*
*
*
"Gha, kapan kamu pindah?"
Gue melirik bokap gue sekilas lalu beralih pada perempuan yang telah melahirkan gue 31 tahun yang lalu. Nyokap gue langsung menegur beliau, tapi bokap gue jelas nggak peduli. Beliau kembali mengulang pertanyaannya karena tak kunjung mendapat jawaban dari gue.
Kalau kalian berpikir maksud bokap gue, kapan gue pindah ke perusahaannya, maka jawaban kalian salah. Karena bokap gue bukan seorang businessman yang punya bisnis di mana-mana, melainkan hanya seorang dokter spesialis obgyn yang kebetulan punya banyak follower di sosmed. For your information, follower bokap gue itu nggak sedikit, bahkan follower gue aja nggak nyampe setengah dari follower beliau.
Usianya mungkin sudah jauh dari kata muda, tapi semangat kampanye tentang kesehatan di sosmed perlu gue akui luar biasa. Popularitas bokap gue nggak main-main sih, apalagi di kalangan ibu-ibu. Mana apesnya bokap gue masih awet muda lagi, padahal bentar lagi udah punya cucu dan usianya pun sudah sangat jauh dari kata muda. Bahkan nggak jarang orang mikir kalau gue ini adek beliau, bukan anaknya. Kampret banget sumpah sih kalau yang ini. Enggak masuk akal banget, keterlaluan.
Terus bokap gue nyuruh pindah ke mana dong?
Jawabannya adalah rumah gue sendiri. Atau minimal beliau pengen gue tinggal di apartemen sendiri. Padahal kalau dipikir-pikir gue tuh jarang pulang juga ke rumah, karena biasanya gue kalau udah kecapekan abis operasi milih tidur di ruang jaga daripada pulang ke rumah, tapi tetep aja bokap gue bawaannya pengen ngusir gue mulu.
Mengikuti jejak bokap, gue ikutan nyemplung ke dunia kedokteran. Padahal sejak bocah sampai masuk SMA, gue kalau ditanya mau jadi apa, jawaban gue apapun itu kecuali jadi dokter. Tapi giliran lulus SMA dan mau masuk universitas gue malah ambil kedokteran, aneh banget kan? Mana gue ngambil spesialis juga lagi. Padahal bokap gue udah ngewanti-wanti gue buat ambil jurusan lain, tapi ujung-ujungnya gue malah seprofesi sama beliau.
Bokap gue tuh aneh, di saat rekan-rekannya pengen anaknya ngikuti jejak karir mereka sebagai dokter--bahkan ada yang sampai harus maksa anaknya malah--, bokap gue justru sebaliknya. Beliau malah nge-warning supaya gue ambil jurusan yang lain. Katanya sih biar anaknya profesinya beda-beda, karena Kakak gue udah terlanjur masuk fakultas kedokteran juga kala itu. Bokap gue ngebujuk gue dengan berbagai cara supaya gue nggak ambil kedokteran juga, cuma nggak tahu kenapa gue merasa seperti dapet panggilan dan memutuskan untuk ikut ambil kedokteran juga. Alhasil, semua keluarga gue dokter, kecuali nyokap gue sih. Karena ipar gue pun juga seorang dokter, bahkan keluarga ipar gue pun mayoritas dari kalangan keluarga yang berada di lingkup kesehatan.
Sangat tidak sesuai dengan harapan bokap gue.
Gue sama bokap gue masih berharap jodoh gue bukan dokter juga. Eh, gue nggak ikutan deh, itu cuma harapan bokap gue aja. Gue sih mau dokter atau bukan nggak masalah, yang penting dia mau sama gue, itu udah lebih dari cukup.
"Kamu itu udah 31 tahun, masa nggak mampu beli rumah atau apartemen? Apalagi kamu ini udah jadi dokter spesialis, nggak mungkin nggak mampu beli kan?"
Masih dilanjut ternyata gaes. Baiklah, mari kita dengarkan sambil menghabiskan sisa makan malam gue.
"Agha Altair Kalandra, kamu ini dengerin Ayah ngomong nggak sih?" tanya bokap gue dengan wajahnya yang agak kesal.
Berbanding balik sama wajah gue yang tetap santai. "Denger."
Bokap gue jelas langsung ngadu ke istri tercintanya. "Bun, itu loh anaknya."
Dasar tukang ngadu!
Mana nada suaranya jijay banget lagi. Ini kalau gue nggak lagi makan masakan nyokap gue, udah muntah kali ya dengernya.
Bokap gue ini meski usianya sangat jauh dari kata muda, tapi kalau masalah bucin ke istri emang paling juara. Apalagi kalau udah ngadu begitu, sumpah gue sebagai anak kadang suka malu ngakuin kalau beliau itu bokap kandung gue. Orang yang berperan penting lahirnya gue ke dunia ini. Bukan hanya sebagai pendonor ****** saja, tapi udah jelas orang yang ngebantu nyokap gue lahiran pasti bokap gue sendiri.
"Biarin, Yah, lagian Bunda yang ngelarang adek buat pindah. Pindahnya nantinya kalau sudah nikah, soalnya kalau adek pindah nanti rumah jadi makin sepi."
Benar. Kalian tidak salah dengar. Meski usia gue udah masuk kepala tiga, yang katanya udah waktunya jadi Bapak, tapi Bunda tercinta gue masih aja panggil gue 'adek' bahkan bokap gue pun kadang masih manggil gitu juga--kalau moodnya bagus doang, tapi--soalnya bokap gue seringnya sensian kalau sama gue. Padahal ya, kalau dipikir-pikir muka gue nggak sebaby face itu untuk dipanggil 'dek' di usia setua ini. Ya, cuma karena gue si bontot sekeluarga dan kebetulan lagi single, makanya dipanggil begitu.
Oke, mari kita lanjut.
Mendengar jawaban Bunda, Ayah langsung memasang wajah cemberutnya. "Loh, emang Ayah aja nggak cukup buat Bunda?"
Mulai deh, si paling nggak sadar umur.
"Ayah kan sibuk," balas Bunda.
"Loh, memang anak kamu ini nggak sibuk?" balas Ayah gue sambil menunjuk wajah kalem gue menggunakan garpunya.
Buset, udah kayak mau nyolok mata anaknya aja, guys.
"Ya, justru itu, Yah, karena dua-duanya sibuk makanya biarin adek tinggal di sini. Kalau dia udah sibuk terus tinggal sendiri yang ada nanti makin sepi ini rumah, karena adek pasti jarang banget ke sini."
"Tuh, dengerin kalau istri lagi bersabda, Yah," sambung gue ikut-ikutan.
Bokap gue tidak membalas, beliau hanya berdecak sambil melirik gue sinis. Karena dirinya merasa kalah. Selain suka nggak inget umur dan bucinan, bokap gue itu cemburuan, guys. Termasuk sama gue, anaknya sendiri. Sekian.
*
*
*
"Hp terus! Keluar sana, Dek, pacaran kek! Ngapain gitu nyari kegiatan. Jangan hp terus! Sakit mata baru tahu rasa!"
Astaga, baru juga duduk, pegang hp juga belum ada lima menit, udah dibilang hp-an terus? Dasar bokap gue. Kalau masalah nyinyir nomor satu lah. Nyokap gue aja nggak ada apa-apanya.
Malas berdebat, gue memilih diam saja dan membiarkan beliau dengan asumsinya sendiri. Kalau kata gue biar sebahagianya beliau saja lah. Gue diem aja yang penting Ayah gue seneng.
Plak!
Buset, gue diam aja masih salah? Pake acara mukul kepala gue segala lagi, ya Tuhan boleh tidak sih gue mengundurkan diri sebagai putra bungsu Randu Kalandra? Sengaja nggak masukin title karena males kepanjangan.
"Kalau ada orangtua ngomong itu direspon, jangan diem mulu. Itu mulut gunanya buat ngomong, dek, bukan cuma buat tukeran ludah doang."
Astaga, mulutnya Ayah gue.
Bokap gue kemudian duduk di sebelah gue sambil mencolek pundak gue. "Udah pernah belum, dek?" tanyanya sambil menyilangkan sebelah kakinya. Kedua alisnya naik turun dan bibirnya sedikit menahan senyum.
Gue langsung menaikkan sebelah alis gue heran. Ini bokap gue harus banget ya nanyain beginian? Kepo banget sama urusan anaknya.
"Apaan?" tanya gue pura-pura memasang wajah bego gue.
Ayah gue tiba-tiba tertawa. "Ya ampun, anak gue malu."
Emang terkadang bokap gue serandom ini. Jadi kalau nanti kalau kalian melihat beberapa kerandoman gue, itu karena randomnya gue diturunkan langsung dari bokap gue ya.
"Enggak papa, Gha, Ayah pernah muda juga, nggak usah malu. Ayah punya pemikiran terbuka, nggak kolot kayak Bunda-mu." Tentu saja Ayah langsung berbisik saat menyebut istri tercintanya, "Ayah nggak masalah, asal kamu tahu batasan dan yang paling penting jangan sampai keblabasan macem Pakdhe Lingga. Udah kebobolan sama bocah lagi. Kamu awas ya kalau sampai begitu. Ayah potong ***** kamu pake pisau bedah. Paham?"
"Paham, Ayahku yang paling ganteng."
"Nggak usah sok muji, Ayah nggak punya warisan buat dibagi-bagi."
Gue langsung terbahak saat mendengarnya.
"Nikah, Dek," ucap Ayah tiba-tiba.
Gue langsung menatap beliau dengan tatapan shock gue. "Hah?"
Ini bokap gue kenapa deh? Kok tiba-tiba banget? Tumbenan. Padahal biasanya selow banget soal ginian.
"Jangan hah-heh doang. Kasih Ayah menantu, nggak bosen kamu, kerjaannya ngurusin pasien terus? Nggak pengen gantian diurusin gitu? Spesialisasi kamu kan udah beres, jadi udah saatnya cari pendamping. Nggak kasian kamu sama Bunda-mu, udah tua tapi masih harus ngurusin kamu juga? Itu Ayah perhatiin si Mala boleh juga jadi mantu Ayah. Lamar, yuk, minggu depan."
Buset.
"Astaga, sembarang banget sih, Yah, main lamar-lamar aja. Lagian si Mala itu udah punya pacar, dia konsultan perusahaan gede. Ya kali mau dijadiin menantu Ayah."
"Ya, nggak papa, baru pacar kan? Orang pacaran masih bisa putus kali, Dek."
Astaga, ini bokap gue nggak lagi ngedoain Mala putus sama cowoknya secara nggak langsung kan? Maksud beliau bercanda doang kan ini?
"Lagian Ayah perhatiin kalian lebih cocok tahu."
Gue hanya mampu geleng-geleng kepala tanda tidak habis pikir. Cocok bagian mananya sih, perasaan gue sama dia kalau ketemu ribut mulu deh. Kalau nggak adu mulut ya physical attack.
"Dia kerjanya di mana sih?" tanya Ayah kepo.
"Rumah sakit."
"Dokter juga?"
Gue langsung mengangguk untuk membenarkan.
"Dokter apa?"
"Anestesi."
"Tuh, cocok sama-sama dokter. Yang satu dokter bedah yang satu dokter anestesi." Detik berikutnya Ayah gue menyadari sesuatu, "eh, dokter juga? Jangan deh kalau gitu, Ayah nggak mau mantu dokter lagi. Cari yang lain, Dek, pokoknya usahakan jangan dokter lagi. Oke?" Bokap gue kemudian berdiri sambil menepuk pundak gue lalu pergi begitu saja.
Lah, ngelawak bokap gue barusan?
Tbc,
*
*
*
Gue seketika langsung mengumpat kasar saat mendengar nada dering dari ponsel gue. Padahal baru juga berbaring tapi sudah diganggu saja. Gue tahu itu bukan emergency call, tanpa melihat ke arah layar pun gue sudah tahu siapa yang menelfon, karena nada dering yang terdengar sekarang adalah nada dering khusus yang dipasang sendiri oleh di penelfon beberapa tahun silam. Anehnya kenapa nggak gue ganti ya?
"Hm," respon gue seadanya, begitu sambungan terhubung.
"Jemput gue!"
Ya Tuhan, kenapa sih gue harus jadi manusia super sial karena dikelilingi manusia-manusia rese macem ini orang.
Udah nggak pake salam basa-basi, eh, masih ditambah nada suara yang nggak nyelow. Emang kurang ajar banget ini perempuan satu. Untung temen, kalau bukan udah gue jual ke pasar loak.
"Kalau minta tolong bisa nggak sih pake cara yang manusiawi dikit? Minimal pake sopan santun lah."
"Ribet. Buruan jemput gue, Gha, nggak usah banyak aturan. Gue share loc sekarang. Gue matiin?"
"Bentar," cegah gue sambil menyibakkan selimut, "cowok lo ke mana emang?"
"Di luar kota."
"Mobil lo?"
Terdengar decakan dari seberang. "Banyak nanya lo, mobil gue mogok. Ini sekarang gue lagi di pinggir jalan banget loh, udah lo nggak usah banyak nanya. Gue share loc sekarang, biar lo bisa langsung ke sini. Gue matiin."
"Bentar," cegah gue sekali lagi, "kalau mobil lo mogok ngapain nelfon gue? Harusnya nelfon orang bengkel dong?"
Bukan apa-apa, masalahnya gue juga nggak paham-paham banget soal mesin kendaraan. Kalau mesinnya manusia gue malah ngerti tuh.
"Sorry, Ga, gue sama lo pinteran gue. Tanpa perlu lo nasehatin kayak barusan pun, gue udah inisiatif buat nelfon. Bahkan sekarang mobil gue udah diderek orang bengkel langganan gue."
Gue mendengus kesal sebelum mematikan sambungan telfon, udah minta tolongnya nggak sopan, ngatain pula. Ya, mending langsung gue matiin tanpa permisi. Bodo amat dia mau misuh-misuh sambil mengabsen nama-nama hewan yang ada di kebun binatang atau mengucap sumpah serapah.
Bodo amat, gue nggak peduli. Salah sendiri udah ganggu waktu istirahat gue.
"Mau ke mana? Rapi amat?"
Reflek gue langsung menunduk guna memastikan pakaian gue sekarang. Rapi bagian mananya sih? Gue bahkan masih pake kaos yang tadi, hanya celananya saja yang gue ganti.
"Keluar," jawab gue singkat.
"Diajak kondangan katanya males keluar, mau tidur aja. Alasannya capek. Lah, ini malah mau keluar. Gimana sih?"
Ya jelas gue males lah, emangnya gue bocah apa pake acara ngintil ke acara kondangan orangtua, jelas makin males lah gue.
"Ada urgent."
"Emergency call?" tebak Ayah dengan ekspresi tidak yakinnya.
"Mirip."
"Mala?" tebaknya kemudian.
Tanpa mengelak, gue langsung mengangguk dan mengiyakan. Meski sudah tahu endingnya gue bakal diceng-cengin nantinya.
"Disuruh jemput?"
Lagi-lagi gue hanya mengangguk untuk mengiyakan.
"Astagfirullah anak gue."
Bokap gue kalau lagi bermonolog atau ngumpul sama temen-temennya masih pake lo-gue. Padahal panggilan mereka udah Grandpa atau Kakung. Emang bener-bener bokap gue dan gengnya.
"Adek, anak Ayah yang paling ganteng, kan udah dibilang kemarin, kalau mau bucin silahkan! Ayah nggak akan larang. Cuma, plis lah, Dek, bucin itu ke pacar sendiri, jangan ke pacar orang. Kenapa sih kamu itu nggak pernah mau dengerin Ayah? Heran deh, anak siapa sih lu?"
Nah, terkadang kalau mode frustasi begini sama gue pun pake lo-gue.
"Anak tetangga kali," balas gue asal, "udah lah, Agha berangkat dulu. Udah ditungguin, ntar Mala ngamuk lagi kalau Agha kelamaan. Assalamualaikum," pamit gue sambil cium tangan sebelum berlari keluar rumah.
"Wa'allaikumsalam." Samar-samar gue mendengar Ayah bergumam, "astaga, begitu banget nasib anak gue. Kejebak friend zone. Kasian."
*
*
*
Kan kan, apa gue bilang. Ngambek kan anaknya, padahal gue cuma telat dikit. Tapi lihatlah wajah galaknya yang udah siap menjambak rambut gue itu. Buset dah, apa gue pulang aja ya?
"Ke mana aja sih lo? Jam segini baru nyampe, kesasar dulu?"
"Bawel, intinya gue udah di sini kan? Udah, buruan masuk! Nyinyirnya nanti diskip dulu."
Meski masih sambil menggerutu, akhirnya Mala memilih untuk segara masuk ke dalam mobil. Setelah memastikan dia selesai memasang seatbelt-nya, baru gue mulai melajukan mobil menuju apartementnya.
Berbeda dengan gue yang memilih untuk tetap tinggal dengan orangtua, Mala tidak demikian. Perempuan itu bahkan sudah tinggal di apartemen sejak duduk di bangku kuliah. Padahal rumah kedua orangtuanya sama-sama di Jakarta dan Mala adalah anak tunggal. Cuma berhubungan ini perempuan sangat suka kebebasan dan kedua orangtuanya nggak masalah jadi dia tinggal di apartement sendiri. Beda banget sama gue yang nggak suka sendirian.
"Ini cowok lo tahu kalau gue jemput lo kan?"
Dengan wajah santainya, Mala menggeleng. Tangannya sibuk mencari roti gandum yang selalu tersedia di mobil gue.
Wah, emang suka nyari penyakit ini manusia satu. Udah tahu pacarnya posesifnya selevel bokap gue, tapi masih tetep nggak bilang? Astaga, boleh nggak sih itu seatbeltnya gue lepas terus gue ngerem mendadak, biar jidatnya kebentur?
Gue kesel kampret.
"La, lo kan tahu cowok lo posesif, kenapa masih nggak ngasih kabar? Lo mau muka ganteng gue ini bonyok?"
Mala langsung menoleh ke arah gue. "Emang muka lo ganteng, Gha?"
"Menurut lo?" balas gue ngegas.
Mala malah pura-pura memasang wajah berpikir sambil mengusap dagunya lalu menoleh ke arah gue lagi. "Menurut gue, muka lo perlu bonyok dikit biar kadar kegantengan lo turun dikit," ucapnya santai lalu kembali mengunyah roti gandum gue.
"Sialan," umpat gue kesal. Meski sadar dipuji secara tidak langsung tetap saja gue kesel. Karena kemungkinan muka gue bakal beneran bonyok itu ada.
Gue nggak ngerti ini siapa yang bego. Padahal pacar Mala itu tahu banget kalau gue sama dia temenan lama, tapi dia masih aja cemburu sama gue dan berujung gue yang kena tonjok kalau ini perempuan lupa kasih kabar. Udah tahu endingnya bakal begini, tapi tetep aja gue masih aja mau-maunya disuruh ini perempuan satu. Dan Mala, meski tahu semua fakta itu tetap saja ngelakuin semuanya. Maksud gue dia nggak ada usaha buat menghindari konflik yang beginian. Jadi di sini yang bego siapa?
Duh, kayaknya gue nggak sih yang bego?
Hubungan mereka tuh menurut gue awet banget sih, meski ada kisah dramatis di sepanjang perjalanan cinta mereka. Gue yang udah ganti cewek antara 3-4 kali, dia masih awet sama itu cowoknya. Alasannya klise, males berada di fase ketemu orang baru dan lainnya. Kejebak di zona nyaman sih gue rasa.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi nyaman apanya kalau tiap hari ribut mulu, mana yang diributin itu-itu aja lagi. Hanya seputar keposesifan sang cowok yang nggak rela ceweknya terlalu deket sama cowok lain. Gue nggak habis pikir sih, si Danu--cowok Mala-- pake pelet apa, ya. Sampe seorang Mala yang terkenal galak dan judesnya minta ampun, tapi mau-maunya diposesifin bertahun-tahun. Gokil nggak sih?
"Tenang aja, kali ini gue bakal bilang sama Danu biar nggak nonjok lo di muka."
"Gila lo?"
Enteng banget sih itu mulutnya.
"Bercanda, elah, tegang amat muka lo. Tenang aja, ya kali gue ngebiarin muka ganteng temen gue bonyok terus-terusan cuma gara-gara gue? Aman kok kali ini, percaya sama gue."
"Mulut lo itu nggak bisa dipercaya, La."
Mala menampilkan senyum jumawanya. "Ya, karena yang bisa dipercaya itu cuma Tuhan, Gha. Jangan terlalu berharap sama manusia, apalagi mulut mereka."
Sialan. Ini perempuan kalau ngomong suka bener lagi.
"Gue sama dia putus," ucap Mala tiba-tiba.
Kaget?
Enggak juga sih, karena mereka termasuk yang sering putus nyambung, jadi gue nggak heran.
"Karena apa?" tanya gue basa-basi.
Aslinya gue sih nggak kepo sama sekali. Bodo amat juga sih, soalnya paling juga itu-itu aja penyebabnya, basi. Cuma kalau gue nggak nanya bisa ngambek lagi ini perempuan satu. Karena ntar kesannya gue nggak peduli sama dia.
"Menurut gue emang nggak bisa diterusin aja, Gha."
Bentar, kok nada suaranya serius amat? Nggak macem biasa.
Tepat saat lampu merah, gue langsung menghentikan mobil dan menoleh ke arah Mala. Menunggunya untuk melanjutkan ceritanya.
"Gue sama Danu bener-bener nggak bisa lanjut." Pandangan mata Mala menatap lurus ke arah depan, tapi mulutnya masih tetap mengunyah.
"Bukannya kalian mau nikah?"
Keduanya udah ada rencana mau ke arah sana, karena Mala juga udah selesai spesialisnya. Bahkan mereka udah ada rencana mau lamaran.
Mala kemudian mengangkat kedua bahunya secara bersamaan. "Ya, batal," ucapnya santai, "tapi untungnya kita belum bayar dp apapun sih."
Lah, enteng banget itu mulut?
"Lo bercanda kan?"
Dengan emosi Mala langsung memukul kepala gue. "Gue batal kawin, anjir. Ya kali soal beginian gue buat bercandaan. Ini bebannya gue udah dicap perawan tua loh, gegara batal kawin. Masih gue bercandain? Gue belum segila itu, Gha."
Benar juga sih, apalagi mengingat usia kami. Gue sebagai seorang pria jelas bukan perkara yang serius, tapi bagi perempuan usia 30 tahun dan belum menikah sudah pasti dianggap warning. Apalagi kita tinggal di Indonesia. Sudah bisa dipastikan bagaimana mental para perempuan seusia mereka kan?
Plak!
Sekali lagi gue mendapat pukulan di kepala gue. Gue langsung berdecak sambil melotot kesal ke arahnya. Ringan banget sih ini tangan perempuan kalau urusan geplak-menggeplak?
"Jalan, Gha! Itu lampunya udah ganti ijo," ucap Mala membuat gue tersadar kalau suara klakson di belakang udah berisik banget.
Sambil menyengir tanpa dosa, gue kemudian kembali melajukan mobil. Tentu saja setelah meminta maaf pada pengendara di belakang, karena gue sudah sempat dimaki-maki mereka.
"Lo kenapa nggak ngingetin dari tadi sih kalau lampunya udah ganti ijo, mana galak banget lagi itu Bapak-bapak," protes gue kesal.
"Salah lo sendiri pake acara ngelamun segala, udah tahu lagi nyetir."
Seperti biasa perempuan dan jiwanya yang tidak ingin disalahkan. Mereka sungguh tidak terpisahkan.
"Oke, gue yang salah." Gue mengangguk setuju aja, karena males berdebat, "terus ini nasib lo gimana? Beneran batal nikah? Putus beneran? Nggak bakal balikan kayak sebelum-sebelumnya?"
"Ya, gue nggak tahu juga," balas Mala tanpa beban.
Gue langsung melotot kesal ke arahnya. "Kok nggak tahu?"
Kali ini giliran Mala yang kesal. "Ya, kan gue nggak tahu rencana Tuhan ke depannya nanti gimana, Gha. Sekarang gue bilang nggak bakal balikan sama Danu, tapi kalau takdir berkata lain dan endingnya gue balikan sama dia, atau malah nikah sama dia gimana? Jilat ludah sendiri dong?" Mala menggeleng dengan ekspresi jijiknya, "ogah. Gue ngikut alur aja lah, Gha. Tapi ntar kalau nggak ada yang mau nikahin gue, lo aja ya yang nikahin gue?"
Gue langsung menatap Mala dengan ekspresi horor gue. "Kenapa jadi gue yang kena?" protes gue tidak setuju.
"Ya, daripada lo jomblo terus?"
Sialan.
Padahal gue juga baru putus sama cewek gue belum lama, belum juga genap dua bulan. Tapi di mata mereka kenapa jomblo terus sih? Heran gue.
"Lo nggak bosen ya gonta-ganti cewek udah kayak ganti mobil?"
Dengan wajah santai gue menggeleng. "Bokap gue lebih bosen punya mantu dan besan dokter juga. Jadi lo nggak bisa jadi mantu beliau, bokap gue nyari yang bukan dari kalangan dokter. Lo nggak masuk kriteria calon mantu idaman bokap gue. Jadi gue nggak bisa nikahi lo."
"Buset, gitu banget sih bokap lo? Gue pikir bokap lo termasuk orang tua yang open minded, eh, taunya, malah mending bokap gue yang kaku begitu."
Gue tidak berkomentar dan hanya mengangkat kedua bahu secara bersamaan. Kadang gue heran juga soalnya. Bokap gue emang suka susah ditebak maunya.
Tbc,
Hai, hai, balik lagi ke cerita baru. Gimana, guys, dua partnya? Lumayanlah ya, mau fast up gk nih? stok draf melimpah gaes, kalau mau tulis di kolom komentar ya, bantu like dan share juga boleh. Pokok jangan pada ngumpet, tinggalin jejak. Oke? Thanks buat yang masih berkenan mampir.
Btw, ada yang inget Randu a.k.a Pak Bidan temennya Mas Bule Jawa? Nah, Agha ini putra bungsu beliau gaesss🤣🤣 Kalau ada yang pengen baca cerita pak bidan bisa dm aku, dan Mala adalah anak tunggalnya dokter Saga, kira-kira ntar gimana ya mereka kalau jadi besanan?
Ada yang penasaran gk? ikutin terus kisah mereka ya
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!