Satu bulan sudah Aqira menyandang gelar sebagai seorang istri dari Bimasena Pratyaksa. Seorang pria 35 tahun, yang berprofesi sebagai Pilot.
Namun, tidak pernah ada perlakuan spesial dari suaminya untuk Aqira. Apalagi setelah pria itu tahu jika ia menikahi gadis yang sudah pernah melakukan hubungan badan bersama pria lain yang tidak pernah Aqira sebutkan identitasnya.
Tiga tahun hubungan keduanya terjalin harmonis, dan selama itu juga Bima berusaha menjaga kekasihnya. Namun, pria itu harus menelan pil pahit, karena pada kenyataannya gadis yang bahkan tidak pernah dirinya sentuh, memiliki hubungan dengan pria lain sampai melakukan hubungan terlarang. Dan kemarahan Bima semakin menjadi-jadi setelah Aqira mengakui jika perempuan itu memang bermain api.
"Awalnya aku hanya marah kepadamu, Mas. Kamu tidak pernah mengerti aku, … tapi kejadian itu di luar kendali aku, aku tidak sengaja ataupun menyerahkan diriku begitu saja!" Aqira menuturkan pembelaan
Dan ucapan itu terdengar terus berputar-putar di dalam isi kepala Bima.
Marah, dan kecewa jelas Bima rasakan, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan, selain terus menjalankan rumah tangganya hanya untuk membuat orang tua mereka bahagia. Meskipun dia benar-benar tersiksa, dengan bayang-bayang istrinya saat sedang bersetubuh dengan pria lain, sehingga Bima tidak mampu melakukannya kembali dengan gadis yang dulu sangat dia cintai.
Klek!
Pintu terbuka dari arah luar, dan tampaklah seorang perempuan berkerudung menyembulkan kepala, menatap kearah dalam untuk memastikan keberadaan suaminya. Dan benar saja, sosok yang dia cari dan tunggu-tunggu tengah berada di ruang kerjanya.
Seulas senyum di kedua sudut bibir Aqira terlihat.
"Mas?"
Panggilan Aqira membuat lamunan Bima buyar seketika, membuat pria itu menarik kesadarannya yang sempat menghilang, melayang-layang entah kemana.
Sekilas Bima menoleh, kemudian kembali membuang muka ketika pandangan keduanya beradu.
"Sudah malam, apa kamu masih mau tetap disini?" Aqira mendekat, dengan senyuman manis yang terus dia perlihatkan.
"Aku sudah selesai masak." Aqira terus berusaha agar membuat hubungan mereka kembali membaik.
Bima bungkam.
"Aku menunggu kamu di meja makan. Tapi kamu tak kunjung datang sampai membuat aku khawa, …"
Belum selesai Aqira berbicara, Bima terlihat bangkit, membuat perempuan itu berhenti berbicara, seraya mengarahkan pandangan pada pria yang sangat dia cintai. Kepalanya menengadah, berusaha membuat Bima melunak. Namun, tampaknya pria itu masih tidak bisa berdamai dengan apa yang sudah dia ketahui, hingga raut kebencian lah yang hanya dapat Aqira lihat.
Bima masih terlihat acuh, dia selalu tidak peduli. Dan sikapnya akan berubah saat mereka sedang bersama orang tua masing-masing. Menjadi harmonis seperti pengantin baru pada umumnya.
"Mas?" Aqira memutar tubuh, kala Bima berjalan melewatinya begitu saja. "Mas?" Panggilnya lagi, dan malam ini dia memberanikan diri untuk menyentuh tangan suaminya.
Bima menoleh, menundukan pandangan sampai mereka dapat saling menatap.
Aqira yang tampak mengiba dengan raut wajah yang sendu. Sementara Bima tak pernah mengubah apapun, dia tetap menatap istrinya dengan tatapan tanpa ekspresi.
Bukan, lebih tepatnya tatapan nanar, dengan ekspresi jijik.
"Lepaskan tangan kotormu, Qira!" Katanya dengan suara rendah. "Singkirkan tangan kotormu dariku! Lakukan saja apa yang kau mau, … tidak perlu repot-repot untuk melakukan banyak hal. Berhentilah bersikap seolah-olah kau ini sangat mencintai aku!" Bima menggeram kesal.
"Karena aku memang sangat mencintaimu, Mas. Sampai aku tetap bertahan dengan sikapmu yang tidak pernah membaik sedikit pun. Aku mencoba untuk bersabar, dan berharap kamu memberikan ampunan untukku." Suara Aqira terdengar bergetar.
Rintihan pelan mulai terdengar, air mata pun sudah terlihat berderai, bercucuran membasahi pipi.
"Harus dengan cara apa lagi aku meminta maaf kepadamu, Mas?" Suaranya terdengar rendah.
Bima menarik tangannya dengan segera, kemudian mengusap punggung tangannya dengan satu tangan yang lain.
"Sudah aku katakan, … bahkan beribu-ribu kali. Aku sudah memaafkan mu, hanya saja aku tidak dapat menghilangkan pikiran itu dari dalam kepalaku. Bayangkan saja Qira. Tiga tahun kita menjalin kasih, aku selalu memprioritaskan dirimu, aku tidak pernah seharipun tidak mengabarimu, meskipun aku sedang bertugas di luar kota sekalipun, lalu apa balasan yang aku dapat? Aku menjaga gadisku, tapi dia tidak dapat menjaga dirinya sendiri hingga mampu melakukan hal tidak senonoh dengan pria lain hanya karena merasa marah dan kesal kepada diriku!" Dia tersenyum getir.
Mata Bima terlihat memerah. Tampak sangat jelas jika rasa sakit dan kecewanya semakin besar.
"Lalu bagaimana denganmu? Kamu juga pernah melakukannya dengan kekasihmu dulu, tapi aku menerima itu!" Tangisan Aqira semakin terdengar pilu.
"Ini bukan masalah menerima atau tidak. Aku sudah berbicara jujur sejak awal jika aku pernah menjadi manusia brengsek. Tapi bagaimana dengan dirimu? Kau menyembunyikannya rapat-rapat. Apa pria itu kabur? Dia tidak mau bertanggung jawab sampai kau tetap bertahan bersamaku? Apa kau juga sedang mengandung benihnya, Qira?"
Aqira memejamkan mata, lalu menutupi kedua telinganya mengunakan tangan. Rasanya tidak sanggup lagi untuk mendengar cercaan yang terus Bima lontarkan.
"Aku mohon jangan mengatakan itu lagi, ini terlalu menyakitkan, Mas!"
Bima terkekeh getir.
"Lalu bagaimana dengan aku?" Bima mulai tersulut emosi.
Sehingga nada bicaranya terdengar semakin tinggi.
"Bagaimana dengan aku, Aqira! Bagaimana denganku! Apa kau pernah berpikir sehancur apa aku sekarang? Apa kamu juga pernah berpikir sesakit apa aku saat mengetahui wanita yang sangat ku jaga hancur oleh pria lain? Dan dengan tidak merasa bersalahnya kau datang, meminta pernikahan. Lalu apa yang aku dapatkan? Sebuah kenyataan jika kekasihku adalah seorang pelacur? Begitu?"
"Aku tidak seperti itu, Mas!" Aqira hanya dapat menangis.
"Bersyukurlah aku masih mau menampungku disini. Aku masih mau mengasihimu, dan aku masih mau menutupi aibmu, sampai orang tuamu tidak akan pernah merasakan malu. Bayangkan jika aku mengembalikanmu kepada mereka sekarang? Entah harus bagaimana mereka menghadapi pertanyaannya dari orang-orang di sekitar mereka. Apa aku juga harus mengatakan apa yang telah terjadi sebenarnya?"
"Mas?"
Aqira hendak kembali meraih tangan Bima. Namun, pria itu mundur beberapa langkah, sehingga keduanya kembali berjarak.
"Singkirkan tangan kotor itu!"
"Maafkan aku, maafkan aku. Aku mohon maafkan aku!"
"Aku sudah memaafkanmu. Tapi berhentilah menggangguku, aku sudah melakukan apa yang kau inginkan. Mempertahankan pernikahan gila ini, dan mewujudkan keinginanmu yang lain, sehingga kau dan keluargamu tidak harus menanggung malu!" Ucap Bima penuh penekanan.
Mata Bima membulat sempurna, suaranya terdengar semakin bergetar, dengan jari telunjung yang terus pria itu tujukan kepada istrinya.
Keadaan hening untuk beberapa saat setelah Bima berhenti berteriak. Hanya terdengar isakan samar yang keluar dari mulut Aqira, dan hembusan nafas Bima yang terdengar menderu-deru.
"Untuk besok dan seterusnya, … kau tidak perlu bersusah payah membuat makanan untukku. Urus saja dirimu sendiri, aku tidak butuh kau lagi!" Tegas Bima.
Membuat dunia Aqira terasa semakin hancur.
"Tapi Mas?" Perempuan itu memekik pelan.
Entah harus bagaimana lagi dirinya sekarang. Semuanya terasa semakin mengganjal, bahkan Aqira merasa jika dirinya semakin tidak dapat menggapai Bima, pria yang dulu selalu bersikap manis kepada dirinya, kini berubah menjadi sosok yang sangat dingin.
"Lakukan! Atau kita sudahi saja, …"
"Baiklah, baiklah. Apapun, asal jangan mengantarkan aku ke rumah Mama dan Papah. Hanya tidak perlu memasak, dan melakukan beberapa hal bukan? Tapi kita akan tetap bersama?" Aqira menjawab.
Dadanya terasa sangat sesak. Seolah segumpal daging yang terkurung tulang rusuk sana terus di remat kencang, hingga menyisakan perasaan ngilu yang teramat sangat.
Aqira memotong ucapan Bima, sehingga pria itu berhenti bersuara sebelum menyelesaikan ucapannya.
Bima tidak menjawab, pria itu tampak memutar tubuh, dan pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Kini Aqira berada di ambang kebimbangan. Di satu sisi dirinya mulai lelah dengan hubungannya dengan Bima yang tidak kunjung membaik. Namun, disisi lain juga dirinya tidak bisa menyerah begitu saja, apa yang akan dikatakan orang tua mereka, jika saja rumah tangga yang baru berjalan satu bulan itu harus berakhir begitu saja. Terlebih rasa bersalah yang cukup besar, membuat Aqira merasa mempunyai beban yang sangat berat sebelum pria itu berkenan memaafkannya dengan sungguh-sungguh.
Dan bukan hanya cintanya kepada Bima yang membuat Aqira terus bertahan. Melainkan alasan yang akan pria itu berikan kepada kedua orang tuanya, jika saja Bima memulangkan dirinya begitu saja.
Tentu, orang tua mana yang hanya akan diam ketika putrinya di kembalikan. Tidak mungkin jika mereka tidak bertanya tentang alasan keduanya menyudahi hubungan yang baru saja di ikat oleh status yang lebih suci.
......................
Dukungan kalian sangatlah berharga ~
Jangan lupa Like, komen, hadiah dan Vote. Masukin ke kaporit kalian juga yah, biar notifikasinya bunyi pas othor mulai gentayangan 🤩
Aqira berusaha menarik kesadarannya, ketika mendengar suara-suara yang cukup nyaring dari dalam kamar yang dia huni bersama suaminya. Mata perempuan itu mengerjap, berusaha menyesuaikan diri terhadap cahaya lampu yang terasa sangat menusuk.
Dan disanalah Bima. Berdiri di samping tempat tidur, seraya memasukan beberapa pakaian ke dalam sebuah koper berukuran besar.
"Kamu terbang hari ini, Mas? Kenapa tidak memberitahu aku?" Suara Aqira terdengar parau. Dia bangkit, dan mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk bersandar di atas tempat tidur sana.
Bima hanya melirik, dan tidak membalas sepatah katapun.
"Kemana?"
Aqira terus berusaha membuat Bima luluh, setidaknya sampai pria itu berkenan menjawab setiap pertanyaannya. Karena sudah satu bulan terakhir mereka tidak lagi berbicara dengan baik, terlebih jika hanya berdua saja, berbeda ketika di hadapan orang tua, Bima bahkan memperlihatkan kepribadian lain, sehingga tidak ada yang mengetahui jika rumah tangga keduanya kini sedang berada di ujung tanduk.
Kedua kaki perempuan itu turun, kemudian berdiri, dan mendekati sofa yang terletak tidak jauh dari posisinya saat ini untuk membawa kerudung yang ia sampirkan di pegangan sofa.
"Mau aku bantu?" Aqira mendekat.
Namun, Bima menepis tangan istrinya cukup kencang tanpa berbicara apa-apa.
"Tida apa-apa, sudah kewajiban aku. Lain kali bicara kalau mau kerja. Biar aku siapkan, dan kamu tidak perlu repot-repot mempersiapkan semuanya sendirian." Dia berusaha tetap tersenyum meskipun perasaannya sudah benar-benar hancur.
Dirinya sangat ingin menangis, tapi hal itu tidak membantu apa-apa, jadi sebisa mungkin Aqira menahan air matanya yang sudah hampir meleleh.
"Hhheuh!" Bima menghela nafas. "Menjauhlah, aku bisa melakukannya, bahkan jauh sebelum aku menikah denganmu, aku sudah mandiri dan dapat melakukan apapun sendiri tanpa bantuan siapa-siapa." Akhirnya Bima bersuara.
Membuat Aqira terlihat sedikit tersenyum.
"Baiklah, kalau begitu aku siapkan bekal saja yah! Kamu berangkat subuh? Ya sudah tunggu sebentar aku akan buatkan roti isi dulu untuk sarapan." Tiba-tiba saja Aqira tampak tersenyum ceria.
Pandangannya menengadah, menatap jam dinding, dimana jarum jam terlihat baru saja menunjukkan pukul 03.00 dini hari.
"Tidak usah!"
"Hanya sebentar, Mas. Kamu bisa tunggu kan?" Katanya sambil berjalan mendekati pintu kamar yang tertutup.
"Tidak usah, aku tidak akan membawanya."
Aqira beranjak memasuki kamar mandi. Beberapa detik ada disana, kemudian keluar dengan keadaan wajah yang segar. Dia bersikap seperi biasa, dan menghiraukan larangan yang Bima ucapkan. Tidak peduli sekeras apa suaminya menolak, dirinya hanya sedang berusaha memperbaiki semua kesalahnya pada Bima.
"Aku memang salah, Mas. Tapi biarkan aku menebus kesalahanku ini, … setidaknya sampai kebencianmu itu sedikit hilang." Batinnya berbicara.
Sementara kakinya terus melangkah ke arah luar, menuju area dapur yang terletak di salah satu sudut rumah yang hanya mereka tempati berdua.
Bima memejamkan mata. Rasanya begitu sulit menjalani rumah tangganya bersama Aqira, tapi tidak ada yang bisa dirinya lakukan. Bercerai bukanlah jalan keluar, jika itu terjadi tidak hanya orang tua Aqira yang merasa terpukul, melainkan kedua orang tuanya juga, terlebih kelembutan Aqira membuat semua keluarganya menyukai perempuan yang sudah satu bulan menyandang status sebagai istrinya itu.
"Oh astaga!" Pria itu berbisik lirih.
"Rasanya sangat berat, mengetahui pasanganmu sendiri berkhianat. Aku menikahi wanita yang sebelumnya sudah di jamah orang lain. Kau sudah tidak bisa menatap Aqira seperti dulu, Bima. Cara pandangmu terhadap dia sudah sangat berbeda, rasa kesal, kecewa, marah dan benci selalu datang tiba-tiba hanya karena melihat wajahnya yang terus tersenyum." Bima mendesah frustasi, lalu menyapu wajahnya cukup kencang.
***
Satu piring berisikan roti panggang Aqira letakan di atas meja makan, bersama satu tas bekas yang sudah siap. Tak lupa dengan susu dan air putih hangat seperti biasa. Salah satu kebiasaan Bima yang Aqira ketahui dari sejak jaman mereka pacaran.
"Selesai."
Aqira hendak pergi menuju kamar, tapi langkahnya terhenti ketika melihat suaminya berjalan keluar sambil menyeret koper berukuran besar.
Tubuh kekar tinggi menjulang, memakai kemeja putih lengan panjang, celana berwarna hitam, lengkap dengan atribut yang menempel. Satu tangannya menarik pegangan koper, sementara satu tangan yang lain menggenggam topi pet yang selalu pilot kenakan. Dengan jas berwarna navy yang memiliki aksen garis-garis kuning tersampir di lengannya.
Bima melirik sekilas.
"Mas, …"
Suara dering notifikasi dari ponsel Bima terdengar, membuat Aqira terdiam seketika.
"Ya?"
Pria itu berbicara setelah menggeser tombol hijau, dan mendekatkan handphone pada daun telinganya.
"Ini mau berangkat. Paling sampai di bandara jam lima pagi." Katanya seraya menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Ya, baiklah."
Bima terlihat mengangguk-anggukan kepala. Dan setelah itu dia kembali menyimpan ponsel di saku celananya.
"Roti bakarnya sudah siap, Mas. Makanlah dulu agar tidak masuk angin, aku juga buatkan kamu susu hangat. Ini masih sangat pagi, dan kamu tidak bisa pergi dengan perut kosong." Aqira berjalan mengikuti Bima.
Pria itu tidak menggubris, dia membuka lemari tempat penyimpanan sepatu, lalu mendudukan diri di kursi yang tersedia.
"Mas?"
Bima tidak menjawab. Seolah dirinya tidak mendengar suara dan wujud Aqira, sehingga membuat pria itu terlihat tak memperdulikan keberadaannya.
"Aku ambilkan kesini, …"
"Tidak usah!" Sentak Bima.
Pandangan yang semulanya tertunduk, kini dia angkat, menatap istrinya dengan tatapan tidak suka.
"Tapi aku sudah menyiapkan roti panggang untuk kamu."
"Buang saja, aku tidak peduli." Katanya lalu kembali mengenakan sepatunya.
Aqira diam untuk beberapa saat. Dia berpikir keras memikirkan cara agar Bima mau memakan apa yang sudah dia siapkan.
"Kamu tidak mau sarapan dulu? Meskipun hanya sepotong roti?"
"Hemmm, … buang saja! Mulai sekarang aku tidak akan makan di rumah. Seperti apa yang semalam aku katakan, berhentilah membuang-buang waktu, aku tidak akan menyentuhnya walaupun hanya sedikit."
"Tidak usah di buang kalau kamu tidak mau. Nanti aku yang makan, … tapi tunggu aku bawakan dulu tas bekalnya. Aku masak beef slice lada hitam kesukaan kamu."
Tanpa menunggu jawaban Bima, Aqira beranjak mendekati meja makan. Buru-buru dia membawa tas bekas suaminya, dan kembali setengah berlari menuju tempat dimana Bima berada saat ini.
Pria itu sudah benar-benar siap, dia bahkan sudah membuka kunci pintu, Tampa berniat untuk menunggu dirinya.
"Mas, bekalmu."
Dengan senyuman menyejukan Aqira menyodorkan tas berukuran sedang itu.
Bima menoleh, menatap Aqira lekat-lekat tanpa ekspresi apapun. Namun, hal yang tidak Aqira sangka terjadi, Bima menepis tas bekal yang di sodorkan Aqira sampai benda itu terjatuh di atas lantai dengan sangat kencang.
Brakkk!!
"Dasar kau sialan! Berhentilah bersikap sok manis seperti ini. Tidak perlu menyiapkan apapun. Aku masih mampu membelinya di luar sana, kau dengar, huh!?"
Deg!!
Jantung Aqira bedebar hebat.
"Bersikaplah baik hanya di depan orang tua kau dan aku. Selebihnya kita jalani masing-masing, … aku mengizinkan kamu tinggal disini dengan satu catatan, ingat? Cobalah membatasi diri, aku sudah benar-benar jijik kepadamu."
Pria itu tidak berteriak, bahkan suaranya terdengar rendah. Akan tetapi penekanan kata di setiap ucapan, tatapan mata yang tajam, dengan telunjuk yang terus diarahkan kepadanya, membuat nyali Aqira menciut begitu saja.
Dan tidak ada yang bisa dia lakukan selain menangis. Rasanya ingin menyerah saja, satu bulan bukan waktu sebentar untuk menghadapi sikap Bima yang berubah drastis. Akan tetap perasaannya berkhianat, sesuatu di bagian hati paling dalam berbicara, jika dirinya tidak bisa pergi dan meminta perpisahan, karena rasa cinta itu sendiri sudah terbentuk sangat besar.
Lalu apa yang harus dirinya lakukan sekarang? Entahlah, mungkin kembali mencoba untuk memperbaiki semuanya, meskipun sudah jelas itu akan sangat sulit.
"Aku akan terbang ke Singapura. Ada waktu lima hari untuk kau memeriksakan diri, … aku harus benar-benar hati-hati dari kemungkinan terkena penyakit tertular seperti itu!"
Aqira tidak menjawab, dia hanya terus menangis sambil menatap suaminya dengan tatapan sendu. Berharap Bima merasa iba, dan memaafkannya setelah ini.
"Lakukan tes HIV. Dan aku mau lihat hasilnya setelah pulang nanti."
Bima mendorong pintu, lalu keluar dari dalam rumahnya. Meninggalkan Aqira yang saat ini sedang berusaha meredam suara tangisannya.
......................
Ayo bisa yokkkk 🥲🥲
Aqira membuka gorden-gorden rumahnya, menyeret kain tebal itu ke arah sudut, menyisakan tirai tipis yang masih membentang menutupi kaca, sehingga dapat menghalau cahaya matahari yang sudah terlihat cukup terik, padahal jam baru saja menunjukan pukul 07.00 pagi hari.
Cukup lama Aqira menatap ke arah luar, memperhatikan interaksi dua orang yang baru saja menjadi tetangga barunya. Mereka terlihat selalu bersama, melakukan beberapa aktivitas berdua, dengan canda tawa yang selalu terlihat.
Lalu Aqira meratapi dirinya sendiri. Betapa sebuah kesalahan yang tidak sengaja dia buat membuat hubungan rumah tangganya tidak membaik dari hari pertama sampai saat ini.
"Bukankah seharusnya kita juga seperti itu, Mas? Kita selalu bersama-sama, mempererat hubungan yang sudah terjalin, … tapi aneh! Hubungan kita justru merenggang semakin jauh, setelah ikatan pernikahan mempersatukan kita." Aqira bermonolog.
Lalu ia tertawa, berusaha membuat dunianya baik-baik saja, meskipun pada kenyataannya tidaklah seperti apa yang Aqira sandiwarakan.
Perempuan itu terlihat memejamkan matanya, menikmati rasa sesak di dalam dada sana yang semakin meningkat di setiap waktu, apalagi jika Aqira mengingat sikap Bima dulu dan sekarang, perbedaannya tentu sangatlah banyak.
"Ya Allah. Jika ini adalah salah satu cara engkau untuk menghukum hambamu ini. Maka hamba ikhlas, … tapi bolehkah hamba meminta satu hal? Semoga hamba dan Mas Bima tetap berjodoh."
Perempuan itu duduk di sofa ruang tengah, menatap sekeliling sembari menikmati keheningan rumah tersebut. Bangunan yang cukup kokoh, memiliki luas tanah yang cukup besar, segala fasilitas yang ada. Namun, itu tidak membuat dirinya bahagia, hal yang seharusnya ia rasakan setelah menikah dengan pria yang sangat dia cintai.
Segumpal daging yang terkurung di dalam tulang rusuk itu kembali terasa ngilu. Apalagi ketika mengingat perbedaan Bimasena dulu dan sekarang yang terlampau sangat jauh. Sikap perhatiannya hilang, juga pembawaan yang selalu lemah lembut, kini berubah menjadi pria yang sama sekali tidak Aqira kenali.
Pria yang selalu memprioritaskan dirinya, meskipun dalam keadaan sibuk sekalipun. Memperlakukan dirinya dengan sangat baik, tapi semunya kini sudah berubah. Pria yang penuh kelembutan, mempunyai sikap yang hangat, berubah menjadi sosok yang sangat dingin.
Dan sudah pasti itu disebabkan oleh dirinya.
Memiliki teman-teman dengan pergaulan bebas, membawa dirinya terjerumus pada dunia yang berbeda. Kesalahpahaman kecil, membuat Aqira hilang kendali, dan karena amarah dari rasa cemburu terhadap Bimasena yang selalu terlihat lebih dekat dengan para pramugari, membuat Aqira melakukan hal yang tidak sepatutnya terjadi.
"Ya Tuhan, aku menyesal. Jika saja semuanya bisa aku putar kembali, … aku tidak akan melakukannya." Aqira menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya.
Tok tok tok!!
"Qira?" Seseorang terdengar memanggil dari arah luar.
Dia menyingkirkan kedua tangannya, mengangkat pandangan, dan menatap pintu rumah yang tertutup dengan rapat.
"Aqira? Ambu datang, Neng?"
"Ambu!"
Aqira mengusap kedua pipinya, menghapus air mata yang entah sejak kapan terus bercucuran. Dia bangkit, kemudian berlari mendekati pintu.
"Aqi, …"
Klek!!
"Ambu?"
Aqira tampak menundukan pandangan, kemudian dia membungkuk, meraih tangan sang ibu mertua, dan menciumnya takzim.
"Ambu datang? Kenapa tidak kasih kabar? Kan kalau kasih kabar Qira bisa masakin, Ambu." Katanya, dia beralih merangkul pundak wanita paruh baya di hadapannya, lalu kemudian memeluk tubuh itu dengan sangat erat.
Pandangan Aqira beralih ke arah garasi, dimana terdapat satu mobil yang memang selalu di kendarai mertuanya. Umur tidak menjadi penghalang untuk wanita itu melakukan aktivitas normal seperti wanita-wanita muda pada umumnya.
Dia tersenyum, seraya menepuk-nepuk pundak sang menantu, kemudian mendorongnya perlahan sampai mereka kini dapat melihat satu sama lain dari jarak yang cukup dekat.
"Lho!" Wanita itu segera bereaksi. "Kenapa mata kamu sembab?" Katanya sedikit terdengar khawatir.
"Aqira tidak apa-apa, Ambu. Tadi sempat nonto drama, terus sedikit terbawa suasana saja." Aqira terkekeh.
Dia berusaha menyembunyikan kesedihannya.
"Benarkah? Ambu takut kamu menangis karena Bima."
"Mas Bima baik begitu. Mana mungkin aku di buat menangis, Ambu ada-ada saja." Aqira tertawa lagi.
"Masuk, Ambu. Nanti Aqira masakin!"
Ibunda dari Bima tersenyum, kemudian menganggukan kepalanya.
"Qira boleh duluan, … ada sesuatu yang ketinggalan di dalam mobil."
Aqira menurut, tampan banyak bertanya dia masuk ke dalam rumah. Perempuan itu berjalan ke arah dapur, membawa gelas untuk kemudian di isi dengan air putih hangat.
Terlebih dulu ia menyimpannya di atas meja, membawa nampan, dan meletakan gelas air minum itu disana. Setelah itu Aqira berali pada lemari pendingin, membawa buah Anggur hijau, lalu menyimpannya di atas nampan yang sama, tentunya setelah di cuci dan diberikan tempat terlebih dahulu.
"Tidak usah repot-repot masak, Qira. Ambu bawa sayur asem, ikan asin dan kerupuk. Kebetulan Bibi masak ini di rumah, siapa tahu kamu kangen masakan kampung."
Aqira tersenyum, dia berjalan mendekati ibu mertuanya yang sudah mendudukan diri di sofa ruangan tengah, kemudian meletakan apa yang dia bawa dari dapur.
"Qira sama Mas Bima belum sempat belanja lagi, Ambu. Di kulkas hanya tersisa, Anggur."
Wanita dengan pakaian serba tertutup itu terdiam, menatap wajah menantunya yang memang terlihat sangat berbeda. Selain sembab karena sudah menangis, pipi Aqira pun terlihat lebih tirus, dengan mata panda yang terlihat begitu jelas bergurat melingkar di pelupuk mata.
"Kamu bilang sedang nonton? Nonton dimana? Ambu tidak mendengar suara televisi menyala."
"Oh, tadi aku matikan sebelum membuka pintu. Habisnya kalau ada suara orang manggil suka nggak kedengeran." Aqira beralasan.
"Benarkah?"
"Iya." Aqira tersenyum lebar, berusaha untuk menyakitkan mertuanya yang sedang menatap penuh curiga.
"Ambu rasa kamu sedang menyembunyikan sesuatu. Apa kalian bertengkar?"
Aqira langsung menjawab pertanyaan ibu dari suaminya itu dengan gelengan kepala.
"Nggak Ambu. Serius kami tidak sedang bertengkar, kita baik-baik saja." Perempuan itu tertawa pelan.
"Qira cuma belum terbiasa, Ambu. Awal-awal nikah kan kita sama-sama terus, apa-apa barengan. Tapi setelah Mas Bima kembali bertugas, akunya sering di tinggal, nggak pulang seminggu, di rumah cuma beberapa hari. Aneh ya, Ambu? Padahal tiga tahun pacaralan LDR, tapi sekarang kayaknya lebih terasa aja gitu. Kaya kangen aja sama Mas Bima."
Sang mertua hanya mengulum senyum.
"Ya sudah. Tidak usah sedih, Ambu sengaja datang bawa mobil sendiri hanya untuk menemani kamu. Tadi subuj Bima telpon, katanya dia harus terbang ke Singapura, … mungkin sengaja memberi kabar agar Ambu datang kesini."
Mendengar itu hatinya terasa semakin sakit. Karena pada kenyataannya mereka sama-sama tengah bersandiwara. Dan yang paling parahnya adalah membohongi orang tua masing-masing, hanya untuk menutupi rumah tangga yang saat ini sudah tidak baik-baik saja.
"Hemmm, … dan aku tidak tahu ikatan pernikahan ini betahan sampai kapan. Karena sejatinya tidak akan ada kebohongan yang terus tertutup rapat. Mungkin sekarang aku hanya tinggal mempersiapkan diri." Hati kecil Aqira berbicara.
......................
Tolong bantu rate bintang 5 boleh?
Cuyung kalian banyak-banyak 🫂
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!