.
Sebetulnya mendiang Ayah Zila memiliki harta yang lumayan saat itu, satu rumah mewah dan satu hektar kebun cengkeh. Namun karena ketamakan keluarga ayahnya Zila, tanah beserta rumah milik Haga, ayah Zila, jatuh ke tangan Haidar adik kandung Haga, begitu saja. Padahal kepemilikan tanah sudah sah dikantongi Haga dengan menunjukkan bukti sertifikat dari BPN.
Seminggu setelah meninggalnya kedua orang tua Zila kecil, Haidar tiba-tiba saja mengklaim bahwa tanah beserta rumah Haga adalah miliknya, dia menunjukkan sertifikat tanah yang sama dengan milik Haga. Kobar tidak habis pikir, kenapa bisa tanah milik iparnya diklaim menjadi milik orang lain, dan kenapa ada dua sertifikat yang sama dalam satu aset tanah dan bangunan itu? Dan milik Haga dinyatakan sertifikat palsu. Namun demikian Kobar meyakini punya Hagalah sertifikat yang asli. Sampai sekarang Kobar masih menyimpan sertifikat itu dengan rapi di dalam koper besi miliknya.
"Sudahlah Zi, bersabarlah. Sebaiknya siapkan dirimu untuk segera ke Kafe. Kita akan mencari lelaki kaya untuk kita jerat ke dalam sebuah pernikahan kemudian kita porotin uangnya untuk membayar hutang-hutang pada juragan Desta si rentenir tamak itu," hibur Kobar pada Zila sang keponakan.
Zila sebetulnya sudah muak dengan keadaannya. Ikut sang Paman sejak kecil bukannya hidupnya senang, melainkan harus ikut menanggung beban hutang sang Paman yang membludak pada rentenir. Terpaksa dia pontang-panting membantu mencari uang dengan bekerja di kafe remang-remang milik Kobar, dengan resiko dicap jelek oleh orang-orang bahwa Zila merupakan seorang penjaja cinta.
Nasi sudah jadi bubur, tudingan penjaja cinta sudah terlanjur melekat, akhirnya dengan terpaksa Zila menjalani pekerjaan ini demi hutang sang Paman dan demi balas budi karena sang Paman sudah membesarkannya sejak kecil. Dan Kobarpun harus menerima pil pahit. Karena mengurus Zila, Karlina istri yang baru genap setahun dinikahinya meminta cerai setalah dia tidak sanggup jika Kobar membagi kasih sayang dirinya dengan Zila sang keponakan.
"Ayo, Zi! Kafe malam ini akan kedatangan pria-pria kaya dari kota," ajak Kobar memberi semangat pada Zila yang hampir melehoy.
Zila dengan raut muka kesal memakai pakaian kerjanya. Rok pendek selutut dan atasan kemeja tanggung tangan pendek dan sedikit ketat selalu membalut tubuhnya.
Hari itupun Zila bekerja dengan hati yang dongkol. Orang-orang kaya dari kota yang dikatakan Kobar tadi, sungguh tidak mengundang selera untuk digoda atau dijeratnya menjadi suami. Walaupun Zila bermaksud menjerat seorang laki-laki untuk diajaknya menikah dan diporoti uangnya, tapi Zila tidak tertarik menjerat lelaki tua beruban dengan perut buncit.
Bagaimanapun juga Zila hanya mau menjerat lelaki dewasa yang usianya dibawah Kobar. Apa kata dunia jika dia menikah dengan lelaki tua, bisa-bisa dia disebut menikahi bapaknya? Gengsi jika harus mendengar cibiran sadis seperti itu.
"Gue duluan ya, Bi," pamit **Zila** pada **Bika** yang masih harus berkutat di kafe. Kalau tidak karena tiba-tiba badannya meriang, Zila tidak akan minta pulang lebih awal. Bika, partner kerjanya sesama pelayan di kafe Kobar terpaksa harus melayani tamu tanpa Zila, untungnya tamu sudah tidak terlalu rame. Memang sih pelayan kafe ini masih ada dua orang lagi, yaitu **Randa dan Randi**. Mereka berdua pelayan di kafe Kobar selain **Boy**, sang Bartender.
Sebelum meninggalkan mulut pintu kafe, Zila tidak lupa berpamitan pada Kobar, sang Paman. "Paman, aku pulang dulu ya, aku meriang dan tidak enak badan, sepertinya aku demam nih," lapor Zila berpamitan. **Kobar** yang masih sibuk dengan sebuah buku, menoleh dan menghentikan sejenak kegiatannya.
"Zi, kamu sakit, Nak?" ujar Kobar seraya berdiri dan meraba kening sang ponakan, rupanya betul Zila demam, keningnya panas. Kobar nampak khawatir, kemudian ia memerintahkan salah seorang penjaga kafe mengantar Zila sampai rumah yang memang tidak terlalu jauh dari kafe milik Kobar ini.
"**Darga**, antar ponakanku pulang, dia sedang demam saat ini!" perintah Kobar, namun Zila mencegahnya karena ia merasa masih kuat berjalan dan tidak ingin merepotkan penjaga di kafe Kobar.
"Tidak, Paman! Aku tidak perlu diantar, aku masih kuat dan bisa sendiri." Lagipula jarak kafe ke rumah hanya kurang lebih 500 meter. Bagi Zila itu jarak yang dekat dan dia terbiasa berjalan kaki.
"Tapi, Zi. Ini malam dan kamu sedang sakit. Paman takut kamu kenapa-kenapa," ucap Kobar was-was.
"Tidak apa-apa, Paman. Aku jalan sendiri berani kok. Jalanan menuju rumah kita jam sembilan ini masih rame dan tidak rawan. Jadi, Paman tidak usah khawatir. Paman santai saja di sini. Ok, aku pulang dulu ya. Aku mau istirahat di rumah." Zila segera berlalu dari hadapan sang Paman.
"Paman Darga, **Paman Dargi**, aku pulang dulu. Tolong jagain kafe paman Kobar ini dengan baik, supaya tidak ada pengacau masuk!" titah Zila tegas pada dua penjaga yang sudah sangat dekat dengannya.
"Apakah Non Zila perlu kami antar? Bang Kobar akan menyalahkan kami jika terjadi apa-apa pada Non Zila," ucap Darga khawatir.
"Aku tidak perlu diantar, lagipula aku ini pemberani. Sudahlah, aku pulang dulu." Zila segera berlalu, namun tanpa Zila sadari salah satu dari penjaga itu mengawasinya dari belakang. Walau bagaimanapun keponakan Bosnya itu lebih berharga dibanding kafe Kobar yang dijaganya.
Zila berjalan sedikit cepat, karena dia memang terbiasa jalan cepat, Zila bukan seorang anak manja yang jalannya pelan dan kolokan. Kehidupan keras tempaan sang Paman menjadikan dia sosok yang kuat dan kesannya liar.
Pertengahan jalan, tanpa Zila sadari. Di belakangnya sebuah motor melaju kencang, sepertinya akan menyerempet ke arahnya, motor sengaja dipepet ke samping kiri Zila dengan bunyi klakson yang memekakkan telinga.
"Teretetetetetttt blessss, cekitttttt," suara klakson dan bunyi rem bersentuhan dengan aspal jalanan, membuat Zila kaget setengah mati, hampir saja dia terjungkal. Untung saja tubuhnya hanya terduduk saking terkejutnya.
"Woyyy, sampah masyarakat baru pulang tuh!" ejek salah satu orang yang berada di boncengan pengemudi motor itu. Tidak asing lagi bagi Zila, dia **Nauri** anak Kepala Desa di kampung itu. Kebiasaannya memang sering mengganggu Zila dan mengejeknya habis-habisan.
"Baru pulang rupanya si sampah masyarakat, dapat berapa ronde tuh hari ini?" ejeknya lagi masih dari atas motor, sementara si pengemudi motor yang juga tidak asing bagi Zila adalah **Ridu**, pacar dari Nauri, asik memainkan gas motor sampai suaranya sangat bising.
"Kalian ini, dasar kurang kerjaan, pandainya mengganggu orang." Zila menggerutu sambil bangkit dari duduknya.
"Woyyy, sampah masyarakat, jangan sok-sok-an lu, kerja cuma melayani om-om di kafe saja bangga, jadi sampah masyarakat saja bangga," ejek Nauri sekali lagi dengan rasa benci.
Zila menatap berang pada dua orang di atas motor itu. Pandai mengatainya, padahal mereka sendiri tidak lebih dari sampah masyarakat yang bisanya cuma ganggu orang malam-malam dengan suara motor yang sangat bising.
"Kalian itu sampah masyarakat yang sebenarnya, dasar tukang bikin onar," tuding Zila melawan, seraya menepuk-nepuk celana jeansnya yang kotor kena debu jalan saat terduduk tadi.
"Huhhhh, berani melawan dia, dasar penjaja cinta!" ejek Nauri sembari menghempas tubuh Zila dengan tangan kirinya, sehingga untuk kedua kalinya Zila kini benar-benar terjerembab ambruk lagi. Sementara motor yang digeber nyaring itu melaju dengan cepat setelah melihat Zila jatuh. Suaranya yang nyaring membuat telinga Zila untuk beberapa saat seakan tuli.
"Dasar kalian, sialan!" umpat Zila kesal sambil meringis menahan sakit di sikunya yang tadi sempat beradu dengan aspal.
Saat Zila masih terduduk kesakitan, sebuah mobil mewah melaju dari arah berlawanan dan langsung berhenti tepat di depan Zila. Sementara Darga, penjaga kafe yang tadi sempat mengawasi Zila, baru muncul setelah Nauri dan Ridu sudah tidak ada. Darga mengawasi dari jarak beberapa meter, sebuah mobil menghampiri Zila yang tengah terduduk.
Dua orang lelaki berwajah tampan, bertubuh tegap dan atletis keluar dari mobil mewah itu, menghampiri Zila dengan khawatir. Wangi parfum dari tubuh keduanya semerbak dan langsung menyuruk ke lubang hidung Zila yang bangir. Sejenak Zila menikmati wangi parfum dua orang asing itu tanpa peduli keadaan dirinya.
"Maaf Mbak, apakah Mbak mengalami masalah? Mari kami bantu," ujar salah satu pria itu menawarkan bantuan. Zila tersadar dan seketika terpesona dengan wajah tampan dan tentunya mobil yang ditumpangi tiga lelaki itu, namun hanya dua orang yang turun.
"Tidak apa-apa Kak, saya hanya terjatuh karena diganggu preman jalanan yang tadi lewat," sahut Zila seraya berdiri dan sekilas menatap ke arah pria tampan yang berada di dalam mobil dengan takjub. Pria yang ditaksir usianya lebih dewasa dibanding dua pria yang keluar dari mobil itu, menatap tepat menusuk ke dalam kornea mata Zila. Untuk beberapa saat keduanya saling tatap.
"Apa perlu bantuan, rumahnya di mana Mbak? Biar kami antar," ujar si pria berkaca mata hitam berbaik hati menawarkan bantuan.
"Ah, tidak perlu Kak. Rumah saya sudah dekat kok." Zila menolak seraya membersihkan kembali celananya yang kotor.
"Syukurlah kalau tidak apa-apa," ujar lelaki tampan satunya lagi yang terlihat usianya lebih muda.
"Kalau begitu saya permisi. Rumah saya sudah dekat kok," pamit Zila seraya berjalan melewati samping pintu mobil yang diduduki pria yang masih di dalam mobil tersebut. Wangi parfum dari dalam sana tidak kalah wangi dibanding dengan dua orang lelaki yang keluar bermaksud menolongnya tadi. Sekali lagi tatapan mata Zila dan lelaki yang berada di dalam mobil itu saling bersitatap. Kemudian Zila beranjak, berjalan berlawanan arah dengan ketiga lelaki bermobil mewah dan berwajah tampan itu.
Saya tunggu likenya....
Mobil mewah itu tidak segera beranjak, lelaki tampan yang masih berada di dalam mobil itu keluar menghampiri dua orang temannya. Lalu dia sedikit membungkukkan tubuhnya meraih sesuatu di atas aspal tepat saat tubuh Zila jatuh tadi.
Sebuah topi bermotif bunga, sepertinya gadis yang mereka temui tadi ketinggalan topi yang sempat jatuh. "Bisa jadi petunjuk," gumannya sembari kembali ke mobil tanpa mempedulikan kedua temannya yang menatap heran.
"Kak Naga, sepertinya itu topi milik gadis muda tadi," ujar salah satu lelaki yang usianya lebih muda dari lelaki yang dipanggil Naga tadi.
"Benar sekali."
"Untuk apa Kak Naga menyimpannya?" heran lelaki muda tadi.
"Aku ingin menemuinya dan mengembalikan topi bunganya," ujarnya serius sembari meletakkan topi bunga itu di sampingnya.
Sejak melihat gadis yang sempat terjatuh tadi karena diganggu preman. Naga, begitu lelaki tampan ini dipanggil, merasa ada daya tarik saat bersitatap mata dengan gadis itu. Tatapan tajam tapi teduh itu sungguh mempesonanya. Sepertinya Naga menyimpan rasa tertarik pada gadis yang sempat bersitatap dengannya tadi.
"Kak, ada apa dengan gadis tadi, apakah Kakak menyukainya?" tanya lelaki muda tadi penasaran. Naga diam, menyiratkan bahwa pertanyaan lelaki muda di depannya itu benar. "Ada apa dengan Kakak, apakah Kakak sedang jatuh cinta dengan gadis kampung tadi?"
"Sya, putar balik!" titahnya pada lelaki yang juga tampan yang menyupiri mobil yang mereka tumpangi.
"Kita kemana, Bos?" tanya Hasya sang supir yang merupakan Pengawal pribadi sekaligus tangan kanan merangkap asisten pribadi Naga.
"Ikuti kemana gadis tadi pergi!" titahnya tidak bisa dibantah. Lelaki yang lebih muda dari Naga mengkerutkan keningnya heran. Sudah dua tahun Naga yang merupakan Kakak sepupunya itu menduda, setelah dia bercerai dari istri keduanya yang meninggalkannya dengan lelaki lain. Selama itulah Naga belum memperlihatkan lagi rasa sukanya pada perempuan selain hari ini. Setelah perceraiannya yang kedua, Naga sepertinya merasa trauma untuk menikah lagi terutama dengan seorang wanita dari kalangannya. Padahal kedua orng tuanya sudah sering memperkenalkan Naga dengan gadis-gadis sepadan dengannya.
Naga sudah sering menolak dijodohkan kembali untuk yang ketiga kalinya, kali ini Naga ingin mencari sendiri jodoh pilihannya, dan dia memang bermaksud mencari jodoh dari perempuan kalangan biasa. Dan sepertinya pertemuan tanpa sengaja dengan gadis yang dilihatnya tadi, membuat hatinya sedikit mencair dan hasrat ingin memiliki pasangan kembali mencuat di dalam hatinya.
"Apakah Kak Naga kini jatuh cinta kembali setelah dua tahun lamanya menduda?" goda lelaki muda sembari tertawa.
"Sepertinya aku tertarik untuk mengenalnya, Gi," ujarnya penuh misteri. Lelaki muda yang ternyata bernama Nagi itu merasa penasaran dan sulit percaya dengan apa yang dilihatnya, sebab Kakak sepupunya ini sempat merasa trauma untuk mengenal kembali seorang perempuan, padahal selama ini kedua orang tuanya, yakni Uwaknya Nagi sudah sering menjodohkan kembali Naga dengan seorang perempuan. Akan tetapi Naga menolaknya. Alasannya masih trauma..
"Bagaimana dengan Mbak Sila yang akan dijodohkan dengan Kakak, dia sudah percaya diri dan antusias dijodohkan dengan Kakak?" tanya Nagi mempertanyakan sikap Kakak sepupunya yang kini dijodohkan lagi oleh kedua orang tuanya.
"Aku tidak peduli, lagi pula aku tidak pernah menyetujui perjodohan itu. Paling perempuan itu sama saja dengan mantan-mantanku terdahulu, berpoya-poya kemudian saat ada kesempatan dia berselingkuh dengan lelaki lain di belakangku," ujar Naga mengenang kembali kronologis perpisahannya dengan kedua mantan istrinya yang meninggalkannya demi lelaki lain.
"Jadi sekarang Kakak ceritanya trauma untuk dijodohkan kembali?"
"Bukan saja dijodohkan, tapi aku trauma mengenal wanita sok kelas atas. Sekarang aku akan mencari perempuan sederhana yang dipastikan tidak akan berkhianat dan tentunya setia, tidak hanya mencintai hartaku saja lalu poya-poya kemudian lari dengan lelaki lain," ujarnya terdengar emosional. Bagaimana tidak, dua kali pernikahannya adalah perjodohan kedua orangtuanya yang berharap dari perjodohan itu terjalin kerjasama bisnis yang lebih kuat. Alih-alih kerjasama bisnis, perempuan yang dijodohkan rupanya tidak tulus mencintainya. Mereka hanya menginginkan hartanya saja.
"Sekarang aku saatnya mencari sendiri, jodoh pilihanku sendiri. Dan aku akan mencari perempuan sederhana, atau kalau perlu dari kampung seperti apa katamu tadi," tandasnya berapi-api.
"Sya, kejar gadis tadi," titahnya dan tidak bisa dibantah. Hasya sang Asisten patuh tidak berani membantah,lalu memutar balik mobil mewahnya menyusul gadis tadi yang ditemuinya terduduk di jalan.
"Kak, perempuan sederhana apalagi dari kampung tidak jaminan juga mereka setia. Kehidupan yang sederhana justru mendorong mereka akan tamak jika dihadapkan bertemu dengan pria kaya seperti kita," timpal Nagi memberikan kesimpulan yang bagi Naga salah.
"Tidak perlu menyimpulkan terlalu cepat dan salah. Tentang perempuan muda tadi, aku rasa aku tidak salah jika mengenalnya lebih jauh. Atau kalau perlu aku segera mengajaknya ke pelaminan supaya Mama dan Papa tidak memaksa aku menikah dengan Sila," tandasnya membuat Nagi dan Hasya sang asisten terbelalak. Bagi mereka Naga terlalu cepat mengambil keputusan.
"Sya, jangan sampai lolos gadis tadi." Naga mengalihkan pandangan ke depan mencari keberadaan gadis yang dilihatnya tadi. Namun tidak ada, sepertinya gadis tadi sudah menghilang di balik rumah-rumah warga kampung Sukaseuri ini.
"Ahhhh, sialan. Hilang dia," ujar Naga kecewa.
"Tenang Bos, jangan kesal dan kecewa dulu. Sebaiknya kita cari petunjuk, bukankah Bos memiliki topi bunga gadis tadi? Coba Bos perhatikan, jangan-jangan di topi itu ada sebuah petunjuk." Hasya mengalihkan rasa kecewa Naga dengan mengingatkan Naga pada topi bunga milik gadis tadi. Naga sepertinya baru ingat akan topi itu, lalu dia meraih topi bunga tadi dan mencari tahu siapa tahu ada petunjuk dari topi itu.
Naga membulak-balikkan topi bermotif bunga itu dengan rasa penasaran yang tinggi. Sepertinya nasib baik tengah berpihak pada Naga, saat dia membalikkan topi rupanya petunjuk nyata ada di sana. Sebuah nama tertera di sana disulam dengan benang biasa.
"Zila Arzilla, nama yang bagus," gumannya sembari tersenyum.
"Sya, tanyakan pada orang yang masih di luar rumah itu, nama gadis yang tersulam di topi bunga ini," titah Naga seraya memperlihatkan topi bunga yang ada nama gadis itu.
"Zila Arzilla," guman Hasya seraya menepikan mobil mewah itu di pinggir jalan, lalu turun mendekati salah satu halaman rumah warga yang kebetulan orangnya masih berada di luar merapikan dagangannya.
"Permisi, Bu. Maaf, saya mau numpang tanya," sapa Hasya sopan. Wanita dewasa yang diperkirakan berumur 38 tahun itu menghentikan sejenak aktifitasnya lalu menatap pada lelaki muda di bawahumurnya dengan tatapan herab sekaligus takjub.
"Iya, ada apa ya, Mas?" tanya perempuan dewasa itu heran.
"Saya mau bertanya tentang gadis yang bernama Zila Arzilla, apakah ...."
"Ohhhh, Zila? Tentu saja saya kenal dia tetangga sebelah rumah saya. Kebetulan rumahnya tidak jauh. Halaman rumah yang agak luas itu, rumah yang bercat merah jambu menghadap ke jalan itu rumahnya. Dia tinggal bersama duda lapuk bernama Kang Kobar," jelasnya membuat Hasya menyunggingkan senyum.
"Begitu, ya, Bu? Wahhh, kalau begitu terimakasih atas informasinya." Hasya berlalu dari perempuan yang ditanyainya tadi, kemudian kembali menghampiri mobil mewah milik Naga sang Bos. Perempuan tadi yang ditanyai Hasya menatap kepergian Hasya dengan tanya di dadanya.
"Kenapa pemuda tampan tadi menanyakan nama Zila? Apakah dia pacar Zila?" benaknya sembari masih menatap kepergian Hasya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!