POV [Azzam Hermawan]
Pagi ini adalah hari pertamaku bekerja sebagai seorang driver di kediaman orang tersohor di kota kecil tempat aku tinggal bersama kedua adik-adikku. Oya, namaku Azzam Hermawan. Kalian bisa memanggilku Azzam saja.
Aku anak pertama dari tiga bersaudara, Aku mengambil peran sebagai ayah dan ibu, juga sebagai seorang Abang untuk kedua adik-adikku.
Sedari kecil kami telah ditinggal pergi untuk selamanya oleh kedua orangtua. Ah, rasanya sedih bila mengingat kembali kisah hidupku, tapi agar kalian tahu maka aku sedikit bercerita ya.
Sepuluh tahun yang lalu kedua orangtuaku meninggal dunia didalam kecelakaan kendaraan umum yang mereka tumpangi. Pada saat itu aku baru saja lulus sekolah menengah atas. Azhar Adikku yang nomor dua baru duduk di kelas satu SMP. Dan Azizah adikku yang paling kecil baru kelas tiga dasar.
Saat itu kami benar-benar dirundung duka yang begitu dalam. Bagaimana tidak, orang yang selama ini menyayangi dan berusaha memenuhi kebutuhan kami, namun kini mereka telah tiada. Kami bagaikan anak ayam kehilangan induknya.
Aku sebagai seorang kakak, maka tak ingin terlalu terpuruk dalam kesedihan berkepanjangan. Ya, aku harus kuat demi kedua adik-adikku yang sedang membutuhkan perlindungan dan juga bimbingan.
Aku berusaha untuk tetap tenang dan tegar menjalani kehidupan yang terasa sangat kejam dan begitu berat bila dijalani oleh anak remaja seperti diriku. Aku mulai berpikir bagaimana caranya agar adik-adikku tak putus biaya dan tetap hidup layak seperti anak-anak yang lainnya.
Bermacam pekerjaan yang aku lakukan, aku tak peduli seberat apapun pekerjaan itu, yang jelas keinginanku hanya satu, yaitu untuk memenuhi kebutuhan kedua adikku dan memberinya kehidupan yang layak, seperti saat ibu dan ayah masih ada.
Dengan segala kegigihanku dalam bekerja, Alhamdulillah sekarang kedua adik-adikku masih bisa mengenyam pendidikan. Azhar sudah kuliah di sebuah universitas dengan jurusan teknik elektro. Sementara sibungsu kami sudah menginjak kelas dua SMA.
Aku harus bisa membiayai sekolah kedua adikku, meskipun aku harus mengesampingkan dulu cita-citaku yang ingin menjadi arsitektur.
Nah segitu dulu sedikit cerita perjalanan hidupku ya. Aku sedang buru-buru, soalnya ini adalah hari pertama aku masuk kerja sebagai seorang driver. Aku tidak ingin dihari pertama bekerja mendapat penilaian minus dari majikanku.
***
Aku turun dari sebuah angkutan umum, kulihat sebuah rumah yang cukup besar dan sangat megah. Ah, tak heran lagi jika rseorang pejabat negara mempunyai rumah mewah.
Ah, ya. Aku lupa memberitahu bahwa aku bekerja dengan Pak Haidan, yaitu seorang anggota dewan di kota ini. Aku belum pernah bertemu dengan beliau karena aku masuk kerja melalui Pak Tono, beliau adalah seorang tukang kebun di rumah itu. Kebetulan orang rumah itu membutuhkan seorang supir untuk putrinya yang baru saja pulang dari luar negeri.
Dengan langkah pasti aku menuju gerbang rumah itu. Seorang Security menghampiriku.
"Mau bertemu dengan siapa, Mas?" tanya Pria bertubuh besar itu.
"Ah, saya diminta Pak Haidan datang kesini untuk menjadi driver," jawabku dengan senyum ramah.
"Oh, jadi Mas yang ingin menjadi driver untuk Mbak Zulaikha?" tanya Pria itu kembali sembari mengulurkan tangannya, dan tentu saja aku menyambut dengan senang hati.
"Benar, Pak. Oya, nama saya Azzam," ucapku dengan mengangguk ramah tanpa mengurangi rasa hormatku pada orang yang lebih tua dariku.
"Ya, nama saya Danang. Kalau begitu mari masuk saya antar untuk bertemu dengan Pak Haidan."
Aku segera mengikuti langkah Pria yang kuperkirakan setengah abad itu. Sedikit gugup saat langkahku menapaki lantai granit rumah megah itu.
"Bik, ini Nak Azzam supir baru untuk Mbak Zulaikha," ucap Pak Danang pada Bibik.
"Oh, silahkan duduk dulu Nak Azzam, biar saya panggil Tuan dan Nyonya dulu," ucap Bibik, sudah pasti dia adalah Asisten rumah tangga keluarga ini.
Pak Danang sudah kembali keluar. Kini hanya tinggal aku yang duduk seorang diri. Aku mengamati sekeliling ruangan itu. Sungguh desainnya sangat bagus, aku rasa yang merancang model rumah ini adalah arsitek terkenal, karena sudah tak diragukan lagi model dan kualitasnya.
Sudah lima belas menit aku duduk, namun belum terlihat pemilik rumah ini keluar. Aku berusaha rileks duduk tenang sembari memainkan ponselku yang sedikit sudah ketinggalan zaman, tak mengapa jadul aku bersyukur masih memilikinya.
"Selamat pagi," seru seorang pria menghampiriku dan duduk dihadapanku dengan kaki terangkat, yang biasa kusebut ongkang kaki.
"Ah, selamat pagi, Pak. Nama saya Azzam, Pak," sambutku dengan ramah sembari menyalami beliau.
"Ya, apakah kamu orang yang dikatakan Pak Tono yang ingin menjadi supir disini?" tanyanya dengan nada datar.
"Benar sekali, Pak."
"Apakah kamu mempunyai SIM?"
"Ada, Pak." Aku segera memperlihatkan SIM dan juga KTP. Sebagai tanda bukti bahwa aku bukanlah warga ilegal.
"Baiklah, mulai hari ini kamu sudah boleh bekerja sebagai driver putri saya. Tugas kamu mengantar kemanapun dia pergi," jelas Pak Haidan.
"Baik, Pak." Alhamdulillah akhirnya aku diterima. Semoga saja ini awal yang baik untuk aku dan kedua adikku.
"Kamu bisa memulai pekerjaanmu sekarang, terlebih dahulu kamu cuci mobil di car wash yang ada di teras belakang, kamu bisa tanyakan pada Pak Tono," titah Pak Haidan dengan tegas.
"Baik, Pak." Aku segera beranjak keluar dan menemui Pak Tono terlebih dahulu, karena aku pekerja new maka aku harus banyak bertanya dengan Pria baya yang sudah menjadi kepercayaan oleh keluarga itu.
Setelah mendapatkan petunjuk, aku segera melakukan tugasku seperti yang diperintahkan oleh Pak Haidan. Aku mencuci mobil mewah yang akan aku kendarai setiap hari. Tak ada debu atau kotoran lain yang luput dari pengamatanku. Kini mobil mewah itu sudah tampak bersih dan mengkilap.
Saat aku sedang mengelap bagian mobil yang basah, terdengar suara Pak Tono memanggil membuat gerakan tanganku berhenti sejenak.
"Azzam, kamu di minta Mbak Zulaikha mengantarkannya ke kampus barunya," ujar Pria baya yang selama ini begitu baik dengan keluargaku.
"Ah, ya, Baik Pak." Aku segera menyudahi pekerjaanku yang memang hampir kelar. Aku segera mengendarai mobil matic itu untuk membawanya hingga di depan rumah.
Aku keluar berdiri di samping pintu mobil menunggu wanita yang bernama Zulaikha itu keluar. Hanya sepuluh menit. Yang aku tunggu sudah keluar, sesaat mataku terpana melihat kecantikan yang cukup sempurna bagiku.
Ah ya Allah, kenapa aku bisa seperti ini. Huf.. Tidak, aku harus bisa mengukur diri dan bayang-bayang. Ayo Azzam, kamu harus fokus dengan pekerjaanmu. Jangan bermimpi yang tak akan pernah kamu raih.
"Silahkan, Mbak," ucapku dengan hormat sembari sedikit merundukan tubuh.
"Hai, siapa namanya?"
Tak aku sangka gadis cantik itu mengulurkan tangan padaku. Ah, apakah aku sedang bermimpi?
Bersambung....
Happy reading 🥰
Dengan perasaan gugup aku menerima uluran tangan gadis cantik bermata coklat itu. Senyum manis membingkai di bibirnya dan dihiasi oleh lubang yang ada dikedua pipinya.
"Nama saya, Azzam." Ku paksa bibirku untuk membalas senyum indah itu.
"Oh, kalau begitu aku panggil Mas Azzam saja ya," balasnya masih dengan senyuman.
"Boleh, terserah Mbak saja," jawabku mengangguk patuh.
"Jangan jawab terserah, nanti kalau aku panggil terserah gimana?" candanya yang membuat jantungku semakin tak menentu. Rasanya aku benci sekali dengan perasaan ini.
"Hehe... Mbak bisa saja." Aku hanya menjawab dengan tawa kecil sembari membukakan pintu untuknya.
Setelah meyakinkan bahwa dia duduk dengan nyaman, aku segera mengendarai mobil matic keluaran baru itu. Di perjalanan kami hanya diam. Tak ada ucapan yang keluar dari bibir kami masing-masing, tentu saja, lagian apa yang ingin dibicarakan oleh majikan dengan seorang supir.
Tiga puluh menit mobil yang aku kendarai sudah menepi disebuah universitas ternama di kota itu. Aku segera turun terlebih dahulu untuk membukakan pintu untuk Mbak Zulaikha.
"Silahkan Mbak," ucapku dengan ramah.
"Terimakasih ya, Mas." Kembali senyum manis itu ia ukirkan.
"Ah, Mbak?" panggilku membuat wanita itu menghentikan langkahnya.
"Ya?" dia menoleh menghadap kembali padaku.
"Apakah saya harus menunggu disini?" tanyaku yang belum mengerti.
"Oh, iya, Mas Azzam tunggu saja disini. Aku tidak lama kok, hari ini cuma ada satu mata kuliah," jawabnya yang begitu ramah.
Aku hanya mengangguk patuh mengikuti perintahnya. Gadis itu segera berlalu masuk kedalam gedung perkuliahan. Aku masih berdiri mengamati bangunan dan segala perkarangannya. Ah, andai saja aku mempunyai rezeki yang cukup, maka aku juga ingin kuliah di tempat ini.
Mudah-mudahan saja suatu saat nanti Allah menjawab segala Do'a-do'a yang selama ini aku langitkan. Untuk saat ini aku hanya akan fokus pada pendidikan kedua adikku. Tak mengapa bila aku tak bisa meneruskan pendidikan asalkan kedua adikku menjadi orang sukses.
Tak banyak yang aku lakukan ditempat ini. Aku hanya duduk di pelataran yang tak berapa jauh dari parkiran sembari menatap orang yang lalu lalang. Getaran ponsel membuyarkan keseoranganku.
"Assalamualaikum, Bang" ucap adikku sibungsu.
"Wa'alaikumsalam, ada apa, Dek?"
"Bang, hari ini adalah pengambilan rapor. Kenapa Abang tidak datang? Bukankah tadi Abang janji akan hadir, kalau Abang tidak mewakili, maka rapor aku tidak diberikan," jelas Azizah dengan nada sedikit kesal.
"Astaghfirullah, Abang benar-benar lupa, Dek, kalau begitu Abang akan kesana sekarang ya. Kamu tunggu sebentar." Aku segera mematikan sambungan dan bergegas untuk menuju parkiran.
"Mas Azzam!" panggil seseorang, aku segera menoleh.
"Eh, Mbak." dengan langkah pasti Mbak Zulaikha menghampiri aku.
"Ayo jalan sekarang, Mas," ajaknya yang ingin segera masuk kedalam mobil. Namun kali ini dia menduduki kabin disamping driver.
"Loh, Mbak, kenapa duduk di depan?" tanyaku merasa tidak paham.
"Kenapa, Mas? Apakah aku tidak boleh duduk didepan? Tidak ada larangan, bukan?" tanyanya yang membuat aku tak tahu harus menjawab apa.
"Ah, baiklah. Oya, Mbak, saya mau minta izin sebentar untuk ke sekolah adik saya untuk mengambil rapornya. Apakah Mbak ingin saya antar lebih dulu?" tanyaku yang sebenarnya sudah merasa sedikit gelisah karena Azizah pasti lama menunggu.
"Oh, yaudah kita langsung ke sekolah saja, Mas," jawabnya yang begitu pengertian.
"Mbak tidak apa-apa?" tanyaku sedikit sungkan.
"Iya tidak apa-apa, Mas. Karena aku tidak ada keperluan penting lagi."
Aku hanya mengangguk dan segera melajukan kendaraan roda empat itu menuju sekolah adikku. Setibanya disana, aku melihat ruang pengambilan rapor sudah mulai sepi, hanya tinggal beberapa orangtua murid yang sedang berbincang dengan wali kelasnya membahas tentang kenakalan anak-anak mereka.
Aku sedikit was-was, semoga Azizah tidak mendapatkan teguran dari guru atas kenakalannya. Saat aku berada didepan ruangan itu, terlihat senyum adik bungsuku mengembang dan segera menghampiri aku.
"Abang kenapa lama sekali?" bisiknya sembari menarik tanganku untuk masuk.
"Maaf ya, Abang benar-benar lupa."
"Yaudah, ayo sekarang temui wali kelas aku Bang." Aku segera menuju meja dimana Bu Guru sedang berbincang dengan wali murid yang lain. Aku masih diam membiarkan sang guru menyelesaikan perbincangan mereka.
"Bapak orangtua siapa?" tanya Bu guru sembari menyuruhku untuk duduk.
"Saya Azzam, Kakak dari Azizah, Bu," jawabku memperkenalkan diri.
"Oh, Kakak Azizah, jadi Azizah mempunyai Kakak selain Azhar ya?" tanya Bu guru yang tahu hanya Azhar kakaknya Azizah, karena selama ini aku sibuk maka Azharlah yang selalu menjadi wali sibungsu kami.
"Iya, Bu, saya Kakak tertua dari kedua adik saya."
"Ya ya, silahkan di tanda tangani." Bu guru menyodorkan buku absen pengambilan rapor padaku.
"Alhamdulillah nilai Azizah sangat baik, dan Ibuk berharap Azizah tetap mempertahankan dan meningkatkan lagi untuk lebih giat dalam belajar. Dan ini hadiah juara 1 yang berasil diraih olehnya," jelas Bu guru sembari menyerahkan sebuah bungkusan berwarna coklat, dan juga terselip amplop disana.
"Alhamdulillah, terimakasih banyak atas apresiasinya, Buk. Semoga kedepannya akan lebih baik lagi." Sungguh aku sangat bangga dengan prestasi yang diraih oleh adikku.
Setelah selesai pengambilan rapor, aku dan Azizah segera beranjak. Kulihat gadis remaja itu selalu tersenyum, ditambah lagi ia mendapatkan uang dari pihak sekolah yang menghargai setiap murid yang berprestasi sebagai reward karena mereka bersungguh-sungguh dalam belajar.
"Seneng banget," ledekku sembari merangkul bahu adik kecilku.
"Iya dong, Bang. Nggak nyangka aja bisa dapat juara satu. Oya, Abang kesini naik apa?" tanya Azizah.
"Tadi Abang pake mobil majikan Abang, orangnya juga ikut, dia lagi nunggu di mobil."
"Oh, dimana mobil majikan Abang? Apakah aku boleh nebeng pulang?" tanya gadis itu sembari tersenyum.
"Ah, sepertinya Abang harus buru-buru, kamu naik taksi aja ya, Dek, nggak enak juga, ini hari pertama Abang bekerja," jelasku pada sang adik agar bisa mengerti.
"Oh yaudah, Bang. Kalau begitu aku pesan taksi online dulu ya, Bang." Beruntungnya gadis kecilku itu sangat pengertian.
Aku membiarkan adikku duduk di halte sekolah sembari menunggu taksi yang sedang di pesan, sementara itu aku kembali menuju parkiran.
"Maaf ya, Mbak agak lama," ucapku merasa tidak enak.
"Iya tidak apa-apa, Mas. Mana adiknya?" tanya Mbak Zulaikha.
"Ah, itu lagi nunggu taksi Mbak."
"Loh, kenapa nunggu taksi? Kenapa tidak diantarkan pulang sekalian?"
"Ta-tapi, Mbak?"
"Nggak pa-pa, Mas. Udah, ayo kita antar adik Mas Azzam pulang dulu."
Aku sesaat menatap wanita cantik yang begitu baik. Ternyata dia tak seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Aku hanya mengangguk segera menjalankan mobil dan menghampiri Azizah yang masih duduk disana.
"Dek, ayo masuk!" seruku padanya.
Azizah tersenyum manis sembari berjalan mendekati aku. "Tapi aku sudah pesan taksi Bang."
"Dibatalkan saja, Dek!" sambung Mbak Zulaikha.
"Apakah aku boleh naik mobil ini, Kak?" tanya adikku begitu polos.
"Ya, tentu saja, ayo masuklah."
Azizah tersenyum dengan wajah sumringah, entah apa yang ada dalam pikirannya. Mungkin kali ini dia bisa menaiki mobil mewah.
"Hai Kak, nama aku Azizah," ucapnya menyalami tangan gadis yang ada disampingku.
"Hai, nama aku Zulaikha. Kamu bisa panggil aku Kak Ikha."
"Baiklah, terimakasih untuk tumpangannya, Kak." Azizah segera menduduki kabin belakang.
Bersambung....
Happy reading 🥰
Di sepanjang perjalanan Mbak Zulaikha dan Azizah banyak ngobrol, aku hanya sebagai pendengar setia sembari fokus mengemudi.
Tak berselang lama mobil yang aku kendarai sudah berhenti disebuah rumah sederhana kami. Ya, disinilah aku dan adik-adikku tinggal. Bersyukur mempunyai rumah sendiri walaupun tidak bagus, namun cukup membuat kami nyaman.
"Kak Ikha nggak mampir dulu?" tawar Azizah sebelum dia turun.
"Ah, lain kali saja, Dek. Besok-besok kalau ada waktu senggang Kakak main kesini ya," jawab Mbak Zulaikha.
"Oh yaudah, terimakasih banyak untuk tumpangannya ya, Kak. Bang Azzam aku masuk dulu. Nanti Abang pulang jama berapa? Mau dimasakin apa?" tanya adik bungsuku yang memang sangat rajin untuk mengurusi aku dan juga Azhar.
"Apa saja, Dek, Abang belum bisa mastiin pulang jam berapa, kalau Abang telat pulang, kamu dan Bang Azhar makan saja, jangan tunggu Abang," jawabku, aku memang belum bisa memastikan untuk pulang jam berapa.
"Oh, iya deh. Aku masuk ya Bang, Kak Ikha, sampai ketemu lagi Kak, sekali lagi terimakasih."
"Iya, sama-sama, Dek."
Aku kembali melajukan kendaraan roda empat itu untuk menapaki jalan raya. Sesaat suasana kembali hening, namun kembali jantungku berdebar saat wanita disampingku selalu menatapku.
"Mas Azzam berapa saudara?" tanya Mbak Zulaikha membuka percakapan.
"Tiga, Mbak. Saya yang paling tua, yang nomor dua kuliah di universitas xx. Dan Azizah adik kami yang bungsu," jawabku dengan jujur.
"Oh, Azizah itu anaknya ramah banget ya, dan pintar lagi. Emang kalau dirumah dia selalu masak untuk kamu ya?"
"Iya, Mbak, kalau dia tidak sibuk dengan pelajarannya, maka dialah yang mengerjakan tugas dirumah. Tapi kalau dia sedang fokus belajar, maka saya dan Azhar yang mengambil peran itu, yaitu saling membantu.
"Salut banget dengan Mas Azzam, kalian begitu rukun dan saling mengasihi."
"Harus, Mbak. Dulu sewaktu kedua orangtua kami masih hidup, maka mereka selalu mengajarkan kami untuk saling melengkapi. Apalagi saya sebagai Abang tertua, maka saya harus menjadi panutan untuk kedua adik-adik saya."
Tak ada lagi sahutan dari Mbak Zulaikha, namun dia menatapku dengan dalam dengan senyum begitu manis sehingga jantungku merasa tidak aman.
Sejak pertemuan Mbak Zulaikha dan Azizah waktu itu, maka sekarang Mbak Zulaikha sudah sering main kekediamanku, terkadang aku merasa tidak enak, karena setiap pulang kuliah gadis itu pasti ingin mampir kerumah.
Banyak hal yang mereka lakukan, terkadang ada saja kegiatan yang dilakukan oleh kedua wanita itu. Seperti memasak, dan mencoba resep-resep makanan yang baru. Aku hanya bisa menurut segala perintah anak pejabat itu.
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, kini sudah hampir satu bulan aku bekerja sebagai seorang driver untuk seorang gadis cantik memiliki hati yang lembut dan sangat baik.
Pagi ini tak ada kegiatan, karena Mbak Zulaikha jadwal kuliahnya siang. Maka aku memutuskan untuk membantu Pak Tono untuk membersihkan perkarangan rumah mewah yang mempunyai tanah perkarangan yang cukup luas.
"Walah, Nak Azzam, kamu duduk saja, biar Bapak saja yang mengerjakan," ujar Pak Tono merasa tak enak saat aku membantunya.
"Ah, tidak apa-apa, Pak." Aku masih saja melakukan pekerjaanku yang sedang merapikan tanaman hias dengan memangkasnya.
Saat kami sedang fokus, terdengar suara seseorang yang membuat aku menoleh. Ah, ternyata gadis cantik itu datang membawa minuman dan juga beberapa cemilan. Terlihat dia begitu cantik dengan pakaian santainya.
"Mas Azzam, Pak Tono, ini cobain resep baru yang kemaren aku dapat dari Azizah. Katanya ini adalah resep dari almarhum ibunya Mas Azzam, benar ya, Mas?" tanyanya sembari menaruh nampan itu di meja, dan dia segera duduk di bangku taman yang tak jauh dari tempat kami bekerja.
"Wah, Mbak Ikha kenapa repot-repot begini. Ah, ya, ini adalah kue handalan Ibu sewaktu masih hidup," ujarku menjawab dengan jujur.
"Resepnya enak banget Mas, ayo sini cobain, Pak Tono, ayo istirahat dulu, Pak," panggilnya pada Pria baya yang menjadi kepercayaan keluarga itu.
Saat kami sedang duduk dan menikmati suasana pagi, aku melihat sebuah mobil mewah memasuki perkarangan rumah itu.
"Ikha!" panggil seseorang menghampiri kami yang masih duduk ngobrol.
"Eh, Kak Naya! Loh Kakak dengan siapa?" tanya Mbak Ikha yang segera menghampiri wanita yang terlihat sangat modis dan cantik.
"Sama, tunangan Kakak."
"Oh, yaudah, ayo kita masuk sekarang Kak, sudah ditungguin Mama dan Papa."
"Pak, Mas, aku masuk dulu ya. Oya, aku lupa. Kak, kenalin ini supir aku, namanya Mas Azzam," ucap Mbak Ikha memperkenalkan.
"Oh, yaudahlah, nggak penting juga. Ayo kita masuk sekarang, panas nih."
Aku yang tadi ingin mengulurkan tangan, namun terhenti saat mendengar jawaban dari wanita yang bisa kupastikan adalah saudara perempuan Mbak Ikha. Tapi kenapa sikap mereka sangat berbeda ya?
Mbak Ikha menatapku dengan perasaan tidak enak, namun aku berusaha untuk tersenyum sembari menganggukkan kepala untuk meyakinkan bahwa tidak masalah.
Aku juga melihat seorang Pria gagah dengan stelan yang bisa kupastikan sangat bermerek apa yang melekat pada tubuhnya. Ya, mereka sangat cocok. Sudah pasti dia juga mempunyai gelar.
Melihat kenyataan yang ada, maka aku berusaha menasehati batinku sendiri untuk tak menaruh angan-angan yang tinggi. Aku tidak boleh ada rasa pada gadis itu, karena aku bukanlah tipe mereka. Ibarat piala, aku hanya bronze, maka tidak pantas bila disandingkan dengan diamond.
Kuabaikan perasaanku, aku segera meneruskan pekerjaan yang tadi sempat terhenti. Sekarang niatku adalah bekerja demi membiayai sekolah kedua adikku, dan jika aku bisa menabung maka nanti akan aku pergunakan untuk menuntut ilmu agar cita-cita tercapai. Tak ada kata terlambat dalam belajar.
"Jangan diambil hati dengan sikapnya Mbak Inaya. Dia memang seperti itu." Tiba-tiba Pak Tono berucap sedemikian. Apakah wajahku terlihat sedang tak enak hati? Ah, dasar payah.
"Ah, nggak kok Pak, sama sekali tidak ambil hati," jawabku dengan senyuman.
"Dia adalah anak kedua dari Tuan Haidan dan Nyonya Nuril. Mereka mempunyai tiga orang anak, tapi ketiganya putri," jelas Pria baya itu.
"Oh, begitu ya, Pak. Terus, yang tua dimana, Pak?" tanyaku yang sedikit penasaran dengan keluarga terpandang itu.
"Yang pertama namanya Mbak Sinta, dia berada di luar negeri ikut suaminya yang bertugas disana."
Aku hanya manggut-manggut saja mendengar penjelasan Pak Tono, tentu saja beliau tahu, karena sudah lama mengabdi dengan keluarga itu.
"Tapi jujur, yang sangat baik itu adalah Mbak Zulaikha, dari kecil sampai sekarang dia selalu ramah pada siapapun. Dan tak pernah merendahkan siapapun. Pokoknya sangat bertolak belakang dengan kedua kakak-kakaknya."
Bersambung.....
Happy reading 🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!