NovelToon NovelToon

When Mr. Tricky Meet Alindya

BAB 1: Sisi Berbeda

"Pokoknya saya tidak mau di jodohkan! ini zaman modern, pah. Sudah tidak ada lagi yang namanya perjodohan." Ravendra bangkit dari tempat duduknya dengan ekspresi wajah yang penuh kekesalan terhadap ayahnya.

Suasana ruang keluarga di kediaman Arif Wardhana tiba-tiba menjadi hening setelah mendengar penolakan dari Ravendra yang akan di jodohkan dengan putri sahabat ayahnya.

Berkali-kali pak Arif memberitahukan rencananya pada Ravendra dan berkali-kali pula Ravendra menolaknya, akhirnya ia pun merasa kesal terhadap sang ayah.

"Saya mau cari pasangan hidup saya sendiri, pah!" Ravendra berjalan meninggalkan ayah dan ibunya yang tengah duduk bersebelahan di ruang keluarga karena mereka hanya terdiam, mereka tak tahu lagi harus dengan cara apa agar Ravendra mau menerima perjodohan yang telah direncanakan sejak mereka masih kecil.

Ketika suara langkah kaki Ravendra semakin menjauh, pak Arif menyandarkan tubuhnya dan dengan santainya ia berkata. "Papa hanya akan mewariskan perusahaan setelah kamu menikah!"

Tanpa menatap ke arah Ravendra yang tengah berdiri tepat di belakangnya, pak Arif sudah tahu jika saat ini Ravendra tengah memasang wajah kebingungannya, saat itu pula rencana yang ia susun beberapa menit yang lalu telah siap untuk di laksanakan.

Layaknya bom waktu yang bisa meledak kapan saja, pak Arif yakin jika Ravendra pasti akan memohon kepadanya untuk di jodohkan dengan gadis pilihannya. Ravendra menghentikan langkahnya karena terkejut mendengar pernyataan dari sang ayah.

Ravendra yang begitu berambisi untuk mengambil alih perusahaan ayahnya, tak menyangka jika syaratnya begitu berat untuk ia lakukan. Ravendra memang sudah punya kekasih, tetapi ia belum berencana untuk menikahi kekasihnya itu karena ia masih merasa ragu, ada suatu hal yang mengganjal di hatinya, walau ia sangat menyayangi kekasihnya.

Ravendra terdiam, membayangkan seorang gadis bernama Amara yang berprofesi sebagai model untuk sebuah majalah ternama di kota. Mereka sudah menjalin hubungan selama 3 tahun, tetapi Ravendra masih belum sepenuhnya merasa yakin karena perubahan sikap Amara yang akhir-akhir ini ia rasakan dan belum sempat ia selidiki karena pekerjaan yang semakin hari semakin menumpuk.

Sudah beberapa menit berlalu, tetapi pak Arif tak lagi mendengar suara protes dari Ravendra, pak Arif mengambil cangkir kopinya dari atas meja lalu dengan tenang ia berkata. "Kenapa diam? papa yakin, dia bukanlah gadis yang baik untukmu. tinggalkanlah dia dan menikahlah dengan gadis pilihan papa!"

Tanpa menjawab perkataan sang ayah, Ravendra kembali melanjutkan langkahnya dan bergegas pergi menuju kantor tempat ia bekerja di salah satu perusahaan ayahnya.

Sementara pak Arif tersenyum menikmati secangkir kopi sebagai tanda awal keberhasilannya, ia tidak begitu mempermasalahkan jawaban dari anaknya. Toh ia sudah yakin jika suatu hari nanti Ravendra lah yang akan memohon kepadanya untuk di jodohkan.

Melihat senyuman di bibir suaminya membuat bu Felicia hanya bisa menggelengkan kepalanya seraya berkata. "Rencana apalagi yang akan kamu lakukan, pah!"

Dengan perasaan yang kurang baik, Ravendra berjalan menuju mobilnya yang sudah siap di halaman rumah.

"Pokoknya saya tidak boleh mengalah dengan rencana papa!" Ravendra menggosok telapak tangan yang sebelumnya sudah di semprotkan hand sanitizer dengan kasar memperlihatkan kekesalannya pada saat itu, kemudian ia melaju dengan cepat menuju kantor.

Ravendra memang memiliki kebiasaan menjaga kebersihan, tapi hal yang di lakukannya terbilang sangat berlebihan karena sangat berbeda dengan orang-orang lainnya yang peduli akan kebersihan diri dan lingkungan sekitar.

Setibanya di kantor tempat Ravendra bekerja, hal yang membuatnya semakin emosi pun kembali terjadi saat dimana ia memasuki ruang kerjanya yang baru saja di bersihkan.

"Apa-apaan ini!". Ravendra terkejut melihat ke arah meja kerjanya.

Setelah menyemprotkan hand sanitizer untuk kesekian kali di telapak tangannya, ia segera meraih telepon yang berada di atas mejanya dan menelpon kepala cleaning servis.

"Panggil orang yang bersihkan ruangan saya, sekarang juga!" Ravendra menaruh telepon dengan kasar setelah mendengar jawaban dari bu Ratna.

"udahlah, bro. masalah sepele gini gak usah diperpanjang!" seru Roy asisten pribadi Ravendra yang juga sahabat masa sekolahnya dulu, kebetulan Roy baru datang ke kantor dan memasuki ruangan Ravendra untuk memberikan jadwal kegiatan hari itu.

"gak bisa Roy, pokonya semua harus sesuai dengan yang saya mau. dari dulu juga kan saya sudah bilang sama bu Ratna buat jaga ruangan ini sebaik mungkin," kesal Ravendra.

Tak lama kemudian, bu Ratna datang dengan seorang cleaning servis baru. Tampak raut wajah mereka berdua begitu ketakutan melihat kemarahan Ravendra.

"oh jadi kamu karyawan baru disini? bu Ratna, tolong kasih tahu dia apa kesalahannya!" pinta Ravendra dengan emosi yang sedikit menurun, mencoba memaklumi kesalahan karyawan baru.

Bu Ratna dengan segera menunjuk ke arah sebuah figura kecil yang ada di atas meja kerja Ravendra dan menggesernya, ternyata figura tersebut hanya bergeser sekitar dua sentimeter dari tempat semula.

Figura itu berisikan potret masa kecil Ravendra bersama sang kakak yang telah tiada, Ravendra begitu menyayangi sang kakak, ia tak ingin pandangannya terlalu jauh dari wajah sang kakak saat ia bekerja, maka dari itu ia begitu marah saat figuran nya bergeser.

Hal itu membuat karyawan baru terkejut, karena hanya gara-gara ia tidak meletakkan pada tempatnya yang kurang dua sentimeter saja membuat kemarahan sang CEO memuncak, tetapi ia hanya bisa menyesali perbuatannya saat ini.

"Sa- saya minta maaf, pak. lain kali saya akan lebih teliti lagi". Tono yang gugup hanya bisa menundukkan kepalanya sebagai tanda penyesalannya.

"baik saya maafkan, sekarang kalian boleh kembali bekerja!", pinta Ravendra.

Mereka berdua bergegas meninggalkan ruangan Ravendra sebelum bosnya itu berubah pikiran karena biasanya jika ada yang membuatnya marah, ia tidak segan untuk memecatnya.

"untung kamu gak di pecat, Ton! pak Ravendra itu orangnya sangat mengutamakan kerapihan. coba kamu lihat semua karyawan dan meja kerja mereka, semua tampak bersih dan rapih. karena kalau tidak, mereka akan langsung di pecat," jelas bu Ratna yang membuat Tono bergidik ngeri mendengar ucapan seniornya itu.

Sementara di waktu yang sama dengan tempat berbeda, seorang gadis cantik memulai paginya dengan membersihkan tubuhnya beberapa menit di kamar mandi.

Tanpa polesan make up, ia bersiap untuk menuju kampusnya. Sebelum pergi ke kampus, ia menyempatkan diri untuk menyantap sarapan bersama keluarganya.

"Alin, kamu sudah dewasa, sudah waktunya ayah mengatakan hal ini kepadamu!", ucap pak Bagaskara.

"Ada apa, yah?". Alindya berbicara dengan roti yang masih ia kunyah.

Sejenak pak Bagaskara terdiam melihat penampilan Alindya yang jauh dari kata anggun. Ia memakai jeans ketat dengan kaos over size berlengan pendek dan sebuah jaket yang di letakkan nya di kursi tempat ia duduk.

Keyakinan sang ayah untuk menjodohkan Alindya pun sedikit goyah karena melihat penampilan sang anak yang tidak tampak seperti anak gadis lain.

Alindya menantikan sang ayah berbicara hingga rotinya sudah tak tersisa lagi di tangannya, di lihatnya jam yang ia pasangkan di pergelangan tangan kirinya dan berkata. "Ayah, sepertinya aku akan terlambat karena menunggu ayah bicara". Alindya beranjak dari tempat duduknya, ia hendak meninggalkan ruang makan. Tetapi langkahnya terhenti karena mendengar ucapan pak Bagaskara.

"ayah akan menjodohkan mu dengan seorang CEO di perusahaan ayahnya", ucap pak Bagaskara.

"Apa? ayah, ini bukan zaman Siti Nurbaya lho! pokoknya aku nggak mau di jodohin". Alindya mengambil jaket dan meletakkannya di tangan.

"memang apa salahnya? dia anak yang baik dan juga hebat, di bandingkan dengan pacarmu itu yang berasal dari keluarga tidak baik!", seru pak Bagaskara penuh penekanan.

"pokoknya aku tetep nggak mau di jodohin!", seru Alindya.

Pak Bagaskara hanya bisa terdiam memijat kepalanya melihat sikap Alindya yang semakin hari semakin berani menentangnya.

Perasaan kesal terus menyelimuti hati Alindya, ia sudah tidak bersemangat lagi untuk pergi ke kampusnya. Alindya memutuskan untuk pergi ke kafe miliknya yang ia bangun bersama sahabatnya yang juga ingin hidup mandiri walau terlahir dari keluarga berada.

Bab 2: Hal yang Bisa Menenangkan

Waktu makan siang telah tiba, tapi Ravendra masih sibuk menghadapi berkas-berkas yang menumpuk di atas meja kerja, saking banyaknya hingga hampir menutupi wajahnya.

Namun Roy sebagai asistennya malah sudah bersiap untuk pergi makan siang, hal itu membuat Ravendra kesal kemudian ia menggeser kursinya ke samping hingga bisa melihat Roy yang hendak membuka pintu untuk keluar.

"Apa kamu akan pergi makan siang begitu saja tanpa menanyakan bosmu?". Ravendra menatap Roy yang tengah memegang gagang pintu.

"baiklah, bos apa anda ingin saya belikan sesuatu untuk makan siang?", tanya Roy.

"tolong belikan saya espresso seperti biasa!", seru Ravendra.

Roy segera menuju kafe langganannya yang juga di sukai oleh Ravendra, tetapi Ravendra tidak pernah datang langsung ke kafe itu.

Perjalanan dari kantornya menuju kafe tidak memakan banyak waktu, di tambah dengan jalanan yang tampak lengang memudahkannya untuk cepat sampai.

Setibanya di kafe ia bertemu langsung dengan Alindya si pemilik kafe yang kebetulan tengah berada di sana, karena Roy sudah sering datang membuatnya akrab dengan Alindya.

"Lin, biasa ya. buatkan saya dua!", pinta Roy.

"siap, kak Roy. pasti buat bosnya ya?", tanya Alindya.

Roy menganggukkan kepalanya. "Sepertinya dia sudah kecanduan espresso buatanmu, dia tidak mau jika bukan kamu yang buatkan!".

Alindya hanya tersenyum mendengar ucapan Roy, memang di balik penampilannya yang urakan ternyata Alindya memiliki kemampuan meracik kopi dengan takaran yang pas hingga rasanya enak.

Tak terasa pesanan Roy telah siap, ia segera kembali menuju kantornya.

Di tengah perjalanan, Roy melihat seorang gadis berpenampilan seksi dengan mini dres di atas lutut dan memperlihatkan lekuk tubuhnya. Ia tampak asyik bercengkrama dengan seorang pria yang juga tak asing di matanya, Roy memperlambat laju mobilnya untuk sekedar memastikan apa yang dilihatnya memang benar.

"Amara? loh kok dia sama si Kaivan?". Roy memicingkan kedua matanya untuk lebih jelas melihat sepasang muda-mudi yang tengah berjalan di trotoar.

Setelah memastikan apa yang di lihatnya, Roy melajukan mobilnya kembali. Dalam benaknya ia tidak ingin melaporkan kepada Ravendra karena pasti ia tidak akan percaya. Roy hanya menunggu waktu yang tepat saja untuk memberitahukan Ravendra atas apa yang di lakukan Amara ketika di belakangnya.

Roy kembali melajukan mobil hingga akhirnya ia sampai di parkiran kantor, dengan santai ia berjalan menuju ruangan Ravendra.

Seolah tidak terjadi apa-apa, Roy memasuki ruangan Ravendra yang ternyata si pemilik ruangan tengah duduk di sofa menanti kedatangan espresso miliknya.

"kenapa lama sekali?", tanya Ravendra.

"oh itu, tadi kafe ramai sekali. jadi aku harus menunggu lama!", jawab Roy sedikit berbohong.

Roy duduk di depan Ravendra dan meletakkan satu cup berukuran medium di atas meja tepat di hadapan nya.

Ravendra menatap sebuah cup berwarna putih yang seakan memanggil untuk segera meminumnya. Akan tetapi, walau sudah tergoda dengan aroma yang sedikit tercium oleh inderanya, seperti biasa Ravendra melakukan ritual kebersihannya.

Dirogohnya sebuah botol berukuran sedang dari saku jasnya, kemudian ia semprotkan ke kedua telapak tangannya dan menggosok hingga ke punggung tangannya, hand sanitizer memang selalu ada di dalam saku jasnya.

Setelah ritualnya selesai, ia kembali mengambil selembar tisu untuk memegang cup yang berada di atas meja tepat di hadapannya, perlahan ia membuka cup dan menghirup aroma dari dalam cup tersebut sambil memejamkan mata berharap semua bebannya menghilang, kemudian tanpa menunggu aba-aba ia meminum kopinya sedikit demi sedikit.

"Rasa yang selalu sama, kamu selalu bisa menenangkan pikiran saya". Ravendra tersenyum menatap cup itu seakan bisa berbicara dengannya.

"Lo lagi ada masalah apa emang?". Roy membuka cup kopi miliknya.

"Papa akan menjodohkan saya dengan anak sahabatnya jika saya menolak, harta warisan tidak akan di berikan kepada saya. sedangkan saya sudah memiliki Amara". Ravendra menyandarkan tubuhnya di sofa, menatap langit-langit ruangan nya.

Roy yang tengah meminum kopinya terkejut sampai ia tersedak kopi yang tengah berjalan di tenggorokan nya.

"Uhuk..!! lo yang bener ajah mau serius sama Amara? saran gue sih, mending lo turutin aja apa kata papa lo. ya siapa tau aja tuh cewek lebih bener dari si Amara!". Roy memberi saran sambil tertawa. "yang benar saja kamu kalau ngasih saran!", seru Ravendra.

***

Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam, tampak Alindya sedang menatap bayangan dirinya di cermin yang berada di dalam ruangan pribadi di kafe.

Ia tengah bersiap untuk pergi makan malam bersama kekasihnya, penampilannya tidak begitu berubah. Ia masih mengenakan jeans ketat dengan kaos yang ia tutupi menggunakan jaket, hal itu membuat Lisa bertanya-tanya.

"Lin, lo mau diner apa mau nonton layar tancep?". Lisa memutar badan Alindya melihat penampilan nya.

"Lah terus gue harus pake apa?". Alindya mengangkat kedua bahu nya.

"Nih, gue pinjemin dres gue baru beli tadi!". Lisa menyodorkan sebuah paper bag.

Alindya dengan rasa ragu menerimanya dan bergegas ke toilet untuk berganti pakaian, sedangkan Lisa duduk di sofa menunggu Alindya.

Tak lama kemudian, Alindya keluar dengan mengenakan dress selutut bermotif bunga-bunga kecil berwarna merah jambu di tambah dengan sepatu berhak tinggi, ia tampak canggung dan berniat untuk kembali berganti pakaian.

"Wait! no no, lo harus pakai ini. jangan di ganti lagi!". Lisa menarik lengan Alindya yang hendak kembali ke kamar mandi.

Lisa mendorong Alindya untuk segera menuju restoran yang telah di pilih oleh kekasih Alindya. Tanpa penolakan, Alindya segera melajukan mobilnya.

Sesampainya di restoran, Alindya berjalan dengan susah payah menyeimbangkan tubuhnya yang baru memakai sepatu berhak tinggi. Dengan usaha kerasnya, akhirnya Alindya berhasil menuju meja tempat dimana sang kekasih telah menunggunya.

"Alindya!". Kaivan terpesona melihat penampilan berbeda sang kekasih yang tampak cantik alami.

"Hai, aku terlihat aneh ya?". Alindya melambaikan tangan nya dan duduk di depan Kaivan.

Kaivan menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak, justru hari ini kamu tampak sangat cantik, sayang!" Kaivan mencium tangan lembut Alindya.

Mereka pun memulai acara makan malam romantis yang jarang sekali di lakukan karena alasan Kaivan yang selalu sibuk dengan pekerjaan.

Setelah menghabiskan makan malam, Alindya memperlihatkan wajah sedihnya saat mengingat ucapan ayahnya pagi tadi yang membuat Kaivan menanyakan masalah apa yang tengah terjadi.

"Ayah akan menjodohkan aku dengan anak sahabatnya yang juga adalah seorang CEO di perusahaan milik ayahnya". Alindya tertunduk lesu.

"Apa? jangan-jangan ayahmu akan menjodohkan mu dengan Ravendra? karena hanya ada aku dan dia CEO muda di dunia perbisnisan ini!". Kaivan mengepalkan tangannya.

Kaivan dan Ravendra memanglah rival yang saling bersaing di dunia bisnis, apalagi Kaivan akan rela melakukan apa saja demi menghancurkan Ravendra.

Saat tengah membahas masalah serius, tiba-tiba ponsel Kaivan berbunyi dan ia dengan cepat menjawabnya menjauh dari Alindya.

Setelah selesai berbicara, ia berpamitan kepada Alindya karena ada urusan penting mengenai bisnisnya. Alindya pun diminta untuk segera pulang karena Kaivan juga akan pergi.

Alindya tampak bersedih karena baru juga bertemu sebentar dengan kekasihnya, ia malah di tinggal begitu saja.

Dengan rasa kecewa, Alindya memutuskan untuk meninggalkan restoran tersebut dengan membawa satu cup jumbo milk tea kesukaannya, karena itu yang bisa membuat pikirannya sedikit lebih tenang.

Alindya berjalan susah payah dengan hak sepatu yang merepotkannya.

Di waktu yang sama, Ravendra yang tengah terburu-buru hendak memasuki restoran sambil menatap ke arah jam tangannya. "Aduh, telat banget nih. pasti dia bakalan marah!".

Ravendra tidak sengaja menyenggol pundak Alindya yang tengah menyeimbangkan tubuhnya, hingga akhirnya mereka pun bertabrakan membuat sebagian isi cup yang di bawa Alindya tumpah di baju Ravendra.

Ravendra dengan refleks menahan Alindya yang akan terjatuh, tetapi ia segera melepaskan tangan nya hingga membuat Alindya terjatuh.

Alindya merintih kesakitan, sementara Ravendra segera merogoh sakunya dan mengambil hand sanitizer untuk membersihkan tangannya yang telah memegang Alindya kemudian kembali merogoh sakunya untuk mengambil sapu tangan tanpa melihat Alindya yang duduk di jalan karena kesakitan.

Melihat tingkah laku Ravendra yang tidak merasa bersalah telah menjatuhkannya, Alindya pun menatap wajah Ravendra yang ternyata dia adalah rival dari kekasihnya yang selalu di ceritakan sebagai orang yang sombong karena selalu memandang jika orang lain itu kotor.

Teringat akan cerita kekasihnya, membuat Alindya merasa kesal. Ia berusaha bangun dan tanpa memikirkan akibatnya, ia melempar cup yang isinya masih tersisa sedikit pada jas Ravendra sambil berkata. "Anda menganggap orang lain kotor, sekarang anda lah yang lebih kotor!" Alindya berbicara dengan penuh penekanan kemudian pergi meninggalkan Ravendra dengan menenteng hight heels nya.

"Hey tunggu! ah... dasar gadis gila". Ravendra hendak menarik tangan Alindya tetapi ia begitu ragu karena tangannya sudah ia bersihkan.

Ravendra terus melemparkan umpatan, tetapi Alindya sama sekali tidak memperdulikannya dan terus berjalan menuju mobilnya.

Bab 3: Model Majalah

Walau hanya pakaiannya saja yang kotor, tetapi Ravendra sudah tampak kocar kacir kerepotan untuk membersihkan pakaiannya dan ia juga kini menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar, hal itu membuat Alindya merasa sangat senang.

Pria rupawan yang wajahnya berkali-kali terpampang pada sampul beberapa majalah itu, mustahil jika tidak ada yang mengenalinya.

Kini sebagian dari pengunjung segera mengambil gambar dengan ponsel mereka masing-masing layaknya paparazi yang tengah meliput aktor papan atas, karena mereka tahu jika Ravendra yang terkenal sebagai orang yang sangat memperhatikan kebersihannya kini dalam keadaan kotor di depan publik.

Sadar akan banyaknya orang yang melihatnya, ia segera kembali ke mobilnya dengan segala umpatan yang di tujukan kepada Alindya. "Dasar gadis sialan, awas ajah kalo ketemu lagi!".

Sementara Alindya yang tengah duduk di balik kemudi dengan puasnya menertawakan Ravendra. "Haha.. rasain lo tuan sok bersih!"

Ia tertawa lepas di dalam mobilnya, hal itu membuat dirinya lupa akan keadaan kakinya yang sakit karena mengenakan sepatu hak tinggi milik Lisa.

Rasa sedih karena hanya sebentar bertemu kekasihnya seketika hilang. Padahal ia rela berdandan karena ingin memperlihatkan jika dia juga bisa tampil feminim layaknya gadis lain.

Alindya pernah di protes oleh kekasihnya karena setiap hari hanya memakai celana jeans dan kaos, tetapi ia tak peduli dengan protesan kekasihnya karena ia sudah merasa nyaman dengan berpakaian seperti itu.

Alindya terus menertawakan Ravendra di dalam mobilnya, hingga ia tiba-tiba teringat akan kekasihnya. "Coba ada Kaivan di sini, pasti dia seneng!". Alindya melirik ke luar jendela mobil kemudian melaju meninggalkan resto.

Kaivan yang benar-benar membenci Ravendra akan sangat senang jika mengetahui Ravendra tengah dipermalukan di depan publik.

Ravendra yang terlahir dengan wajah tampan dan bentuk tubuh tegap sempurna membuat setiap pria merasa iri termasuk Kaivan, kekasih Alindya yang selalu menceritakan hal buruk tentang Ravendra hingga membuatnya di benci oleh Alindya.

Wajah rupawan Ravendra sempat terpajang pada sampul sebuah majalah karena ia masuk dalam nominasi CEO muda berbakat dengan banyak tender yang ia menangkan dan membuat perusahaannya semakin terkenal.

Selain itu banyak juga para pencari berita yang mengulik tentang kebiasaan dan kehidupan pribadi Ravendra yang menginspirasi hingga membuatnya semakin menjadi idola masyarakat.

Hal itulah yang membuat Kaivan semakin iri, selain karena merasa hanya Ravendra saja yang menjadi terkenal walau ada Kaivan yang juga CEO muda, tetapi memang sudah sejak mereka di bangku sekolah menengah Kaivan selalu merasa iri saat melihat Ravendra yang selalu berprestasi dan selalu di puja-puja oleh seluruh gadis di sekolah, hingga mantan kekasihnya dulu juga ikut mengidolakan Ravendra.

Namun kali ini Kaivan tengah beruntung karena memiliki kekasih seorang anak dari pengusaha yang cukup terkenal dan dengan mudahnya ia dapat menghasut Alindya agar membenci Ravendra.

Tak cukup sampai di situ, kini Kaivan juga tengah menyusun rencana untuk menghancurkan Ravendra dari dalam. Iya, Kaivan akan menghancurkan hati Ravendra karena berselingkuh dengan kekasih Ravendra.

Di sisi lain, kini Ravendra telah sampai di kediamannya. Rumah megah yang bernuansa putih dengan lampu-lampu kristal di setiap ruangan menambah kesan mewah dan tidak ada yang dapat menandingi kesuksesan keluarga Wardhana.

Kedatangan Ravendra di sambut oleh ibunya yang tampak khawatir melihat penampilan sang anak yang biasanya terlihat rapih dan bersih dari pagi sampai pagi lagi. kini tampak lusuh dan kotor serta wajahnya yang penuh dengan kekesalan.

"hey, apa yang terjadi padamu sayang?", tanya bu Felicia , orang yang paling di sayangi oleh Ravendra karena kelembutan hatinya.

Bu Felicia terkejut saat melihat kemeja putih yang di kenakan anaknya berubah warna menjadi coklat.

Dengan langkah kaki yang cepat, Ravendra menjawab pertanyaan ibunya. "Maaf, ma! saya tidak bisa cerita sekarang. badan saya sangat tidak nyaman, saya harus segera membersihkannya". Bu Felicia hanya menganggukkan kepalanya membiarkan Ravendra pergi menuju kamarnya.

Sesampainya di dalam kamar, ia segera melepaskan jas dan kemeja yang di pakainya kemudian melipatnya sembarang untuk di masukkan ke dalam kantong plastik berwarna putih untuk kemudian meminta asisten rumah nya agar membuang pakaian yang terlalu kotor dan nodanya tidak akan hilang walau telah di cuci itu.

Ia bergegas memasuki kamar mandi dan merendam tubuh kekarnya di dalam bathtub yang sudah ia isi dengan air hangat, tak peduli selarut malam apapun ia tetap mandi untuk membersihkan badannya.

Butuh waktu kurang lebih dua jam untuk sekedar membersihkan badan dan dua puluh menit untuk memakai pakaian.

"Dengan tingkat kekotoran yang seperti ini, saya butuh waktu tambahan untuk membersihkannya". Ravendra menggosok badannya dengan penuh hati-hati.

Di waktu yang sama, Alindya tengah menelpon Lisa ia menceritakan tentang dirinya yang tadi baru pertama kali bertemu secara langsung dengan rival kekasihnya itu.

Alindya bercerita dengan sangat antusias sedangkan Lisa hanya mendengarkan sambil menahan rasa kantuknya.

"Lis, lo denger gue cerita nggak sih?" tanya Alindya.

"hmm.. iya", jawab Lisa.

"lo kenapa sih, Lis? kayaknya gak suka kalo gue cerita soal dia", tanya Alindya kembali.

"Alin, lo tau nggak ini jam berapa? lo bangunin gue cuma buat ceritain cowok arogan itu, kayak gak ada waktu lain aja! besok juga kita ketemu lagi di kafe, kan!", jawab Lisa.

Sejenak Alindya menatap jam yang menempel di dinding kamarnya yang menunjukkan waktu mereka biasanya sudah di alam mimpi, lalu ia tertawa canggung. "Hehe.. sorry sorry Lis! gue gak bisa tidur nih. soalnya kepikiran terus kata ayah tadi pagi!".

"emang om Bagas ngomong apa?", tanya Lisa penasaran.

"gue mau di dijodohin sama anak temen nya ayah, terus ayah bilang Kaivan bukan dari keluarga baik-baik!", jelas Alindya.

Mendengar ucapan Alindya membuat Lisa terkejut dan rasa kantuknya mendadak jadi hilang.

"Gue setuju sama om Bagas, Kaivan itu keliatannya emang gak baik buat lo. terus menurut gue sih terima aja perjodohan itu, orang tua lo pasti udah kenal banget sama anaknya temen ayah lo itu!".

Lisa memang tidak suka dengan Kaivan yang tampak mempermainkan Alindya, sudah sering kali Lisa meminta Alindya untuk memutuskan hubungannya dengan Kaivan tetapi Alindya tetap mempertahankan hubungan mereka yang sudah berjalan selama dua tahun itu.

Alindya terdiam mencerna pendapat Lisa yang menyarankan agar ia menerima perjodohan yang dibuat oleh ayahnya.

"mending buruan deh lo putusin dia terus terima perjodohan itu, siapa tau cowoknya ganteng, haha. daripada lo pacaran kayak cuma di mainin doank sama si kampret itu! lo itu berubah tau gak, sih? kayak jadi lebih pendendam sama orang yang sebenernya belum lo kenal!", saran Lisa.

Alindya mendengarkan semua perkataan sahabatnya. Memang benar Kaivan seakan hanya mempermainkan perasaannya saja, tapi rasanya begitu sulit untuk mengakhiri hubungannya dengan Kaivan. Walau baru dua tahun berjalan, tetapi sudah banyak hal yang mereka lalui bersama baik itu saat senang atau sedih sekalipun.

Namun semenjak Kaivan mulai mengelola perusahaan ayahnya, ia juga mulai di sibukkan dengan segudang pekerjaan di tambah lagi dengan ambisinya yang ingin mengalahkan Ravendra, ia terus bekerja keras.

Kaivan tidak peduli jika jalan yang ia lewati untuk mengalahkan Ravendra adalah jalan yang buruk sekalipun, ia hanya ingin lebih unggul dari Ravendra saat ini.

Tanpa terasa air mata Alindya pun terjun bebas dari kelopak mata indahnya, ia menyadari kebodohannya, ia telah di butakan oleh kalimat-kalimat cinta yang terucap dari mulut manis Kaivan yang membawanya terbuai dalam suatu ketidakpastian.

"Alin, lo nangis? duuh, sorry yaa. pasti kata-kata gue tadi udah bikin lo sedih yaa". Lisa merasa bersalah karena telah menyarankan Alin untuk putus dengan Kaivan dan menerima perjodohan yang di buat ayahnya.

"nggak, Lis. udah dulu ya, kayaknya gue butuh waktu buat sendiri dulu. makasih ya, udah mau dengerin curhat gue", Alindya terisak kemudian ia mematikan sambungan telepon tanpa mendengar jawaban dari Lisa terlebih dahulu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!