Bandung, 21 November 2022
Cuaca mendung yang masih menggantung mesra menghiasi langit dengan segala keelokannya. Menahan pergerakan seorang gadis yang tengah bergelung, dengan benda lembut berbentuk semu.
Surinala Jarumilind atau akrab di panggil dengan sebutan Nala, gadis muda berparas ayu dengan tatapan sendu yang baru saja lulus dari bangku sekolah menengah atas itu kini tengah sibuk bergelung di dalam selimut tebal yang merengkuh erat tubuhnya.
Rintik hujan yang tengah mengguyur dari semalam hingga saat ini, membuat setitik guratan jingga tampak di langit pagi yang enggan menampakkan cahaya sang surya. Membuat udara pagi begitu terlewat sejuk hingga menusuk ke dasar pori-pori kulit.
Waktu telah menunjukkan pukul 8 pagi. Gadis itu bahkan belum bergerak sedikitpun, rasa kantuk akibat semalam serta hawa yang terlewat dingin membuatnya enggan untuk beranjak dari tempat tidurnya. Ia bahkan melewatkan rutinitas paginya yang setiap hari ia lakukan tanpa terlewat.
Yahh, bahkan hingga usianya yang sudah menginjak 18 tahun, Nala masih melakukan hal konyol dengan mengintip aktivitas tetangga sebelahnya yang setiap pagi melakukan olahraga ringan di dalam kamarnya.
Posisi kamar mereka yang saling berhadapan dan sama-sama berada di lantai 2, membuat Nala lebih leluasa memperhatikan setiap pergerakan pria pujaannya tersebut. Sorot penuh kekaguman begitu tersirat di irisnya yang terlihat sendu. Binar mata serta degup jantung yang meraja cukup menjadi bukti, bahwa ia benar-benar telah jatuh hati pada sang pria.
Tanpa sepengetahuannya, Bara. Lelaki yang ia tatap penuh pesona, telah lama mengetahui kebiasaan konyolnya tersebut. Namun, seolah menjadi hal yang biasa bagi dirinya. Bara bahkan tak begitu menghiraukan akan hal itu. Ia dengan sengaja membuka lebar-lebar pintu beranda kamarnya yang langsung menuju ke balkon dan memamerkan tubuhnya yang kekar dengan otot liat yang nampak jelas di kulit coklat eksotisnya.
Baginya, Nala hanyalah gadis belia manis yang memandangnya sebatas kagum tanpa ada perasaan tertentu. Bara bahkan telah menganggapnya sebagai adiknya sendiri, akibat keakraban yang telah terjalin antara keluarga mereka sejak usia mereka masih dini.
*
*
*
Di kediaman Dewandaru.
Bara yang baru saja turun dari lantai atas langsung melesat ke dapur dan memeluk tubuh ibunya dari belakang. Seketika Mega yang tengah sibuk mengolah makanan sedikit terkesiap akan rengkuhan sang anak yang begitu tiba-tiba.
"Iih ... ngagetin aja kamu," keluhnya akan sikap sang anak yang begitu manja, sementara Bara hanya tersenyum tengil dan tetap memeluk tubuh ibunya.
"Mamaku sayang, lagi masak apa?"
"Gak liat kamu? kalau mama lagi olah daging," sautnya cepat dan jutek tanpa melirik sedikitpun.
"Yah maksud Bara itu, dagingnya mau di bikin masakan apa?" timpalnya sambil melepas rengkuhannya serta beranjak ke depan lemari pendingin dan mengambil botol air mineral yang ia tandaskan dalam sekali teguk.
"Mama mau bikin empal."
"Empal?"
"Iya, empal gentong. Mama bikin empal buat Nala sama tante Arum. Ohh ya, Bara ... otot kamu kan gede, nanti bantuin Mama getok ini daging yahh? biar empuk, biar gak alot nak."
"Getoknya pakai tangan langsung gitu, di tonjok gitu kah?"
"Ya nggak di tonjok juga, kamu getoknya pakai palu daging itu. Tangan Mama pegel. Mbok Sri kan lagi libur, jadi gak ada yang bantuin Mama. Gihh, bantuin ya nakk?" ucapnya dengan mata berbinar penuh permohonan.
Sedangkan Bara hanya bersidekap, bersandar di depan lemari pendingin dengan sorot menyipit atas jawaban apa yang akan di lontarkannya.
"Oke, tapi Mama kasi aku ijin,"
"Ijin apa?"
"Minggu depan aku ke Bali," jawabnya cepat dan menatap barang putus ke arah ibunya.
"Mau ngapain kamu ke Bali? Baru juga minggu kemaren kamu pulang dari sana. Mau ngapain lagi kamu?" sahutnya dengan nada sinis menuntut jawab.
"Bara ada kerjaan sama temen, kalau kemaren kan ... Bara cuma healing. 2 hari aja kok, gak lama juga kan Ma?"
Sedangkan Mega tak langsung mengiyakan permintaan sang anak. Ia berfikir sejenak sambil memperhatikan gerak-gerik sang anak. Bukannya tak memberi ijin atau terlalu membatasi setiap aktivitasnya. Mega hanya bermaksud menjaga sang anak yang notabennya berasal dari keluarga terpandang.
"Gimana ...? Mama kasi gak? kalau Mama gak kasi ya udah, aku juga gak mau bantuin getok itu daging," ucapnya di sertai senyum tengil yang senantiasa melekat di bibirnya.
"Gitu banget kamu sama Mama, pamrih kamu yahh," sautnya dengan nada defensif dan sorot yang sedikit tajam.
"Bara bukannya pamrih Ma ..., cuma anggap aja kita lagi kerja sama yang saling menguntungkan. Kaya simbiosis mutualisme gitu."
"Menguntungkan ..., tapi beneran cuma 2 hari kan?"
"Iyaa ..., Bara cuma 2 hari aja kok. Janji!" ia berkata lembut sambil memegang kedua telinganya sebagai wujud perjanjian.
"Oke. Tapi inget, jangan sampai lebih dari 2 hari loh Bar! kalau kamu lebih dari waktu yang kamu janjiin, mama potongin lagi itu burung," ucapnya tegas dengan sorot yang mengarah tepat ke benda pusakanya.
Seketika sorot Bara langsung membola dengan tatapan ngeri dan kedua telapak tangan yang reflek menutupi area kebanggaannya tersebut. "Yahh, jangan dong! Bara kan cuma punya 1. Nanti kalau di pangkas abis, Bara gak punya lagi dong. Gak gagah lagi anak Mama ini."
"Ya makanya, tepatin janji kamu."
"Iya ..., Bara janji pulang tepat waktu kok. Ohh, yaa. Mahh ..., tumben itu bocah gak keliatan?"
"Bantu bundanya kali. Kenapa? kamu kangen yahh ...," jawabnya dengan nada menggoda sambil melambai ke arahnya untuk segera membantunya mengolah daging.
"Dikit, biasanya dia pagi-pagi pasti intipin Bara kalau lagi gak pakai baju."
Yang seketika mendapat respon tatapan tajam dari sang ibu, "Maksud Bara bukan telanjang di depannya gitu. Tapi waktu Bara push up, kan Bara seringnya pakai celana doang," sergahnya sedikit panik akan respon sang ibu.
"Kamu suka sama Nala?"
"Enggak lahh ..., masa iya Bara suka sama bocah. Lagian Nala itu udah kaya adek Bara sendiri Ma ..., kan Mama tau, dari dulu Bara pingin banget punya adek tapi Mama gak mau kasi."
"Bukannya gak mau kasih ihh! tapi emang Mama takut buat hamil lagi, kamu kira hamil itu gampang," sautnya ketus dengan tangan yang mengangkat daging secara kasar yang seketika membuat Bara memasang wajah ngeri.
"Iya ... iyaa ..., Bara minta maaf. Terus ini daging mau di getok sekarang kah?"
"Iya! getok langsung aja, gak usah nunggu dingin."
Seketika Bara langsung menuruti perintah Mega dengan memukul potongan daging itu langsung di atas talenan kayu. Namun, karena kerasnya pukulan yang ia gunakan. Talenan yang ia gunakan terbelah menjadi 2 dengan suara dentuman yang cukup keras.
BRAAAK!
Mega yang berada di sebelahnya seketika terkejut dengan sorot yang membola tajam.
"Iih ... Bara! kenapa kamu pecahin itu talenan?!" pekiknya dengan emosi yang mulai tersulut. Sementara Bara hanya memasang wajah ngeri, meletakkan kembali palu daging yang ia gunakan dan mengambil langkah mundur untuk menghindari kemarahan sang mama.
...................🍂...................
"Nala, Bangun! udah siang ini. Bantuin Bunda yok, Nala ...!"
Sementara gadis itu masih saja enggan membuka matanya dan beranjak bangun. Ia hanya menggeliat pelan dan semakin mengeratkan selimutnya.
"Kok tambah pules sih, ayokk bangun dulu Nak. Pergi ke rumah tante Mega sana! kamu dicariin Bara lohh."
Seketika gadis itu langsung membuka mata, menggeliat dan beranjak duduk sambil mengusap kedua matanya.
"Iya, iya, aku bangun. Ini jam berapa Bun?" tanyanya dengan rasa kantuk yang masih tersisa.
"Jam 9," sautnya. Ia beranjak dari tempat tidur sang anak dan membuka tirai jendela serta pintu balkonnya.
"Jam 9!" pekik Nala. Seketika ia melompat dari tempat tidur dan melesat ke dalam kamar mandi.
"Kok bunda baru bangunin aku sihh, kan akunya jadi absen ngintipin .....," rengeknya dengan kalimat yang terhenti tiba-tiba.
"Ngintipin apa kamu?" tanya Arum dengan nada terkesan curiga.
"Gak ada! cuma mau bilang telat ngintipin matahari terbit!" kilahnya dengan berteriak dari dalam kamar mandi.
Sementara Arum hanya diam dan berlalu pergi dari kamar anaknya, namun sebelum itu, "Cepet siap-siapnya! kamu di cariin tante Mega!"
"Iya, bentar lagi selsai kok!"
"Duhh ..., hampir aja keceplosan," desahnya sambil bernafas lega.
Nala membasuh tubuhnya dengan cepat dan keluar dari kamar mandi. Ia berdiri di depan lemari bajunya dan memilih salah satu setelan baju yang sangat ia gemari. Setelan baju dengan atasan rajut lengan pendek berwarna kuning serta rok bahan kain sebatas lutut, ia gunakan saat itu juga.
Selesai memakai bajunya, ia berdiri di depan kaca yang memperlihatkan pantulan dirinya.
Seulas senyum manis dari bibir mungilnya nampak begitu jelas. Nala hanya menggunakan wewangian buah tanpa riasan berlebih. Hanya lip balm cherry berwarna pink yang ia sapu tipis di area bibirnya.
Namun begitu, parasnya yang lerlewat ayu serta sorotnya yang sendu namun begitu dalam. Menjadi daya pikat lebih akan dirinya. Pipinya bersemu merah akan suhu pagi itu yang begitu dingin, surainya ia gerai bebas untuk menghalau angin yang menerpa di area pundaknya.
Nala telah siap dengan penampilannya, ia berlari kecil meniti anak tangga dan segera meringsut ke arah bundanya.
"Bunda," ucapnya manja dengan senyum manis yang membingkai indah di parasnya.
"Ehh ..., udah siap kamu?"
"Heem, mau ke rumah tante Mega sekarang."
"Gak sarapan dulu? Bunda udah beliin kamu bubur di mang Encim loh ..."
Sementara Nala hanya tersenyum manis sambil menggelengkan kepalanya pelan.
"Buat nanti aja, pasti tante Mega lagi nunggu-nunggu aku," kilahnya sebagai penolakan halus yang ia utarakan.
"Dihh, bisa aja kamu. Bilang aja kamu udah gak sabar liat Bara kan?"
"Ihh ... enggak kok, Nala kan cuma berusaha tepat waktu aja. Udah yaa, Nala pergi dulu. Bye Bunda, Assalamualaikum," ucapnya sambil berlari kecil dan segera bergegas pergi.
"Iya, Waalaikumussalam," jawab Arum dengan gelengan kepala serta seulas senyum.
Di kediaman Dewandaru.
Di dalam dapur Mega masih terlihat sibuk dengan olahan dagingnya beserta Bara yang senantiasa masih membantu. Sesekali Mega masih tampak menggerutu akibat ulah Bara barusan. Namun, karena sudah menjadi hal biasa baginya.
Bara tak ambil pusing atau meladeni sikap Mega yang tengah merajuk. Ia dengan sengaja malah menggoda balik ibunya dengan gelitikan kecil atau kecupan singkat di wajah sang ibu. Dan hal itupun cukup berhasil baginya untuk meredakan emosi sang ibu yang tengah tersulut.
"Getoknya pelan-pelan, jangan kenceng-kenceng!"
"Iya, Mahh ...," sautnya sabar sambil menahan senyum.
"Kok Nala belum muncul-muncul juga yahh?"
"Bentar lagi juga dateng."
"Assalamualaikum ..., tante Mega."
"Waalaikumussalam!, beneran dateng dia Bar," ucapnya langsung menoleh ke arah anaknya. Sementara Bara hanya mengangkat sebelah alisnya sebagai respon balik.
Mega berlari kecil dan membukakan pintu untuk Nala. Ia menarik lengan gadis itu dan membawanya masuk.
"Lama banget kamu Nak, kamu sakit kah?"
"Enggak kok tante, Nala bangunnya kesiangan," jawabnya di sertai cengiran kuda yang membingkai gemas di parasnya.
"Tumben ...? biasanya juga kamu pagi-pagi udah ngeriwehin tante. Tapi gak apa-apa sihh, pasti kamu capek banget ya nak. Tugas anak sekolah banyak banget itu pasti. Apa lagi kamu baru lulus sekolah, pasti kamu lagi siapin segala buat daftar kuliah kan yahh?
Ohh, yaa. Tante bikinin kamu empal lho!, buat kamu sama Bunda. Mau yaah? biar kamu makannya lahap, biar badan kamu agak gedean dikit Nak."
Celoteh Mega panjang lebar sambil berjalan beriringan ke arah dapur dengan tangan yang senantiasa masih mengapit lengan gadis tersebut. Sementara Nala hanya diam tanpa sempat menjawab satu katapun. Ia sesekali tersenyum manis sebagai bentuk respon dengan ekor matanya yang tampak memindai arah sekitar, bermaksud mencari keberadaan seseorang.
Sampai di dalam dapur, Nala sedikit terkesiap melihat keberadaan seseorang yang tengah di carinya. Bara tengah memukul beberapa potongan daging. Ia yang hanya menggunakan kaos tipis serta celana kain di atas lutut, tampak begitu mempesona baginya.
Lengannya yang kokoh dengan Kulit coklat mengkilat bercucuran keringat serta otot yang tampak menyembul keluar, menambah kesan seksi yang begitu memikat dan membuatnya menatap enggan berkedip ke arahnya.
Sontak saja, Bara yang merasa tengah ditatap langsung menoleh ke arah gadis itu. Senyumnya yang manis namun tetap terlihat gagah, dengan sorotnya yang dalam membelenggu, seketika membuat Nala tersipu dan menundukkan pandangannya. Sedangkan Bara semakin tersenyum lebar melihat sikap Nala yang nampak tersipu dan terlihat malu-malu.
"Bara, udah belum?"
"Udah, tuh ...," sautnya dengan telunjuk yang mengarah ke daging namun tatapannya masih terpaku akan gadis di hadapannya.
"Nala, sini Nak. Bantuin tante bentar yahh," ucap Mega memecah keheningan beberapa saat dan langsung meringsut ke depan kompor.
"Ohh, iya tante," saut Nala cepat sedikit terkesiap dan segera beranjak ke arah Mega dengan melirik sekilas ke arah Bara.
"Bara, kamu kalau mau makan. Itu salad yang tadi malem Mama taruh di kulkas."
"Iya, Ma." Bara beranjak ke lemari pendingin dan berlalu ke meja makan.
Mega serta Nala terlihat sibuk mengolah daging. Nala dengan telaten membantu Mega dengan membersihkan area dapur yang tampak berantakan dari biasanya. Satu persatu pekerjaan mereka selesaikan di selingi dengan canda dan tawa.
Mega tampak begitu bahagia saat dirinya tengah bersama dengan Nala. Tak di pungkiri, ia memang sangat mendambakan kehadiran anak gadis di dalam rumahnya tersebut. Namun, karena suatu keadaan fisik yang terjadi padanya beberapa waktu silam, membuatnya harus menahan keinginannya untuk mendapatkan momongan kembali.
Cukup dengan kehadiran kedua putranya serta suami yang senantiasa mendampingi, Mega akhirnya sedikit demi sedikit dapat memupuskan keinginannya untuk menambah keturunan lagi. Tapi, tanpa disengaja. Ia setiap hari akan memanggil putri dari tetangga sebelah yang telah begitu akrab dengannya, untuk menemani hari-hari panjangnya. Selesai dengan kesibukan mereka. Kedua orang itupun beranjak dan melepas penat di ruang keluarga.
...................🍑...................
🍒Jangan lupa tekan like, subs, dan komen setiap babnya. Ratenya juga jangan lupa guyss ..., Terimakasihh 🙏😊
Di sudut sofa terlihat Bara tengah sibuk memainkan ponselnya, sesekali ia tersenyum kecil saat memainkannya. Merasakan kehadiran seseorang di sekitarnya, ia mengangkat pandangannya dan langsung melihat Nala serta ibunya yang tengah duduk.
Sepersekian detik Mega yang baru saja duduk kembali berdiri dan beranjak ke dalam kamarnya.
"Tante mau mandi dulu. Nala, nanti kalau dagingnya udah dingin, masukin ke tempat yang tadi ya Nak," ucapnya sambil berlalu pergi.
"Iya, tante."
Di tinggalkan hanya berdua dengan Bara dalam satu ruangan, membuat dirinya kembali dihinggapi rasa gugup yang berlebihan. Telapaknya mulai terasa dingin dengan bahasa tubuh yang terlihat tegang.
"Abang punya sesuatu buat kamu," celetuk Bara memecah keheningan.
"Haaah ...?" saut Nala masih tak begitu yakin akan apa yang baru saja iya dengar.
Sementara Bara hanya tersenyum lembut dan beranjak berdiri, melangkah ke arah gadis itu.
"Ikut abang," ucapnya sambil mengulurkan tangan ke arah gadis itu. Sebaliknya, Nala hanya terdiam, menengadah memandang pria di hadapannya. Tak ingin membuang waktu, Bara meraih Pergelangan tangan Nala dan menariknya untuk beranjak berdiri.
"Mau kemana?"
"Ke kamar abang," jawabnya seraya melangkah menaiki anak tangga.
"Mau ngapain?" Nala bertanya penasaran.
"Tumben kamu banyak nanya. Biasanya kamu nurut-nurut aja abang bilang apa juga."
"Bukan gitu, kan Nala sekarang udah gede. Pamali di liat orang, kalau Nala deket banget sama abang," ucapnya pelan sambil tertunduk malu.
Sedangkan Bara hanya tersenyum dan mempercepat langkahnya. Sampai di depan pintu kamarnya, ia menekan panel pintu dan membawa masuk gadis tersebut. Tak lupa Bara juga menutup kembali pintu tersebut tanpa menguncinya.
"Kenapa di tutup?" tanyanya sedikit merasa gelisah.
"Abang mau nyalain ac."
"Dingin-dingin begini nyalain ac?" ucapnya heran akan jawaban pria di hadapannya.
"Kamu gak liat abang kepanasan gini? Liat, kaos abang aja sampe basah keringat." Bara melepas kaos yang melekat di tubuhnya dan membuangnya asal.
Sontak Nala begitu tersipu dan langsung mengalihkan pandangannya. Berbeda dengan Bara yang terlihat acuh namun tersenyum kecil.
"Sini ...," panggil Bara yang tengah duduk di tepi tempat tidurnya. Nala hanya mampu menoleh sekilas tanpa berani mendekat dan menatap langsung ke arahnya.
"Nala. Kemari," ucapnya lagi dengan nada yang sedikit berat dan terkesan memerintah.
Seketika Nala yang tengah berdiri di sisi pintu, berangsur mendekat tanpa berani mengangkat pandangannya. Tepat di depan Bara, namun masih dengan jarak 2 langkah. Nala terhenti tanpa berani menengadah.
"Ada apa?" tanyanya pelan dan terkesan begitu malu.
"Kamu kenapa nunduk terus? gak mau liat abang?" ucapnya menggoda.
"Bukan gitu, Nala malu ihh ..."
"Malu kenapa?" godanya lagi di sertai senyum kecil yang membingkai jelas di bibirnya.
"Ya malu soalnya abang gak pakai baju," jawabnya dengan kepala yang masih senantiasa menunduk tanpa berani menatap balik. Namun, sial. Pahatan tubuh dengan postur kekar serta tonjolan otot perut yang tercetak jelas. Seolah mengejeknya dan meminta sentuhan lebih.
Dan karena hal itu Nala sesekali curi pandang dengan meremas kuat jemarinya karena menahan rasa gugup yang ada.
Bara yang melihat itu seketika menahan tawa dan semakin gencar menggoda gadis manis di hadapannya. Ia beranjak berdiri dan menghapus jarak antara mereka. Tangannya terulur membelai lembut sisi wajah gadis itu, menyentuh ujung dagunya yang mungil dan mengangkat pandangannya langsung ke arah sorotnya yang dalam membelenggu.
Seketika Nala berdebar, degupnya semakin menggila. Telapaknya terasa dingin dengan pupil yang berkedut tak beraturan.
"Kenapa harus malu? Abang udah tau kok, kamu sering intipin abang waktu olahraga pagi-pagi."
"Ihh ... mana ada. Aku gak pernah kaya gitu kok," kilahnya sambil tersipu malu.
"Gak usah bohong dek, abang gak apa-apa kok. Malah, kalau perlu kamu gak usah intip lagi. Kamu mau liat sekarang juga abang kasi kok, apa perlu abang buka semuanya aja?" godanya sambil menaik turunkan kedua alisnya secara bersamaan. Yang seketika membuat Nala semakin tersipu dan salah tingkah.
"Ihh ... abang mesuum ihh, aku bilangin tante Mega lohh baru tau rasa!" sautnya. Nala mengambil langkah mundur bermaksud menghindari pria tersebut. Namun belum sempat ia melangkah menjauh, Bara terlebih dahulu meraih pinggangnya dan menariknya cepat hingga membentur tubuh kokohnya.
Seketika sorot Nala langsung membola, debarnya semakin meraja dengan telapak yang terlewat dingin. Tanpa sengaja Nala menyentuh langsung area dada pria tersebut yang menimbulkan gelenyar aneh di dalam tubuhnya.
"Kamu mau kemana? tangan kamu dingin banget, kamu sakit? tanyanya serak dan dalam seraya mengambil alih telapak tangan gadis itu.
Nala semakin salah tingkah. Jemarinya mengepal kuat menahan gejolak yang ada akibat rengkuhan Bara yang semakin erat memeluk tubuhnya.
"Ehmm ... enggak. Itu ..., itu. Nala cuma mau masukin daging yang di pesenin tante Mega tadi," kilahnya dengan nada was-was sarat akan rasa gugup.
"Udah, nanti aja. Abang ada sesuatu buat kamu. Duduk sini."
Belum sempat Nala beranjak duduk, dari arah bawah terdengar suara Mega tengah memanggil dengan begitu lantang.
"Baraaa ....! Nalanya suruh turun dulu, jangan di kekepin mulu ...!"
Siaal, dengan terpaksa Bara melepaskan tautan tangannya dan membiarkan Nala pergi. Padahal, jauh di lubuk hatinya ia merasa begitu rindu akan gadis manisnya yang beberapa minggu ini tak dapat ia jumpai. Nala hanya tersenyum canggung dan berlalu pergi dengan cepat. Sedangkan Bara hanya mengulas senyum penuh ironi dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang kebesarannya.
*
*
*
Waktu telah menunjukkan sore hari. Bara baru saja bangun dari tidur panjangnya. Ia turun ke lantai bawah dengan tergesa, sorotnya mengedar menelisik setiap ruangan dan tak mendapati siapapun.
Entah mengapa sedikit rasa kecewa ia rasakan, kala tak mendapati sosok gadis manisnya. Bara mengayunkan langkah lebar dan memakai jaket jeansnya dengan kasar. Ia meraih kunci motor moge yang berada di dalam laci dan keluar mengendarainya, membelah jalanan.
Ponselnya yang berada di dalam saku celana jeansnya tiba saja bergetar. Ia meraihnya menggunakan tangan kiri dan mengangkat panggilan tersebut. Tak berselang lama seulas seringai tipis nampak begitu jelas di bibirnya.
Bara mengendarai motornya lebih cepat dan melaju dengan gesit. Tepat beberapa saat kemudian, kuda besinya tengah berhenti di sebuah apartemen mewah yang berada di pusat kota itu.
Ia turun dari tunggangannya yang ia parkir di basemen. Namun sebelum itu, Bara terlebih dulu membenarkan penampilannya. Gaya rambut sedikit acak-acakkan serta kaos tipis berwarna putih yang ia padu padankan dengan jeans light blue yang robek di beberapa titik, memberinya kesan manly tersendiri.
Sampai di depan pintu kamar yang ia tuju, Bara langsung di sambut oleh salah satu wanita dari sekian banyaknya wanita yang begitu mendambanya.
...~................🍑................~...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!