[Mamaku ingin bertemu denganmu.]
[Kapan kamu ada waktu?]
[Ini bukti keseriusanku. Akan kutunjukkan jika aku sudah berubah.]
Seorang wanita tampak gusar menatap sederet pesan yang tertera pada layar pipihnya. Sang kekasih benar-benar membuktikan ucapannya beberapa waktu yang lalu.
Mungkin, jika posisinya seorang wanita lajang dia pasti akan sangat bahagia. Akan tetapi, yang menjadi masalah saat ini adalah statusnya. Dia seorang istri yang menjalin hubungan dengan pria lain di belakang suaminya. Dia bahkan menyembunyikan status yang sebenarnya dari sang kekasih.
Deringan keras pada ponsel di tangan berhasil menyentak lamunan wanita berusia 25 tahun itu. Serena menggigit bibir bawahnya kala mendapati nomor sang kekasih menghiasi layar. Pria itu pasti sedang menantikan balasan darinya, tetapi jika diangkat dia harus menjawab apa.
"Ser, itu ada telpon buruan diangkat! Malah bengong." Seruan Aurel—sang manajer berhasil menyentak lamunan wanita itu.
"O-oke, gue angkat telpon dulu." Serena bergegas beranjak menuju ke suatu tempat.
Sebelum mengangkat panggilan tersebut, dia celingak-celinguk memastikan jika tempat yang dipilih benar-benar sepi. Setelah dirasa aman, Serena baru mengangkat panggilan itu.
"Hallo...."
"Ya ampun, Sayang ... Kamu kemana aja? Aku nunggu balasan pesanmu dari tadi."
"Maaf, tadi masih syuting. Ini baru kelar. Handphone-nya ‘ku taruh di ruang ganti," jawab Serena beralibi.
"Ooo, pantesan. Kamu udah baca pesanku, belum?"
"Belum sempat. Memangnya ada apa?" Wanita itu masih meluncurkan dustanya.
Terdengar hembusan nafas kasar di seberang sana.
''Mamaku meminta bertemu, kapan kamu ada waktu?"
Serena memejamkan mata saat mendengar pertanyaan itu secara langsung. Dia mondar-mandir tak tentu arah sembari menggigit kecil kuku jarinya guna memikirkan alasan yang tepat.
''Sayang, kok diem? Kamu masih di sana, ‘kan?"
''Eh, i-iya masih. Emm ... Gimana, ya? Beberapa hari terakhir jadwalku padat banget. Ada promo film baru sampai ke luar kota. Nanti, kalau ada sela aku kabari."
Pada akhirnya, jawaban itu yang meluncur dari bibir bergincu merah itu. Dia tidak berbohong mengenai jadwal tersebut, tetapi yang menjadi beban pikiran adalah mencari alasan pada suaminya. Suaminya menjadi produser film yang tengah dia bintangi, sudah tentu sang suami akan ikut kemanapun dirinya pergi. Dan bisa dipastikan akan menempel padanya seperti lintah berwujud manusia.
''Oke, tidak apa-apa. Nanti, aku bicara lagi sama mamaku," ucap pria di seberang yang berusaha menekan kekecewaannya, "aku mau lanjut kerja. Nanti ‘ku telpon lagi. Jangan kecapean! Jangan lupa makan!" sambungnya sebelum panggilan berakhir.
Serena menatap masam layarnya yang telah menghitam. Bukan dia tidak ingin, justru sangat menginginkan pertemuan itu. Akan tetapi, dia juga harus bermain cantik agar hubungan terlarangnya bisa berlanjut.
Serena menikah dengan suaminya bukan atas dasar cinta, melainkan sebuah kesepakatan. Dia butuh ketenaran dan sang suami butuh kepuasan. Pria yang menikahinya pun sudah mempunyai anak dan istri, sedangkan dirinya hanya sebatas istri simpanan. Pernikahan mereka hanya diketahui segelintir orang.
Ya, begitulah Serena, seorang artis muda yang berambisi menjadi artis papan atas dengan jalan pintas. Dia rela menghalalkan segala cara demi memenuhi ambisinya.
Dentingan pesan masuk berhasil mengejutkan wanita itu. Dengan malas, dia membuka pesan yang dikirim oleh sang suami. Namun, sedetik kemudian senyum merekah tercetak jelas setelah membaca isi pesan itu.
''Pucuk dicinta ulam pun tiba, aku harus memanfaatkan kesempatan emas ini."
Jemari lentiknya segera menari di atas papan ketik ponsel bukan untuk membalas pesan sang suami, melainkan mengirim pesan pada sang kekasih mengenai jadwal pertemuan mereka.
...----------------...
Serena tampak menawan dengan balutan gaun malam yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Penampilannya terlihat sangat seksi di mata siapapun yang melihat. Dengan penuh keanggunan, wanita itu memasuki restoran mewah bergaya Italia—tempat yang telah disepakati. Sang kekasih sudah melakukan reservasi sebelumnya. Jadi, dia tak perlu bingung lagi mencari keberadaan sang kekasih dan ibunya.
Sesampainya di sebuah ruangan VVIP, Serena disambut ramah oleh dua orang pelayan. Salah satu dari mereka bersedia mengantar menuju tempat kekasihnya berada.
Senyum Ernest merekah sempurna ketika melihat kedatangan kekasihnya. Dia meminta izin pada sang ibu untuk menghampiri. Rosalind yang masih sibuk memerhatikan daftar menu yang akan dipesan pun hanya mengangguk pelan mengiyakan.
"Hallo, Baby. You're so beutifull tonight." Ernest meloloskan pujian khas buaya darat.
"And sexy," sambungnya dengan nada berbisik.
Serena memukul pelan dada bidang pria itu. Dia selalu berhasil membuatnya tersipu. Tanpa ragu, Ernest segera merengkuh pinggang ramping sang kekasih, kemudian membawanya mendekati wanita yang tengah duduk membelakangi.
"Mam, ini dia wanita yang kuceritakan."
Wanita yang dipanggil pun berbalik. Betapa terkejutnya dia saat melihat wanita yang sangat dibenci berada dalam rengkuhan mesra putranya. Seketika amarah yang ada dalam dirinya memuncak.
''Kamu!"
''Kau! Kau benar-benar murahan!" teriak Rosalind dengan menunjuk tepat wajah Serena. Mata yang memerah sangat menunjukkan jika wanita berusia 40 tahunan itu berada pada puncak amarah.
"Ernest, mama gak mau tau. Putuskan hubungan kalian! Sampai mati pun mama tidak akan merestui." Rosalind ganti berteriak pada putranya.
Ernest sangat terkejut mendengar permintaan sang ibu karena masih belum memahami keadaan.
''Tapi, kenapa, Ma?"
''Tidak ada tapi! Turuti keinginan mama atau jangan anggap aku ibumu lagi!"
''Tidak bisa, Ma! Aku tidak bisa memutuskan Rena begitu saja tanpa ada alasan yang jelas."
''Rena, katakan! Ada apa? Apa kau mengenal ibuku?"
Serena tidak mampu menjawab. Dia mematung akibat rasa terkejutnya. Dia tidak menyangka dipertemukan dengan wanita yang sangat dihindari. Dan yang lebih parahnya, dia ibu dari kekasihnya yang itu artinya....
''Tidak mungkin! Tidak! Jangan katakan kalian pasangan ibu dan anak," ucap Serena untuk memastikan. Dia berharap tebakannya salah.
''Apa kau memang semurahan ini, hah?! Tidak cukup dengan satu pria. Sampai kau menggaet putraku."
''Enyah kau, Jal*** Sialan! Aku tidak rela putraku menjadi mangsa barumu." Rosalind masih berteriak memaki-maki Serena. Karena terlalu emosi dia sampai mengabaikan keberadaannya saat ini, bahkan mengabaikan jika dirinya kini menjadi pusat perhatian.
''Mama, stop! Dari tadi mama sibuk memaki kekasihku—''
''Jangan sebut dia kekasihmu di depanku, Ernest!" Rosalind menyela cepat ucapan putranya.
Ernest benar-benar dibuat frustasi. Sungguh dia dibingungkan dengan keadaan ini. Sang ibu tak kunjung menjawab justru sibuk memaki, sedangkan sang kekasih masih setia dengan kebisuannya.
''Sebenarnya ada rahasia apa di antara mereka?"
''Rena, please, katakan! Apa kau mengenal ibuku?"
Serena terkesiap saat merasakan sebuah tangan kekar menggenggam lembut tangannya. Karena merasa tidak tega, akhirnya wanita itu mengangguk pelan sebagai jawaban.
"Ada masalah apa di antara kalian?"
Lagi dan lagi, Serena hanya bisa diam. Lidahnya terasa kelu untuk menjelaskan. Kenyataan ini masih sangat mengejutkan.
"Dia wanita yang mama maksud, Ernest!"
Suara lantang sang ibu seolah meluluh lantakkan dunianya. Ernest masih tidak percaya dengan kenyataan yang diterima.
"Tidak mungkin!"
Seorang pria tampak merenung menghadap kaca besar yang menyuguhkan hamparan langit luas di luar sana. Berharap hatinya bisa seluas langit tak bertepi untuk menerima kenyataan pahit yang baru diketahui.
Ernest tak pernah menduga jika wanita yang mati-matian dicintai ternyata telah bersuami. Mungkin jika orang lain yang menjadi suami Serena, dia akan memperjuangkan dengan merebut dari suaminya. Akan tetapi, permasalahan tidak sesederhana itu. Suami Serena adalah Arnold Smith—ayah kandungnya, yang itu artinya dia telah menjalin hubungan dengan ibu tirinya sendiri.
Tangan kekarnya mengepal kuat hingga urat-urat biru keunguan tercetak jelas. Rahangnya mengeras dengan tatapan menajam ke depan yang menandakan jika pria itu berada dalam puncak amarah.
''Kenapa kau tidak jujur sejak awal, Serena?"
''Apa kurangnya aku? Semua yang kupunya telah kuberikan padamu, aku mati-matian merubah diri hanya demi kamu. Tapi kenapa justru ini balasanmu?"
Sebelum bertemu dengan Serena, Ernest adalah seorang casanova. Hampir setiap malam dia bertandang ke club malam yang berakhir dengan menghabiskan malam bersama para wanita bayaran. Namun, setelah bertemu Serena, ia tidak lagi mengulangi kebiasaan buruknya. Dia lebih suka menghabiskan malam bersama kekasih hati.
Ya, sejauh itu hubungan mereka. Ernest sering menginap di apartemen kekasihnya. Dia tak pernah curiga, sebab setiap kali bertandang tidak pernah ada gelagat mencurigakan dari sang kekasih.
Serena terlalu cerdik merahasiakan statusnya. Sebagai seorang aktris, dia sangat lihai memainkan peran sebagai wanita lajang. Ketika sang suami berada di tempatnya, Serena selalu beralasan pada Ernest jika ada jadwal syuting keluar kota. Ketika Arnold tidak di tempat atau sedang ada urusan bisnis ke luar kota atau luar negeri, Serena akan meminta Ernest untuk menemani malam-malam dinginnya.
"Kau brengs*k, Serena! Akh!"
Prang!
Prang!
Prang!
Ernest tak bisa lagi menahan amarah terlalu lama, lalu melampiaskan kemarahan pada semua benda yang berada dalam jangkauannya. Bunyi hantaman benda keras terdengar sangat nyaring memenuhi ruangan itu. Nafasnya tampak memburu seperti seseorang yang selesai lari maraton berpuluh-puluh kilometer, tatapannya menajam ke depan bak tatapan mata elang yang tengah mengintai mangsanya.
''Ernest, aku—''
Serena menerobos masuk begitu saja. Namun, ucapannya menggantung saat melihat kondisi ruangan yang seperti kapal pecah.
Wanita itu terkesiap ketika melihat darah segar yang mengucur dari salah satu tangan kekasihnya.
''Ernest, tanganmu berdarah! Biar aku obati." Serena memekik terkejut, kemudian berinisiatif mencari kotak obat di sekitaran ruangan. Namun, kegiatannya terhenti ketika suara berat sang kekasih menginterupsi.
''Mau apa kau kemari?"
Serena seketika berbalik, lalu mendekati pria itu. Ernest yang mengetahui pergerakan wanita itu segera berteriak untuk mencegah.
''Jangan mendekat! Aku tidak sudi didekati wanita murahan sepertimu, bahkan berbagi udara satu ruangan denganmu pun aku tidak sudi."
Wanita itu mematung di tempat, hatinya bagai ditikam belati tajam mendengar hinaan itu. Kaca-kaca di area mata terlihat sangat nyata, sungguh jika berkedip sekali saja bisa dipastikan kristal bening itu akan lolos begitu saja membasahi pipinya.
''Katakan! Untuk apa kau datang kemari? Waktuku tidak banyak untuk meladeni wanita sepertimu," tuntut Ernest dengan nada meninggi
"A-aku minta maaf," ungkap Serena dengan suara bergetar, ''tap-tapi, a-aku bisa jelaskan semuanya. A-aku—''
''Cukup! Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan. Hubungan kita berakhir sejak malam itu."
Serena tersentak mendengar keputusan sang kekasih. Dia menggeleng kuat sebagai tanda tidak bisa menerima keputusan itu. Hatinya terlanjur terpaut dengan Ernest. Dirinya sudah terbiasa dengan kehadiran pria itu.
''Tidak! Aku tidak bisa menerima. Dengarkan penjelasanku dulu, Ernest! Please...," ucap Serena penuh permohonan.
''Kau ibu tiriku, tidak seharusnya kita menjalani hubungan ini, terlebih hubungan kita terlampau jauh. Ini salah, Rena!''
''Keputusanku sudah bulat! Bersedia atau tidak hubungan kita berakhir." Ernest mengakhiri keputusannya dengan tegas.
Serena menggeleng keras masih belum bisa menerima keputusan itu. Air mata yang sejak tadi berusaha ditahan pada akhirnya luluh juga. Dia bahkan rela merendahkan harga dirinya demi mempertahankan cintanya.
''Tolong, jangan lakukan ini padaku! Aku mencintaimu, Er. Aku menikah dengannya atas sebuah kesepakatan. Dia jarang bersamaku. Dia lebih sering menghabiskan waktu bersama istri tuanya. Aku mohon jangan lakukan ini!" Wanita itu mengiba dengan memeluk lutut sang kekasih.
Ernest yang mendengar semua itu bukan merasa iba, justru semakin muak. Dia berusaha keras melepas belitan tangan Serena. Namun, gagal. Serena justru semakin mengeratkan dekapannya.
''Lepaskan, Rena!''
''Tidak! Sampai kau menarik keputusanmu."
''Medina! Mario! Kemari!'' Ernest berteriak memanggil sekretaris dan asistennya.
Dua orang yang dipanggil tergopoh-gopoh untuk segera menghadap.
''Kami, Tuan," ucap keduanya bersamaan.
''Seret wanita ini, cepat!" teriak Ernest yang tidak bisa lagi menahan kemarahan.
Medina dan Mario segera melepas paksa tangan Serena yang memeluk kaki atasannya, lalu menyeret keluar tanpa memedulikan teriakan wanita itu. Serena berusaha memberontak, tetapi tenaganya tak sebanding dengan tenaga dua orang itu.
''Lepaskan aku!"
''Ernest! Jangan lakukan ini padaku!"
''Ernest! Dengarkan penjelasanku!''
''Aku tidak mencintainya! Aku mencintaimu!"
''Ernest!"
Ernest berusaha sekuat hati untuk mengabaikan teriakan wanita itu, hingga suara tersebut semakin lama semakin terdengar pelan, kemudian hilang ditelan dinding-dinding kokoh.
Sebenarnya, dia tidak tega memerlakukan Serena seperti itu. Dia juga tidak rela hubungan yang sudah terjalin selama hampir satu tahun harus berakhir seperti ini. Akan tetapi, dia harus mengambil keputusan. Hubungan ini salah, hubungan ini menyakiti banyak pihak, terutama ibunya. Sudah cukup sang ibu menderita akibat cinta terlarang sang ayah. Cukup ayahnya saja yang menyakiti, tetapi tidak dengan dirinya.
''Maafkan aku, Rena. Ini jalan terbaik untuk kita."
...----------------...
''Mama dengar wanita itu mendatangimu."
Perkataan Rosalind berhasil menghentikan langkah Ernest yang baru memasuki ruang utama. Dia hanya menghela nafas pelan, tak ada niatan untuk menanggapi sang ibu. Raganya lelah akibat pekerjaan yang menumpuk masih harus ditambah dengan permasalahan hati. Pria itu melenggang begitu saja menuju tangga yang akan membawanya ke kamar.
Rosalind mendengus kesal saat tak mendapat tanggapan apapun dari putranya. Akan tetapi, hatinya merasa puas setelah mendengar kehancuran hubungan Ernest dengan wanita itu.
Wanita paruh baya itu menaruh dendam kesumat pada sosok wanita bernama Serena Madison. Wanita yang telah merebut suaminya. Tentu saja, dia tidak akan tinggal diam, melihat putranya masuk dalam jerat wanita itu.
Seketika ingatannya mengembara pada peristiwa dua tahun lalu ketika Arnold—sang suami mengutarakan niatnya.
''Aku ingin menikah lagi dengan wanita pilihanku. Aku tidak meminta persetujuanmu, tapi memberitahumu. Kau setuju atau tidak, pernikahanku akan tetap terlaksana."
Ucapan itu bagaikan petir yang menyambar Rosalind di siang bolong. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba sang suami berkata seperti itu, bahkan di saat pernikahan mereka terbilang baik-baik saja. Tidak ada masalah berarti di antara keduanya, bertengkar pun tidak.
''Jadi ini alasanmu memintaku datang ke sini?" tanya Rosalind kala itu dengan menahan geram.
Beberapa menit sebelumnya, sang suami menghubungi memintanya untuk datang ke kantor karena ingin membicarakan hal penting. Dia mengira ada masalah serius mengenai perusahaan ternyata masalah seperti ini.
''Ya."
Rosalind mengepalkan tangan kuat disertai rahang mengetat saat mendengar jawaban mantap sang suami. Wanita mana yang rela berbagi suami, hanya wanita bod*h yang mau menerima poligami dengan sukarela.
''Apa kurangnya aku, Arnold? Sampai kau tega melakukan ini. Aku berusaha keras menjadi yang terbaik untukmu. Aku selalu menuruti keinginanmu. Semua milikku telah ‘ku korbankan, tapi ini balasanmu!"
''Kalau begitu aku yang akan mundur. Sampai kapanpun juga aku tidak sudi harus berbagi suami dengan wanita lain," ujar Rosalind.
Dia sudah berdiri untuk beranjak. Namun, langkahnya harus terhenti ketika tanpa sengaja berpapasan dengan seorang wanita muda yang bisa dibilang sangat cantik dengan pakaian yang terkesan seksi, hendak memasuki ruangan suaminya.
''Dia Serena Madison—calon istriku, Ros. Terimalah dia sebagai madumu!" Suara Arnold terdengar santai, tetapi mampu menusuk pendengaran Rosalind.
''Terserah! Aku tidak akan mencampuri urusanmu, Arnold. Aku akan mundur karena aku tidak akan pernah sudi berbagi dengan wanita lain." Rosalind berucap penuh penekanan dengan menatap tajam wanita di depannya.
''Oke, tidak apa-apa. Tapi, jangan salahkan aku! Jika semua asetmu akan ‘ku sita. Kau keluar rumah cukup membawa diri."
Rosalind terbelalak mendengarnya. Sudah tentu, dia tidak akan rela kehilangan semua kemewahan yang didapat. Saat itu pula dia bertekad akan menghancurkan pernikahan suami dan madunya.
Rosalind bisa melihat dengan jelas ketika suaminya menyambut gembira kedatangan wanita itu. Dia bahkan mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh si empunya, lalu membawa wanita itu dalam dekapannya. Kedua insan itu menunjukkan kemesraan selayaknya dunia milik berdua tanpa memikirkan perasaan Rosalind yang merasa tercabik-cabik melihat hal itu.
''Aku harap kelak kalian bisa akur. Tenang saja, aku akan bersikap adil pada kalian."
Amarah Rosalind kembali memuncak ketika mengingat semua itu.
''Satu langkah lagi sumpahku terwujud."
Wanita itu menyeringai sinis. Dia segera meraih ponsel untuk menghubungi sang suami berniat melaporkan kelakuan madunya.
''Arnold, simpananmu menggoda putra kita."
...----------------...
"Serena, keluar kamu!''
"Serena!"
Arnold berteriak seperti orang kesetanan ketika memasuki unit mewah tempat tinggal istri keduanya. Mata yang memerah menunjukkan bahwa pria berusia 50 tahunan itu berada dalam puncak amarah. Dia bahkan membuka kasar setiap pintu ruangan yang ada di unit tersebut. Teriakannya terus menggema ke seluruh ruangan. Namun, dirinya tidak mendapat sahutan sama sekali.
''Serena! Keluar kamu!"
Sedangkan wanita yang dicari tengah berada di dalam kamar mandi, sibuk memanjakan diri dengan berendam air hangat. Aroma terapi yang ia gunakan mampu mengurai penat di kepala akibat masalah yang menimpa. Telinganya pun sengaja disumpal menggunakan headset. Matanya terpejam guna menikmati musik klasik yang didengar.
Arnold terus mencari di setiap sudut ruangan dengan terus berteriak seperti orang gila. Laporan yang didapat dari Rosalind berhasil memantik emosinya. Dia bahkan rela meninggalkan bisnisnya yang bermasalah di negara tetangga, demi mendengar kebenaran berita ini secara langsung.
Tak puas mencari di lantai bawah, pria paruh baya itu bergegas menuju lantai atas menuju kamar pribadi sang istri berada. Arnold memasuki kamar masih dengan amarah yang sama. Dia membuka kasar pintu kamar sambil meneriaki nama Serena. Dia mencari ke semua tempat yang ada di kamar luas itu. Hasilnya masih sama, Arnold tak bisa menemukan keberadaan sang istri. Berbagai prasangka buruk menelusup begitu saja ke dalam pikirannya.
''Kemana kau, Serena?! Awas sampai kau berani macam-macam!"
Netra tuanya melirik pintu kamar mandi yang tertutup. Dengan pelan, dia mendekat ke arah pintu tersebut, lalu menempelkan telinga pada daun pintu untuk mendengar suara-suara yang ada di dalam sana, tetapi nihil. Dia tidak bisa mendengar apapun.
Tangan Arnold tergerak untuk menarik gagang pintu, kemudian membukanya secara perlahan. Dia bisa melihat dengan jelas Serena yang tengah berendam dengan mata terpejam. Bohong, jika dia tidak tertarik untuk tidak menyentuh, tetapi ada masalah yang lebih penting dari sekedar hasrat.
''Sejak tadi aku mencari ternyata kau di sini."
Serena membuka kedua matanya saat mendengar suara berat sang suami. Dia masih belum mempercayai sosok yang beberapa hari lalu meminta izin ke luar negeri untuk urusan bisnis, sekarang berada di hadapannya.
''Hon-honey! Kau sudah pulang?" tanyanya dengan nada terkejut.
''Yeah, it's me. Why are you surprised like that?"
(Ya, ini aku. Kenapa kamu terkejut seperti itu?)
"Nothing, a-aku bahagia kau kembali secepat ini, sebab waktu itu kau bilang sekitar dua mingguan di sana, sedangkan ini baru tiga hari." Serena segera mengubah ekspresi wajahnya sebiasa mungkin.
"Bibirmu sangat manis, Sayang. Akan lebih manis jika tidak berdusta." Arnold berucap pelan penuh penekanan tepat di depan wajah Serena. Tangan kekarnya tergerak mengusap lembut area wajah tanpa polesan itu.
Wanita itu meneguk ludah kasar. Dia takut Arnold mengetahui hubungan gelapnya.
"Ti-tidak! Aku ... Aku bahagia."
''Jangan bohong!"
Arnold mencengkeram rahang sang istri menggunakan satu tangannya. Pancaran matanya menggambarkan amarah yang nyata.
Serena memekik menahan sakit. Tangan yang sejak tadi berada di dalam air seketika keluar berusaha untuk melepaskan tangan sang suami.
''Sakit ... Lepaskan! Apa maksudmu, Honey?" tanyanya merintih dengan suara tertahan.
''Sakit ini tidak sebanding dengan sakit hatiku, Serena Madison." Arnold berteriak seraya menghempaskan kasar wajah itu.
''Apa kurangnya aku? Sampai kau tega berkhianat di belakangku. Apa kemewahan yang kuberi, kurang? Jawab!"
Serena segera bangkit dari bath-up, lalu menyambar kasar bathrobe yang ada di dekatnya.
''Kau bicara apa, Honey? A-aku tidak melakukan apa-apa. Ke-kenapa kau menuduhku seperti itu?" Wanita itu berusaha berkelit demi menghindari amukan pria itu.
Seketika, Arnold melayangkan tatapan tajamnya. Serena masih mengira jika suaminya belum mengetahui mengenai rahasia perselingkuhannya.
''Lalu apa ini?"
Pria itu melempar beberapa lembar foto ke wajah Serena. Matanya terbelalak sempurna berbagai pose kemesraan dirinya dengan Ernest tergambar jelas di foto tersebut, bahkan pose mesra yang berada di atas tempat tidur dengan tubuh tertutup selimut tebal juga ada di sana.
Kini, untuk mengelak pun percuma. Semua bukti sudah ada di tangan suaminya.
''Aku tidak percaya kau bisa semurahan itu. Tega-teganya, kau menggoda putraku yang tidak lain anak tirimu sendiri. Apa semua kemewahan dan ketenaran yang ‘ku janjikan masih kurang, Serena? Jawab!"
"Aku tidak menggodanya! Aku tidak tahu jika itu putramu."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!