Di dunia ini ada satu yang tidak bisa kita hindari. Kematian. Siap atau tidak siap pasti kematian akan datang untuk menjemput kita. Dan saat waktunya sudah datang, kita memang tidak bisa untuk lari kemana-mana. Namun keajaiban Tuhan juga perlu kita percaya. Buktinya saja hari ini, aku masih bisa hidup meskipun maut hampir saja merenggut nyawaku.
Aku terus menangis di atas batu nisan papa dan mama berharap hatiku bisa mengikhlaskan mereka pergi kembali kepelukan Tuhan. Aku masih belum percaya dengan apa yang sudah ku alami saat ini. Bahkan Tuhan mengambil kedua orang tuaku sekaligus.
"Pa, ma. Aku harus apa setelah ini? Aku nggak tau lagi harus menjalani hidup ini dengan cara apa tanpa kalian! Kenapa papa sama mama ninggalin aku sebatang kara di dunia!" isakku pilu.
Tangisku semakin menjadi saat hujan turun dengan derasnya. Seakan langit ikut merasakan apa yang sedang aku rasakan saat ini. Beberapa orang meninggalkan pemakaman satu per satu setelah bergantian menepuk bahuku dan menyuruhku untuk kuat. Ya, aku sudah terlalu kuat karna tidak memutuskan untuk bunuh diri dan menyusul orang tuaku. Aku sempat memikirkan hal itu sekilas. Namun semuanya tidak menjamin membuat orang tuaku bahagia dan tenang di alam sana.
Perkataan demi perkataan ku ingat. Kenangan demi kenangan memenuhi kepala ku hingga membuatku semakin menjerit di tengah derasnya hujan, memaki diriku sendiri berulang kali. Apa aku pernah membuat kesalahan yang besar sampai Tuhan mengujinya seberat ini. Aku semakin terisak. Tubuhnya melemah. Rasa sakit di badanku sudah tidak ku hiraukan meski kepalaku masih terbalut perban.
Kecelakaan kemarin malam menimpa keluarga ku. Kebetulan hujan deras turun saat kami akan pergi dinner di sebuah kafe. Semuanya terjadi begitu cepat hingga aku masih belum percaya jika semua ini memang kenyataan yang harus ku alami.
Kecelakaan itu seperti rekaman yang masih berputar berulang-ulang di kepalaku. Aku masih ingat malam itu tiba-tiba ada mobil dengan kecepatan tinggi melaju dari arah berlawanan. Mobil itu lepas kendali dan akhirnya papa yang memilih menghindar lalu banting stir dan mengakibatkan mobil kami terjun ke jurang.
Papa dan mama tidak bisa diselamatkan. Dan hanya aku yang selamat dalam kecelakaan maut itu. Kalau saja disuruh memilih, aku pasti memilih untuk mati dari pada harus kehilangan dan merasakan trauma seperti sekarang.
Tubuhku begitu lemas. Pikiranku kacau dan aku masih merasakan sakit yang luar biasa. Rasa sakit di badanku sebenarnya tidak seberapa karena hatiku jauh lebih sakit dari luka-luka yang aku dapatkan dari kecelakaan tersebut. Baru saja papa dan mama pulang dari luar kota. Baru saja aku ingin menghabiskan waktu bersama mereka. Namun Tuhan memang berkata lain. Takdir Tuhan lebih berhak atas semua yang telah terjadi.
Lalu bagaimana dengan hidupku untuk selanjutnya? Bagaimana aku bisa menjalani hidup tanpa hadirnya orang tua? Apa aku bisa menjalani hidup tanpa papa dan mama?
Harapanku seakan pupus dibawa angin. Aku seperti kehilangan semangat untuk hidup dan menjalani hari-hari seperti biasa. Aku kehilangan kedua sayap untuk terbang. Papa dan mama adalah segalanya dalam hidupku. Mereka bahkan tidak sempat mengatakan salam perpisahan atau sekedar membuka mata mereka untuk yang terakhir kalinya. Entah apa yang sedang Tuhan rencanakan untuk ku. Sekarang aku hanya bisa pasrah menjalani semua ini.
Satu persatu dari pelayat sudah pergi meninggalkan pemakaman beberapa menit yang lalu. Hanya tinggal aku dan beberapa sahabat kantor papa yang masih setia di tempat ini. Aku sendiri masih ingin berlama-lama disini. Tak apa jika aku harus basah kuyup sepanjang hari. Aku masih ingin memeluk makam papa dan mama. Tidak perduli apapun.
Andai saja waktu bisa diputar. Andai Aku tidak merengek untuk menyuruh papa dan mama pulang lebih cepat dari jadwal mereka. Mungkin aku masih memiliki keduanya hingga hari ini. Air mataku lagi-lagi turun tanpa diminta. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Dan setelah semua terjadi, kata seandainya sudah tidak ada gunanya lagi.
"Kejora, kamu yang kuat ya. Kamu pasti bisa lewatin semua ini. Tuhan punya rencana indah di balik peristiwa ini."
Aku mendongak. Seorang ibu-ibu paruh baya mengelus pundakku. Raut wajahnya juga sama sedihnya sepertiku. Kalau tidak salah namanya tante Ola. Dia adalah teman arisan mama. Tante Ola juga sering sekali main ke rumah dan membawakan oleh-oleh untukku jika dia pulang dari luar negri.
"Makasih banyak, tante."
Sebelum tante Ola pergi, beliau sempat merangkulku singkat. Hal itu justru membuatku kembali terisak. Untuk beberapa saat aku mencoba tersenyum kepada beliau. Aku tidak ingin membuat orang-orang menjadi kasihan melihatku.
"Tante harus pulang sekarang. Kejora juga pulang, ya." bujuk tante Ola.
Aku menggeleng kuat. Menolak ajakan tante Ola barusan dengan sopan. "Aku masih mau disini tante."
Seperti mengerti akan perasaanku tante Ola hanya mengangguk pelan, membiarkanku untuk tetap tinggal.
Kini tersisa aku dan om Dana saja di pemakaman setelah kepergian tante Ola beberapa menit yang lalu. Om Dana adalah sahabat papa sejak kuliah dulu. Dan om Dana juga rekan bisnis papa. Sedari tadi beliaulah yang setia memayungiku dari derasnya hujan. Menenangkanku ketika tangisku kembali terisak.
"Saya udah nggak pa-pa om. Om pulang duluan aja." ujarku tak enak. Aku berusaha menyunggingkan senyum meski itu rasanya terasa berat.
"Om akan temenin kamu disini. Om nggak akan biarin kamu disini sendirian."
Om Dana yang tadi berdiri kini ikut berjongkok di sampingku. Membuatku tersenyum tanpa sadar kali ini. "Makasih, om udah baik banget."
"Om yakin kamu anak yang kuat. Maka dari itulah Tuhan memberikan keajaiban ini untuk kamu." lanjut om Dana.
"Saya masih belum percaya aja om. Jika boleh berharap, saya berharap ini hanya mimpi buruk."
Om Dana menatapku tidak tega. "Jangan menyesali apa yang sudah terjadi, Kejora. Mungkin ini berat, tapi kamu harus semangat. Om yakin, kedua orang tuamu akan bangga jika melihat anaknya tumbuh dengan kuat. Mereka sudah bahagia disana. Mereka tidak merasakan sakit lagi. Dan mereka pasti dipersatukan di surga."
"Makasih ya om. Atas semua perhatian om."
"Jangan merasa sendiri, Kejora. Masih ada om disini yang akan merawat dan menjaga kamu."
Tentu saja aku mengerutkan dahi mendengar kalimat itu keluar dari om Dana. Aku belum bisa mengartikan maksud dari perkataan om Dana barusan.
"Maksud om?"
"Kamu mau kan tinggal bersama om? Om janji akan menjaga kamu sama seperti om menjaga anak kandung om sendiri." jawab om Dana serius.
"Tapi om, saya nggak mau ngrepotin siapapun. Saya bisa hidup mandiri." tolakku dengan sopan.
"Kejora, kamu anak perempuan. Akan bahaya jika kamu hidup sendirian di rumah kamu itu. Meski disana ada asisten rumah tangga, tapi ijinkan om untuk melalukan ini. Kamu mau kan?" tanya om Dana sekali lagi.
Aku terdiam untuk beberapa menit sebelum akhirnya mengangguk setuju. "Makasih ya om. Untuk segala kebaikan om yang mau merawat dan menjaga saya."
Raut wajah om Dana tampak lega dan senang. "Sama-sama."
Tidak ada ujian datang tanpa ada hikmah dibaliknya. Rasanya aku sangat bersyukur bisa di pertemukan dengan orang sebaik om Dana. Aku berjanji, mulai sekarang aku harus kuat menjalani hidup yang baru tanpa hadirnya papa dan mama di sampingku.
***
Bersambung...
Hujan perlahan mereda. Aku juga bisa merasakan perasaanku sudah mulai tenang sekarang. Meski aku masih merasakan nyeri yang luar biasa di sekujur tubuhku. Untung saja dengan sabar om Dana mau membantuku berdiri. Beliau memapahku untuk berjalan menuju mobilnya yang berada di pinggir jalan raya. Sebelum aku benar-benar meninggalkan pemakaman, sekali lagi aku mencium nisan papa dan mama secara bergantian.
"Sudahlah, ikhlaskan mereka pergi. Sekarang kamu harus menata hidup kamu lagi." Ucap om Dana sambil menepuk bahuku.
Aku mengangguk lemas. Sikap om Dana yang sabar dan lembut membuatku teringat akan sosok papa dulu.
"Kita ke rumah kamu dulu ya buat ambil barang-barang. Setelah itu kamu ikut om pulang ke rumah." ajak om Dana.
"Tapi apa nggak pa-pa kalo saya ikut dengan om? Bagaimana kalau istri dan anak om tidak bisa menerima saya nanti? Saya pasti bakalan nggak enak banget om."
Om Dana tersenyum tulus sambil mengelus rambutku. "Istri om justru bakalan seneng kalau kamu datang."
Aku sangat lega mendengar jawaban om Dana. Sejujurnya aku ingin hidup mandiri dan tidak ingin merepotkan siapapun. Setelah aku pikir-pikir mungkin lebih baik aku tinggal di rumahku sendiri daripada harus ikut tinggal di rumah om Dana. Namun om Dana selalu membujukku gar tidak menolak niat baiknya.
Akhirnya setelah setuju, om Dana langsung membawaku untuk memasuki mobilnya. Mobil hitam milik om Dana itu lalu melaju untuk membelah jalanan. Di sepanjang perjalanan aku hanya menatap kosong pemandangan dari kaca mobil. Aku selalu meyakinkan diriku sendiri dalam hati. Bahwa semua akan selalu baik-baik saja tanpa ada yang harus dikhawatirkan nantinya.
* * *
Pagi menjelang.
Matahari bersinar samar-samar hingga cahayanya bisa aku rasakan menembus tirai gorden putih yang berada di kamar yang ku tempati saat ini. Aku terbangun dengan malasnya. Mataku masih bengkak karna menangis semalaman. Namun jika terus menerus seperti ini kasihan om Dana dan tante Marisa yang mencemaskan kondisiku.
Ternyata kedatanganku kemarin disambut baik oleh tante Marisa. Istri om Dana yang masih terlihat cantik itu tidak kalah baik seperti suaminya. Aku benar-benar bersyukur karena bisa diterima dengan baik oleh mereka.
Tante Marisa dan om Dana juga menyurunya untuk menganggap mereka sebagai orang tua kandungku sendiri. Betapa leganya aku.
Saat seperti ini tiba-tiba aku merindukan sosok mama yang setiap pagi menjadi alaramku untuk bangun. Papa yang mengacak-acak rambutku saat sarapan. Aku rindu dengan semua tentang mereka. Tak sadar air mataku mengalir deras membasahi pipi kembali. Ternyata ikhals tak semudah yang ku pikirkan.
"Loh, kok belum siap-siap?"
Tiba-tiba tante Marisa muncul dan langsung duduk di sampingku. Dia mengelus rambut ku yang masih terurai berantakan. Aku langsung mengusap tangisku epat-cepat. Tapi tak bisa ku sembunyikan lagi. Tante Marisa sudah memergokiku menangis pagi ini.
"Ayolah sayang, jangan larut dalam kesedihan terus. Orang tuamu juga akan sedih jika melihat kamu seperti ini. Sekarang kamu mandi dan siap-siap ke sekolah. Tante tunggu di bawah ya. Jangan nangis lagi," ucap tante Marisa dengan wajah keibuannya.
Aku memandang kepergian tante Marisa hingga beliau hilang di balik pintu. Entah kenapa keluarga ini begitu menyayangiku dengan tulus. Padahal aku belum kenal akrab dengan mereka sebelumnya. Tapi mereka sudah memperlakukanku secara berlebihan melebihi tamu yang hanya numpang tinggal di rumah mereka.
Kembali aku melanjutkan aktifitasku lagi. Berangkat sekolah seperti biasa. Namun kali ini bedanya tidak ada yang memberikan ucapan semangat seperti sebelumnya.
Dengan suasana berbeda aku menuruni tangga menuju ruang makan. Awalnya aku agak canggung karna semua orang menatap ke arahku. Ditambah lagi ada seorang cowok yang duduk di sebelah om Dana.
Mataku tertuju pada cowok itu. Seperti tidak asing untuk dilihat. Seragamnya sama dengan yang aku kenakan. Itu tandanya dia satu sekolah denganku juga. Wajahnya memang familyar. Sekilas dia hampir mirip dengan most wanted di sekolah yang banyak di kagumi kalangan SMA Bhakti Mulya. Atau jangan-jangan memang orang yang sama?
"Kenapa cuma bengong? Sini ikut sarapan."
Teriakan tante Marisa membuatku tersadar. Aku berjalan menghampiri mereka yang menyantap sarapan dengan langkah ragu. Aku memilih duduk di depan cowok tadi dengan mata yang masih menyorot penasaran. Cowok itu sendiri justru hanya diam sambil menikmati rotinya yang hampir habis. Bahkan dia tidak melirikku sedikitpun saat aku duduk di depannya. Dia juga tidak mempertanyakan keberadaanku di rumah ini. Tipe cowok yang cuek dan kelewat batas dingin. Bisa-bisanya ada cewek asing di rumahnya dia hanya diam saja. Apa om Dana dan tante Marisa sudah menceritakanku pada cowok ini yang kemungkinan besar adalah putra mereka?
"Wah, ternyata kalian satu sekolah ya. Berarti udah saling kenal dong?"
Pertanyaan tante Marisa memecah kesunyian. Bersamaan dengan kalimat itu, cowok yang berada di depanku saat ini langsung mendongak tepat ke arahku. Aku bisa dengan jelas melihat wajahnya sekarang. Sorot matanya yang dingin dan tajam itu membuat ku takut untuk berlama-lama memandangnya. Dengan gugup aku langsung melempar tatapan ke tante Marisa. Aku menelan salivaku dengan susah payah karena rasa tak percaya.
Cowok ini beneran most wanted sekolah yang jadi perbincangan panas itu!
Akhirnya aku hanya menjawab pertanyaan tante Marisa dengan senyuman. Aku juga bingung harus menjawabnya bagaimana. Biarkan saja dia yang menjawab. Aku takut salah bicara karna aku hanya mengetahui cowok itu dari gosip simpang siur anak-anak. Namanya Bintang Pradana yang hobinya ngeband di sekolah. Kalau tidak salah dia sebagai vokalisnya. Harusnya yang namanya vokalis itu biasanya suka ngomong dan nggak suka diam, tapi berbeda dengannya.
"Bintang, dia ini Kejora, anak sahabat papa yang kemarin papa ceritain sama kamu. Mulai sekarang dia akan tinggal di rumah kita," ucap om Dana memperkenalkan.
Jadi bener kan dia ini Bintang. Demi apa aku bisa satu rumah sama cowok populer di sekolah?
"Oh iya, papa mau titip Kejora sama kamu. Selama dia di sekolah kamu harus menjaganya. Kalian harus berangkat dan pulang bersama, " pesan om Dana yang membuat Bintang berhenti mengunyah rotinya.
"Nggak bisa. Bintang banyak urusan."
Suara yang padat dan jelas itu keluar begitu dingin dari mulut cowok itu. Jawabanya bisa di tebak kalau Bintang nggak mau terbebani olehku. Lagian aku juga bisa jaga diri kok. Om Dana harusnya nggak usah bilang begitu supaya tidak merusak mood anaknya yang sekarang wajahnya berubah menjadi semakin menyeramkan.
"Om, saya naik taksi juga nggak pa-pa. Terima kasih om sudah perduli dengan saya, om berlebihan."
Aku mencoba menolak saran om Dana dengan sopan. Keberadaanku di sini sudah membuat om dan tante susah, aku nggak mau menambah susah anaknya lagi. Tapi mereka selalu bersikap manis di depanku tanpa aku tahu alasan mereka apa memperlakukanku seperti putri di rumah ini.
"Papa tidak menanyakan pendapatmu. Yang papa mau kamu menjaga Kejora, paham!"
Om Dana malah semakin memaksa kemauanya dan menganggap perkataanku angin lalu. Raut wajah Bintang berubah menegang. Mungkin dia kesal sampai membanting rotinya kepiring lagi. Ekspresinya membuatku semakin takut apalagi sekarang dia menatapku tajam sampai aku merasa risih dan lagi-lagi mengalihkan pandangan secepat mungkin.
Bintang pasti nggak mau kehilangan fansnya di sekolah karna memboncengku yang kelihatan biasa saja. Emang aku cuma cewek biasa yang nggak punya nilai plus di sekolah. Nggak seperti dia. Atau mungkin dia takut pacarnya cemburu padaku. Entahlah. Tapi sejauh yang aku tahu, Bintang tidak pernah dekat dengan siapapun di sekolah. Padahal banyak cewek yang ngantri ingin menjadi seseorang yang spesial di hatinya.
Setelah sarapan pagi selesai, aku duduk di kursi teras untuk menunggu Bintang yang masih di dalam untuk mengambil tasnya. Aku nggak tahu bagaimana jadinya jika aku harus berangkat sekolah bersama Bintang beneran. Apa mungkin aku menjadi bahan sasaran para fansnya nanti?
"Mau berangkat atau bengong terus di situ?" suara dingin Bintang membuyarkan lamunanku.
Aku tersentak kaget. Cukup lama aku terdiam sambil menetralkan degub jantungku yang mendadak berdetak hebat. Jika boleh jujur, sebenarnya aku lebih nyaman berangkat sendiri ke sekolah. Aku hanya belum siap jadi bahan gosip seantero sekolah. Sudah pasti. Tiba-tiba aku yang hanya cewek biasa bisa boncengan dengan Bintang most wanted sekolah. Kematian orang tuaku sudah membuatku terpukul. Aku belum siap rasanya jika menghadapi masalah baru lagi.
"Kalo lo keberatan gue bisa naik taksi kok. Lagian om Dana udah berangkat, dia nggak akan tahu."
"Bokap gue nggak mudah di bohongin. Lo naik atau gue tinggal sekarang!"
Ancaman Bintang membuatku tak berpikir panjang lagi. Aku langsung menaiki motor kawasaki merah miliknya. Ini pertama kalinya aku menaiki motor besar, jadi aku harus susah payah agar bisa duduk di belakang Bintang. Meski wajah Bintang masih memancarkan aura menyeramkan namun dia berusaha membantuku tanpa berkata apapun.
Bintang sangat lihai memakai motornya, menyalip beberapa mobil, meliuk-liuk untuk menerobos kemacetan jalan hingga beberapa menitpun kami sampai di parkiran sekolah.
Ternyata sekolah sudah ramai dipenuhi anak-anak yang lalu-lalang ingin menuju kelas mereka masing-masing. Aku yang berjalan di belakang Bintang dengan jarak beberapa meter memilih diam. Aku merasakan ada aura yang berbeda di sekolah ini. Banyak murid yang berbisik-bisik tidak jelas. Menatap dengan sorotan tak enak. Bukan kepada Bintang, tapi mereka menatapku.
Aku baru sadar kenapa mereka melemparkan tatapan mengintimidasi seperti itu. Apalagi alasannya kalau bukan karena aku berangkat sekolah bareng Bintang hari ini? Mereka pasti bertanya-tanya atau bahkan berpikiran yang tidak-tidak. Aku memberanikan diri untuk membalas tatapan sengit mereka sampai aku tidak menyadari ada seseorang yang berdiri di depanku. Reflek aku menubruk tubuh orang itu hingga aku bisa mencium bau parfumnya yang wangi.
"Sori. Gue nggak sengaja,"
Aku tidak menduga Bintang akan berhenti mendadak hingga aku harus menabraknya dan menciptakan jarak yang sedemikian dekat.
Bintang mencengkeram kedua bahuku dan mendorongku mundur. "Lo jalan tapi mata lo kemana-mana."
Seperti anak kecil yang sedang dimarahi ibunya, aku hanya menunduk diam. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Bintang benar-benar membuatku gelagapan sendiri.
"Nanti pulang sekolah gue tunggu di parkiran." lanjutnya tanpa memperlihatkan keramahannya sedikitpun.
"Nggak usah. Gue mau ke makam. "
"Ya udah terserah."
Bintang sudah ingin berbalik dan pergi namun aku menahan lengannya cepat.
"Makasih ya, k-kak Bintang," ucapku gagap.
"Jangan panggil gue kak," jawabnya cuek dan berlalu untuk menaiki tangga menuju kelasnya.
Padahal Bintang duduk di kelas XII sedangkan aku masih duduk di kelas XI. Namun Bintang justru kelihatan tidak suka mendengar aku memanggilnya dengan embel-embel kakak.
Dengan wajah yang masih ogah-ogahan aku berjalan menuju kelas sampai bel masuk berbunyi. Tak lama bu Siska memasuki kelas dengan beberapa buku paket yang dia bawa. Beliau memang guru yang disiplin. Waktunya tak ingin terbuang begitu saja apalagi dia mengajar pelajaran yang banyak tak disukai para siswa. Pelajaran yang dibenci dari nenek moyang yang sudah turun temurun. Apalagi kalau bukan matematika.
"Ra, kok lo udah masuk sekolah? Gue ikut berduka cita ya atas musibah yang menimpa lo."
Keisha, teman sebangkuku berbisik lirih. Aku tersenyum kearahnya. Kuberikan senyum palsuku agar dia tahu aku sedang baik-baik saja. Samar-samar aku mendengar bisikan lain dari belakangku. Bisikan yang membuat telingaku memanas pagi ini. Tepatnya Lolita dan Alice sedang asyik mengosipkanku dengan Bintang yang bareng ke sekolah hari ini.
"Nggak nyangka ternyata selera kak Bintang dibawah standart ya."
"Eiiuw, nggak banget."
Kalimat itu terdengar jelas di telingaku meski mereka berbisik. Tanganku reflek mengepal di atas meja, seperti siap menghantam siapa saja yang membuat hatiku sakit termasuk dua ular berbisa itu. Serendah itukah aku di mata mereka? Bahkan mereka tahu aku baru saja kehilangan orang tuaku, bisa-bisanya mereka bicara seenak jidatnya. Apakah semua penghuni sekolah memiliki pemikiran sama seperti mereka? Bagaimana jika seantero sekolah tahu aku satu rumah dengan Bintang? Oh tidak, tepatnya numpang di rumah Bintang!
***
Susah payah aku memperhatikan setiap materi yang dijelaskan oleh bu Siska dan menepis kata-kata Lolita serta Alice tadi. Namun pikiranku masih melayang entah kemana. Rasanya tidak bisa menyatu dengan ragaku. Aku seperti kehilangan diriku yang dulu. Kejora Permata yang biasanya ceria dan selalu menebarkan senyuman. Tapi semenjak kehilangan kedua orang tuaku kemarin senyumku rasanya tidak akan bisa kembali seperti dulu. Sekarang aku justru lebih suka melamun. Melamunkan apa aku sendiri juga tidak paham.
Teriakan anak-anak mau nggak mau harus menghentikan para guru untuk menerusakan pelajaran karna waktu istirahat sudah tiba. Aku masih tetap pada lamunanku. Menatap kosong ke arah luar kelas dengan menopang dagu. Beberapa kali aku dibujuk ke kantin oleh Keisha tapi aku menolak. Di kelas tempat paling nyaman sekarang ini.
"Melamun hanya dilakukan oleh orang yang bodoh."
Suara dingin itu membuatku tersadar. Aku mengerjapkan mata untuk sesaat dan melihat Bintang tiba-tiba sudah muncul di kelasku. Dengan menyenderkan sebelah bahunya di ambang pintu dia menatapku datar. Ngapain dia kesini?
"Gue tau lo nggak akan ke kantin. Makanya gue bawain roti buat lo. Makan."
Masih dengan sikap dinginnya Bintang memberikan sebuah kantong plastik berisi roti dan susu kotak yang tadi dia bawa. Semakin menjadi bahan omongan para penghuni kelas setelah melihat adegan barusan. Aku sendiri juga kaget. Bintang melakukan itu dengan terang-teragan yang membuat namaku seketika menjadi perbincangan.
Kejora Permata sedang dekat dengan Bintang Pradana.
***
Pelajaran usai setelah jam menunjukan pukul 3 sore. Aku tidak ingin kemalaman ke makam papa dan mama. Buru-buru aku mencari taksi dan menuju pemakaman.
Sore hari begini membuat jalanan begitu macet total karena pengguna jalan di dominasi oleh anak sekolah dan orang-orang yang pulang dari kantor. Setelah menempuh jarak setengah jam akhirnya aku sampai juga di pemakaman orang tuaku. Ku lihat makam papa dan mama yang damai. Setelah aku meletakkan buket bunga di kuburan mereka aku mengelus nisan itu bergantian.
Kecelakaan tempo hari seperti melintas lagi dipikiranku. Air mataku kembali luruh dan lagi-lagi aku menangis terisak meratapi semua yang terjadi. Aku hanya bisa berdoa agar papa dan mama bisa bahagia dan tenang di alam sana.
***
"Papa, mama. Kita mau kemana sih?" tanyaku kebingungan.
Papa dan mama terus berjalan tanpa memperdulikanku. Kami memakai pakaian serba putih. Seperti berada di padang pasir yang luas tanpa ada siapapun diantara kami. Papa hanya menggandeng tangan mama tanpa perduli denganku yang berada di belakangnya. Langkah mereka semakin cepat. Aku tak sanggup mengejar. Langkahku berat, seperti ada yang sengaja menahan kedua kakiku hingga tiba-tiba aku jatuh terjerembab. Papa dan mama hanya tersenyum sambil melambaikan tangan lalu berjalan lagi. Aku terus berteriak memanggil mereka. Kenapa mereka tidak membantuku dan mengajakku pergi? Kenapa mereka meninggalkanku sendirian?
"Pa, ma. Tunggu aku! Tunggu aku!!!"
Aku berteriak histeris sampai akhirnya aku terbangun. Ya, cuma mimpi. Mimpi yang kenyataannya sudah benar-benar terjadi. Keringat dingin mengucur di wajahku. Nafasku masih naik turun tak beraturan. Setelah merasa sedikit tenang aku lihat Bintang sudah berdiri di ambang pintu kamaru dengan ekspresi datar seperti biasa. Aku sempat memekik kaget karena melihat dia tiba-tiba bisa ada di kamarku.
"Lo ngapain disini?" tanyaku heran.
"Lo kenapa sih teriak-teriak? Gue nggak bisa tidur dengerin suara lo!" protesnya.
Kamar yang ku tempati memang bersebelahan dengan Bintang. Sedangkan kamar om dan tante berada di bawah. Tak heran jika Bintang terbangun. Rasanya yang aku butuhkan saat ini hanyalah sebuah pelukan. Aku masih dihantui rasa takut. Tapi nggak mungkin juga kalau aku harus meluk Bintang, kan? Tapi yang saat ini ada cuma dia. Kenapa dia malah memarahiku? Kenapa dia nggak menenangkanku?
"Sori. Gue tadi mimpi buruk," jawabku sambil menunduk.
"Gue nggak peduli. Lo bisa kan nggak ganggu jam tidur gue gara-gara suara brisik lo itu?" tanya Bintang sinis.
"Iya. Gue nggak akan brisik lagi,"
Bintang kelihatan begitu kesal karena tidurnya tadi harus terganggu olehku. Terlihat dari sorot matanya yang tajam dan nada bicaranya yang sangat sinis barusan. Sepertinya putra om Dana itu memang tidak punya sisi keramahan sedikitpun. Padahal om Dana dan tante Marisa aja begitu ramah dan baik.
"Pa, ma. Aku kangen sama kalian," isakku di balik selimut.
***
Pagi harinya.
Lagi-lagi aku termenung di kamar. Tak perduli sudah jam berapa saat ini. Mimpi tadi malam masih terbayang-bayang di pikiranku hingga aku terjaga sampai pagi menjelang. Mataku tidak bisa terpejam setelah mimpi itu.
"Lo mau telat?"
Suara itu rasanya sudah keluar masuk di telingaku. Suara yang dingin sedingin udara pagi ini dan hanya dia yang memiliki suara itu.
Bintang.
"Bisa nggak lo ketuk pintu sebelum masuk?"
"Pintu nggak di kunci ngapain harus diketuk?" balasnya seakan nggak mau kalah.
Aku menghembuskan nafas pasrah. Tak mau berdebat pagi dengannya mengingat ini adalah rumah dia juga.
"Cepetan siap-siap gue tunggu di bawah."
"Om dan tante kemana?"
"Udah pergi."
Percakapan itu tak berlanjut lagi karena Bintang sudah berlalu dari kamarku. Dia sudah memakai seragam, hanya tinggal memasang dasi di kerah bajunya. Pantes aja tadi tante tidak ke kamarku. Ternyata dia sudah berangkat ke kantor dan harus sepagi ini.
Aku bukan cewek feminime yang dandan berlebihan dan membutuhkan waktu yang lama. Hanya dalam hitungan belasan menit aku sudah siap untuk berangkat. Ku tatap Bintang yang sejak tadi memakai dasi di teras dan belum berhasil juga. Sebesar ini dia belum bisa memakai dasi? Aku terkekeh pelan.
"Pakai dasi doang nggak bisa," ledekku sambil tertawa geli.
Bintang melotot ke arahku tajam. Bukan hanya itu, sekarang ini wajahnya dipenuhi rasa kekesalan. Tawaku yang tadi nyaring perlahan mereda. Aku jadi kasihan padanya. Selama ini pasti tante Marisa yang memakaikan dasinya. Pagi ini tante sudah nggak ada di rumah dan dia harus susah payah memakainya sendiri.
"Sini biar gue pakein."
Dasi itu kurampas dari tangan Bintang dan ku lingkarkan di kerah seragamnya. Aku menunduk sedikit karna Bintang sedang duduk di kursi teras rumah. Mulailah aku membentuk dasi berwarna abu-abu itu. Bintang menatapku yang masih di depannya. Awalnya aku tidak mengetahuinya sampai dasi itu sudah jadi baru aku menyadari matanya yang tak sengaja bertemu denganku.
Beberapa detik kemudian aku memalingkan pandanganku darinya cepat-cepat.
"Eh, lo mau modus ya?!"
Bintang langsung berdiri dan sedikit mendorongku agar menjauh darinya.
Modus? Bukannya aku baru aja bantuin dia?
Entah Bintang yang sekarang berubah salah tingkah atau aku yang merasa malu karena menyesali perbuatanku barusan. Harusnya aku tidak seberani itu memakaikan dasi untuk Bintang. Kami berdua hanya saling diam dengan pikiran masing-masing.
"Mau ikut nggak lo?"
Suara Bintang yang terdengar galak itu membuatku mendongak ke arahnya. Bintang sudah memakai tasnya dan bersiap untuk pergi menuju garasi. Setelah dia berjalan terlebih dulu aku hanya mengikutinya dari belakang tanpa mengelurkan suara apapun.
SMA Bhakti Mulya
Sesampainya di parkiran sekolah aku langsung berpamitan pada Bintang untuk menuju kelas. Ternyata teman-teman Bintang sudah menunggu kedatangannya di parkiran. Aku merasa canggung dan akhirnya aku memilih untuk masuk kelas terlebih dulu. Dan seperti kemarin, sekolah sudah dipenuhi bisikan-bisikan disetiap penjuru. Namun baru saja aku ingin menaiki tangga Natalie Cs menghadang jalanku.
Dia Natalie Ashura si ketua teater di sekolah SMA Bhakti Mulya. Perannya sebagai tokoh antagonis membuat anak-anak takut kepadanya. Wajahnya memang garang bak singa yang kelaparan di tengah hutan belantara. Dia berhasil membawa nama baik sekolah saat teaternya berhasil menjadi juara satu antar sekolah. Dia memang satu angkatan denganku. Namun kita berbeda kelas.
Yang menjadi pertanyaan, ngapain Natalie mencegatku dengan wajah bringas seperti itu?
Apalagi kedua temannya sudah tersenyum sinis di belakangnya. Layaknya melihat mangsa yang siap untuk di enyahkan cepat-cepat dari muka bumi ini. Aku yakin mereka pasti sudah mendengar gosip tidak benar itu. Pasti Natalie mengira aku ada apa-apa sama Bintang. Tanpa berpikir panjang lagi aku memilih balik badan dan menjauhi mereka bertiga.
Ternyata benar mereka sudah mengincarku. Buktinya mereka bertiga terus saja mengikutiku. Tidak salah lagi sekarang. Pasti Natalie sudah kemakan gosip sekolah. Pasalnya dia memang menyukai Bintang semenjak dia naik kelas XI dan menjadi siswi kebanggan para guru. Padahal kemarin Keisha baru mengingatkanku agar aku bisa jaga jarak dengan Bintang saat di sekolah karna memang banyak cewek yang gencar ingin mendekatinya termasuk Natalie. Yang membuatku lebih takut lagi Natalie adalah cewek yang terkenal suka membuly.
Saat ini pikiranku kalut. Aku sudah memojok di gudang aset sekolahan yang sepi semenjak tidak di gunakan lagi. Kakiku berjalan tak menentu. Yang aku pikirkan aku harus bisa kabur dari mereka, tapi hari ini bukan hari keberuntunganku. Aku terkepung! Natalie tersenyum memincingkan sudut bibirnya. Sudah nggak ada jalan lagi dan aku harus menghadapinya.
"Lo milih tempat yang indah banget."
Senyum liciknya terlihat. Dia menghampiriku. Kedua temannya mencengkeram lengan kanan dan kiriku sehingga aku tidak bisa berontak. Berteriak minta tolong pun percuma karna memang sudah masuk bel pelajaran dimulai. Tidak akan ada orang yang datang. Natalie langsung menyerangku dengan cepat layaknya singa yang tidak makan selama tiga hari. Dia menjambak rambutku tanpa ampun. Menampar pipi kanan dan kiriku hingga lebam. Merobek ujung rokku dan kini mendorongku sampai aku jatuh tersungkur.
"To the point aja ya! Lo jangan sok kecantikan disini. Berani lo deketin Bintang lagi, gue bisa lakuin lebih dari ini, ngerti lo?!"
Natalie mencengkeram sisi wajahku dan dia mengancamku. Sebelum pergi Natalie juga mengobrak abrik isi tasku. Rasanya aku ingin membalas mencakar wajahnya dan menendang kedua temannya itu. Tapi aku sudah tidak kuat bangkit lagi. Aku merasakan kedua lututku nyeri karena berbentur dengan lantai.
Beberapa jam berlalu setelah kepergian Natalie Cs. Aku masih menangis menahan rasa sakit di pipi dan lutut ku. Tiba-tiba saja, tak lama terdengar ada seseorang sedang membuka knop pintu gudang dengan gusar. Namun tumpukan kardus di depanku terlalu tinggi hingga aku tidak bisa melihat siapa yang masuk itu. Aku malu ingin meminta tolong mengingat kondisiku yang awut-awutan seperti ini. Aku menahan isak tangisku agar orang itu tak menemukanku. Sampai akhirnya-
Bruk!!!
Aku tak sengaja menendang kardus di depanku saat aku ingin merubah posisi dudukku.
"KEJORA!"
Pekik cowok itu kaget. Ia histeris melihat penampilanku yang sudah amburadul. Aku meraih punggungnya erat. Aku menangis di pelukannya. Cowok itu! Seseorang yang dingin namun ternyata bisa menghangatkan ku dengan pelukannya. Aku sempat tak percaya sebelumnya. Pelukan ini hangat dan membuatku merasa tenang. Pelukan yang mirip dengan papa dulu.
"Apa yang terjadi sama lo?"
Air mataku lolos begitu saja. Aku bukan menangis karena kesakitan. Aku menangis karna aku adalah cewek lemah yang nggak bisa membalas perbuatan si pembully seperti Natalie. Orang seperti dia harus di kasih pelajaran berharga. Aku bersumpah akan membuat dia mengakui semuanya dan membuka topeng palsunya di depan kepsek dan guru-guru yang lain.
"Gue anter lo pulang,"
Ya. Bintang! Dia yang telah menemukannku. Aku melepas rangkulanku. Ku biarkan dia membereskan tasku beserta isinya yang bercecar di lantai. Ia lalu membantuku berdiri dengan susah payah. Bintang memilih memesan taksi agar lebih mudah dan aman. Ia tahu aku sudah nggak kuat jika harus menaiki motor besarnya. Pandanganku tiba-tiba menjadi berkunang. Perlahan aku terkulai lemas di pangkuan Bintang tak sadarkan diri.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!