Malam terasa hening, kehampaan yang kini Dinda rasakan. Semenjak kejadian tadi siang, tak hentinya ia menangisi kisah sendunya. Bagaimana tidak sedih, melihat suami yang dengan sadar mempermainkan hatinya.
Dinda hanya bisa bungkam dengan kejadian itu, tidak mudah untuknya tegar kembali saat hatinya tak baik-baik saja.
Flashback*
"Mas Dimas mungkin belum makan siang. Pasti dengan aku datang ke kantornya, dia akan merasa senang". Lirihnya dengan senyum yang berbinar-binar dari sudut bibirnya.
Ia terus melangkahkan kaki menuju ruangan suaminya. Saat pintu ia buka, hatinya tersentak melihat pemandangan yang menjijikan. Saat itu Dimas tengah berc*mbu dengan wanita lain, yang tidak lain adalah sekretarisnya sendiri.
Dinda yang geram dengan tingkah suaminya itu, tak sengaja menjatuhkan makanan yang ia bawa ke lantai.
"Dinda.. " Ucap Dimas dengan terperanjat menyingkirkan tubuh sang sekretarisnya.
"Aku pikir, kamu tak seperti pria di luaran sana yang menjijikan. Tapi sekarang kenyataannya kamu pun sama menjijikannya dengan pria di lain". Ujar kebenciannya.
"Aku bisa jelaskan sayang, dengarkan aku dulu.. " Ucap Dimas dengan gugup dan sedikit gemetar.
"Semuanya sudah jelas. Silahkan kamu melanjutkan adegan menjijikanmu itu kembali". Ujarnya dengan berlalu.
Dimas pun tak memperdulikan wanita yang menjadi selingkuhannya kini. Ia pun mengejar Dinda yang berlari sembari menangis.
"Tunggu Dinda.." Ucapnya ingin menahan Dinda.
Namun Dinda berlari tanpa henti. Ia kembali memasuki mobilnya dan bergegas pulang. Sementara Dimas mencoba untuk mengejarnya dengan mobil yang satunya lagi, yang selalu ia bawa pada saat ke kantor.
**
Dinda yang kini berada dalam kamarnya, terlihat frustasi. Tetesan air mata yang kini membasahi pipinya. Ia berharap semoga ini hanya mimpi.
Dengan sedikit ragu, Dimas mendekatinya berharap Dinda memaafkannya.
"Maafkan aku sayang, bukan maksud ku.." Ucapnya yang terhenti oleh teriakan Dinda.
"CUKUPP!! Aku muak dengan alasanmu, aku tidak perlu tahu dengan penjelasanmu yang pasti tidak akan masuk akal". Ucapnya dengan menebak jika Dimas akan mengelak dengan penjelasan palsunya.
"Baiklah, jika kamu merasa aku salah. Ya, memang aku salah. Tapi ingat, kamu juga belum tentu benar. Seharusnya kamu juga bisa melihat sisi burukmu, bukan hanya aku yang buruk dimatamu sekarang". Ujarnya dengan emosi yang meluap-luap.
"Apa salahku, sampai membuatmu selingkuh dengan wanita itu?" Tanyanya dengan penuh selidik.
"Bahkan kau tak menyadari kesalahanmu, dasar wanita tak tahu malu". Ujarnya mencibir.
'DEG'
Kata-kata itu pun yang membuat hatinya kini semakin rapuh. Baru kali ini Dimas merendahkannya, lagi-lagi ia menyalahkan Dinda dengan wajah tak berdosanya.
"Aku bukan tak menyadari, hanya saja matamu yang sibuk mencari wanita murahan dan melupakan aku yang harusnya kamu hargai". Ucap lantang Dinda.
"Jika kamu menyadari, kenapa tidak kau rubah penampilan yang jelas lebih buruk dari seorang pembantu di luaran sana? Aku bosan setiap pulang kerja yang di suguhkan selalu bau dapur, tak bisa kah kau seperti wanita lain yang lebih menarik?" Ujarnya membandingkan tampilannya dengan wanita lain.
"Oh, jadi wanita tadi yang kau sebut menarik itu lebih baik dari pada aku? Wanita pengumbar aurat, hingga suamiku pun dengan sengaja mendekatinya. Baiklah, kita lihat perkataanmu nanti. Hanya karena tampilanku yang seadanya dan selalu menutup aurat, bukan berarti aku akan begitu saja menjadi hinaanmu. Mulai hari ini, aku minta talak darimu. Aku menyerah hidup denganmu, silahkan kamu sepuas hati bersama dengan wanita yang kau banggakan itu. Lebih baik aku mundur mencari kehidupanku sendiri." Tegasnya dengan sedikit air mata.
"Kau menantangku? Bagaimana nasibmu setelah aku talak dirimu? Ingat, kau tak punya apa-apa sebelum menikah denganku. Apa kau bisa bertahan jika ku tinggalkan?" Cibirnya merendahkan Dinda.
Dinda hanya terdiam menahan gejolak emosi di dalam hatinya. Tekadnya semakin membulat, bahwa keputusannya pergi dari Dimas adalah jalan terbaik. Sebelumnya ia tak pernah di istimewakan seperti wanita lain olehnya. Hingga hati itu kini semakin menututup rapat, bahkan sudah terkunci dan tak mungkin bisa terbuka kembali.
"Kenapa kau tak menjawab?" Tanyanya dengan menyunggingkan seringai licik. "Dinda Amelia binti Yanwar Sugiono, hari ini saya talak kamu. Mulai detik ini, kamu bukan istri saya lagi". Ucapnya dengan menunjukkan wajah sombongnya.
"Oh, iya! Aku juga lupa, jangan sekali-kali kamu mengharapkanku lagi. Atau memohon padaku untuk kembali rujuk. Aku hanya ingin tahu, bisa apa janda sepertimu?" Sambung Dimas, kemudian berlalu meninggalkan Dinda yang saat itu tengah merasakan sakit hati dengan sangat luar biasa.
Flashback off*
Kata-kata itu yang kini membuatnya tak henti menangis. Dinda merasa di bodohi, kenapa bisa-bisanya ia terjebak dalam cinta pembodohan? Harusnya ia sadar, dari dulu mungkin ia hanya di perbudak agar selalu menuruti Dimas. Sedangkan Dimas selalu merasa tak menganggapnya ada.
**
Waktu kini beranjak malam, ia pun bergegas memasukkan barang-barang keperluannya kedalam koper besar. Isak tangis yang tadi ia rasakan, kini berganti dengan kebencian yang ada di hatinya.
Langkah kaki pun terdengar memasuki kamarnya. Ya, itu Dimas. Terselip senyum di ujung bibirnya itu, seakan puas melihat Dinda yang akan pergi dari kehidupannya.
"Baru sekarang kamu mau pergi? Padahal, yang menginginkan pertama perpisahan itu kamu. Tapi kamu seakan memperlambat kepergianmu dari rumah ini". Cibirnya dengan sedikit senyuman sinis yang terlukis di bibirnya.
Dinda hanya diam dan fokus merapihkan barangnya. Seakan ia tak mau terganggu dengan ucapan itu, ucapan itu seakan angin malam yang berhembus dingin bengitu saja melewatinya.
Setelah selesai, ia pun bergegas pergi dan melewati Dimas yang tengah berdiri di belakangnya sedari tadi.
"Oh, iya. Jangan harap kamu minta separuh dari hartaku di sidang nanti. Karena sebelum kamu masuk dalam kehidupanku, aku sudah menjadi seorang pria yang kaya. Kamu hanya numpang di sini". Cibirnya lagi dengan seringaian yang mengejek.
"Aku tidak sudi pula untuk menerima hartamu, apa lagi meminta padamu. Berikanlah pada orang yang membutuhkan, seperti wanitamu yang tadi. Ia lebih pantas membutuhkan di banding aku". Jawab tegasnya dan kembali melanjutkan langkahnya untuk pergi.
"Dasar wanita munafik". Ketusnya.
Dinda semakin menjauhi rumah tersebut dan menjauh dari kehidupannya yang dulu, ia hanya berharap semoga masa depan bisa menyambutnya dengan baik. Mungkin ini jalan terbaik untuknya, untuk masa depannya.
'Bismillahirrahmanirrahim, ridhai jalanku Ya Allah. Semoga kebaikan senantia menyambutku'. Lirih hatinya dengan sedikit meneteskan air mata.
Tujuannya kini adalah rumah orang tuanya, hanya mereka yang pasti menerimanya. Air matanya kini tumpah kembali, mengingat ia kembali pada orang tuanya dengan beban menyedihkan.
'Apakah ayah dan ibu akan menerimaku setelah ini? Dulu aku yang meminta pernikahan ini, meskipun mereka membantah. Dan kini aku pulang, dengan banyaknya kecewa. Ayah, Ibu.. Maafkan aku'. Lirih hatinya yang kembali menjerit mengingat masa lalunya.
Malam pun tak terasa kini berganti pagi, udara segar yang ia hirup seakan membuang semua ingatan kotor dalam fikirannya secara perlahan.
Setelah menempuh beberapa jam perjalanan, bus yang ia tumpangi terhenti. Kini ia tiba di kota kelahirannya, ada rasa haru bercampur pilu.
Setelah ia berjalan dari tempat pemberhentian bus tadi, tak lama kemudian terlihat rumah sederhana yang menjadi kisah masa kecilnya dulu. Air mata yang ingin ia keluarkan, tertahan sejenak mengingat pasti akan ada orang yang memperhatikannya.
Setelah ia berada di depan pintu rumahnya, Dinda memberanikan diri mengetuk pintu. Hingga terdengar sahutan dari dalam. Setelah pintunya terbuka, nampak seorang wanita yang memandanginya dengan penuh selidik. Menyadari ia adalah anaknya, senyumnya pun tersimpul sembari memeluk Dinda dengan erat.
"Dinda.. Kamu apa kabar?" Ucapnya masih dengan keadaan memeluk Dinda.
"Alhamdulillah baik bu.." Jawabnya dengan melepaskan pelukan sang Ibu.
Rita, Ibunya Dinda tampak heran dengan kelopak mata sang anak yang terlihat sembab. Air matanya yang kini menetes, menjadi jawaban atas pertanyaan dalam hatinya tadi. Bergegas Rita pun membawanya masuk.
Mereka pun menduduki sofa, kemudian di susul oleh Yanwar sang Ayah, yang datang dari belakang. Melihat kondisi anaknya yang terlihat tidak baik-baik saja, segera ia memeluk putrinya itu dengan sendu.
Meskipun belum ada kata yang terucap dari bibir Dinda, mereka sudah mengetahui arti kedatangan Dinda. Apalagi ia datang tak bersama dengan Dimas.
"Ayah, Ibu.. Maafkan aku yang membantah perkataan kalian dulu. Kini aku telah menyadari dan telah merasakan firasat yang kalian rasakan sejak lama. Mas Dimas menghianatiku dan kini aku berpisah dengannya. Aku mohon, maafkan aku!". Ucapnya dengan tak hentinya menangis memeluk kedua orang tuanya.
"Kamu yang sabar ya, Nak. Mungkin ini takdirmu. Kami telah memaafkanmu sejak lama, tak ada dendam di hati kami. Meskipun kini kenyataannya pahit". Jawab Yanwar, dengan tak henti mengusap punggung Dinda.
"Cita-citaku dulu ingin membahagiakan kalian, namun yang ku lakukan hanya membuat kalian sakit hati. Dan kini aku kembali, pasti akan menjadi beban untuk kalian". Sesalnya tak henti merutuki keegoisannya dulu.
"Jangan bicara seperti itu, Nak. Kamu adalah anak kami dan jika kamu kembali, jangan merasa nahwa kamu beban untuk kami. Justru jika kamu sengsara, pasti kami akan merasa menyesal dengan itu. Syukurlah kamu langsung pulang, ini rumah kita. Rumah ini akan selalu terbuka untuk kedatanganmu". Ucap Rita yang menenangkan hati Dinda.
"Terimakasih Bu, Ayah.. Aku minta, bimbing kembali aku untuk menjadi anak yang sholehah. Aku tak ingin mengecewakan kalian kembali". Pintanya dengan tak hentinya menangis, meratapi nasib dan masa lalunya yang penuh dengan keegoisan terhadap orang tuanya.
"Tak apa, Dinda. Jangan khawatirkan itu semua, kini kamu menjadi tanggung jawab kami kembali, anakku". Ucap Yanwar untuk menenangkan Dinda.
Hatinya kini merasa sejuk kembali, beban yang ia rasakan sejak lama kini sedikit melerai. Kehangatan bersama orang tuanya kini terjalin kembali. Karena semua itu menghilang, saat ia memutuskan untuk menikah dengan Dimas.
Sejak awal Yanwar dan Rita tidak mendukung pernikahan mereka, sudah terlihat dari cara pertama bertemu Dimas bersikap sombong terhadap orang tuanya. Namun karena cinta, Dinda bersi keras meminta kedua orang tuanya untuk merestuinya. Hingga dengan berat hati mereka mengizinkan Dinda menikah dengan Dimas.
**
Di sisi lain, sekretaris Dimas yang bernama Lidya tengah bersorak dalam hati. Mengetahui keadaan hubungan atasannya yang kini hancur. Ia tak berhenti memikirkan cara untuk mendekati Dimas.
'Dengan ini impianku menjadi keluarga Adhinatha, akan segera tercapai'. Gumam hatinya bersorak riang.
Lidya gadis cantik, yang berusia 27 tahun terpaut lebih tua satu tahun dengan Dinda. Hanya saja ia yang selalu memakai pakaian terbuka, membuat semua pria tertarik kepadanya karena nafsu. Lain halnya dengan Dinda, yang tertutup. Ia lebih terlihat terhormat dengan balutan hijab dan gamis dalam kesehariannya.
Lidya yang sedari tadi menunggu kedatangan Dimas dengan tak sabar. Hingga Dimas tiba, lalu ia bergegas masuk ke ruangan Dimas. Berharap ia akan segera memperjelas hubungannya.
"Mas, maaf dengan kehadiranku hubunganmu dengan istrimu hancur". Ucapnya berpura-pura menyesal.
"Tapi kamu senang 'kan, dengan kehancuran rumah tanggaku?" Tanyanya dengan sedikit menyunggingkan senyuman.
"A-aku senang, karena bisa menjadi satu-satunya wanitamu. Tapi aku juga merasakan ketegangan kamu Mas, apalagi gara-gara aku". Ucap sesalnya kembali.
"Jangan fikirkan itu, sayang. Aku juga sudah muak dengan wanita itu, dia sudah tak lagi menarik. Lebih baik aku denganmu saja". Ucapnya menggoda.
Lidya semakin kegirangan, ia merasa keberuntungan akan segera memihak kepadanya. Cita-citanya menjadi istri dari seorang pria kaya akan segera terwujud.
"Lalu kapan kamu mau menikahiku?" Tanyanya dengan manja.
"Secepatnya!" Jawab Dimas yang kembali mulai menggodanya.
**
"Bu, mantu kita akan senang gak ya, dengan oleh-oleh yang kita bawa?" Ucap Heru Adhinatha, mertua Dinda.
"Mantu kita 'kan baik Pak, dia pasti suka pemberian kita". Ucap Utami.
"Semoga mereka segera mendapatkan keturunan ya, sudah gak sabar Bapak ingin menimang cucu". Harapnya dengan sedikit membayangkan masa depannya yang tengah menggendong bayi.
"Kita do'akan saja yang terbaik Pak, buat anak-anak kita. Mungkin mereka belum waktunya di beri keturunan". Jawab Utami.
Mobil mereka pun kini sudah berada di depan rumah Dimas, berharap menantu kesayangannya segera menyambut.
Namun yang mereka tunggu tak kunjung datang, malah rumah tersebut nampaknya sepi. Hingga pertanyaan mereka dalam hati terjawab, dengan kedatangan security di rumah tersebut.
"Selamat siang Pak, Bu!" Sapa Pak Asep, security yang sudah bekerja selama bertahun-tahun di rumah tersebut.
"Pak, kenapa rumahnya sepi? Dinda kemana?" Tanya Utami yang nampak heran.
"Bu Dinda sedang tidak ada di rumah. Kata Pak Dimas, beliau pulang ke rumah orang tuanya yang ada di kampung". Jawab Pak Asep.
"Ia pergi bersama Dimas?" Tanya Utami penasaran.
"Bu Dinda hanya pergi sendirian Pak. Sedangkan Pak Dimas pergi ke kantor". Jelasnya.
"Gak biasanya menantu kita pulang sendirian. Coba kamu hubungi Dimas, suruh dia pulang dulu". Ucap Heru terhadap Pak Asep.
**
Dinda kini tidak menyia-nyiakan kebersamaannya besama orang tuanya. Ia tengah memasak dengan Sang Ibu, rasa bahagia bercampur haru kini menyelimuti hatinya.
Bagaimana bisa ia menentang kehendak orang tuanya? Sedangkan orang tua yang telah membesarkannya, terlihat begitu baik kepadanya. Hingga rasa sesal pun kian menjadi musuh terbesarnya, yang selalu menghantui di setiap saat.
'kenapa Ibu terlihat pucat, ya? Apa perasaanku saja?' Gumam Dinda dalam hati.
Ingin sekali menanyakan keadaan Ibunya, namun ada rasa takut. Hingga tiba-tiba Ibunya yang sedang memotong sayuran, mendadak terkulai dan lemas.
Dinda berteriak histeris memanggil Ayahnya. Dugaannya ternyata benar, Sang Ibu sedang tidak baik. Akhirnya mereka membawa Rita ke rumah sakit terdekat.
**
"Apa akhir-akhir ini, Bu Rita sering mengalami kelelahan?" Tanya Dokter.
"Iya Dok, meskipun istri saya jarang melakukan pekerjaan berat, namun saya sering melihatnya selalu terlihat lelah". Jelas Yanwar terhadap Dokter tersebut.
"Kemungkinan Bu Rita mempunyai masalah dalam jantungnya. Namun ini baru dugaan pemeriksaan saya. Jika ingin lebih jelas maka segeralah melakukan pemeriksaan lebih lanjut". Ucap dokter.
Dinda dan Yanwar tak bisa berkata-kata, mereka menyimpan kesedihan masing-masing di dalam hatinya. Tangis pun kemudin pecah, meskipun mereka sudah menahannya.
"Sabar ya Pak, Ibu Rita bisa baik-baik saja. Namun ia harus sering menjalani pemeriksaan secara teratur". Ucap dokter.
Dinda hanya bisa terus menyalahkan dirinya sendiri, ada rasa bersalah di dirinya. 'Kenapa dulu aku meninggalkan orang tuaku demi laki-laki yang tak pantas ku sebut suami sebelumnya?' Lirih hatinya geram.
'Ya Allah, kenapa disaat aku bahagia dengan orang tuaku, begitu besar cobaan yang menerpa keluargaku? Mengapa harus Ibuku yang merasakan sakit?' Racau hatinya sendu.
**
"Bos, ada kabar baru tentang Bu Dinda". Ujar pengawalnya.
"Kabar apa?" Tanya Dimas dengan seringai jahat.
"Mertua Anda , Bu Rita tengah berada di rumah sakit saat ini. Ia menderita penyakit jantung dan pasti akan membutuhkan perawatan yang cukup lama. Kemungkinan biaya yang di keluarkan pun akan sangat besar." Ujar pengawal tersebut.
"Itu kabar bagus. Pastikan Dinda tidak bisa mendapatkan pekerjaan, dulu ia sempat menjadi sekretaris di perusahaan saya. Dia memang sangat pintar, jadi awasi terus dia. Biarkan dia kesusahan, setelah itu Dinda akan segera mengemis lagi minta rujuk denganku". Ucapnya dengan sombong.
"Baik Bos!" Seru pengawal tersebut kemudian berlalu.
Diam-diam Dimas meminta pengawalnya untuk menyelidiki kehidupan Dinda. Ia tidak mau begitu saja Dinda pergi dari kehidupannya, setelah dengan beraninya ia menghina Dimas. Karena itu Dimas memiliki rasa sakit hati terhadap Dinda.
"Berani kau melawanku, tunggu saja apa yang akan terjadi pada kehidupanmu selanjutnya". Lirihnya dengan sedikit mengancam.
Ketika ia sibuk dengan dendamnya, terdengar suara ponselnya yang berdering.
"Hallo pak! Maaf mengganggu waktunya". Sahut pak Asep.
"Ada apa?" Tanyanya ketus.
"Saya di perintah oleh pak Heru untuk menghubungi bapak, kata beliau bapak harus segera pulang dulu. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan". Jelas security tersebut.
"Ya, tunggu saya sebentar nanti saya pulang". Balas singkat Dimas lalu mematikan panggilan tersebut.
'Sial, kenapa Bapak dan Ibu sudah berada di sini?' Gumamnya kesal.
**
Kegelisahan kini nampak pada wajah Dinda, bagaimana ia bisa tenang? Sedangkan sang Ibu harus segera membutuhkan pertolongan medis. Hatinya berdegup kencang seakan ketakutan kehilangan Ibunya semakin besar.
Mungkin biaya rumah sakit akan besar, ia harus memikirkannya lebih jauh. Namun saat ini yang ia punya hanyalah perhiasan pemberian Dimas. Ia membawanya karena ia berhak memilikinya, sedangkan untuk yang lainnya ia tak memikirkannya.
Ia lebih mementingkan harga diri, daripada mengurusi harta yang bahkan Dimas tak ingin memberinya sedikitpun. Karena dari awal pernikahan mereka, ia tak terlalu mengharapkan kemewahan.
Ia hanya ingin keharmonisan dalam rumah tangga. Tapi kini semua itu hanya sia-sia, keharmonisan rumah tangga tak ia dapat apalagi hartanya. Yang ia dapatkan hanya kekecewaan.
"Aku harus kembali mencari pekerjaan, untuk saat ini akan ku jual perhiasan pemberian Mas Dimas terlebih dahulu". Gumamnya sembari menenangkan diri sendiri.
Dinda pun pergi untuk menjual beberapa perhiasannya, demi pengobatan sang Ibu. Harta berharganya kini bukan apa-apa lagi selain kedua orang tuanya.
**
"Ada apa Pak, Bu?" Tanya Dimas yang acuh.
"Dari dulu sifatmu gak berubah, gak ada sopan-sopannya sama orang tua". Geram Heru terhadap Dimas.
Dimas hanya memalingkan wajah, sikap acuhnya kini membuat kedua orang tuanya semakin geram.
"Kenapa Dinda pergi ke rumah orang tuanya tak kamu temani?" Tanya Heru dengan sedikit menahan emosinya.
"Aku sudah menjatuhkan talak kepadanya, dia sudah pulang ke rumahnya kemarin malam". Jawabnya ketus.
Mendengar jawaban dari anaknya, membuat Heru semakin geram. Emosinya kini semakin meluap-luap, dan
'PLAKK'
Sebuah tamparan mendarat di pipi Dimas, hingga terdapat bekas merah di pipi mulusnya. Sementara Utami hanya bisa menangis, ia mengira bahwa anaknya bisa berubah dengan bertemu Dinda wanita shalehah. Tapi nyatanya ia tak habis fikir, kenapa Dimas bisa menyia-nyiakan wanita sebaik Dinda?
"Kenapa kamu lakukan itu? Apa salah Dinda?" Tanya Heru masih penuh emosi.
"Dia sudah tak menarik, awal pertemuan kita memang dia terasa berbeda dengan wanita lain. Tapi nyatanya dia juga sama membosankan". Ujarnya dengan masih saja acuh.
"Baik, kamu lakukan apa yang kamu senangi sekarang. Tapi, jika perusahaanku yang kamu kelola kini akan ku ambil kembali nanti, jangan ada kata menyesal". Ucap Heru yang semakin tak tahan dengan sikap Dimas.
"Jangan karena wanita itu, Bapak bisa seenaknya dengan kehidupanku saat ini". Geram Dimas.
"Disini yang seenaknya siapa? Kenapa kamu mempermainkan pernikahan? Dulu Bapak sudah berprasangka baik terhadapmu, jika kamu akan berubah. Tapi nyatanya sedikitpun tak ada niatmu untuk berubah. Sifatmu memang sangat busuk". Ujar kekecewaan Heru.
"Jika hanya itu yang kalian bicarakan, sebaiknnya aku pamit pergi. Aku sudah muak dengan pembahasan yang menurutku gak penting". Ucapnya dengan berlalu.
"Dasar anak gak tahu diri". Ucap Heru sembari memeluk istrinya, yang dari tadi tak henti menangis.
**
Niat Dinda untuk menjual perhiasannya telah ia lakukan, ia sangat lega melihat lembaran uang yang ada di tangannya. Mungkin uang itu akan cukup untuk beberapa minggu kedepan, sebelum ia mempunyai pekerjaan.
Dari kejauhan sosok pria tengah memperhatikannya, berharap uang tersebut akan berpindah tangan kepadanya.
Setelah memasukkan uang tersebut kedalam tasnya, pria yang memperhatikannya sedari tadi mendekatinya terus. Hingga pria tersebut berhasil mengambil tas milik Dinda.
Teriakan histeris terucap dari mulutnya, hingga beberapa orang mengejar pria yang mencuri tas milik Dinda.
Namun tanpa sengaja, ada seorang pria berjas hitam menahan pria yang hendak mencuri tas Dinda. Pria tersebut membrontak ingin kabur, namun ia tak bisa mengelak. Semakin ia memberontak, semakin ia tak bisa lari dari pria berjas hitam tersebut.
Hingga tas Dinda kini kembali lagi padanya, tak henti ia melontarkan kata syukur di dalam hatinya. Dan berterimakasih terhadap pria berjas hitam tersebut.
"Saya ucapkan terimakasih banyak, Bapak telah menolong saya". Ucapnya dengan hati penuh syukur.
"Lain kali berhati-hatilah, agar kejadian ini tak terulang". Jawabnya dengan berlalu.
'Pria itu sombong sekali, tapi tak apalah. Yang penting tasku kembali'. Lirih hatinya.
Dinda heran dengan sikap pria tersebut, namun tak terlalu memikirkannya. Hal yang penting untuk saat ini adalah perawatan sang Ibu.
**
"Orang suruhan kita gagal Bos, ia kini di penjara. Saat ia sudah mendapatkan tas Ibu Dinda yang berisi uang, ia pun bisa meloloskan diri. Namun ada seorang pria yang menggagalkan rencana kita". Ujar pengawal Dimas.
Ya, kejadian yang menimpa Dinda tadi bukan secara kebetulan. Tapi Dimas yang menyuruh seseorang untuk melakukan pencurian terhadap Dinda, agar ia tak bisa dengan mudah membayar biaya rumah sakit tersebut.
"Gak becus kalian! Buat apa saya membayarmu dengan harga yang mahal, tapi ujungnya gagal". Geram Dimas.
'BUGHH'
Satu tinju melayang pada wajah pengawalnya itu, hingga ia tersungkur ke lantai.
Betapa marahnya Dimas kini, rencana pertama yang ia buat dengan penuh kesabaran harus gagal begitu saja. Di tambah pikirannya yang semrawut, mengingat ucapan orang tuanya tadi. Mungkin ini hari yang sial untuk dirinya.
"Saya gak mau tahu. Sekarang kalian harus memikirkan lagi rencana untuk menjatuhkan mantan istri saya. Saya ingin membalaskan dendam saya terhadapnya. Jadi cepatlah pergi dari sini dan fikirkan lagi rencana yang baru". Usirnya dengan emosi yang meledak.
Pengawal tersebut pun pergi terperanjat ketakutan, mengingat jika Bosnya yang sedang sensitif dan bisa saja melukainya lebih dari itu.
**
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!