NovelToon NovelToon

Abang Penjual Sate, Imamku

Perkenalan

Dia adalah Andika Razka Pratama, orang-orang biasa memanggilnya Razka. Tidak ada yang tahu siapa dan dari mana asalnya. Hidup berdua dengan sang Nenek di kota kecil namun padat penduduk. Ia tak pernah tau di mana orang tuanya berada dan seperti apa rupa keduanya.

Sejak duduk di bangku SMP ia sudah mencari uang sendiri untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya sendiri. Membantu sang Nenek dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Dengan bekerja kepada seorang Juragan Sate, ia dan beberapa lelaki lainnya akan mengambil sate di rumah Juragan itu untuk diperjual-belikan.

Namun, saat ia mulai memasuki masa kuliah, ia belajar membuat sate sendiri dengan dibantu oleh sang Nenek.

Awal mula ia berjualan secara keliling ke gang-gang yang ada di kota tersebut. Tapi kini ia sudah memiliki tempat sendiri di pusat kota yang tak jauh dari tempat tinggalnya.

Seperti saat ini, ia tengah merapikan keperluan jualannya di tempatnya berdagang. Berjejer dengan pedagang-pedagang lainnya yang memang disediakan oleh pemerintah setempat.

Ia mulai membuka kedainya, merapikan meja dan kursi menyiapkan perapian untuk memanaskan panggangan.

Dan saat itu,

"Kakak!" Suara seseorang yang sudah sangat dikenalnya membuatnya mengalihkan perhatiannya.

"Aaaahhh. Gadis kecilku! Sudah datang?" Ia menghampiri gadis itu dan mengacak rambutnya membuat gadis itu mengerucutkan bibir. Uuuhhhh sungguh lucu dan menggemaskan.

"Kakak, Emil sekarang sudah besar, bukan gadis kecil lagi seperti dua tahun lalu." 

Rupanya ia tidak terima dengan sebutan gadis kecil itu.

"Ooohhh, benarkah? Tapi bagi Kakak kau tetap gadis kecil Kakak yg imut dan cantik, dan pasti Kakak sayang." 

Ow lihatlah dia mengatakan itu sambil tersenyum manis sekali, menampakan lesung pipinya membuat pipi gadis itu merona.

"Mm manisnya! Emil suka Kakak tersenyum seperti ini, sangat tampan."

Gadis itu tidak berbohong, Razka memang seorang pemuda yang tampan, mata bulat, hidung kecil yang mancung, bibir tipis dan alis yg tebal menegaskan karakternya.

"Oh. Rupanya gadis kecilku sudah pandai merayu ya."

Dicubitnya pipi gadis itu dengan gemas. Emil hanya tersenyum menanggapi. Lalu mereka berdua larut dalam obrolan ringan dan sesekali tertawa.

Begitulah, setiap akhir pekan Emil akan datang membantu Razka di kedainya. Sambil menunggu para pembeli untuk menikmati sate miliknya mereka akan mengobrol dengan santai.

Tapi saat pembeli sudah mulai berdatangan mereka berdua akan sibuk melayani.

Razka amat menyayangi Emil, baginya Emil sudah ia anggap seperti adik kandung sendiri. Meski awal pertemuan mereka tidak semanis seperti saat ini.

Emil yang tak pernah mendapatkan kasih sayang dari orang di sekitarnya. Bahkan orang tuanya sekalipun.

Bersama Razka, gadis itu dapat merasakan kasih sayang yang amat besar. Ia merasa seperti menemukan sosok Kakak sekaligus Ayah baginya. Dengan perlakuan lembut dan penuh kasih sayang dari Razka, ia seperti hidup kembali.

Di rumah ia selalu diperlakukan tidak adil, bahkan kerap mendapatkan perlakuan kasar dari saudara-saudaranya. Dan kedua orang tuanya, mereka berdua acuh seolah Emil memang layak mendapat perlakuan seperti itu.

Tidak seperti Razka, meskipun ia orang lain bukan siapa-siapa bagi dirinya, namun Razka mencurahkan kasih sayang yang melimpah untuknya. Razka tak pernah segan untuk memberi nasihat saat ia melakukan kekeliruan, dan tak sungkan memeluknya saat ia sedang merasakan kesedihan untuk menyalurkan kehangatan kasih sayang dan memberi ketenangan.

Emil selalu merasa tenang berada dalam pelukan Razka. Saat ia merasa dunia ini ingin menghimpitnya. Nasihat yang Razka berikan selalu membuat Emil kembali bersemangat untuk hidup. Ia tidak boleh terpuruk dan putus asa. 

'Kakak, Emil ingin hidup bersama Kakak,' gumamnya dalam hati. Selalu kalimat itu yg ia katakan dalam hatinya saat ia diperlakukan kasar oleh semua orang yang berada di rumahnya.

'Sabar sayang. Kebahagiaan pasti akan menghampirimu.' 

Kalimat itu terus diucapkan Razka untuk memberi ketenangan pada jiwa Emil yg terguncang. 

Semua orang akan menyangka mereka berdua memang Adik Kakak. Karna ada sedikit kemiripan pada wajah mereka di bagian mata dan bibir. Hanya bedanya Razka memiliki titik hitam seperti tahi lalat di bagian putih matanya. Sedangkan Emilia ia pun memiliki titik hitam di bawah mata kanannya.

Pagi Hari

Menjelang pagi, semua akan disibukkan dengan kegiatan pagi mereka. Untuk pergi bekerja atau pun untuk bersekolah. Berbeda dengan Razka, ia harus bangun sebelum subuh lalu pergi ke pasar untuk membeli keperluan dagangannya. Ia akan berangkat sebelum subuh ke pasar dan akan sampai di rumah saat adzan subuh berkumandang.

Setelah melaksanakan Shalat Subuh ia langsung mempersiapkan keperluannya berjualan sate. Memotong-motong daging ayam, membuatnya menjadi potongan kecil-kecil lalu ditusuk menjadi sate.

Setelah itu ia akan menyimpannya di lemari es karna ia akan berjualan setelah kuliah nanti. 

" Aaahhh, alhamdulillah akhirnya selesai juga. Waktunya bersantai sebelum ke kampus."

Ia berjalan ke teras rumah menikmati pemandangan pagi hari yang cerah ini. Matahari masih malu-malu untuk menampakan dirinya ke atas, ia hanya memancarkan cahaya warna-warna pagi yang indah. 

"Nak! Kenapa masih di sini? Bukankah kau harus ke kampus?" 

Tiba-tiba suara renta itu membuyarkan lamunannya. Ia menoleh, mendapati Neneknya yang berjalan perlahan mendekati. Lalu tanpa diminta ia pun berjalan menghampiri Nenek dan menuntunnya untuk duduk di bangku di teras tersebut.

"Iya, Nek. Aku ke kampus hari ini. Tapi ini masih pagi. Jadwalku nanti nek jam 09.00."

Lembut sekali ia menjawab perkataan Neneknya. Ia berjongkok di hadapan sang Nenek. Digenggamnya jemari renta itu lalu diciumnya dengan lembut seolah mengatakan 'Terimakasih karena sudah merawatku'. Namun,

"Tuan Muda!" Seketika panggilan itu membuatnya menegang. Ia melirik dengan sudut matanya tajam pada sumber suara tersebut. Terlihat laki-laki paruh baya berdiri dengan salah tingkah, seolah ia telah salah berucap. Ia melepaskan genggaman tangannya pada Nenek lalu perlahan bangkit tanpa menoleh.

"Sudah berapa kali aku katakan, Paman? Jangan menyebutku seperti itu. Aku muak mendengarnya. Apa Paman tidak lihat aku ini hanya penjual sate, senang sekali Paman menggodaku dengan sebutan Tuan Muda." 

Ia menoleh dengan tatapan dingin dan tajam, membuat laki-laki itu semakin salah tingkah.

"Maaf, maafkan Paman, Nak! Paman terlalu terbiasa memanggilmu seperti itu. Entah kenapa, tapi Paman suka memanggilmu begitu."

Tidak ada penyesalan di raut wajah lelaki itu, yang ada hanya raut bangga yang ia tunjukkan seolah apa yang ia katakan memang benar adanya.

" Tapi aku tidak suka, Paman. Ah, sudahlah! Aku akan bersiap ke kampus."

Ia berbalik meninggalkan  mereka berdua.

"Kau senang sekali menggodanya Max, padahal dia sangat tidak menyukai itu" 

Nenek membuka suara setelah kepergian Razka.

"Maafkan saya, Nyonya. Tapi cepat atau lambat Tuan Muda harus terbiasa dengan sebutan itu." 

Lelaki itu menjawab penuh penegasan.

"Aku tau itu, tapi untuk saat ini biarkan dia seperti itu. Biarkan dia membuka peluang usaha sendiri dan mencari jati diri. Aku hanya ingin Cucuku itu tumbuh kuat dalam kehidupan yang kejam ini, Max."

Mata renta itu begitu meneduhkan siapa saja yang memandangnya, mata itu tak pernah memancarkan kilat kemarahan. Ia selalu lembut saat berbicara dan pandangannya selalu menyejukkan.

"Saya mengerti, Nyonya." Ia menjawab sambil menunduk.

Tap tap tap

Selang beberapa saat, suara langkah dari dalam rumah mendekat ke arah ke duanya. Raut wajah yang selalu dingin saat berhadapan dengan orang lain tapi tidak saat ia berhadapan dengan sang Nenek.

" Nek, aku ke kampus ya. Nenek harus sarapan dan istirahat, jangan banyak bekerja. Aku ingin saat aku pergi Nenek sehat dan saat aku kembali Nenek juga sehat." Ia meraih jemari renta Neneknya lalu menciumnya. Nenek tersenyum dan tangan satunya bergerak mengusap kepala Cucunya dengan lembut. Nenek tidak menjawab ia hanya mengangguk.

" Paman Max, aku titip Nenek. Pastikan tidak terjadi apa-apa pada Nenek sampai aku pulang nanti," pintanya. Tidak terdengar seperti permohonan. Melainkan seperti sebuah titah yang harus dipatuhi.

"Iya, Nak! Paman mengerti. Istri Paman akan menemani Nenek di sini." Memberikan jawaban yang membuat Razka merasa aman meninggalkan Neneknya 

"Baiklah. Aku berangkat."

Ia berlalu pergi meninggalkan rumah sederhana itu dengan mengendarai motor bututnya.

"Tuan Muda persis seperti Tuan Besar aura kepemimpinannya sudah dapat saya rasakan."

Ia berbicara dengan bangga setelah kepergian Razka.

"Kau benar! Itu memang Cucuku putra dari anakku."

Kampus

Hari yang begitu cerah, matahari mulai menampakan senyum merekahnya untuk memberi kehangatan pada setiap insan yang mendambanya. 

Memberikan segenap harapan pada jiwa-jiwa yang lemah agar dapat bangkit dari keterpurukan untuk menggapai apa yang menjadi cita-citanya.

Jalanan di kota kecil ini cukup padat oleh pengendara yang melintas di sana. Kendaraan yang seolah tiada habisnya membuat kota kecil ini terlihat seperti kota yang penuh dengan kesibukan.

Dengan semangat membara Razka mengendarai motor bututnya untuk pergi ke kampus membelah jalanan kota yang cukup padat kendaraan. 

Setelah beberapa saat ia tiba di parkiran kampus dan segera menepikan motornya di sana, agak jauh dari kendaraan lainnya yang jika dilihat hampir semuanya adalah kendaraan beroda empat yang terlihat mewah di mata Razka. Tapi itu tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap pergi ke kampus. Karena ia telah berusaha keras untuk mendapatkan beasiswa agar dapat kuliah di kampus tersebut.

Kampus yang cukup terkenal di kota kecil itu, kampus yang mewah yang seluruh mahasiswa nya adalah anak-anak konglomerat. 

Saat ia mulai melangkahkan kaki sebuah suara menghentikannya.

"Hai, Razka? Kau masih membawa motor ini ke kampus?" 

Seorang wanita berjalan melewatinya dan berhenti di hadapannya. Ia tersenyum meremehkan.

"Ku kira kau sudah berubah atau bahkan tak kan pernah datang lagi ke kampus ini setelah kejadian itu. Ternyata aku salah, kau orang yang bersemangat ya, atau kau orang yang tak tahu malu?" 

Ia tersenyum miring, jelas sekali wanita itu sangat meremehkannya. Ia adalah mimpi buruk bagi Razka di kampus tersebut. Jika bisa Razka tak ingin bertatap muka dengannya. Terlalu menyakitkan untuknya bila harus berbicara dengannya, dan ia terlalu muak berhadapan dengan wanita itu. Wanita yang saat ini menjelma sebagai iblis dalam mimpi buruknya.

"...." Razka tak menanggapinya, ia hanya berlalu melewatinya tanpa sepatah kata atau bahkan menoleh padanya. Membuat wanita itu merasa tak diacuhkan oleh Razka.

'Sombong sekali kau Razka, jika

dulu tidak terpaksa, aku enggan sekali mendekatimu. Kau memang tampan tapi tak punya apa-apa'

Ia mencibir dalam hati sambil terus menatap punggung Razka yang berlalu. Ia berdecak kesal lalu pergi dari sana.

Tiba-tiba seseorang menepuk bahu Razka membuatnya tersentak kaget.

"Hei! Kau tak apa? Sepertinya ada yang melamun saat berjalan. Hmmm?" 

Razka hanya memutar bola mata malas menanggapi. Ia terus berjalan tidak mempedulikan temannya yang terus berbicara sambil mengejarnya.

"Hei! Tunggu kau ini! Kenapa selalu meninggalkanku seperti ini saat kau sedang kesal." gerutunya kesal.

Razka berhenti lalu menoleh dan tersenyum miring membuat temannya bergidik ngeri.

"Kau benar, aku memang kesal dan butuh sesuatu untuk pelampiasan. Apa-" Ia menatap temannya lama sebelum melanjutkan perkataannya, "kau saja yang ku jadikan tempat pelampiasan kekesalan ku ini ya?"

Ia berjalan perlahan menghampiri temannya yang sedang berdiam melihatnya dengan takut. Perlahan ia terus maju membuat temannya berjalan mundur untuk menghindarinya.

"Wow. Wow. Santai Man! Aku tahu kau sedang kesal tapi jangan jadikan aku alas untuk bogemmu itu. Aku sudah merasakannya kau tahu, dan aku tak ingin merasakannya lagi." 

Ia terus berbicara sambil berjalan mundur dengan tangan yang diangkat ke atas tanda menyerah. Razka berhenti lalu terkekeh geli melihat temannya itu ketakutan. Perlahan ia menurunkan tangannya sambil mengernyit heran.

"Maaf, dulu aku tidak bisa mengontrol emosiku hingga kau jadi sasarannya. Tapi sekarang aku sudah tidak peduli kau tahu! Ren" Razka berbicara sambil tersenyum. Membuat Rendy bernafas lega dan berjalan menghampiri.

"Aku bangga padamu, kau sudah bisa mengalahkan perasaanmu itu. Aku senang." Rendy menepuk lengan temannya itu lalu berjalan bersama.

"Apa ada masalah? Ku lihat kau tadi melamun. Apa yang kau pikirkan?"

Rendy menoleh pada Razka yang juga menoleh padanya lalu sama-sama menghadap ke depan kembali.

"Tidak ada, aku hanya memikirkan apa yang akan aku lakukan setelah lulus nanti, itu saja. Aku ingin membahagiakan Nenek dan juga ... Adik kecilku. Kau tahu Emil?" Ia menoleh lalu tersenyum setelah menyebutkan nama Emil. Gadis yang selalu terlihat ceria namun ternyata hatinya begitu rapuh.

"Hhhmmm. Kau amat menyayanginya seperti adikmu sendiri ya. Aku iri padamu. Aku pun ingin memiliki little girl sepertinya." Rendy memasang wajah cemberut menampakkan wajah kecemburuannya.

"Hei, sudahlah. Kita harus bergegas sebentar lagi waktunya."  

Mereka ingat, mereka harus segera pergi karena sebentar lagi sidang akan di mulai.

"Semangat!" Keduanya bersorak keras sambil mengepalkan tangan lalu diangkat ke atas.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!