NovelToon NovelToon

Siswi Gendut Itu, Istriku

Bab 1# Awal Kesalahpahaman

Langit senja di ufuk barat, terbentang memantulkan cahaya indahnya ke arah balkon kamar seorang gadis muda bertubuh gendut, tapi terlihat menggemaskan dari wajahnya yang imut. Srimadona Putri namanya, tetangga Alhiro Sitepu, pria yang selama ini Dona halukan menjadi pangeran berkuda putih bin suami idaman kelak lulus sekolah nanti.

"Haiiii!" Dari atas balkon, Dona menyapa manja tetangganya, si cogan impiannya dari kecil itu. Ya ... Hiro baru keluar ke pelataran rumahnya, seperti biasa akan latihan basket di sore hari menjelang magrib.

Baju singlet hitam membalut tubuh berotot Hiro, berhasil membuat liur Dona penuh. Roti sobek Hiro di balik kain itu pasti empuk empuk hangat gimanaaaa gitu.

"Apa?" katanya galak. Dona seketika sadar dari halunya yang sempat omes telah mengelus elus manja perut kotak kotak Hiro.

"Nggak, cuma nyapa pangeran aja. Semangat ya!"

"Huu..." Hiro bersorak jengkel. Sejurus mendribble bola basket, acuh tak acuh pada gadis gendut manja yang kadang tak tahu malu menumpang makan di rumahnya. Alasan anter buah lah, ini lah dan itulah, tau taunya ngisi perut karungnya sampai dua piring. Ilfil sekali Hiro pada Dona.

Ya ampuuun ... jutek - jutek kok keren pakai banget ya di mata Dona. "Gue mau dong jadi bolanya, kalau perlu dipantul pantulin ke hati lo juga rela dah."

Dengar 'kan gombalannya? Kepedean si gendut setinggi langit, Hiro jadi tidak berselera lagi bermain basket. Bola ia apit dengan tangan satu ke sisi pinggang kirinya. Menengadahkan kepalanya ke arah balkon Dona dengan mata memicing sebal. "Eh, Ndut! Daripada ganggu konsentrasi latihan gue, mending lo sono ngegym. Buktiin ucapan lo yang sepuluh tahun berlalu. Lo masih ingat kan? Kalau pun lupa, gue segerin otak udang lo. Ehem..." Hiro berdeham sejenak menetralkan suaranya yang akan meniru ke-alay-an Dona waktu duduk di bangku SMP. Dari TK, SD dan sekarang SMA ini, Dona masih tetap sama ... Sapi bocor yang mengidolakannya.

"Woi, Hiro. Puas - puasin aja deh lo ya ngejek gue pakai sebutan gendutlah, karung beras dan bahkan sapi bocor. Tapi camkan baik baik, sepuluh tahun yang akan datang, body bahenol gue akan mengalahkan gitar spanyol. Lo bakalan klepek klepek dah sama pesona gue. "

Begitulah kalimat menggebu gebu Dona tempo dulu. Hiro kadang pengin muntah mendengarnya.

Alih alih sakit hati mendengar ejekan semangat Hiro, Dona malah terkikik kikik seperti kuntilanak yang pas keluar di waktu magrib seperti saat ini.

Hiro merinding. Seram melihat Dona. Sembari berlalu ke arah pintu rumahnya, Hiro kembali mengejek, "Beberapa bulan ke depannya, akan ada hari raya qurban, lo jangan lupa daftarin diri lo. Biar lemak lo yang di perut dibedah bedah."

Kampret! Qurban kan butuhnya hewan, bukan manusia chubby seperti Dona.

"Huuuu... Gue sumpahin lo bucin sama perut lemak gue," teriak Dona gemas, sambil nungging nungging ke pagar besi pembatas balkon, memastikan Hiro bisa mendengar sumpah serapahnya.

"Adu ... adu ... adu!"

Mampus, Dona kualat main sumpah serapah di hari yang sudah magrib. Kakinya tidak sengaja tergelincir sehingga badan spesialnya bablas keluar pagar.

Tubuh segede anakan gajah itu, menjuntai ke bawah seperti tumbuhan. Tangannya berpegang kuat di pagar besi. Dona yang masih shock, tidak bersuara. Tapi saat matanya menoleh ke bawah, toa masjid pun kalah memanggil histeris, "Mamaaaa ... Papaaaa, toloooong...!"

Bukan hanya orang tua Dona saja yang keluar mencari sumber suara itu, melainkan keluarga Hiro dan juga Olla-sahabat satu satu Dona yang rumahnya di seberang jalan komplek sederhana tersebut.

Melihat tubuh gendut Dona yang menjuntai, tiga keluarga itu sudah berada di bawah posisi Dona, panik. Kecuali, Hiro yang bertolak pinggang seperti tidak peduli.

"Kak Dona, main panjat panjatan ya? Nara ikut dooong."

"Nora juga mau ikutan. Seru kayaknya..."

Seru jigong lo pada. Dona ingin sekali mengetuk jidat-jidat adik kembarnya yang nakal dan iseng. Tapi bukan waktunya untuk berdebat. Dona masih menunggu pertolongan dari orang orang yang gelagapan mencari ide membantunya di bawa sana.

"Pegangan, Dona. Papa cari tangga dulu. Adu, tangganya kan rusak." Pak Amar menepuk panik jidatnya.

"Ambil kasur aja," ide Pak Fauzi- calon mertua idaman Dona.

Para orang tua ngebirit masuk rumah Dona. Termasuk para istri - istri, berniat mengambil kasur sesuai ide cemerlang Papa Hiro itu. Tinggal Hiro, si kembar Nara Nora dan Olla serta Dafa- adik Hiro.

"Lompat aja, Ndut. Lemak lo kan tebal bisa membal seperti balon!" seru Hiro dengan suara girang mengejek Dona.

"Tega amat sih. Nanti gue mati, lo jadi duda sebelum nikahin gue."

Sudah kena masalah, Dona masih saja punya halu tingkat tinggi. Hiro berdecak sebal.

"Eh, Hiro. Badan lo kan punya otot. Bantuin Dona dong! Ambil kuda kuda dimari, mana tau tangannya enggak kuat, lo tangkap deh," ujar Olla mengintruksi. Kasihan sahabatnya yang panik takut di atas sana, sudah mirip kingkong gelantungan.

"Ogah, adanya gue gepeng ketiban Sapi." Hiro menolak keras. Si kembar malah terbahak-bahak lucu mendengar perdebatan kecil yang sudah biasa terjadi.

"Mungkin capten Amerika yang punya kekuatan super pun akan berpikir sepuluh kali nangkap tubuh Dona yang segede gajah," kata Hiro lagi.

Dona memerengut. "Jahat amat sih!"

"Buruan. Aduh, pakai nyangkut segala lagi ah." Para orang tua tiba, gotong royong membawa kasur springbed ukuran nomer satu.

"Tangan Dona uda enggak kuat. Papaaaaa...!" jerit Dona pasrah.

"Sabaaar, Dona!" Hilda-Mamanya yang menyahut. "Tahan, Naaak..."

Melihat sarung Pak Rt- Papa Olla nyaris melorot, Hiro mengambil alih kasur yang menyangkut. Memprediksi Dona akan mendarat sebelum kasur berada di posisi strategis, Hiro dengan cepat mendorong dorong kuat kasur itu.

Duaaagh...

Selamat kah?

Saking paniknya melihat pertahanan Dona terlepas, semua orang malah terpaku sembari menutup mata di seperkian detik.

"Lo memang pangeran penyelamat gue..." Dona menangis setengah terharu menatap Hiro yang ternyata peduli padanya. Tubuhnya masih terlentang shock di atas kasur empuk.

Kecuali Hiro yang masih stay cool, semua mata yang terpejam takut, kompak membuka mata. Lega mendengar suara Dona yang berarti selamat dari celaka.

Cecar pertanyaan awal mula bisa gelantungan di atas dari para orang tua ke Dona, Hiro pun mengambil kesempatan masuk ke rumahnya, tidak minat dirinya mendengar kecerobohan Dona.

***

Lepas dari insiden kekonyolan Dona, malam harinya Pak Fauzi mengajak istri serta kedua anaknya yakni Hiro dan Dafa, datang menghadiri acara makan malam di rumah Dona, dalam rangka syukuran hari kelahiran Pak Amar.

Sebenarnya, Hiro malas ikut serta karena pasti akan bertemu dengan Dona. Tapi Papanya memaksa untuk hadir dengan dalih menghargai undangan Pak Amar-sahabat Papanya.

"Silakan masuk!" Pak Amar menyambut keluarga Hiro dengan senyum ramah nan bahagia. Tinggal menunggu Pak RT- keluarga dari Olla.

Tak ada selera, Hiro berjalan masuk di barisan paling belakang. Celinguk dulu memindai keadaan, untuk sementara waktu ia aman dari Dona meski ujung ujungnya akan berhadapan bersama di meja makan nantinya.

Duduk diam, Hiro hanya melihat Papanya dan Pak Amar sedang mengobrol. Tania-Mamanya main menelusuri ruangan menuju dapur, menyusul Ibu Hilda.

Si kembar tiba-tiba datang, gadis gadis berumur sepuluh tahun itu mengajak Dafa bermain petak umpet bersama. Ya... Mereka memang sebaya, nakal dan jahilnya pun sama.

"Kak Hiro, mau ikut main enggak?" Nara mengajaknya dengan tatapan memohon. Duh, manis sekali adik Dona ini, tidak seperti kakaknya yang gendut.

"Kakak kan uda besar. Jadi enggak aman untuk bersembunyi di mana mana," tolak halus Hiro.

Nara yang punya seribu akal di otaknya, membalik tubuh mungilnya ke arah Pak Fauzi. "Om, Kak Hiro nggak mau temani kami main, bujukin dong," adunya sembari memamerkan puppy eyes-nya. Gemas Papa Hiro itu pada tingkah manis Nara.

"Hiro, temanilah sebentar sebelum makan malam dimulai, Nak," pinta Pak Fauzi lembut.

"Iya, iya. Hiro temani."

Si kembar dan Dafa tersenyum jumawa. Tiga bocah itu tahu, kalau Hiro tidak pernah bisa membantah keinginan Pak Fauzi.

"Kakak jadi kucingnya dah. Sana pada sembunyi, tapi jangan ada yang keluar rumah. Nanti bisa diculik wewe gombel." Hiro menakuti bocah bocah nakal itu yang refleks memberi anggukan kode pahamnya.

Dirasa waktunya mencari, Hiro pun menelusuri ruangan lantai satu sampai masuk ke dapur. Ada Mamanya serta ibu Hilda sedang sibuk menata makanan ke meja makan.

"Kembar dan Dafa ada kemari nggak, Tan?"

"Mereka pasti maksa kamu main kan?" tebak Ibu Hilda tidak enak hati mengingat tiga anaknya sering mengganggu Hiro, apalagi Dona tuh yang paling gila.

Hiro mengangguk membuat Ibu Tania terkekeh. Anaknya yang cool ini ternyata bisa diperdaya oleh tiga bocah. "Mereka nggak ada masuk kemari. Mungkin di lantai dua."

Lantai dua? Wilayah Dona dong. Hah... Semoga Sapi bocor itu molor lupa waktu karena kejadian tadi sore.

Terpaksa Hiro menaiki anak tangga. Ada dua kamar di hadapannya. Seumur umur bertetangga dengan Dona, ia tidak tahu letak kamar Sapi bocor itu.

" Cap cip cup yang mana kamar Dona..." Telunjuk Hiro ke arah pintu sebelah kanan, menebak. Itu tandanya kamar si kembar sebelah kiri.

Okay ... Hiro akan meringkus trio nakal itu. Lumayan juga buat hilangin kegabutannya. Tanpa suara dan dengan percaya diri mengira kamar yang dihampirinya itu adalah milik si kembar, Hiro pun membukanya secara perlahan.

Ceklek...

"Aaarggh..."

Ternyata kamar Dona. Sang pemilik menjerit kaget akan kedatangan Hiro diwaktu yang tidak pas. Dona yang habis mandi, kini baru memakai kain 'haram' kacamata berikut segitiga pink di bawahnya. Terang saja Hiro juga terpekik sama, tidak menyangka akan mendapat pemandangan setengah bugil dari tubuh sapi bocor tapi mulus punya itu.

"Handuk mana?"

Dona kelabakan mencari handuk yang tadi ia lempar asal asalan sembari berusaha menutupi tubuhnya dengan silangan tangan yang sama sekali tidak membantu.

Hiro yang masih linglung, refleks tanpa sadar menarik selimut dari atas kasur, ingin membalut tubuh Dona dengan mata tertutup rapat, enggan melihat lama lama yang tak sepatutnya disaksikan.

Sial bagi Hiro, ia malah tersandung ujung selimut sehingga tubuhnya mendorong Dona. Mereka jatuh bersama tepat di atas kasur dengan posisi Hiro di atas tubuh Dona. Hiro yang ingin bergegas turun, malah berujung kesusahan. Tubuh Dona yang empuk itu berujung di tekan terus.

"Hiro, turun!" marah Dona. Tangannya terbalut selimut yang dililitkan asal asalan Hiro tadi.

"Su__"

"HIRO!"

"DONA!"

Kesialan selanjutnya, Pak Amar dan Pak Fauzi meneriaki murka anak masing-masing. Pemandangan tak senonoh itu, terkesan Hiro telah memaksa Dona melakukan hal yang di luar nalar. Bukan hanya dua keluarga yang menyaksikan, tetapi Olla beserta Papanya selaku Pak RT pun menjadi saksi mata kelakuan Hiro.

Bab 2# Akan Bertanggung Jawab

"Ini ... ini ... tidak seperti yang kalian pikirkan." Hiro menjauh dari kasur dengan berusaha meyakinkan wajah wajah orang murka kekecewaan di depannya. Ia tergagap karena tiba tiba menjadi tersangka.

"Papa kecewa padamu, Hiro!" Pak Fauzi melengos malu akan perlakuan anak sulungnya.

"Kalian salah paham!" Dona pun ikut menyuarakan kekeliruan yang dipikirkan para orang tua sembari berusaha mempertahankan selimut yang membalut tubuhnya.

"Dona, selama ini papa tau kalau kamu mengagumi Hiro. Tapi enggak dengan cara membela kelakuan Hiro barusan. Pikir pakai otak udang mu, Dona! Jangan bodoh terus jadi anak! Bagaimana kalau kamu hamil, hah? sebagai wanita, kamu yang akan rugi. Keluarga akan dicap tidak becus mendidik anak." Pak Amar memuntahkan kekecewaannya. Ia tertunduk malu karena ada Pak RT yang notabenenya orang luar ikut menonton aib anaknya.

" Mama, tolong bantu Hiro ... Kalian salah paham! Tolong percaya sama Hiro!"

"Tidak ada maling yang mengaku, Hiro. Sungguh, Mama malu dengan kalakuan mu ini!" Bahkan Tania pun enggan mempercayainya. Mamanya itu justru sibuk mengelus elus bahu Hilda yang menangis sedih.

Dona dan Hiro yang berniat kembali menjelaskan, secara bersama bungkam tatkala Pak RT memberi jalan tengahnya, "Sebagai ketua RT di kompleks ini, saya menyarankan agar mereka dinikahkan saja. Demi menghindari fitnah dan zina berkelanjutan."

Nikah?

"Enggak! Enggak dan enggak!" Hiro langsung saja menolak tegas. Membuat kekecewaan dan kesedihan Hilda sebagai Ibu yang paling dirugikan, kian pecah tangisnya.

Plaaaakk...

Seumur umur baru kali ini Pak Fauzi menampar anaknya. Dona sampai membelalak kasihan pada Hiro. Lagi lagi, pembelaan yang akan keluar dari mulutnya, ditelan kembali. Takut takut, Papanya juga main gaplok. Istimewa wajah Papanya itu sudah merah meradang menahan emosi yang kapan saja bisa meledak seperti bom. Seram, diam dan terima saja keputusan akhirnya.

"Papa...?" Hiro termangu sembari memegangi pipinya yang nyeri. Ia marah dan kesal, tapi rasa hormatnya sebagai anak masih dijunjung tinggi oleh Hiro. Oleh sebab itu, ia hanya menunduk dalam, mencoba menekan segala emosi yang di dada.

"Papa tidak pernah mendidikmu menjadi pria banci, Hiro. Berani berbuat, berani pula menanggung resikonya. Selama ini, Papa mengira Papa berhasil mendidik mu dengan benar. Tapi ternyata...." Pak Fauzi memijit keningnya, mencoba menahan emosi yang hampir meledak seluruhnya.

"Dona, maafkan segala kesalahan anak, Om. Kamu mau kan menikah dengannya? Ini sebagai bukti tanggung jawabnya," tanya Fauzi. Dona mengangguk spontan membuat Hiro kian membenci Dona karena pikirnya si gendut ini secara tidak langsung membenarkan tuduhan yang hendak melecehkan.

"Eh, apa, Om? Menikah?" Jujur, Dona tidak terlalu mencerna ujung pertanyaan Pak Fauzi tadi. Ia mengangguk spontan karena memang memaafkan Hiro yang sebenarnya tidak ada kejadian yang dituduhkan.

"Iya, menikah," ulang Pak Fauzi.

Jawab apa ya? Dona melirik terlebih dahulu pada wajah wajah kecewa kedua orangtuanya. Duh, Mamanya berlinang air mata. Padahal dirinya masih suci tersegel serapat paket yang belum di unboxing. Lirik ke Papanya juga. Aih, ngenesin ... Dona diberi tatapan sedih luar biasa. "Gimana buktiinnya ya, kalau gue tuh masih ting ting? Andai selaput darah bisa dirogoh, gue pamerin langsung sebagai bukti. Bila perlu gue bingkai dan gue pajangin," batin Dona kasihan juga pada Hiro yang tertudu. Sebenarnya senang sih mau dinikahkan dengan Hiro, tapi tidak begini juga caranya yang dicap sudah menodai nama keluarga. Impian Dona tuh, maunya dilamar romantis ala ala drakor kesayangannya.

"Eh, sapi bocor. Jelasin pada mereka kalau gue nggak pernah nafs* sama lu. Dekat dekat aja ogah, apalagi harus __"

"Hiro!" bentak Pak Fauzi tidak habis pikir pada mulut anaknya ini yang dianggapnya munafik. "Kami semua tidak buta, dengan jelas menyaksikan adegan pemaksaan kamu di atas tubuh Dona!"

Rasain diomelin lagi. Dona menyeringai puas. Hiro ini sudah dikasihani, malah menghinanya habis habisan. "Aku mau, Om. Hiro memang masuk ke kamar aku tanpa izin!"

Aih... Dipelototin Hiro sampai mata itu seakan akan mau menggelinding. Tapi bodo amat, ia kan memang tidak berbohong sepenuhnya. Hiro masuk sendiri tanpa ketuk pintu apalagi salam ramah. Menurut Dona juga, Hiro tetap harus bertanggung jawab karena tubuh setengah polosnya sudah dilihat Hiro.

"Eh, Donat. Tarik nggak omongan lo!"

"Donat? Om, Tante, dengar kan? Hiro memang selalu jahat kepada ku di depan kalian, tapi aslinya mah doyan sama yang gendut gendut! Gengsi dia, Om. Padahal tadi nih, ya. Hiro tuh manis manis merayu ku, Tan."

Semakin Hiro body shaming padanya, semakin Dona pun ingin membalas. Dan rasakanlah karangan bebas nya yang berhasil memupuk emosi Pak Fauzi dan lainnya.

Aaarggh... Awas lo Sapi bocor! Rasanya, Hiro ingin sekala menjadikan lemak Dona sebagai samsak tinjunya. Dona ini semakin mengibarkan bendera peperangan padanya. Baiklah, Dona akan menyesali karangan bebasnya nanti.

"Oke, Pa, Om dan semuanya. Hiro mau tanggung jawab."

Yes ... Nikah sama pujaan hati? Dona jelas bahagia tralalalili. Ingin deh Dona goyang maut atau minimal loncat loncat di atas kasur nya, sebagai ekspresi kesenangan hatinya. Tapi, malu. Nanti saja kalau orang-orang pada keluar.

" Eh, tapi ... kami kan masih sekolah?" Dona baru sadar akan stasusnya. Meski nilainya itu pas-pasan, tapi kan ia juga punya impian.

"Nah, itu. Kami masih sekolah." Kali ini, Hiro sependapat dengan Dona. Semoga batal, semoga, semoga, rafalnya seperti mantra dalam hati.

"Papa sebagai kepala sekolah kalian memang tidak membenarkan ada siswa yang melanggar peraturan. Tapi mengingat hukum dosa zina yang akan kami tuai sebagai orang tua di neraka nanti, karena tutup mata akan kelakuan buruk kalian yang entah sudah berapa kali terulang, Papa tetap akan memutuskan untuk menikahkan kalian berdua, meski sekadar nikah tersembunyi dikhalayak umum tapi sah dan jauh dari zina. Bagaimana, Amar, Hilda, kalian tidak keberatan kan kalau pernikahan mereka berlangsung di KUA saja?"

Mimik wajah Hiro tertekuk lesu. Pupus sudah harapannya saat kedua orang tua Dona menyetujui segala pernyataan Papanya.

Lain halnya Dona, raut wajah gadis itu berseri seri layaknya berhasil memenangkan lotre. Meski Dona tahu, Hiro tidak ada rasa padanya, tapi sifat kepercayaan dirinya yang tinggi, akan mencoba meraih hati Hiro. Bukannya ada pepatah mengatakan, 'cinta akan bersemi seiringnya kebersamaan?' Ya ... Dona akan memperuntunkan hidupnya, tidak ada salahnya mencoba bukan? Meski ia tahu konsekuensinya adalah sakit hati jika rumah tangganya berjalan tidak sesuai ekspektasi.

"Besok pernikahan akan berlangsung. Pak RT, mohon bantuannya agar segala sesuatu yang Bapak saksikan tidak tersebar ke telinga telinga lainnya," tutur Pak Fauzi lagi.

Hiro yang tidak bersemangat, segera meninggalkan tempat itu. Tidak peduli lagi dengan segala pembicaraan.

"Eh, Dona!" Berlalunya seluruh orang orang di kamar Dona, Olla yang sedari tadi diam mencerna, segera duduk di sebelah Dona yang senyum senyum gaje.

"Lo uda gila ya?" toyor Olla di kening Dona.

"Eum, gue waras kok." Dona masih senyum senyum sembari menopang dagunya dengan otak menerawang malam pertama bersama Hiro. Pasti indah.

Sekonyong-konyongnya, Olla yang ngeri dengan ciri ciri kegilaan yang akan disandang sahabatnya ini, tidak pakai hati memukul wajah Dona menggunakan bantal.

"Ih, ganggu aja deh!" Dona mencibirkan bibirnya.

"Lagian lo senyum senyum sendiri dan ngapa pula lo mau nikah muda hah? Saraf lo ya!"

"Ih, Olla. Kok tega sih. Lo kan tahu, kalau menjadi pacar Hiro adalah salah satu impian gue dari dulu. Apalagi ini mau jadi istrinya langsung, ngebet lah gue."

Kening Dona kembali berdenyut oleh tangan gemas Olla. "Pikir pakai otak, Donaaaa! Jangan lemak doang yang lo tumpuk," desis Olla, iba antara kesal pada sahabatnya ini. "Di sekolah, Hiro itu adalah cowoknya Liana! Liana si ratu bully! Liana teman duet Hiro sebagai vokalis! Lo enggak amnesia kan?"

"Aih, maksudnya, gue pelakor dong?" Mata Dona yang sipit melebar seolah kaget. Tapi ujung ujungnya, gadis tukang halu ini malah tersenyum santai. "Liana kan uda cantik tuh, nggak adil kalau bersanding sama pangeran tampan seperti Hiro. Cocoknya tuh, sama si Dodit yang gendutnya kayak gue. Itu baru seimbang memperbaiki keturunan kelak. Makanya, La, kalau pelajaran sains biologi itu jangan tidur!"

"Seraaaaaah deh lo ah, seraaah..." Olla berteriak keras di sisi kuping Dona. Sahabat ini memang cinta mati sama Hiro. Sering di bully body shaming juga terima terima saja. "Dasar bucin!"

"Hiro yang akan bucin sama gue!"

"Lewat mimpi!"

Eh, ada Hiro lagi di ambang pintu. Duh, wajah yang tampan kok terlihat kecut ya.

Olla sudah mengambil kuda kuda, mana tahu Hiro datang ingin membalas Dona dengan cara kasar.

"Calon suami, uda nggak sabar nunggu besok ya?" goda Dona dengan senyum manis. Mana peduli dengan raut wajah tak bersahabat Hiro.

Calon suami? Dih, geli Hiro mendengarnya.

"Ya, gue nggak sabar! Nggak sabar lemak lo itu jadi samsak tinju gue!"

Entah kenapa, samsak yang dimaksud Hiro, terkesan mempunyai arti lain bagi Dona.

"Mau dong dijadikan samsak di kasur!" Dona berkedip lucu.

Hiro akan sama gilanya kalau berlama lama meladeni Dona yang rada rada mesum otaknya. Ia datang lagi karena mencari hapenya yang mungkin jatuh di kasur Dona.

"Olla, cariin hape gue di dalam selimut!" titah Hiro yang ogah ogahan mendekati Dona. Takut diterkam seperti singa kelaparan.

Ollla yang ingin memastikan, tertahan saat hape itu sudah berada di tangan Dona. Layarnya menyala tepat ada pesan masuk dari cewek Hiro yang bernama Liana.

"Cewek lo nge-WA __Eits!" Dona jeli menyembunyikan hape Hiro saat pria itu mau merebutnya.

Olla- si cewek galak itu pasang badan seketika. "Lo nggak lupa kan sama ancaman gue semenjak kita kecil? Gue sering ancam akan memotong burung lo kalau terus membully Dona. Lo nggak mau kan ada burung bergoyang goyang seperti ekor cicak di lantai?" Olla sudah membawa kater saja yang ia peroleh dari meja belajar Dona. Ingin memperingati Hiro kalau resikonya akan fatal jika menyakiti sahabat satu satunya.

" Saraf lo berdua!" Hiro kabur setelah mengatai sepasang sahabat meresahkan itu. Dari dulu, Olla memang pelindung Dona yang kerap mendapat bully-an karena bodynya yang gendut.

"La, lo kayak sikopat di film film tau nggak." Dona aja ngeri melihat kegalakan Olla.

"Pakai sekali lagi otak lo, Dona. Hiro nggak cinta sama lo. Segala keputusan akan ada konsekuensinya, entah itu beruntung atau lo akan buntung!"

"Iya, gue paham. Tapi kalau enggak coba, kita kan tidak tahu finisnya. Betul apa salah?"

"Seraaah!"

***

Bab 3# Saling Memperingati

"Saya terima nikah dan kawinnya Srimadona Putri binti Bapak Amar Yusuf dengan mahar tersebut dibayar tunai."

"Saaaahhh..."

Tolong siapapun, sadarkan Dona. Bilang padanya kalau penyakit halunya lagi tidak kumat. Seriously, Dona tidak menyangka akan disebut sakral namanya oleh Hiro di depan Papanya dan pak penghulu serta saksi saksi di ruangan kantor KUA langsung.

Senaaaangnya itu sebesar gunung dan seluas samudera. Lebay memang, tapi kenyataannya perasaan Dona itu kini melambung jauh.

Menuai doa baik dari satu persatu dua keluarga saat ini juga membuat Dona terharu. Apalagi nasehat Papanya ke Hiro yang berbunyi, "Dona sekarang adalah tanggung jawabmu, Hiro. Papa memohon agar segala kekurangannya kamu terima. Cintai dan sayangi anak Papa, Nak. Jangan sakiti anak kami yang telah Papa percayakan seutuhnya padamu. Berbahagialah selalu!"

Hiro yang serba salah, hanya bisa mengangguk dan tersenyum paksa mananggapi harapan dan kepercayaan Pak Amar padanya. Rasanya, Hiro ingin terbang ke bulan saja untuk menyepi dari situasi yang menjebaknya ini.

Inilah namanya nasi sudah menjadi bubur. Ia tidak bisa mengulang waktu untuk sekadar menghindari pernikahan dini yang sudah terjadi.

Selesai acara, mereka semua meninggalkan kantor KUA tersebut. Dona yang biasanya cerewet, tumben tumbenan jadi pendiam di sepanjang perjalanan. Jujur, jantungnya itu bekerja dua kali. Deg degannya mungkin terdengar oleh Hiro yang duduk di sampingnya.

"Ingat ya, kalian harus menyembunyikan ini dari teman-teman sekolah kalian. Untuk Olla, Papa sudah berbicara padanya," tutur Pak Fauzi lembut di balik kemudi. Ada Mama Hiro juga di sampingnya.

"Iya, Pa," jawab Dona dan Hiro tidak sengaja begitu kompak. Ibu Tania terkekeh lucu melihat anak mantunya.

Sampai rumah, Dona langsung digiring masuk ke dalam kamar Hiro oleh Ibu Tania.

OMG, serius nih, ia akan satu kamar dengan Hiro?

"Sekarang, kamar ini juga milik mu. Baju ganti sudah Mama siapin di dalam lemari. Selamat istirahat..." Ibu Tania mencubit gemas pipi Dona. Dari dulu, ibunya Hiro itu sudah sayang pada Dona yang notabenenya adalah anak sahabatnya. Menjadi menantunya, jelas ada rasa bahagia. Istimewa, ia tidak punya anak perempuan. Pasti asyik diajak masak masak atau belanja bersama.

Di kamar Dafa, Hiro enggan sekali meninggalkan teritoria adiknya itu. Ia tahu, Dona sudah berada di biliknya.

"Abang tidur di sini ya, Daf."

"Kagak boleh!" tolak Dafa tegas. Bocah itu langsung loncat ke kasurnya. "Lihat kan, kasur Dafa cuma cukup satu orang, sempit!"

"Pelit...!"

"Bodo amat!"

"Hirooo....!"

Suara Tania terdengar memanggil.

"Ada di sini, Maaa..."

Kunyuk nih bocah, niat hati ingin bersembunyi, Dafa malah balas berteriak.

Ceklek...

"Ngapain di sini?" kata Tania memicing curiga. Jangan bilang akan kabur di malam pertama.

"Itu, Ma. Dafa minta ngerjain PR nya ke Hiro."

Dafa mendapat delikan galak seketika. "Mau jadi apa anak bangsa, jika masih kecil saja udah belajar nipu. Kerjain sendiri pakai otak bukan pakai dikerjain."

Siapa suruh pelit, ma'am tuh omelan.

"Hir, ini handuk baru untuk Dona. Mama lupa ngasihnya. Buruan beri sana."

Adakah lubang semut? Hiro ingin sembunyi.

"Iya, Ma."

"Iya, iya-nya saja tapi nggak gerak gerak."

Dafa tersenyum senyum manakala melihat ketidakberdayan Hiro.

"Sabar, Ma. Ini juga mau jalan kok."

Ogah ogahan sebenarnya kakinya itu beranjak, tapi Mamanya masih mengawasi sampai bayangannya masuk ke kamarnya.

"Alhamdulillah, Dona nggak ada. Mungkin uda pulang ke rumahnya kali ya." Hiro elus dada lega.

Cepat cepat dia mengunci kamar, manakala sudah memastikan kamar mandinya itu kosong.

"Aman..." Hiro bisa bernafas bebas barang sesaat. Membuka satu persatu kancing kemeja formalnya, lalu berbaring ke kasur empuknya yang sedikit berantakan. Biarkan ia menikmati dahulu kamar tenang nya sebelum Dona kembali.

"Haii, suamikuuu...!"

Eh, buset. Hiro terjungkal kaget ke lantai dari kasur saat kepala Dona yang tadinya di balik selimut, muncul begitu saja. Ternyata, Dona dari tadi di atas kasur.

"Dasar sapi bocor! Lo mau jadi janda di hari pertama karena bikin gue jantungan, hah?" sembur Hiro galak pakai banget.

"Kalau pun lo mati, gue akan jadi janda kembang yang setia." Deklamasi Dona terdengar lebay. Hiro berdiri dari lantai, menarik guling lalu memukulkannya ke wajah Dona.

Alamaaak. Dona baru sadar, kalau Hiro telah bertelanja** dada tepat di depan matanya. Pahatan perut kotak kotak itu, berhasil membuat cairan hidung Dona menjulur angka sebelas. Bukan mimisan ya, karena itu terlalu lebay. Dona cuma ingusan tiba-tiba.

"Lo pasti PIKTOR ya...!" Hiro membalut bagian atas dengan handuk yang diberikan Mamanya tadi.

"Yeeh, nggak lah. Gue memang istri lo dan jujur, gue terkesima dengan tubuh keras lo yang seksi bingitz itu. Tapi, sebagai wanita yang punya harga diri, ogah juga gue di sentuh tanpa cinta."

"Baguslah lo masih punya harga diri dan berpikir demikian karena gue nggak bakalan nyentuh cewek tanpa cinta yang lo omongin tadi."

Sedih sih mendengarnya, tapi... Dona kan tahu, Hiro memang tidak ada rasa untuknya. Ralat... Maksudnya, untuk sesaat ini, Hiro boleh menolaknya. Manatau dengan kepercayaan dirinya yang tinggi, bisa saja Hiro luluh padanya.

"Gue nggak mau loh, ya, pernikahan kita bocor pada siapapun diluar sana. Apalagi teman-teman sekolah kita. Kalau terbongkar, gue jadiin lo sapi guling."

"Jangan galak-galak sama istri, ah. Nanti kalau uda bucin, gue nya yang jual mahal loh." Dona membalas semburan galak Hiro dengan santai sembari berkedip menggoda wajah asem Hiro.

"Daaaan... Lo harus mutusin Liana!" Memangnya Hiro doang yang bisa memperingatinya tegas. Dona juga bisa dong.

"Lo nggak ada hak ngatur hidup gue. Begitupun sebaliknya, gue juga nggak akan mempersulit lo." Menghindari perdebatan dengan Dona, Hiro langsung beranjak masuk kamar mandi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!