Medan, 3 April 2002
"Zoya, aku masih mau bertanya lo!" seru Zaza kepada Zoya.
"Dari tadi kayaknya kau sudah mengeluarkan seribu pertanyaan, deh." Zoya memasang wajah cemberut walaupun tidak dapat dilihat oleh Zaza.
"Hehehe. Just one question saja, Zoya," pinta Zaza dengan nada memelas.
"Iya, sudah. Mau bertanya apa lagi," jawab Zoya gemas.
"Kau yakin mau melupakan dia?" tanya Zaza ceplos.
"Hm ... absolutely yes. Aku harus berani bertanggung jawab atas apa yang sudah aku mulai, Za," lirih Zoya dengan sorot mata kosong.
"Ta—tapi."
Zaza yang belum sempat melanjutkan perkataannya, sudah diputuskan secara sepihak panggilan telepon oleh Zoya.
"Hebat betul lah kau Zoya, ya, sesukanya saja memutuskan sepihak, aku jadikan semur jengkol baru tahu rasa kau, Zoy," gerutu Zaza dengan masih menempelkan ponsel bermotif nobita di telinganya.
Zaza mengernyit bingung. "Tapi, ya, dipikir-pikir dia mulainya saja belum, sudah mau tanggung jawab saja tuh, anak."
"Ribet, mendingan makan semur jengkol mamak," kata Zaza malas memikirkan ucapan Zoya sambil melompat dari kasur menuju dapur.
°°°
"Woi, dengarkan dulu ini, ya, aku mau memberitahukan info kepada teman-teman aku tersayang. Jangan bising kali kelen kayak di pajak. Eh, tapi sebelum aku bilang, jangan banyak tanya kayak dora, dengarkan dengan khidmat kalau perlu doa dulu," kata Beka ngelantur, sang Ketua Kelas.
"Banyak kali cakap kau, dari tadi mulut kau saja yang mencuap-cuap kayak ikan Koi," ucap salah satu teman mereka.
"Hahaha."
"Ikan koi mahal, ikan naga aja."
"Ikan naga mana ada, Butet."
"Jangan bawa-bawa ikan, ikan enggak tahu apapun."
"Jangan salah kelen, gini-gini ikan bermanfaat untuk otak-otak kelen yang berkebutuhan."
"Hahaha." Gelak tawa terdengar seisi kelas.
"Maafin kami ikan."
"Jangan salah paham, ya, aku tidak bermaksud menyakitimu ... ikan."
"Duh! Udahlah woi sakit perutku ini ketawa aja," teriak salah satu teman mereka sambil memegang perut.
"Hahaha."
"Udah puas kelen ketawaknya?" teriak sang Ketua Kelas.
Semua diam menatap ketua kelas.
"Nah, kita sebentar lagi akan tamat, kami sebagai perangkat kelas ada rencana untuk merayakan, ini simple enggak mengeluarkan uang banyak, karena aku tahu kelen pada mau melanjutkan ke jenjang pernikahan langsung, butuh uang banyak, salah, ya, maksudnya pada yang mau lanjutin pendidikan. Hahaha."
"Kami berniat untuk buat foto dokumentasi dan bakar-bakar."
"Dengan catatan yang dimaksud disini bukan bakar rumah, tapi bakar ayam, daging, sosis, segala macam yang penting bisa dimakan."
"Biaya per orang seratus ribu, gimana setuju enggak kelen ini?" tanya Ketua Kelas.
"Lah pada diam?"
"Jawab ngapa woi."
"Dah kering ini tenggorokan."
"Tapi kau bilang tadi sama kami semua supaya diam, bacot kali kau, ah," ucap Rere kesal.
"Iya, Peres. Aku kan udah tanya pendapat kelen," jawab ketua kelas sambil menghela nafas panjang.
"Nama aku udah bagus-bagus Rere kau ubah seenak jidat jadi Peres. Dasar Bekacot," ejek Rere.
"Aku setuju, karena kebersamaannya lebih dikenang pas kita sudah enggak bersama lagi," ucap Zoya agar melerai pertengkaran.
"Duh, makin lope-lope deh aku ini sama kau," ujar seorang keceplosan.
"Apa kau cakap tadi?" ucap Zaza mendelik.
"Cie ... ciee ... Zahinka cemburu." Sorak sekelas mengejek Zaza.
"Nah, iya setuju."
"Yok, gas keun."
"Wokeh, tancap kita bakar-bakar."
"Masih lama kali, hahaha."
"Nabung pada dulu woi."
"Boro-boro nabung, uang kas saja nunggang kayak gunung," sungut sang Bendahara melotot keseluruh penjuru kelas.
TRING (Bel Istirahat)
Zaza bangkit dari bangkunya lalu berdiri dan mengajak Zoya untuk pergi ke kantin.
"Zoy, yok. Pergi kantin dulu, udah lapar aku ini," ajak Zaza sambil menarik tangan Zoya.
"Hm, iya," gumam Zoya lalu berjalan keluar dari kelas menuju kantin.
"Eh, woi aku ikut lah," teriak Jein setengah berlari menuju kami.
"Aku juga," kata Rere.
"Yaudah, yok," kata Zaza mengangguk.
"Pesan apa kalian?" tanya Jein.
"Pesan hati kau, boleh enggak sih?" ucap Zaza sambil mengedipkan mata.
"Hah? Gak," sergah Jein Jutek.
"Kamu mah tega sama aku, padahal kan kalau aku boleh pesan hati kamu, nanti hati kamu aku beri sama Emak terus dimasak deh jadi sambal hati, pasti enak tuh," celetuk Zaza menyeringai sambil membayangkan masakan Emak.
Jein melotot tajam kearah Zaza.
"Yaudah sini biar aku pesan yang kayak biasa saja ya," tutur Zaza akhirnya mengalah untuk memesan makanan dengan beranjak pergi ke tukang mie ayam.
Setelah beberapa menit memesan, akhirnya makanan pun telah tiba.
"Nih, makan ayo, jangan lupa bayar, enggak pakai ngutang!" seru Zaza nyelekit.
"O, ya, Zoy kau nanti kuliah mau lanjut ke mana?" tanya Rere untuk menghentikan ocehan Jein dan Zaza.
"Zoy, yuhu."
"Zoyanggg."
"Pekak kau, ya, Zoy."
"Zoya Resa Humaira," teriak Zaza.
"Apasih za? Jangan teriak-teriak lah, mengganggu orang tahu." Zoya mencebik kesal karena terkejut akan teriakan Zaza.
"Lah, orang kau yang ngelamun dari tadi," bela Zaza tak terima disalahkan.
"Hehehe. Ada apa?" ucap Zoya mengangkat tangan berbentuk V.
"Kata Rere kau kuliah mau lanjut ke mana?" tanya Jein mengulang perkataan Rere.
"Em, dimana, ya?" Pikir Zoya sambil mengetuk-ngetukan dagunya sambil melihat Jein.
"Malah tanya balik."
"Belum tau sih, jawaban dari yang kalian pertanyakan masih belum sampai di otak aku," jawab Zoya sambil menyengir kuda.
"Yaudah, nanti aku sama kau, ya, Zoy." Zaza menatap antusias Zoya.
"Kau, ya, Za ikut-ikutan saja sama si, Zoy," sindir Rere.
"Kami mah berdua bestfriend, ya, enggak, Zoy?" Senggol Zaza ke Zoya.
"Whatever," tukas Zoya datar.
Zaza mendelik melihat Zoya saat mendengar jawaban dari Zoya.
Setelah selesai makan, mereka semua menuju kelas.
"Zoya, aku mau ngomong sesuatu." Cegah Jein saat Zoya hendak masuk ke kelas.
"Itu kau lagi ngomong," jawab Zoya dengan tersenyum manis.
"Eh, maksud aku ada yang mau aku bicarakan sama kau."
"Duh, kok aku yang deg-degan, ya, mau bicarakan apa Jein?" tanya Zoya penasaran.
"Aku ..." Saat Jein hendak mengatakan sesuatu tetapi terhenti karena bel masuk berbunyi.
"Yah ... udah bel masuk, nanti saja, ya," jawab Zoya sambil masuk ke kelas.
Jein hanya mengangguk.
"Lamaan kau sih, Jein." Jawab Jein dalam hati.
°°°
"Assalamualaikum, I'm home," ucap Zoya masuk kerumah.
"Wa'alaikumsalam, Kak," jawab adik Zoya.
"Bunda di mana, Dek?" tanya Zoya sambil duduk di sofa dekat ruang keluarga.
"Bunda lagi membuat kue brownies, Kak."
"Oh."
Zoya pergi ke kamar dan bergegas untuk mandi agar bersiap-siap pergi ke tempat kursus.
"Zoya makan dulu," teriak sang bunda, Reina.
"Iya, Bunda," teriak Zoya dari dalam kamar.
"Ini nanti dimakan browniesnya, berikan juga sama Za," ucap Reina ketika melihat Zoya melangkah ke meja makan.
"Iya, Bun," jawab Zoya sambil mengunyah makanan.
"Kalau makan jangan sambil bicara," terang Reina.
"Tapi-"
"Udah-udah cepat, nanti kamu telat, Kak."
"Serba salah aku," ucap Zoya dalam hati.
"Zoy berangkat dulu ya, Assalamualaikum." Zoya mengambil tangan dan menyalim Reina.
Zoya berangkat menggunakan sepeda motor pemberian sang Ayah.
°°°
"Siang, Kak," sapa Zoya kepada tentor dengan tersenyum manis.
"Siang, Zoy."
Zoya masuk ke kelas.
"Assalamualaikum."
Zoya memegang knop pintu lalu membuka perlahan pintu kelas.
"Waalaikumsalam," jawab seorang cowok dari dalam.
Zoya duduk di kursi yang biasa ia tempati.
"Duh, ini jantung kayak dikejar angsa waktu itu," ucap Zoya dalam hati.
"Manalah yang lain, lama kali, apa keluar aja dulu ya, nunggu di luar." Zoya bermonolog sendiri didalam hati.
"Iya, deh keluar saja dulu."
"Dari pada ada setan mengganggu niat awal, jadinya runtuh benteng pertahanan yang sudah aku bangun ribuan tahun," kata Zoya berbicara dalam hati.
Zoya bangkit dari tempat duduk lalu keluar dari kelas dengan cekikikan sendiri atas percakapan di kepalanya.
"Nah, berduaan kelen, ya," pungkas Zaza dari belakang.
"Shut up."
Zaza mengernyit bingung atas perkataan Zoya. "Apa artinya?"
"Za jelek."
"Aku kan cantik sih, Zoy!" seru Zaza.
"Namanya juga cewek pasti cantik dong," ejek Zoya memeletkan lidah.
"Susah ngomong sama kau." Kesal Zaza menepuk lengan Zoya.
"Enggak usah ngomong."
"Zoy, serius ini."
"Hm."
"Apasih Za, serius apaan?" jawab Zoya sambil melihat-lihat papan pemberitahuan.
"Kau pasti deg-degan, ya, kalau dekat sama dia?" tanya Zaza.
"Ya, iyalah kau pun." Zoya memutar bola mata malas.
"Yaudah jangan ngegas juga, bilang ke dia kalau kau suka sama dia."
"Enggak segampang itu Za, ada hal yang membuat aku enggak bisa bilang ke dia."
"Apa emangnya?"
"Hati." Sambil duduk di sofa kursusnya.
"Hati? Tapi hati kau kan udah tahu kalau kau ada rasa sama dia. O, ya, ngerti, hati si dia, ya?" tebak Zaza menatap mata Zoya.
"Iya za, aku belum siap kalau aku bilang ke dia nantinya dia makin biasa aja ke aku, makin enggak pernah ngomong, tegur ataupun lihat aku, that's a point," ucap Zoya murung.
"Emang kelen enggak pernah ngomong?" tanya Zaza.
"Pernah sih pernah, tapi you know what I mean exactly," ucap Zaza cepat.
"Zoy, kok kau enggak masuk?" sapa Cece teman sekelas kursus Zoya yang hendak masuk ke kelas.
"Eh, ya, Ce. Duluan aja."
"Oke."
"Aku ke kelas dulu, Za," ucap Zoya meninggalkan Zaza yang masih termenung.
Zaza hanya mengangguk.
"Terbuat dari apa sih itu hati? Sanggup dia menyimpan sendiri perasaannya," tutur Zaza dengan raut sedih.
°°°
"Siang semuanya," sapa pengajar bimbel sambil memulai pembelajaran.
"Kalian harus selalu semangat, ya, jangan pernah menyerah, karena dunia enggak semudah yang kita kira."
"Iya, Kak."
"Iya."
"Siap, Kak."
"Yaudah, coba kalian kerjakan soal ini, ya," ujarnya memberikan arahan.
"Iya, Kak," ucap murid yang berada di kelas.
"Zoya, ini gimana, ya?" tanya Lisa dari belakang.
"Yang ini menurutku kalimatnya itu Present Continuous Tense, kita masukin aja rumusnya. Jadi, jawabannya adalah B," terang Zoya sambil menghadap ke belakang.
"Duh, padahal enggak lagi melihat dia tapi kok rasanya lagi diliatin," ucap Zoya dalam hati.
"Zoy, rumusnya itu S + is,am,are + V - ing + adverb of time kan?" tanya seorang cowok yang berada di sudut.
Zoy kesentak karena melamun. "Eh, iya itu rumusnya," jawab Zoya gelagapan sambil melihat matanya sekilas lalu berpaling.
"Oke, makasih, ya."
Zoya cepat-cepat kembali menghadap ke depan.
"Iya," dengan perasaan yang campur aduk.
Nanyang Technological University, Singapura.
"Anyone to ask about this material?" tanya dosen kepada semua mahasiswa yang berada di kelas.
"No, Mr."
"I already understand Mr," jawab seluruh mahasiswa kecuali Zoya yang asyik melamun.
"How about you Zoya?" panggil dosen kepada Zoya.
"Zoya," panggilnya lagi.
"Hey, you girl, listen to Mr. Anggara," bisik teman Zoya.
"Zoya Resa Humaira," panggil Mr. Anggara sekali lagi.
"Oh, yes Mr," jawab Zoya gelagapan sambil berdiri.
"Sorry Mr. Did I make a mistake?" tanya Zoya waswas sambil memilin ujung kemejanya.
"Of course you did," jawab Mr Anggara tegas dan menatap tajam ke arah Zoya.
"Time's up, thanks for today class," pamit Mr. Anggara sambil berjalan ke luar kelas.
"What are you thinking, Zoy?" tanya temannya.
"I don't know," jawab Zoya sekiranya.
"Are you okay?" tanya Sean cemas melihat keadaan Zoya.
"I don't really okay."
"Better you take a break or you have to eat some your liked food," papar Sean kepada Zoya.
"Thanks Sean," ucap Zoya tersenyum.
"I must go on, bye."
"Okay, bye."
°°°
Zoya pergi untuk menemui Mr. Anggara di ruangan yang telah disediakan untuk para dosen.
TOK TOK TOK
"Excuse me, Mr," ucap Zoya dengan hati-hati sambil mengetuk pintu.
"Oh, Zoya. Silahkan masuk." Mr. Anggara mempersilahkan Zoya masuk.
"Pak, saya memohon maaf karena kesalahan saya di kelas Bapak tadi," ujar Zoya penuh penyesalan sambil menunduk hormat.
"Saya tahu kamu tadi sedang tidak berada di kelas saya," tukas seorang pria bermata tajam tersebut.
"Jika kamu ada masalah cepat diselesaikan, tidak baik berlarut-larut dalam masalah," lanjutnya lagi.
Zoy tercengang. "Sok tahu banget nih, dosen," pekik Zoya dalam hati.
"Jangan membicarakan orang Zoya, enggak baik, apalagi Dosen kamu sendiri."
"DOSA," sembur Mr. Anggara menohok.
"Iya, Pak, maaf sekali lagi."
"Kamu minta maaf untuk bagian yang mana?" tanya Mr. Anggara yang membuat Zoya mengernyit kebingungan.
Ketika Zoya ingin membuka suara untuk bertanya, Mr. Anggara menyuruhnya untuk keluar dari ruangan.
"Oke, saya maafkan. Silahkan keluar," selanya tanpa melihat raut kekesalan Zoya.
"Iya, Pak, sekali lagi saya minta maaf dan terima kasih," pamit Zoya sambil berjalan keluar.
Ketika hendak menutup pintu, suara Mr. Anggara kembali terdengar.
"Zoya, jangan lupa untuk salat," Ucap Mr. Anggara tanda menoleh ke Zoya.
°°°
To Zeze : Ze
To Zoya : Wht girl?
Sekitar 10 menit, Zeze menelepon Zoya.
Zeze is calling ...
"Ada apa, Zoy?" tanya Zeze langsung.
"Nothing."
"Dimana kamu?"
"Di kafe biasa."
°°°
Zoya memilih bangku di paling ujung dekat jendela dan memesan minuman. Zoya termenung memikirkan kisah cintanya.
"Harus apa, ya? Kenapa belum bisa juga melupakan, padahal sudah lebih 3 tahun di tambah enggak pernah jumpa," ucap Zoya tanpa sadar.
"Apa kabar ya dia? Eh, umurnya sudah 24 tahun. Wah, sudah punya anak kali, ya, pasti cakep-cakep, tuh." Monolog Zoya sambil membayangkan seseorang yang dia suka.
"Ya Allah, miris kali kisah cinta aku," kata Zoya sambil menelungkupkan wajah ke meja kafe.
"Kalau punya kantong ajaib kayak Doraemon, enak juga, ya, aku buat di tahu perasaanku terus dalam sehari kami menghabiskan waktu bersama lalu hari berikutnya aku buat dia enggak ingat sama sekali tentang kejadian yang dialaminya, enggak masalah kalau aku aja yang mengingat momennya. Kalau dia jodohku pasti dia akan ingat," ucap Zoya sambil mengkhayal-khayal dan tertawa hambar.
Tanpa sadar Zeze sudah berada tepat di belakang Zoya dan mendengar semua yang dibicarakan Zoya sambil bergeleng-geleng kepala.
"Zoya, kita pergi ke Psikolog, yuk," ucap Zeze sambil duduk disamping Zoya.
"Eh, dari kapan kamu sudah di sini?" kata Zoya tersentak mendengar suara Zeze dan memukul lengan Zeze.
"Astagfirullah sakit woi, kamu kira ini bantal tidur kamu yang warna kotoran manusia itu," dengus Zeze melotot kesal sambil memegang lengannya.
"Enak saja kamu bilang kayak warna kotoran manusia, warna cerah dan bagus dibilang gitu," sembur Zoya dengan wajah masam karena Zeze mengejek warna kesukaannya yaitu kuning.
"Tapi enggak secerah hati kamu," kata Zeze sambil mencolek dagu Zoya.
"Yuk."
"Mau kemana?" tanya Zoya heran.
"Ke ahli Psikolog," ucap Zeze santai.
Zoya tercengang atas perkataan Zeze. "Hah?"
"Yuk," ajaknya sambil menarik tangan Zoya.
"Hah?" Zoya memasang wajah kebingungan.
"Duh! Zoya lengkap deh, ya, penderitaan kamu, kisah cinta miris, kejiwaan terganggu dan goblok nya di waktu yang enggak tepat," kata Zeze tanpa rasa penyesalan.
"Suka kamu saja, kamu kan selalu menang untuk hal yang begini," jawab Zoya dengan malas.
"Hahaha. Sorry deh, pasti berulang."
'Sudah salat belum?"
"Belum," jawab Zoya sambil melihat jam di pergelangan tangannya.
"Aku salat dulu, ya. Titip barang aku," ujar Zoya sambil berjalan cepat.
"Hmm," gumam Zeze sambil makan makanan yang telah dipesan.
°°°
Zoya berlari menuju ruangan ibadah untuk mengejar waktu, padahal kan kurang baik, apalagi waktunya sudah mau habis, tetapi tidak masalah jika masih ada kemauan dan juga karena sebelumnya Zoya masih ada kelas.
BRUK
Zoya terlonjak kaget saat ada seseorang yang menabraknya hingga terjatuh dan membuatnya terduduk di lantai.
"Sorry, Sir," ucap Zoya tanpa melihat siapa yang ditabraknya karena berusaha untuk bangkit karena terjatuh.
"Dia yang menabrak, aku yang terjatuh," kata Zoya memakai bahasa Indonesia.
"Zoya."
"Kayak kenal nih suara," ucap Zoya tanpa melihat kepada sang pembicara karena masih membersihkan telapak tangannya.
"Saya Anggara."
"Bapak," pekik Zoya terkejut dan langsung berdiri menghadap Mr. Anggara.
"Pak, saya buru-buru, waktunya sudah mau habis. Permisi," ujar Zoya terburu-buru.
Mr. Anggara tersenyum melihat tingkah Zoya.
°°°
"Ya Rab, Engkaulah pemilik segala sesuatu yang ada di dunia ini, termasuk perasaan hamba, Engkau yang memberikan rasa ini kepadaku, Ya Rab, Ya Rab jika rasa ini harus berakhir, kenapa sampai saat ini hamba belum bisa untuk mengakhirinya. Ya Rab, bantu hamba. Amin." Doa Zoya dalam hati dengan berlinang air mata yang jatuh ke pipinya.
°°°
"Makan dulu Zoya, I want to say something important to you," kata Zeze menatap Zoya.
"Iya," jawab Zoya sambil makan.
"Habis menangis kamu, ya?" tanya Zeze intens.
"Iya, tadi aku lagi curhat. Hahaha."
"O, ya, aku akan mengambil cuti sekitar tiga minggu," tutur Zeze yang membuat Zoya tersedak.
UHUK UHUK
"Hamil kamu, ya?" tukas Zoya polos sambil meminum lemon tea yang disodorkan Zeze.
"Belum, tapi pasti," ujar Zeze tersenyum.
"Zeze, enggak menyangka aku, kecewa aku sama kamu, kamu kok begini sih, dimana orang yang menghamili kamu? Suruh bertemu dengan aku, aku enggak rela, ya, kamu diginikan, aku ...."
"Diam dulu, Zoy, aku kan belum selesai kasih announcement," sela Zeze gemas.
"Hehehe. Beritahu cepat."
"Aku mau menikah di Jakarta, kamu ingat aku mendapat jadwal magang praktek di RS di Jakarta. Nah, sekitar waktu 5 bulan, aku dekat dengan seseorang di sana, dia pemilik hotel dan kami saling mencintai, aku nyaman sama dia, dia pengertian dan perhatian. Jadi, kami memutuskan untuk menikah karena lebih baik dan juga umur kami sudah matang untuk mengikat suatu hubungan," jelas Zeze panjang lebar yang membuat Zoya mengembuskan nafas.
"Are you kidding me?" tanya Zoya.
"Iya, Zoya aku hanya bercanda, ya enggak lah," decak Zeze jengah menghadapi sahabatnya ini.
"Kamu yakin mencintainya?"
"Cinta itu enggak rumit yang rumit hanyalah kita yang mempersulitnya," jelas Zeze cepat.
"Dan cinta enggak harus memiliki," sambung Zoya sambil memejamkan matanya. Hatinya berdebar bukan karena senang tetapi sakit.
"Kamu belum cerita full ke aku mengenai dia, Zoya."
Sejenak mereka saling bertatapan tetapi Zeze menatap dengan rasa penasaran sedangkan Zoya dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Entah Zoya masih menyukai atau tidak.
"Iya deh nanti aku cerita, but not now," ucapnya sambil tersenyum.
"Ini undangannya, aku harap kamu hadir, ya." Zeze menyodorkan sebuah kartu pernikahan.
"Iya, pasti aku datang," sahut Zoya.
"Zoy, kamu enggak mau mencoba hubungi dia? saling sapa gitu di chat?" usul Zeze.
"I don't have courage."
"Belum dicoba, bodoh."
"Sudahlah, pasti kalau jodoh, ada jalannya. Aku yakin."
"Iya, tapi juga kamu harus berusaha dan doa, who knows, he had a sense of you too."
"Jadi, selama bertahun-tahun sampai kamu sudah tua begini, kamu belum pernah punya hubungan dan juga selama ini kamu mencintai dia secara diam?" Zeze menggeleng heran.
"Biasa aja kali, enggak selama itu juga kali, masih muda juga ya aku, baru menginjak 22 tahun lagi."
"Bisa dibilang gitu, I never dating and I love him in silence."
"Coba kamu membuka hati deh, coba ke pak Anggara, apalagi dia orang Indo, kan mantap."
"Tapi aku bangga sama kamu dan takjub, kalau aku mungkin enggak bisa, apalagi mencintai dalam diam," kata Zeze sambil memberikan dua jempol tangannya ke Zoya.
"Lah, kenapa jadi sedih begini, aku enggak apa-apa, I'm fine. Ini risiko nya sih untuk pilihan yang sudah aku buat."
"Fighting Zoya," teriak Zeze sambil mengguncangkan badan Zoya.
"Pasti ada jalannya."
"Dilapangkan kayak universitas kita. Hahaha."
"Makasih, ya, Ze, selalu ada untuk aku, kamu sahabat aku di sini yang selalu sedia untuk aku," gumam Zoya sedih.
"Aku sudah menganggap kamu sebagai Adik. Aku sayang samu kamu."
"Berpelukan." Mereka berpelukan sambil menangis.
"Nanti aku kenalin kamu deh sama sahabat aku di Medan," ucap Zoya mengingat Zaza.
Zeze mengangguk mantap. "Harus pasti."
°°°
Note:
Zoya Resa Humaira/Zoy (22 thn)
- Mahasiswa Jurusan Desain & Art
Zeze Asyahara Yuuna/Ze (23 thn)
- Mahasiswa Kedokteran
- Ibu Jepang, Ayah Indonesia
- Sahabat Zoya di Singapura
M. Anggara Wijaya (25 thn)
- Dosen mata kuliah Bahasa Inggris
- Berasal dari Indonesia
Zoya sudah berada di Student's Hostel di kampusnya. Student's Hostel adalah sejenis losmen yang menawarkan tarif lebih murah dibandingkan apartemen. Pikir Zoya memilih Student's Hostel ini lebih baik dibandingan tinggal di apartemen, lebih tepatnya hemat biaya. Lebih baik uangnya disimpan untuk membeli makanan.
Bunda is calling ...
"Halo. Assalamualaikum, Zoy."
"Waalaikumsalam, Bun, apa kabar? sehatkan?" Sambil membuka sepatu boot lalu di letakkan di tempat rak sepatu.
"Baik, Zoya, ada Bunda mah beres semuanya," ucap Reina bangga sambil tertawa.
"Alhamdulillah kalau gitu. Ini Zoy baru saja sampai di hostel." Syukur Zoya dalam hati karena keadaan di rumah baik-baik saja.
"Hari ini cukup melelahkan, Bun," jawab Zoya sambil membaringkan badan ke tempat tidur.
"Sudah makan, Zoy?" tanya Reina.
"Sudah, Bun, tapi ini Zoya lapar lagi. Hahaha."
"Kamu enggak heran Zoya, selera makannya tanpa batas," jawab Reina dengan nada mengejek.
"Bagus dong, Bun, biar aku sehat terus. O, ya, Ayah sama Adik, dimana, Bun?" tanya Zoya karena sangat merindukan kepada mereka.
"Adik lagi tidur, Ayah juga lagi tidur," jawab Reina dengan kesal.
"Yaudah, enggak apa-apa, mereka sedang capek, Bun."
"Nanti uangnya Bunda transfer, ya."
"Ya, Bun, tapi uangnya masih ada kok."
"Yaudah, Bunda tutup teleponnya. Jaga kesehatan kamu, Nak," ujar Reina menasihati.
"Ya, Assalamualaikum."
TUT TUT TUT
"Lah, sudah putus saja ini sambungannya," decak Zoya mengingat tingkah Reina.
°°°
Zoya bergegas membersihkan diri. Setelah beberapa menit, Zoya memutuskan untuk membuat pie andalannya. Ketika masih SMA, Zoya sering membuat pie lalu ia bawa ke sekolah dan dalam hitungan detik sudah habis tak tersisa, malahan teman Zoya menyuruhnya untuk membawakan lagi. Apakah sebegitu lezat pie buatan Zoya?
"Aku membuat pie saja, deh," ucap Zoya berbicara kepada dirinya sendiri sambil bergerak ke dapur.
"Mana nih tepungnya, ya?" Sambil mencari-cari bahan-bahan yang lain.
"O, ini dia, terus telur ... tepung ...."
"Nah, sudah lengkap, deh," ujar Zoya sambil memperhatikan kembali bahan-bahan.
"Saatnya beraksi Nona Zoya Resa Humaira," ujar Zoya sambil mengambil celemek di sudut.
"Bisa menjadi koki juga ini, koki untuk suami aku nanti. Hahaha," ucap Zoya ngawur.
"Zoya ... Zoya. Makin enggak waras kau, ya."
"Eh, tapi kan emang kenyataan, nanti kan aku menjadi koki untuk sang suami tercinta."
"Tapi siapa, ya, orang beruntung itu yang akan mendapatkan Zoya yang manis ini?"
Monolog Zoya sambil membuat adonan.
"Tunjukanlah jalan nya, ya, Allah."
"Bismillah."
"Semangat."
Tak terasa, pie andalan buatan Zoya telah jadi ala kadarnya.
"Lumayanlah, lumayan untuk dimakan. Hahaha."
"Jadi teringat Zahra pun, dia kan suka kali sama pie ini."
"Duh, Dik, rindu kakak mu ini," ucap Zoya mengingat Zahra.
Zoya pun punya ide untuk mengerjai adiknya Zahra.
°°°
Kazoy is calling ...
"Lama kali, Dik mengangkatnya," semprot Zoya kepada Zahra.
"Lagi tidur, Kak," ucap Zahra setengah sadar.
"Oh, begitu, ya. Yaudah, deh kalau mengganggu," rajuk Zoya berpura-pura sedih, sedangkan Zahra mengangguk padahal mereka hanya berteleponan tidak video call.
Zahra sadar bahwa Zoya sedang merajuk. "Eh, begitu saja pun merajuk kau," ejek Zahra.
"Kakak, tutup, ya," ucap Zoya sambil menutup panggilan.
TUT TUT TUT
Zahra langsung balik ke alam mimpinya. Sekitar 15 menit, Zoya kembali menelepon Zahra.
Kazoy is calling ...
"Ap- apasi"
Sambungan terputus dan Zahra belum sempat menjawab.
"Dasar Zoyaaaaaaaa, untung kakak kandung, kalau enggak, ya, berarti kakak tiri," jerit Zahra membuat bantal guling menjadi sasarannya.
Kazoy send a picture
"Pasti masam mukanya Zahra gara-gara pie terenak buatan Zoya. Hahaha," kekeh Zoya membayangkan muka Zahra yang cemberut.
°°°
"Bunda, kak Zoya ini, ah," teriak Zahra dari dalam kamar.
"Apasih Zahra? bising tahu enggak?" tanya Reina sambil berlari kecil ke kamar.
"Enggak tahu, Adik," ucap Zahra jutek.
"Anak ini, ya, sudah sore ini bangun, mandi, dan salat." Omelan Reina seperti ledakan mercon.
"Buatkan pie, ya, Bun. Zahra mohon. Jangan salahin Adik, gara-gara kak Zoya ini. Dia itu is, ah, ribet deh ngomongnya, buatkan Adik pie, ya, Bun," Pinta Zahra sambil memasang wajah memelas.
"Enggak!" seru Reina sambil keluar kamar.
"Singkat kali menjawabnya, kayak cowok dingin di novel. Hahaha."
Zahra pun tersentak, dia teringat kalau Reina kurang pandai dalam hal buat pie, apalagi seperti buatan Zoya, sangat berbeda rasanya. Kalau kata Zoya, dia membuatnya dengan hati dan sentuhan tangan, kalau Reina membuatnya dengan omelan. Setiap Reina membuat pie, Reina terus saja mengomel ini dan itu karena untuk bertanya tahap-tahap dalam pembuatan pie agar rasanya biar sama persis seperti yang dibuat Zoya, tetapi tetap hasilnya tidak selezat buatan Zoya.
"Kualat kau Zoya, kau ngerjain aku, ya. Awas saja nanti. Awaslah, yang penting awas saja," sungut Zahra.
"Kakak, nyebelin," jerit Zahra, tetapi terhenti karena Bima datang yang mana adalah ayah dari Zoya dan Zahra.
"Dik, tahu enggak?" tanya Bima.
"Tempe."
Bima mengernyit bingung. "Kok tempe?" tanya Bima bingung.
"Yah, Ayah kan tanya tahu enggak?" tanya Zahra dengan memanyunkan bibirnya.
"Jadi, aku jawab tempe. Adik kan lebih suka tempe, Yah."
"Dik ... Dik, masih tidur, ya?"
"Ayah itu tanya sama kamu, Nak, tahu bukan tahu (makanan). Adik, tahu enggak apa yang mau Ayah bilang," ujar Bima gemas sambil menyentil dahi Zahra.
Zahra meringis memegang dahinya, "Maaf deh, Yah."
"Eh, tapi mana Adik tahu, Ayah kan belum tell me what you want to say."
"Diam deh, Dik. Ini mau Ayah bilang."
"Tahu enggak cara membuat pie?"
"Enggak," ketus Zahra berjalan keluar kamar untuk mandi.
"Tuh, Anak kenapa, ya?" tanya Bima kepada dirinya sendiri.
"Masih di alam mimpi kali si Adik," ucap Bima keluar dari kamar Zahra.
°°°
"Bun, masak apa kamu?" tanya Bima kepada Reina.
"Kamu mau apa, Yah?" tanya Reina balik.
"Mau soto ayam."
"O, yaudah," jawab Reina cuek.
"Yaudah? yaudah apanya?"
"Yaudah, besok-besok aku buatnya," canda Reina.
"Enggak lucu," desis Bima menggeleng kepala.
"Emang bukan pelawak. Hahaha." Reina tertawa sambil memukul bahu Bima.
"Yaudah," jawab Bima cuek sambil meninggalkan dapur.
"Yaudah apa, Yah?" teriak Reina.
"Yaudah saja," balas Bima teriak juga.
°°°
Malam pun telah tiba, setelah menunaikan ibadah salat Magrib, Zahra pergi ke kamar. Sekitar 10 menit, Zahra dipanggil oleh Bima.
"Dik, bantuin sini," teriak Bima dari ruang tamu.
"Ya, Yah. Ada apa?" Sambil turun dari tangga menghampiri Bima.
"Ini dulu coba kamu cek kan, takut Ayah silap." Sambil menyodorkan map dokumen yang berisi data mahasiswa.
"Sekarang?" tanya Zahra.
"Ya," jawab Bima sambil mengunyah keripik pisang.
"Ta- tapi"
Belum sempat Zahra menyelesaikan ucapannya, Bima langsung menyela.
"Enggak perlu tapi-tapian, deh, Dik. Kerja tuh harus iklas dari lubuk hati yang paling dalam, sedalam cinta Ayah ke Bunda," jawab Bima asal sambil mengunyah kembali.
Zahra membelalakan matanya seakan ucapan Bima adalah sebuah tragedi. Bima adalah tipikal yang humoris, tetapi kurang menurunkan sifatnya kepada anak-anaknya.
"Ya, ya, Yah."
"Emang Adik mau ngomong apa?" tanya Bima penasaran.
"Serius loh ini, Yah, antara hidup dan mati Zahra," ucap Zahra dengan nada serius sambil mengunyah keripik pisang.
"Apa emangnya?" tanya Bima tegas.
"Oke tapi Ayah jangan marah, ya. Janji." Sambil menyodorkan kelingkingnya ke Bima.
"Ada apa Zahra Stella Humaira?" tanya Bima dengan menekan setiap nama Zahra.
"Sebenarnya tuh ... itu, Yah ... Zahra sudah ..."
"Sudah apa kamu, Dik?" sela Bima cepat dengan raut wajah yang tidak dapat dijelaskan.
"Adik, sudah ..." ucap Zahra terpotong-potong yang membuat Ayah terlihat emosi.
"Enggak tahan mau pie, Yah. Ayo kita beli atau membuatnya, deh. Bunda enggak mau membuatnya, Yah. Ya, ya, ya," ucap Zahra yang membuat Bima menghela napas.
"Yaudah, nanti Ayah belikan. Adik, urus filenya, ya," jawab Bima lega karena Bima sudah berpikir yang tidak harus dipikirkan.
"Yes, akhirnya makan pie," teriak Zahra kegirangan.
"Bunda pesan satu bungkus sate padang, ya," ucap Reina masuk ke dalam pembicaraan. Entah sejak kapan Reina sudah duduk di sofa.
"Apa lagi ini biar Ayah langsung beli?" tanya Bima bangkit dari sofa.
"Martabak mesir enak tuh, Yah." Zahra tersenyum misterius.
"Yaudah. Ayah pergi dulu," pamit Zahra mengambil kunci mobil meja samping sofa.
"Enggak makan malam dulu ni, Yah?" tanya Reina karena mereka semua belum makan.
"Zahra nunggu Ayah, ya, Zahra juga masih belum lapar."
"Yaudah, kalau gitu, nanti pulang Ayah baru kita makan, lagian juga enggak jauh membelinya."
Ayah mengangguk.
"Oke, Ayah pergi dulu," ucap Bima keluar dari rumah.
Zahra pun segera melanjutkan mengecek dokumen mahasiswa Bima. Bima adalah seorang Dosen Swasta di Medan jurusan Ilmu Komputer. Bima cukup populer di kampusnya karena memiliki selera humor yang baik dan juga tak lupa akan ketampanan Bima.Zahra pernah ikut ke kampus bersama Bima, belum terlalu lama menginjakkan kaki di kampus tersebut, sudah banyak sapaan yang menurut Zahra adalah api dibalik air. Zoya sangat muak melihat itu. Zahra tidak bisa membayangkan bagaimana keluarganya jika Bima mempunyai wanita lain.
Akhirnya sekitar 30 menit, Bima sampai ke rumah dengan menenteng beberapa bungkus makanan.
"Nih, makanannya," kata Bima sambil meletakkan di meja makan.
Zahra langsung membuka martabak mesir dan meletakkan di piring, dengan segera Zahra memotret untuk dikirimkan kepada Zoya.
"Hahaha. Malam ini enggak akan kubiarkan kau lepas, Zoya," batin Zahra dengan menyeringai licik.
Zahra sends a picture
Note :
Zahra Stella Humaira (19 thn/ adik Zoy)
- Kuliah bisnis di Medan
Reina Rein (Bunda Zoya & Zahra)
- Punya toko kue
M. Bima Satya (Ayah Zoya & Zahra)
- Seorang Dosen di kampus Swasta Medan
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!