Suara sirine mobil polisi dan ambulans meraung bersamaan memecah keheningan malam yang dipeluk oleh rintik air hujan. Dua kuda besi itu melaju kencang membelah jalanan untuk bisa segera tiba di tempat tujuan. Dari kencangnya laju dua kendaraan itu dan juga raungan sirinenya, seakan menjadi tanda bahwa telah terjadi sebuah peristiwa besar di kota ini. Seakan berpacu dengan waktu, dua kendaraan itu harus cepat-cepat untuk tiba di tempat yang dituju.
"Pemirsa, telah terjadi pembunuhan sadis di hotel Petir Menggelegar, tepatnya di kamar Angin Ribut Nomor 808. Penemuan mayat berjenis kelamin laki-laki dengan inisial AH ini membuat gempar para pengunjung hotel lainnya. Mayat yang pertama kali ditemukan oleh Guntur yang merupakan room service hotel terlihat sangat mengenaskan. Di mana tubuhnya dipotong-potong menjadi sebelas bagian dan berserakan di kamar mandi.
Petugas kepolisian yang baru saja tiba di tempat kejadian perkara mulai menyusuri setiap sudut tempat. Mencoba mencari jejak-jejak pelaku yang mungkin masih tertinggal. Sampai berita ini disiarkan, belum diketahui siapa pelaku dan motif dari kasus pembunuhan ini."
Seorang reporter salah satu kanal berita, menyiarkan secara langsung penemuan mayat lelaki berinisial AH di salah satu hotel yang berada di pusat kota. Suasana hotel ini mulai ramai dengan warga yang berbondong-bondong ingin melihat kasus pembunuhan ini secara langsung.
Beberapa petugas kepolisian mulai menyusuri setiap sudut area, mencoba mencari jejak-jejak yang tertinggal. Fokus mereka langsung tertuju pada CCTV koridor hotel yang mana mereka yakini masih ada rekaman siapa saja yang berlalu lalang di tempat kejadian.
Sedangkan sebagian petugas kepolisian lainnya dan beberapa petugas medis mulai memasukkan potongan-potongan tubuh mayat inisial AH ini ke dalam kantong jenazah, yang kemudian akan dibawa ke rumah sakit untuk di autopsi.
Selang beberapa saat, para petugas kepolisian itu memasang police line di tempat kejadian perkara. Setelah mengantongi satu petunjuk berupa rekaman CCTV hotel, mereka berencana kembali ke kantor untuk menganalisa kasus pembunuhan ini.
"Pak, apakah sudah ada petunjuk yang dikantongi tentang siapa yang terlibat dalam kasus pembunuhan ini?" tanya seorang reporter berita kepada salah satu petugas kepolisian.
"Untuk petunjuk, tim kami fokus pada CCTV hotel mengingat tidak ada satupun jejak yang ditinggalkan di tempat kejadian perkara. Kami akan dalami kasus ini secara detail. Tentang siapa sebenarnya sosok lelaki dengan inisial AH ini dan motif apa yang ada di balik kejadian pembunuhan ini."
"Lantas, kira-kira motif apa yang melatarbelakangi terjadinya kasus pembunuhan ini?"
"Untuk motif pelaku, belum bisa kami pastikan. Kami harus menggali informasi terlebih dahulu tentang orang-orang yang berada di sekitar korban. Namun untuk sementara, kami bisa sedikit menyimpulkan bahwa motif pembunuhan ini adalah dendam pribadi."
"Perkiraan, mayat itu sudah berapa hari ada di dalam kamar 808 itu Pak?"
"Perkiraan kami sudah lebih dari tiga hari karena mayat sudah mengeluarkan bau yang sangat menyengat."
"Lalu, untuk pelaku sendiri, apakah mungkin saat ini dia melarikan diri?"
"Tentu. Sudah tentu ia melarikan diri. Oleh karena itu kami analisa dulu melalui rekaman CCTV hotel. Setelah itu nanti akan kami rilis dan kami siarkan ke media untuk memburu pelaku yang saat ini kami pastikan mencoba untuk melarikan diri."
"Terima kasih banyak untuk laporannya Pak, selamat bekerja kembali!"
Beberapa petugas kepolisian mulai melangkah meninggalkan tempat kejadian perkara. Mereka harus bergerak cepat untuk bisa segera menangkap siapa pelaku pembunuhan ini.
"Demikian pemirsa berita yang dapat saya laporkan langsung dari Hotel Petir Menggelegar. Untuk kabar selanjutnya, kita tunggu pihak kepolisian merilis wajah pelaku yang nantinya akan kami siarkan secara langsung. Saya, Sonya Kalisa, mengucapkan terima kasih dan sampai jumpa!"
****
Dengan napas terengah-engah seorang laki-laki berlari menyusuri jalanan yang nampak sepi dan lengang. Tubuh yang terasa lemah, kepala yang terasa pening dan juga langkah yang terasa berat, ia paksa untuk menembus pekat malam ini.
Rembulan memilih bersembunyi di balik awan, sehingga hanya ada suasana temaram yang mendominasi. Hembusan angin kencang juga menyelinap masuk melalui pori-pori kulit sampai terasa menusuk tulang.
Tak lagi kuat untuk melawan rasa lelah setelah beberapa jam berlari, lelaki itu pun memilih untuk memasuki area SPBU 24 jam di mana terlihat truk-truk besar yang berhenti di sana. Biasanya para sopir truk itu beristirahat di SPBU sekaligus menunggu pengisian bio solar yang saat ini mulai dibatasi penggunaan serta distribusinya. Demi menunggu jatah pengisian bio solar, sampai membuat para sopir truk rela untuk menunggu lama di SPBU.
Lelaki itu memilih memasuki toilet untuk sekedar buang air kecil sekaligus untuk memikirkan bagaimana ke depannya. Apa yang harus ia tempuh untuk tetap membuatnya aman dari kejaran polisi. Ia memaksakan diri untuk terus berpikir meskipun raut wajahnya menampilkan ekspresi penuh ke-frustrasian.
"Bukan, bukan aku yang membunuh Andrew. Bukan aku!" teriak lelaki itu sembari mengacak rambutnya kasar.
Pandangan lelaki itu nyalang ke langit-langit kamar mandi seakan begitu kalut akan apa yang harus ia lakukan saat ini.
"Aku harus segera pergi dari kota ini. Sudah pasti aku yang akan diburu polisi karena mungkin rekaman CCTV hotel menampilkan wajahku," monolognya lirih.
Lelaki itu beranjak setelah selesai dengan hajatnya. Ia keluar dari dalam toilet dan berjalan mendekat ke arah salah satu truk pengangkut barang dan seketika muncul sebuah ide di benaknya.
"Aku harus bisa menyusup ke dalam bak truk ini. Akan aku ikuti kemana truk ini melaju. Aku yakin truk ini akan membawaku ke tempat yang aman."
Lelaki itu mengedarkan pandangannya ke arah sekitar. Terlihat suasana begitu sepi dan justru situasi seperti ini yang menguntungkan bagi lelaki itu. Tak ingin membuang banyak waktu, lelaki itupun mulai memanjat bak truk dan kemudian masuk ke dalamnya.
Hap!
Lelaki itu berhasil masuk ke dalam bak truk di mana berisikan kayu-kayu gelondongan. Ia kemudian mengambil posisi di sudut yang masih terlihat sedikit longgar. Lelaki itu meringkuk untuk mengistirahatkan tubuhnya yang terasa begitu lelah tiada terkira.
Badan truk sedikit bergetar dan diiringi oleh deru suara mesin yang terdengar di telinga. Perlahan, truk yang ditumpanginya ini berjalan dan segera meninggalkan area SPBU. Ia menghela napas dalam dan perlahan ia hembuskan. Ada kegetiran yang bersembunyi di sudut hatinya.
"Seharusnya dalam keadaan seperti ini, papa dan mama ada di sisiku untuk melindungi serta membelaku. Tapi kenyataannya, mereka tidak pernah tahu akan situasi yang tengah aku hadapi ini. Aku harus menghadapi ini semua sendiri meskipun dengan cara melarikan diri."
Tanpa terasa setetes kristal bening jatuh dari pelupuk mata lelaki itu. Meskipun ia terlihat begitu tangguh, namun tidak banyak yang tahu jika hati serta jiwanya begitu rapuh. Tidak mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya secara penuh dan utuh, seakan membuat lelaki itu kehilangan pijakan untuk bertumpu.
"Akan aku ikuti kemana truk ini membawaku pergi. Untuk sementara, aku harus bersembunyi sembari memikirkan langkah apa yang harus aku tempuh selanjutnya."
.
.
.
Assalamualaikum kakak-kakak semua... Bertemu lagi dengan novel ke dua author ya.. 🤗🤗 setelah novel sebelumnya bertemakan rumah tangga, kini kita coba untuk suasana baru dengan menghadirkan cerita romansa sebelum pernikahan yang begitu manis.
Seperti biasa.... jangan lupa untuk terus memberikan dukungan ya Kak... Dengan like, komentar, subscribe, vote, gift, rate bintang lima dan share... Terima kasih dan selamat membaca 😘
"Ya ampun kasihan sekali kamu. Ini ada sedikit uang untuk beli makan!"
Beberapa orang yang melintas di depan bekas pabrik gula, menatap iba sosok lelaki yang sedang duduk bersimpuh di sana. Lelaki dengan pakaian kumuh dan kumal, berambut gondrong dan juga jambang yang sudah mulai melebat. Sembari membungkukkan tubuh, lelaki itu memberikan sebuah isyarat jika ia berterima kasih atas uang yang dilemparkan ke arahnya.
Lelaki itu tersenyum tipis kala melihat pundi-pundi rupiah mulai terkumpul. Akhirnya di hari ini, ia tidak perlu kesusahan mendapatkan uang untuk membeli makan. Setelah dirasa cukup untuk membeli nasi, ia bangkit dari posisi duduknya.
Raga yang terasa begitu lelah. Tulang dan sendi yang terasa begitu lemah, tetap ia paksa untuk berdiri tegap. Menyusuri jalanan mencari warung nasi untuk mengisi perutnya yang sudah terdengar keroncongan. Setelah berjalan sekitar lima ratus meter, akhirnya ia menemukan warung makan yang berada di pinggir jalan.
"Hei, ngapain kamu di sini?! Pergi, pergi! Bikin warungku jorok saja!"
Baru saja lelaki itu ingin menyampaikan niatnya untuk membeli sebungkus nasi, namun sudah mendapatkan penolakan dari pemilik warung. Seorang wanita paruh baya dengan badan sedikit tambun berkacak pinggang, berdiri dengan angkuh mengusir lelaki berpenampilan kumuh dan juga kumal ini.
"Aku ingin beli nasi bungkus, Bu!"
"Apa, beli nasi? Memang punya uang berapa kamu?" tanya ibu penjual nasi dengan ketus.
Lelaki itu kemudian memperlihatkan uang recehan yang ada di dalam genggaman tangan. "Ini Bu, tujuh ribu."
"Ckkckkckk, tujuh ribu? Dapat apa tujuh ribu? Yang beli di sini minimal lima belas ribu," decak si ibu penjual dengan kesal. "Sudah, sudah, lebih baik kamu segera pergi dari sini. Pakaianmu kumal sekali dan tubuhmu juga bau. Hoooeeekkkk," sambung si ibu dengan menjapit hidung miliknya menggunakan telunjuk dan juga jempolnya.
Si lelaki kumal hanya bisa pasrah mendapatkan penolakan dari ibu penjual nasi. Dengan langkah gontai, ia kembali menyusuri jalanan, berupaya untuk mencari makan. Baru beberapa meter melangkah, ia menghentikan langkah kakinya kala melihat ada sebuah pos kamling. Sorot matanya langsung tertuju pada botol air mineral yang terlihat masih ada isinya. Gegas, lelaki itu menenggak sisa air yang masih tersisa untuk membasahi kerongkongannya yang sudah kering kerontang.
Lelaki itu mengusap peluh yang membasahi dahi. Kepalanya mendongak, terlihat matahari sudah berada tepat di atas kepalanya. Terasa begitu panas seperti turut membakar kulit.
"Aku tidak bisa terus-terusan berada di jalanan yang pasti justru akan membahayakan keselamatanku. Bisa saja polisi menangkapku jika aku tetap berkeliaran di jalanan seperti ini. Tapi, aku harus kemana?"
Lelaki itu bermonolog lirih seraya mengedarkan pandangannya ke arah sekitar. Otaknya juga berpikir keras untuk mencari jalan keluar. Hingga pandangannya tertuju pada sebuah komplek perumahan yang letaknya tidak jauh dari tempatnya terduduk saat ini. Sejenak, ia terdiam hingga senyum itu terbit di bibir manisnya.
"Aku harus bisa segera mendapatkan tempat untuk bersembunyi. Bagaimanapun caranya aku harus mendapatkannya. Mungkin, salah satu rumah di komplek perumahan itu, bisa aku jadikan tempat singgah."
Dengan sisa kekuatan yang ada, lelaki itu kembali mengayunkan tungkai kakinya. Menyusuri jalanan yang akan mengantarkannya ke sebuah komplek perumahan yang berada tak jauh dari pos kamling. Dengan sisa harapan pula, ia juga berharap bisa menemukan tempat untuk berteduh.
Senyum mengembang di bibir lelaki itu kala melihat pos security komplek yang kosong tak ada satupun penjaganya. Dengan begini, ia bisa dengan bebas berkeliling di area komplek. Kakinya terus melangkah. Pandangannya mengedar ke arah sekitar, mencari tempat yang paling pas untuk berteduh.
Gaya dan gestur lelaki itu sudah persis seperti seseorang yang sedang kebingungan mencari rumah yang ingin ia beli. Padahal lelaki itu tidak lebih dari seorang tunawisma yang sedang berupaya mencari tempat tinggal secara geratis.
Hampir setengah jam ia mengitari area komplek perumahan, hingga akhirnya ia menemukan sebuah rumah yang berada di pojok.
Rumah ini terlihat sedikit berbeda dengan rumah-rumah yang lainnya. Ukuran rumah yang jauh lebih besar dan memiliki halaman yang cukup luas. Bahkan di halaman rumah ini ada dua pohon mangga yang cukup rimbun.
Nasib baik seakan berpihak pada lelaki berpakaian kumal itu. Di rumah yang ia temukan ini ada semacam loteng di mana terdapat dahan pohon mangga yang menjuntai ke sana. Seketika di dalam benak lelaki kumal ini muncul sebuah ide untuk bisa masuk ke loteng melalui pohon mangga ini.
Dengan mengendap-endap, si lelaki kumal memasuki halaman rumah besar. Beruntung suasana komplek terlihat begitu sepi jadi tidak ada satupun yang mencurigai. Hal ini sejatinya merupakan hal yang wajar karena biasanya para penghuni komplek perumahan merupakan orang-orang yang setiap harinya sibuk bekerja. Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya lelaki berpakaian kumal itu tiba di bawah pohon mangga.
"Aku harus memanjat pohon mangga ini untuk bisa sampai di atas genting. Setelah itu aku akan masuk ke loteng itu dengan membuka beberapa genting yang ada di sana."
Tak ingin membuang banyak waktu, lelaki berpakaian kumal itu bergegas memanjat pohon mangga. Tiba di sebuah dahan, ia hentikan sejenak pergerakannya kala melihat ada buah mangga yang sudah matang.
"Terima kasih Tuhan, Engkau memberiku rezeki berupa buah mangga ini. Lumayan untuk mengganjal perutku yang sejak tadi sudah keroncongan."
Tangan lelaki itu terulur untuk memetik buah mangga yang sudah matang dan nampak menggoda. Saking laparnya, tanpa mencuci terlebih dahulu dan juga di kupas, si lelaki kumal langsung menggigit buah yang ia petik. Dengan lahap ia menikmati mangga itu.
"Aaaahhhh .... Akhirnya terisi juga perutku. Meskipun hanya buah mangga tapi lumayan lah buat ganjal perut."
Lelaki kumal itu menikmati buah mangga yang ia petik dengan penuh syukur. Tak cukup satu buah saja. Setelah buah pertama habis dengan hanya menyisakan kulit dan juga bijinya, ia memetik lagi lagi untuk kedua, ketiga, keempat dan kelima kalinya.
"Haiiikkkkk ...."
Lelaki itu bersendawa seakan mengisyaratkan jika perutnya sudah teramat kenyang tiada terkira. Kenyang karena sudah lima buah mangga yang masuk ke dalam perut yang sudah dua hari kosong melompong tak terisi oleh apapun selain angin dan air kran masjid yang berada di pinggir jalan.
"Haaaahhhh ... Kenyangnya ... Hoaaaaaammmm..."
Perut yang terasa kenyang oleh buah mangga membuat lelaki kumal itu tiba-tiba didera oleh rasa kantuk yang begitu luar biasa. Ia berkali-kali menguap sembari mengusap-usap perutnya. Ditambah dengan angin sepoi-sepoi yang berhembus dan menerpa wajah, membuat lelaki itu tidak bisa menahan rasa kantuknya.
Kelopak mata yang sebelumnya terbuka lebar, perlahan terkatup. Kesadaran yang sebelumnya menguasai raga, perlahan juga menghilang entah kemana. Dan pada akhirnya lelaki kumal itu tertidur pulas di sela-sela dahan pohon mangga.
***
Pluk... Pluk...
Tubuh lelaki kumal yang tengah terlelap di atas pohon itu bergeliat kala merasakan sesuatu yang terasa hangat tiba-tiba mengenai wajah. Kelopak mata yang sebelumnya terkatup kini perlahan terbuka. Ia mengerjapkan mata, berupaya meraih kesadarannya. Ia mengusap dahi yang terasa sedikit aneh. Ada sensasi rasa hangat di sana.
"Apa ini??" pekik lelaki kumal itu setelah melihat jari telunjuknya.
"Hoooeeeekkk .... Ini sih kotoran burung." Lelaki itu mendongakkan kepala. Terlihat ada dua burung gereja yang bertengger di dahan yang berada di atasnya. "Dasar kurang ajar. Apa tidak tahu kalau ada orang di sini? Buang kotoran sembarangan. Lihat nih, kena wajahku!"
Cuit... Cuit... Cuit...
Dua burung gereja itu bercicit. Sekilas mereka melempar pandangan ke arah si lelaki kumal sembari menggoyang bokongnya. Mereka seakan mengolok-olok si lelaki kumal yang terlihat mengenaskan.
"Eh, malah ngeledek ya kalian??" Lelaki itu mematahkan satu ranting dan kemudian ia lempar ke arah dua burung gereja itu. "Rasakan ini. Pergi sana. Ganggu orang tidur saja."
Pada akhirnya dua burung gereja itu kembali terbang setelah berhasil membuang hajat tepat di wajah si lelaki kumal. Mereka seakan begitu puas karena mendapatkan tempat pembuangan yang begitu spesial.
"Dasar burung tidak ada akhlak!" oceh si lelaki kumal sembari membersihkan sisa-sisa hajat dua burung gereja yang masih ada di dahi. "Apa mereka tidak tahu jika wajahku ini teramat tampan dan tidak pantas untuk menjadi tempat pembuangan?"
Lelaki kumal itu masih saja mengumpat meskipun dua burung gereja itu sudah tidak lagi nampak di penglihatannya. Lelap tidurnya benar-benar terusik kala mendapatkan kotoran dari dua burung gereja itu.
"Astaga ... Mengapa aku sampai lupa jika aku harus segera masuk ke loteng itu? Si lelaki kumal melihat ke arah bawah di mana situasi masih aman terkendali. "Aman. Aku harus segera masuk ke loteng itu."
Dengan gerak cepat, lelaki kumal itu menuju di atas genting. Bak seorang pencuri yang biasa menyatroni rumah-rumah kosong, ia terlihat begitu piawai dalam menjalankan misinya. Setelah menggeser beberapa genting, akhirnya ia bisa masuk ke dalam loteng.
"Haaahhhh ... Akhirnya aku bisa masuk ke dalam sini!"
Lelaki kumal itu membuang napas penuh kelegaan saat dirinya berhasil masuk ke dalam loteng. Ia mengedarkan pandangannya ke arah sekeliling dan lelaki itu dipenuhi oleh rasa takjub yang luar biasa.
Loteng ini didominasi oleh warna putih. Terdapat sebuah ranjang dan sofa berukuran sedang yang juga didominasi oleh warna putih. Terdapat rak-rak buku juga di sisi kanan kiri dinding.
"Gilaaa ... Keren banget pemilik loteng kamar ini. Dia benar-benar bisa menata ruangan ini menjadi tempat yang nyaman."
Lelaki itu berjalan mengitari loteng kamar ini sembari menikmati segala pesona yang ditawarkan. Sampai tubuhnya terhenti di depan nakas yang di atasnya terdapat sebuah bingkai foto. Lelaki itu menyunggingkan senyum kala melihat tiga orang yang ada di dalam foto itu.
"Anak perempuan yang diapit ini pasti pemilik loteng kamar ini!"
Senyum yang tersungging di bibir lelaki kumal mendadak sirna kala tiba-tiba perutnya terasa begitu melilit.
"Adudududuh ... Perutku sakit sekali. Ini pasti gegara aku terlalu banyak makan buah mangga."
Si lelaki kumal mencoba mencari kamar mandi. Ia melihat ada sebuah tangga yang langsung menghubungkan dengan kamar yang ada di bawah loteng. Ia yakin di bawah loteng ini merupakan kamar pribadi perempuan yang ia lihat di bingkai foto tadi.
Lagi-lagi nasib baik berpihak pada si lelaki kumal. Ia menemukan kamar mandi yang ada di kamar ini. Gegas, ia masuk ke dalam sana dan segera menuntaskan hajatnya.
Kriieeettttt....
Tap... Tap... Tap...
Sedang santai membuang hajat, tubuh lelaki sedikit terperanjat kala mendengar suara pintu yang terbuka dan disertai oleh derap langkah kaki seseorang. Kedua bola matanya terbelalak lebar.
"Gawat, ada orang!!!"
.
.
.
"Ya ampun ... Buronannya ganteng sekali!!!"
"Apanya yang ganteng Mbak?"
Mia, asisten rumah tangga di kediaman Lea yang tengah melipat pakaian sembari menonton acara televisi seketika terperanjat kala mendengar suara seseorang yang berasal dari balik punggungnya. Ia pun kemudian berdiri dan menghampiri sang majikan.
"Itu lho Non, polisi baru saja merilis wajah yang diduga menjadi tersangka atas kejadian mutilasi di hotel Petir Menggelegar sepuluh hari yang lalu. Ya ampun Non, tersangkanya ganteng sekali."
Lea menoleh ke arah layar televisi yang ternyata sudah berganti berita. "Issshhh kok suka sekali melihat berita yang seperti itu sih Mbak? Kalau aku sih gak minat sama sekali."
"Aduh Non, padahal berita mutilasi ini sempat menghebohkan jagad raya loh. Masa Non Lea gak penasaran?"
"Enggak Mbak, aku sama sekali tidak penasaran."
"Padahal tersangkanya ganteng sekali Non dan sekarang menjadi buronan karena melarikan diri," papar Mia menjelaskan. "Kok non Lea sudah pulang?"
"Ini kan hari Sabtu, Mbak, jadi aku bisa pulang lebih awal." Lea mengibas-ibaskan tangannya di depan muka. "Hah, hari ini panas sekali. Aku seperti terbakar berada di jalanan tadi."
Melihat sang majikan kegerahan karena cuaca yang begitu panas, Mia langsung sigap. Wanita itu berjalan ke arah minibar dan mengambil satu gelas air dingin.
"Di minum dulu Non, biar badannya langsung segar dan tidak kegerahan lagi!" ucap Mia seraya mengulurkan segelas air putih itu ke arah Lea.
Lea mengulum senyum sembari menerima satu gelas air dingin yang diberikan oleh Mia. Ia daratkan sejenak bokongnya di sofa ruang tamu dan segera meneguk air dalam gelas itu.
"Srrrpppp, haaaahhh ... segarnya," ucap Lea setelah sensasi rasa segar membasahi kerongkongan. Ia kembali menatap Mia yang masih dalam posisi berdiri. "Ini pasti ada maunya nih kalau super perhatian seperti ini. Mbak Mia pengen apa?"
Mia tersenyum kikuk sembari menggaruk ujung hidungnya yang tidak gatal. "Hehe ... saya mau minta izin untuk keluar malam mingguan sama mas Slamet, Non. Tidak lama kok Non, maksimal dua jam."
Lea tergelak seketika. Ternyata firasatnya benar jika asisten rumah tangganya ini begitu perhatian karena ada maunya.
"Nah kan benar?" ucap Lea membenarkan firasatnya. "Oke lah Mbak, aku izinkan Mbak Mia untuk malam mingguan sama mas Slamet. Tapi jangan malam-malam ya pulangnya."
"Siap Non."
Mia beralih mengayunkan tungkai kaki menuju halaman setelah pekerjaannya melipat pakaian sudah paripurna. Menunaikan kewajibannya untuk bersih-bersih halaman yang biasa ia kerjakan menjelang sore seperti ini.
"Aaaaaaa ... Apa ini??"
Lea yang masih duduk di sofa seketika tubuhnya terperanjat kala mendengar teriakan Mia. Ia bangkit dari posisi duduknya dan bersegera menghampiri Mia.
"Ada apa sih Mbak? Kok teriak-teriak seperti itu?"
"Non Lea coba ke sini! Ini aneh sekali Non."
"Apa sih Mbak." Lea mendekat ke arah Mia dan melihat sesuatu yang ditunjuk olehnya. "Ini kan cuma mangga yang jatuh Mbak? Kok heboh sekali?"
Lea masih tidak bisa memahami maksud Mia berteriak kencang seperti tadi. Baginya hal yang biasa melihat buah mangga yang terjatuh dan berserakan di atas tanah seperti ini.
"Iihhhh, non Lea itu bagaimana? Kalau ini sih bukan sembarang jatuh Non."
"Bukan sembarang jatuh bagaimana Mbak?" tanya Lea dengan kernyitan di dahi. Sejatinya ia belum bisa memahami apa yang dimaksud oleh asisten rumah tangganya ini. "Ini kan hal yang wajar. Bisa jadi dimakan codot."
Mia menggelengkan kepala. Ia pungut mangga yang hanya tersisa biji dan juga serabutnya saja. "Ini sih bukan dimakan codot Non, tapi dimakan manusia. Masa iya codot bisa memakan buah mangga sampai bersih seperti ini? Dan lihatlah, mangga ini seperti dikupas menggunakan gigi Non."
Mia masih bertahan dengan argumentasinya yang membuat Lea juga turut mempertimbangkan apa yang diucapkan wanita itu. Apa yang diucapkan oleh asisten rumah tangganya ini memang ada benarnya juga.
"Sudahlah Mbak jangan terlalu dipikirkan. Jika memang buah mangga ini dimakan manusia anggap saja kita sedang berbagi kepada sesama manusia."
Untuk memupus rasa heran dan juga sedikit rasa takut di dalam diri Mia, Lea mencoba untuk tetap berpikir positif. Biarkan saja beberapa buah mangga ini dinikmati oleh orang lain asalkan orang itu tidak berbuat yang macam-macam di rumahnya.
"Tapi saya masih takut Non. Karena sebelumnya tidak pernah terjadi hal semacam ini. Kalaupun ada orang yang meminta buah mangga, pasti mereka minta izin terlebih dahulu."
Lea mengedikkan bahu. Menanggapi dengan santai ucapan Mia. "Sudah Mbak, lebih baik sekarang kamu lanjutkan pekerjaanmu. Tubuhku juga gerah sekali. Ingin mandi lalu bersantai di atas loteng."
"Baiklah Non." Mia kembali melanjutkan pekerjaannya, menyapu halaman rumah ini. "Oh iya, non Lea tidak ada rencana malam minggu dengan mas Kevin? Barangkali kita bisa double date?" sambung wanita itu.
Lea terhenyak sejenak kala mendengar pertanyaan Mia, namun sesaat kemudian ia tergelak. "Apa Mbak, double date? Ya ampun, kamu tahu istilah double date dari siapa?"
"Dari pembantu rumah sebelah Non. Katanya dia sedang kursus bahasa Inggris."
Lea hanya berdecak pelan. Ada-ada saja tingkah laku pekerja di rumahnya ini. "Aku belum ada rencana keluar malam minggu bersama Kevin, Mbak. Mungkin dia tidak kemari karena masih lelah. Mbak tahu sendiri kan kalau dia baru saja pulang dari Singapura?"
"Yaaaahhhh, sayang sekali ya Non. Padahal kalau sama-sama keluar, kita bisa double date. Atau paling tidak dia ke sini Non, bawain oleh-oleh gitu dari Singapura."
"Hmmmm... jangan terlalu berharap Mbak. Toh oleh-oleh dari Singapura paling juga hanya cokelat."
"Benar juga ya Non. Kalau cokelat sih Mas Slamet juga sering beliin."
Lea memilih untuk tidak lagi menanggapi perkataan Mia. Ia langkahkan kembali kakinya untuk masuk ke dalam kamar. Rasanya ia ingin segera mandi dan setelah itu menikmati senja di loteng.
Sesampainya di kamar, Lea menyambar bathrobe yang tergantung di balik pintu. Rasanya sudah tidak tahan lagi ia menahan gerah di hari ini.
Ceklek... Ceklek... Ceklek...
"Loh, ini kenapa? Kok pintu kamar mandinya tidak bisa dibuka?"
Ceklek... Ceklek... Ceklek...
Raut wajah keheranan dan juga frustrasi menguasai kala pintu kamar mandi seperti terkunci. Berkali-kali Lea mendobrak pintu kamar mandi namun sama sekali tidak bisa dibuka. Ia sampai keheranan ada apa gerangan. Karena kejadian seperti ini baru pertama kali terjadi.
"Ya Tuhan, aku hanya ingin segera mandi di bawah air shower tapi ada saja halangannya. Ada apa ini?"
Masih belum mau menyerah, Lea kembali memutar kenop pintu kamar mandi. Di sela-sela usahanya membuka pintu, tiba-tiba....
Ceklek...
"Aaaaaaaaa ...." teriak Lea kala melihat sosok lelaki asing yang tiba-tiba keluar dari bilik kamar mandi.
Lelaki asing itu dengan gerak cepat langsung membungkam mulut Lea dengan telapak tangan. Ia khawatir jika teriakan Lea ini akan menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di luar sana.
Kedua bola mata Lea membulat sempurna. Tidak ia sangka jika mulutnya dibungkam seperti ini. Tanpa berpikir panjang, ia gigit telapak tangan lelaki asing ini.
"Aaaaahhhhhh .... Kenapa kamu menggigitku?"
Jika sebelumnya Lea yang berteriak karena kedatangan orang asing ini, kini giliran lelaki kumal yang berteriak setelah telapak tangannya digigit oleh Lea. Ia mengibas-ibaskan tangan untuk mengusir sensasi rasa perih yang terasa.
Lea beringsut mundur, menjauh dari lelaki asing ini. "Siapa kamu? Mengapa kamu bisa ada di rumahku?"
"Ssssttt ... Jangan keras-keras. Nanti kamu akan tahu siapa aku. Tapi izinkan aku untuk tinggal di sini untuk sementara waktu. Sampai situasi aman terkendali."
"Apa? Tinggal di sini?" tanya Lea dengan ekspresi terkejut setengah mati. "Tidak, tidak, kamu pikir ini tempat penampungan? Silakan lekas pergi dari sini!"
Sungguh tidak pernah terpikirkan di benak Lea kedatangan tamu asing yang tiba-tiba meminta izin untuk tinggal di rumahnya. Apalagi orang asing dengan penampilan kumal seperti ini.
Wajah lelaki kumal itu mendadak pias kala mendengar penolakan dari Lea. Ia tidak tahu lagi harus kemana jika tidak di rumah ini. Ia merasa sudah terlalu lelah luntang-lantung kesana kemari di pinggir jalan dan terlebih lagi akan membuat posisinya tidak aman. Tidak aman karena menjadi buronan polisi.
Lelaki kumal itu mengayunkan tungkai kakinya untuk bisa lebih dekat dengan Lea. Tanpa berpikir panjang tubuhnya meluruh di atas lantai, membuat satu permohonan kepada Lea.
"Tolong izinkan aku tinggal di sini untuk sementara waktu. Setelah semua situasi terkendali, aku akan segera pergi dari sini." Si lelaki kumal mengulurkan tangannya untuk memegang kaki Lea. "Aku mohon. Karena saat ini hanya kamulah yang bisa menolongku!"
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!