NovelToon NovelToon

Surat Wasiat Kakek Robert

Chapter 01

Seratus lima puluh miliar bukanlah sesuatu yang pantas untuk dianggap remeh, uang dengan jumlah segitu bukan jumlah uang yang sedikit. Tak ada seorang pun dalam perpustakaan Kakek Robert yang luas dan megah itu berani memegang uang dengan jumlah yang cukup besar. Kecuali Rachel.

Setelah mengusap matanya dengan tisu, ia kembali duduk, berharap air liur yang telah ditelannya akan segera melegakan pernapasannya. Ia berharap tidak terkena flu saat ini. Lebih jauh lagi, ia berharap kali kini ia berada di tempat lain di dunia ini.

Saat ini di sekelilingnya terdapat lusinan buku yang sudah ia baca, dan ratusan buku lagi yang tak pernah terpikir untuk ia baca, meskipun ia biasa menghabiskan berjam-jam waktunya di perpustakaan.

Bau buku-buku zaman dulu yang bercampur debu banyak terdapat di rak perpustakaan itu. Rachel tak memilih buku-buku itu, bahkan menyentuhnya pun saja tidak, di sana juga banyak rangkaian lilin yang aromanya menusuk kedua hidung. Dan juga banyak bunga yang mengisi tiga buah vas pendek dan besar.

Di salah satu pojok ruangan itu terletak satu set perlengkapan bermain catur yang terbuat dari bahan MDF (Medium Density Fiberboard) yang sangat halus permukaannya dan ikatan-ikatan antara materialnya sangat kuat sehingga MDF ini sangat awet, dari dulu sampai sekarang papan catur itu masih sangat bagus dan berfungsi dengan baik, Kakek Robert juga menyimpannya dengan sangat baik.

Di tempat itu ia kalah dalam banyak pertandingan besar penuh perselisihan. Kakek Robert yang memiliki wajah bulat dengan ekspresi tak bersalah dan jarinya yang gemuk serta pendek adalah pemain curang yang paling jago dan suka memaksa. Rachel tak pernah bisa begitu saja menerima kekalahan. Mungkin karena itulah Kakeknya begitu senang mengalahkannya, dengan cara jujur maupun curang.

Sinar matahari yang suram dan menjemukan menerobos melewati tiga jendela melengkung. Cocok sekali dengan suasana hatinya pada acara itu, Rachel membatin.

Rachel menyayangi Kakek Robert dengan caranya sendiri yang teramat luas, tak terbatas dan sangat tulus, ia mengakui dan menerima segala keanehan pria itu. Kakek Robert mungkin memang telah berumur Delapan puluh lima tahun, tapi ia tak pernah menjengkelkan maupun cerewet.

Sebulan sebelum kematian Kakek Robert, mereka berdua sempat pergi memancing dan mereka melanggar, menerobos masuk ke danau tersebut, sebetulnya danau itu di miliki dan di budidayakan oleh tetangga Kakek Robert. Mereka berdua menangkap ikan lebih banyak dari yang dibutuhkan oleh mereka, lalu mereka mengembalikan setengah lusin ikan yang sudah di dapatkan ke pemiliknya dalam keadaan sudah dibersihkan dan dibekukan.

Rachel akan merindukan Kakek Robert dengan wajah bulat tembamnya, suara tinggi penuh melodi beserta humor liciknya. Lewat fotonya yang berbingkai mewah yang digantung setinggi tiga meter di dinding, pria itu menatap Rachel dengan senyum menyeringai sama seperti yang dilayangkannya waktu itu, sehabis Kakek Robert mendapatkan uang senilai seratus lima puluh miliar ataupun dengan menyuguhkan gelas yang cacat pada seorang wakil gubernur yang tak pernah Rachel duga sebelumnya, bahwa Kakeknya akan menyuguhkan gelas cacat kepada wakil gubernur itu.

Sekarang Rachel merindukannya. Tak ada orang lain di keluarganya yang lucu dan aneh seperti Kakeknya, dan cuman Kakek Robert yang bisa memahami dan menerima Rachel apa adanya. Itu satu alasan lagi mengapa Rachel sangat menyayangi Kakek Robert.

Suasana hati Rachel tak karuan karena duka yang ia rasakan, ditambah lagi kepalanya pusing karena mendengarkan Zephaniah yang terus-menerus berbicara mengenai kendala-kendala teknis pada surat wasiat Kakek Robert.

Diara Tito memang bukan orang yang praktis dalam melakukan sesuatu ia selalu mengatakan bahwa jika kau akan melakukan sesuatu, lakukanlah sampai tenagamu habis. Dia tidak pandai dalam berbicara hanya saja sok oke dalam berbicara.

Rachel tak perlu merasa repot-repot menyembunyikan ketidak tertarikannya pada acara itu, lalu Rachel melakukan “pengamatan menyeluruh” terhadap hadirin lain di perpustakaan tersebut. Rachel berfikir bahwa Kakeknya saat ini sedang menertawakan para penduka karena hal ini akan menjadi lelucon baginya. Karena banyak saudara-saudara yang berdatangan untuk membahas surat wasiat Kakek Robert untuk mendapatkan warisannya.

Saat ini hadir putra dari Kakek Robert, Paman Diara Yosef, beserta istrinya. Siapa namanya? Nina, Manda? Ah, masa bodoh, apakah itu penting? Rachel melihat mereka duduk bersandar dengan tegang dan memasang sikap waswas, berbalut pakaian hitam-hitam yang tampak serasi. Mereka membuat Rachel membayangkan burung-burung gagak di atas kabel telepon yang tengah menunggu sesuatu terjatuh di bawah kaki mereka.

Sepupu Bianca Cornelia yang sangat manis, cantik, dan tak berbahaya, namun terlihat sedikit agak songong. Bulan ini rambutnya berwarna pink ala-ala Rose black pink.

Sepupu Yagil yang baik hati mengenakan setelan hitam Brooks Brother-nya. Ia duduk bersandar, sebelah kaki disilangkan di atas kaki yang lain seolah-olah sedang menonton pertandingan bola. Ia datang bersama istrinya yang kalau tidak salah namanya Laura? yang raut wajahnya rapi dan penuh hormat. Menurut sepengetahuan Rachel, wanita itu tak akan mengutarakan sepatah kata pun kecuali mengulangi ucapan Yagil. Kakek Robert menyebutnya juga sebagai orang bodoh, menjengkelkan, serta konyol. Dan Rachel sependapat dengan kakek Robert.

Di sini juga ada Paman Walt yang bertubuh gempal dan terlihat tampak sukses, ia mengisap sebatang rokok di tangannya meskipun jelas-jelas saudara perempuannya, Paulin mengibas-ngibaskan saputangan putih kecil di depan hidung. Mungkin karena itulah Paman Walt melakukannya, ralat Rachel. Paman Walt paling suka membuat saudaranya yang kurang merasa nyaman di dekatnya.

Sepupu David kelihatan macho dan berotot, tapi tak sehebat istrinya yang tangguh dan atletis, yang bernama Mega. Mereka berdua berjalan kaki di sepanjang jalanan Labuan Bajo saat bulan madu mereka. Kakek Robert bertanya-tanya apakah kedua suami-istri itu melakukan peregangan ataupun melatih otot terlebih dahulu sebelum bercinta.

Pemikiran itu membuat Rachel terkekeh. Diredamnya tawanya itu setengah hati, tepat sebelum pandangannya melayang ke sepupu Jenson. Rasanya agak bodoh kalau kau tidak membicarakan soal hubungan darah. Ibu Jenson adalah cucu keponakan Kakek Robert. Hubungan yang rumit bukan? pikir Rachel. Tapi Jenson pun memang seorang pria yang sangat rumit.

Rachel dan Jenson tak pernah akur, meskipun gadis itu tahu bahwa Kakek Robert sangat menyukai Jenson. Menurut Rachel, setiap orang yang menyambung hidup dengan cara menulis naskah serial televisi konyol yang membuat orang terpaku pada sebuah satu kotak saja, dan bukan melakukan sesuatu yang berguna, layak disebut parasit materialistis. Ia merasakan sedikit kepuasan saat mengingat ia mengatakan hal itu pada Jenson.

Chapter 02

Rachel tersenyum kala mengingat pernah dengan terang-terangan menyatakan pendapatnya pada Jenson, bahwa tidak ada satu wanita pun yang tertarik kepada Jenson apalagi untuk menari dengan dirinya di sebuah acara pesta, Rachel mengatakan itu pada saat terakhir kali pria itu mengunjungi Kakek Robert. Kakek Robert nyaris terjatuh dari kursinya karena tertawa.

Lalu senyum Rachel memudar. Kakek Robert kini telah tiada. Dan jika ia boleh jujur ada satu hal yang sering Kakek lakukan bersama Jenson. ia bakal mengakui bahwa dari semua orang yang ada di ruangan ini pada saat ini, Jenson lah yang paling menyukai dan menyayangi Kakek Robert selain dirinya sendiri.

Jenson tampak tak berminat dengan situasi ini dan ia terlihat agak sedikit arogan. Rachel memperhatikan wajah pria itu, garis-garis tegas di sekitar bibirnya. Ia selalu menganggap mulut Jenson sebagai aset yang paling berharga, walaupun pria itu jarang tersenyum padanya kecuali untuk memamerkan gigi dan menggeram.

Kakek Robert sangat menyukai tampang Jenson, dan telah mengatakannya pada Rachel untuk menjodohkan mereka berdua. Sebuah kata yang diyakini Rachel sudah pasti telah di lupakan oleh Kakek Robert, setelah kakek Robert sudah tiada, Yah, sebetulnya Kakek Robert belum benar-benar meninggalkan ucapannya untuk menjodohkan mereka berdua, tapi Rachel tetap saja mengabaikannya, ia sama sekali tak tertarik pada Jenson.

Dengan tubuh pendek-bulat yang dimilikinya, mungkin Kakek Robert menyukai tubuh ramping dan jangkung Jenson, juga wajah tirusnya yang tampan. Rachel sendiri mungkin akan menyukainya juga, tapi sayangnya mata Jenson sering memancarkan sorot tidak ramah dan dingin.

Saat ini pria itu kelihatan seperti pahlawan di salah satu serial aksi yang ditulisnya sendiri, ia bersandar di dinding dengan gaya malas-malasan, dan tampak sedikit salah kostum dalam balutan setelan Jas dan dasinya. Rambutnya yang gelap ditata santai dan tak terlalu rapi, seakan-akan tak pernah terpikir olehnya untuk menyisirnya. Ia tampak bosan dan siap untuk beraksi. Aksi apa saja sesuai dengan kemauannya, dia memang pria yang paling random.

Sayang sekali, pikir Rachel, mereka tak bisa lebih akrab. Ia akan senang sekali jika bisa mengenang Kakek Robert bersama-sama dengan seseorang, seseorang yang menghargai sifat-sifat aneh pria itu, dan sifat-sifat lelucon yang di lontarkan oleh pria itu, seperti dirinya yang akan selalu mengenang dan menghargai jasa-jasa Kakek Robert.

Tak ada gunanya memikirkan hal itu. Jika mereka terpilih untuk duduk bersama, pasti mereka akan sibuk mencakar dan menjabak satu sama lain seperti kucing yanb dedang bergulat. Kakek Robert, yang menyeringai dan menatap Rachel di dalam lukisan yang ada di dinding pasti tahu akan hal itu.

Sambil setengah mendesah, Rachel mengucek matanya lagi dan mencoba mendengarkan Zephaniah. Ada sesuatu tentang warisan untuk ikan-ikan paus. Atau mungkin untuk kapal penangkap ikan paus. Semua sodara sodaranya sibuk dengan warisan Eyang Ayu, Zephaniah dengan semangat ingin membacakan warisan Kakek Robert.

Satu jam lagi, pikir Jenson, dan ia akan siap mengunyah daging mentah. Jika ia mendengar satu kata mengingat… lagi. Sambil menarik napas panjang, Jenson berusaha memusatkan perhatian. Ia hadir di acara ini karena menyayangi si tua sinting itu. Jika hal terakhir yang bisa dilakukannya untuk Kakek Robert adalah berdiri di sebuah ruangan bersama sekumpulan “burung hering” dan mendengarkan pembacaan wasiat yang bertele-tele, ia akan melakukannya. Kalau sudah selesai, ia akan menuangkan segelas penuh brendi untuk dirinya sendiri dan bersulang secara pribadi untuk pria tua itu. Robert selalu menggemari brendi.

Sewaktu Jenson masih remaja, penuh imajinasi, dan orang tuanya tak mau mengerti, Kakek Robert lah yang bersedia mendengarkan celotehnya, dan mendorongnya untuk berkhayal. Setiap kali ia mengunjungi perpustakaan, kakeknya itu menuntut sebuah cerita. Kakek Robert akan bersandar dengan mata terbelalak dan antusias, sementara Jenson bercerita. Jenson tak pernah melupakan hal itu jika di ingat ingat ia sangat merindukan hal itu, dia rindu dengan Kakek Robert, pria tua yang selalu ada untuknya.

Saat Jenson menerima penghargaan saat mengikuti lomba olimpiade di sekolahnya, Kakek Robert sangat bangga kepada Jenson, dan Jenson pun mempersembahkan piala itu kepada Kakeknya. Pada saat itu kakeknya sangat mendukung dan selalu memberi semangat kepada Jenson, dan Piala itu sampai kini masih ada di kamar tidur Kakek Robert, meskipun pria tua itu sudah tidak ada lagi.

Jenson mendengarkan suara membosankan milik Si pengacara, sambil mengharapkan sebatang rokok. Ia baru berhenti merokok dua hari yang lalu. Dua hari, empat jam dan tiga puluh lima menit. Ia bisa saja menyambut daging mentah itu.

Ia merasa tercekik berada satu ruangan dengan orang-orang ini. Mereka semua menganggap kakek Robert sudah setengah gila dan agak rewel. Tanah senilai seratus lima puluh miliar miliknya, itu soal lain. Saham dan surat obligasi yang dimilikinya sungguh-sungguh berlimpah. Jenson sudah beberapa kali mengamati perabotan perpustakaan itu. Perabot besar gaya Georgian mungkin tak cocok dengan gaya hidup mereka yang lurus-lurus saja, tapi tentu saja perabot itu mudah ditukar dengan sejumlah uang yang banyak. Jenson tahu benar pria tua itu, sangat menyayangi setiap kursi yang berada di sudut ruangan itu dan setiap meja berukuran sangat besar yang ada di rumah itu.

Ia tak yakin orang-orang ini pernah berkunjung ke rumah besar kakek Robert selama sepuluh tahun terakhir. Kecuali Rachel, ia mengakui dengan segan. Wanita itu mungkin memang menyebalkan, tapi Rachel sangat menyayangi Kakek Robert.

Saat ini Rachel kelihatan sangat sedih. Sebelumnya Jenson rasanya tidak pernah melihat Rachel sedih seperti ini, apa mungkin gadis itu sekarang merasa jengkel, marah besar, dan tidak bahagia. Jika ia lebih tahu, ia akan duduk di samping Rachel, menghiburnya, dan menggenggam tangannya. Rachel mungkin akan memelintir tangannya.

Tapi tetap saja, mata birunya yang indah tampak merah dan bengkak. Nyaris semerah rambutnya, renung Jenson, saat mengamati rambut ikal Rachel yang liar tergerai di bahu, tanpa memperhatikan keseriusan maupun sikap gadis itu saat ini. Rachel begitu pucatnya sampai bintik-bintik di sekitar hidungnya pun tampak jelas. Biasanya kulit Rachel yang berwarna sawo matang ini menunjukkan kesehatannya. Tetapi saat ini tidak, yang di lihat oleh Jenson saat ini adalah kemarahan dan kesedihan yang terpancar di wajah Rachel.

Duduk di antara keluarganya yang bersetelan hitam-hitam dan bertampang khidmat, Rachel kelihatan menonjol, bagaikan kakaktua di antara burung gagak. Ia mengenakan pakaian berwarna biru terang. Wanita itu tidak membutuhkan setelan hitam, juga kain crepe serta bunga lili untuk berduka.

Chapter 3

Rachel masih ingat dengan pendapat Jenson tentang gaya hidup dan karier, saat mereka berselisih. Wanita itu bukannya mengambil keuntungan penuh dari gelar master di bidang pendidikan yang disandangnya, namun Rachel malah sibuk merancang perhiasan untuk sebuah butik ternamaan di ibu kota, itulah yang selalu di kritik oleh Jenson. Jenson menyebut Rachel idealistis, karena Rachel memiliki sifat yang tidak pernah menyerah untuk mencapai cita-citanya

Sementara Rachel menyebut Jenson materialistis, karena Jenson hanya memandang kebahagiaan atau pencapaian dari sisi materi semata saja. Ia juga menjuluki Jenson chauvinist, karena Jenson terlalu berlebihan saat menulis naskah serial televisi yang konyol itu.

Sedangkan Jenson menjuluki Rachel sebagai pseudo intelektual, karena dia adalah seorang yang hanya ingin terlihat pintar dalam satu topik tanpa benar-benar paham apa yang sedang mereka bicarakan.

Robert selalu duduk dengan tangan terlipat setiap kali mereka berdua berdebat. Sekarang setelah Kakek Robert telah tiada, tidak ada lagi kesempatan untuk bertempur lagi.

Anehnya Jenson menganggap pertempurannya dengan Rachel sebagai sebuah alasan untuk dirinya merindukan Kakeknya. Sebenarnya, ia tak pernah merasakan ikatan kekeluargaan seerat ini terhadap siapa pun kecuali kepada Kakek Robert.

Jenson tak terlalu sering memikirkan orang tuanya sendiri. Ayahnya berada di Padang bersama istri keempatnya, dan ibunya telah tinggal dengan suami nomor tiganya. Mereka tak pernah memahami putranya yang memilih untuk mencari nafkah di bidang yang begitu sulit seperti televisi.

Tapi Kakek Robert bisa mengerti dan memahaminya lebih dari itu, juga lebih penting bagi Jenson, kakek Robert menikmati karya-karyanya.

Seringai terpampang di wajah Jenson kala mendengar Zephaniah memaparkan dengan bertele-tele wasiat tentang ikan paus yang kelaparan. Benar-benar ciri khas Robert, desis tak sabar keluar dari mulut mereka.

Seratus lima puluh miliar baru saja lolos dari jangkauan mereka. Jenson mendongak untuk memandangi potret Kakeknya yang berukuran lebih besar dari aslinya. “Satu-satunya masalah di sini ialah kau tidak ada di sini untuk menertawakan surat wasiat yang kau tulis," gumam Jenson pada foto kakek Robert.

“Kepada putraku, Diara Yosef…” Semua celotehan dan bisikan sekonyong-konyong sirna sewaktu Zephaniah berdeham. Rachel mengamati kerabat-kerabatnya dan mulai menaruh perhatian pada mereka saat wasiat untuk amal dan para pegawai telah dibacakan, kini giliran bagian utama yang ditung-tunggu.

Zephaniah mendongak singkat sebelum melanjutkan, “Yang sudah memiliki kehidupannya sendiri, tetapi terlihat sedang-sedang saja. Kutinggalkan seluruh koleksi trik-trik sulapku dengan harapan dia dapat mengembangkan kegilaan dalam dirinya.”

Rachel tersedak di balik tisunya dan melihat raut wajah Paman Yosef yang berubah merah padam. “Score pertama untukmu, Kakek Robert.” batin Rachel seraya bersiap-siap untuk tertawa, ia berpikir mungkin Kakek Robert akan melimpahkan keseluruhan harta dan bisnisnya pada panti asuhan atau panti jompo.

“Kepada Bradley dan Lorraine, kuberikan doa terbaik untuk kalian berdua, sebab mereka tidak membutuhkan yang lainnya.”

Rachel menelan ludah sambil berupaya membendung air matanya saat mendengar nama kedua orang tuanya disebut. Malam itu ia sudah menelepon orangtuanya yang tengah berada di Kalimantan. Orangtuanya akan menerima apa pun yang di berikan kakek Robert.

“Kepada keponakanku Walt yang pernah aku berikan uang seratus ribu pertama dari hasil pembukaan bisnis minuman coklatku, kini kuberikan uang seratus ribu terakhir dari hasil penutupan bisnis tersebut, lengkap dengan bingkainya. Kepada keponakanku, Paulin, kuwariskan pondokku di Bandung tanpa banyak berharap dia memiliki inisiatif untuk menggunakannya.”

Walt tersedak cerutunya sementara Paulin tampak ketakutan.

“Untuk cucu lelakiku, Yagil, kuwariskan koleksi korek apiku, dengan harapan bahwa dia akan menggunakannya dengan baik, walau pada akhirnya mungkin saja dia akan membakar dunia. Untuk cucu perempuanku yang cantik, Bianca, yang juga menyukai hal-hal yang cantik, kutinggalkan cermin yang konon katanya pernah di pakai oleh Rose Black Pink, girlband favoritnya. Kepada cucu lelakiku, David, kuwariskan uang sejumlah 50 juta. Kurasa cukup untuk membeli persediaan beras untuknya seumur hidup.”

Gerutuan yang sudah dimulai sejak pembacaan warisan bagian pertama terus berlanjut dan semakin luas terdengar. Kejengkelan mulai merambat menjadi kemarahan luar biasa. Kakek Robert pasti akan sangat menyukainya. Rachel membuat kesalahan dengan melirik Jenson. Saat ini pria itu tidak seperti biasanya ia tampak tidak ramah maupun asing, tapi penuh rasa kagum. Ketika mereka bertemu pandang, tawa kecil yang sudah berusaha ditahan oleh Rachel keluar juga. Itu membuatnya dipelototi oleh beberapa orang.

Diara Tito bangkit, kemarahan pun tak terkendali. “Mrs. Zephaniah,” ucap Tito.

“Wasiat Ayahku itu tak lebih dan sekadar olok-olok. Sudah jelas pikirannya sedang tidak waras saat membuatnya, jadi pembagian warisan ini sangat tidak masuk akal, harta Ayahku sangat banyak, tidak mungkin dia tidak memberikan uang sepeser pun kepada anaknya, aku juga tak punya keraguan bahwa pengadilan akan menolaknya,” lanjut Tito lagi.

“Mr. Tito.” Sekali lagi Zephaniah berdeham. Matahari mulai menampakkan diri dari balik awan, tapi sepertinya tak ada orang yang memperhatikan. “Aku sangat memahami perasaanmu pada masalah ini. Bagaimanapun juga, keadaan klienku pada saat membuat surat wasiat ini sangat lah baik. Beliau mungkin membuatnya tidak sesuai dengan harapan mu, tapi wasiat itu sah dan mengikat. Kau, tentu saja, bebas berkonsultasi dengan penasihat hukummu sendiri. Saat ini, masih banyak lagi yang perlu ku bacakan.”

“Omong kosong.” Ucap Walt sambil mengembuskan asap cerutunya dan memelototi semua yang hadir. “Omong kosong,” ulangnya saat Mega menepuk lengannya dan menggeleng percuma.

“Kakek Robert menyukai omong kosong,” ucap Rachel seraya merem*s tisunya, ucapannya mengalihkan perhatiannya dari duka. “Kalau kakek Robert mau mewariskan uangnya untuk Yayasan, itu adalah haknya. Itu adalah uangnya jadi suka-suka dia mau di kemanakan uangnya.”

“Gampang sekali kau bicara seperti itu.” Yagil mengosok-gosok kuku-kuku di pangkuannya hingga mengilat. Bulatan emas pada jarinya tertimpa sinar matahari dan berkilau-kilau. “Mungkin si tua sinting itu meninggalkan gumpalan benang ikat untukmu supaya kau bisa merangkai lebih banyak manik-manik lagi.”

“Kau belum mendapatkan korek apinya, Yagil.” Jenson berujar malas dari pojok tempatnya berada, tapi semua mata tertuju padanya.

“Hati-hati dengan apa yang kau katakan," Yagil membalasnya.

“Kalian semua bisa diam enggak? biarkan dia melanjutkan lagi membacakan suart wasiat itu,” timpal Bianca, dia cukup puas dengan warisan yang akan diterimanya. Gimana tidak puas, warisan yang akan di terimanya pernah di gunakan oleh Rose Black Pink yang sangat di idolakan oleh Bianca, walaupun hanya sekedar cermin.

“Dua warisan terakhir adalah gabungan,” ucap Zephaniah sebelum muncul interupsi lain. “Dan ini, sedikit tidak lazim.”

“Keseluruhan wasiat itu tidak lazim,” geram Yosef, lalu berdeham. Beberapa kepala tampak mengangguk setuju.

Rachel ingat kenapa ia selalu menghindari pertemuan keluarga. Mereka semua membuatnya bosan setengah mati. Hampir secara sengaja, ia melambaikan tangan di depan mulut dan menguap. “Bisakah kita mendengarkan sisanya, Mrs. Zephaniah, sebelum keluargaku lebih mempermalukan diri mereka sendiri?”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!