Nindya menatap pohon-pohon yang berjejer rapi di sepanjang jalan yang dilalui oleh bis yang sedang ditumpanginya. Banyak hal yang bergejolak dalam pikirannya. Pikirannya melayang kembali ke beberapa tahun silam saat ia baru saja duduk di bangku kuliah.
Kejadian yang sangat membekas di memorinya. Saat itu ia sedang liburan semester. Ketika ia tiba di rumahnya, ada seorang perempuan muda bersama dengan seorang anak kecil berusia sekitar dua tahun menangis di dapur. Ibunya memberitahu jika perempuan muda itu adalah asisten rumah tangga baru. Ibu bercerita perempuan bernama Wati itu baru saja diceraikan oleh suaminya. Karena ibu dan ayahnya merasa kasihan, Wati diterima kerja sebagai asisten rumah tangga walaupun tidak memiliki keterampilan apapun.
Setelah mengobrol banyak dengan ibunya, Nindya baru mengetahui bahwa banyak sekali perempuan muda yang bernasib sama seperti Wati. Menikah muda, memiliki anak tanpa pendidikan yang memadai dan setelah itu diceraikan oleh suaminya ketika sang suami mendapatkan perempuan yang lebih muda dan cantik.
“Memangnya orang tua mereka tidak menyekolahkan anak-anaknya, Mbu?” tanya Nindya pada ibunya.
“Masih banyak masyarakat di desa ini yang belum memiliki pemikiran ke arah yang lebih baik. Banyak orang tua yang masih berpikiran kalau perempuan itu tidak perlu sekolah tinggi. Yang penting mereka bisa masak dan sehat agar bisa hamil, melahirkan dan melayani suami mereka,” Jelas Euis, ibu Nindya.
“Tapi, Mbu. Perempuan sekarang harus memiliki pendidikan yang tinggi bukan hanya untuk mengejar karir tapi agar mampu mendidik anak-anak mereka juga dengan baik,” kata Nindya. Dirinya masih sulit menerima kenyataan pemikiran kolot yang masih dianut oleh kebanyakan warga di kampungnya.
“Kenyataannya mereka masih berpikiran seperti itu, Neng. Abah sebagai tokoh masyarakat di sini juga masih kesulitan untuk merubah cara pandang warga di sini. Masih panjang prosesnya, Neng. Kita tidak bisa merubah cara pandang yang mereka anut berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin beratus tahun dengan cepat. Harus ada proses dan prosesnya itu membutuhkan kesabaran yang luar biasa.” Euis menjelaskan dengan sabar.
“Ya gak bisa gitu, Mbu. Kasihan kan perempuan di kampung ini. Mereka tidak bisa menikmati masa muda mereka. Hak mereka untuk mendapatkan ilmu dan pendidikan pun tidak didapatkan hanya karena mereka harus cepat menikah. Ini tidak bisa dibiarkan,” protes Nindya.
“Sekarang tugas kamu belajar dengan tekun lalu lulus dengan cepat dengan nilai yang baik. Setelah kamu lulus dan memiliki kemampuan yang memadai untuk merubah keadaan yang kamu pandang tidak ideal, benahilah kampung ini. Abdikan diri kamu untuk kemajuan kaum perempuan di kampung ini. Ambu pasti selalu mendoakan kamu.”
Kata-kata ibunya terus terngiang di telinga. Doa ibu agar ia memajukan kaum perempuan di kampungnya menjadi penyemangatnya dalam menyelesaikan kuliah. Cita-cita terbesar Nindya saat ini adalah kemajuan kaum perempuan di kampungnya. Ia bertekah untuk merubah cara pandang kolot kebanyakan masyarakat di kampungnya.
Sekarang di sini lah Nindya berdiri tegak setelah beberapa saat tadi turun dari bus yang ditumpanginya. Ia benar-benar menikmati perjalanan dari kota tempatnya berkuliah hingga ke kampung halaman tempat ia bertumbuh kembang. Tekad untuk mendobrak pemikiran kuno dan merubah nasib para perempuan di desanya sudah sangat kuat tertanam.
Nindya menarik nafasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya oksigen di dalam paru-parunya perlahan-lahan. Ia mengedarkan padangannya untuk mencari transportasi yang bisa mengantarnya sampai ke rumah. Ia memang tidak memberitahu orang tuanya tentang kepulangannya hari ini karena ingin memberikan kejutan pada Abah dan Ambunya.
*********
to be continued...
“Neng Inda,” seorang pria memanggil namanya.
“Eh,” Nindya membalikkan tubuh ke arah orang yang memanggilnya.
“Neng Inda mau pulang?” tanya pria itu lagi.
“Iya Mang Udin. Mang Udin sedang apa di sini? Tidak ke sawah?” tanya Nindya pada pria yang dipanggilnya Mang Udin. Udin adalah salah satu pekerja di ladang ayah Nindya.
“Kan belum waktunya panen, Neng. Mumpung belum waktu panen, Mamang nyambi jadi tukang ojek. Lumayan lah Neng buat tambah-tambah jajannya si Jaka dan si Mila sama beli susu buat adik mereka,” kata Udin.
“Lho, Mang Udin punya bayi lagi?
Udin terkekeh mendengar pertanyaan Nindya.
“Neng ada yang jemput tidak? Kalau tidak, ayo saya antar!” Udin menawarkan tumpangan pada Nindya.
“Gak dijemput Mang. Saya gak bilang sama Abah dan Ambu kalau hari ini saya pulang. Kalau begitu, saya numpang sama Mang Udin saja. Boleh, kan?“
“Ya boleh atuh, Neng,” jawab Udin sambil mengambil satu tas besar yang ditenteng Nindya.
Jarak dari terminal bus ke rumah cukup jauh, butuh waktu sekitar 20 menit untuk sampai.
“Anak-anak Mang Udin yang besar sudah pada sekolah?” tanya Nindya memecahkan keheningan di antara mereka.
“Jaka sudah kelas 3 SD, kalau Mila belum sekolah,” jawab Udin.
“Memangnya umur Mila berapa sekarang?”
“Baru tujuh tahun,” jawab Udin.
“Kenapa belum sekolah?” tanya Nindya heran mendengar jawaban Udin.
“Kata kakeknya sih tidak usah sekolah, cukup mengaji saja di masjid.”
“Lho, kenapa begitu Mang? Si Mila kan berhak buat sekolah. Umurnya juga sudah cukup buat sekolah di sekolah dasar. Memangnya Mang Udin tidak mau punya anak perempuan yang pintar?” tanya Nindya sedikit emosi.
“Yah gimana lagi Neng. Kakeknya yang bilang begitu, mamang sih nurut saja.”
“Lah yang jadi bapaknya si Mila itu siapa? Mang Udin atau bapaknya Mang Udin? Memang mengaji juga perlu bahkan wajib, tapi sekolah juga perlu supaya mereka pintar. Semua anak-anak memiliki hak untuk bersekolah tidak terkecuali. Apalagi sekarang masuk sekolah itu gratis. Kita hanya butuh biaya untuk beli baju seragam dan alat-alat tulis saja. Kalau kita orang tidak mampu, kita bisa mengajukan beasiswa.”
“Iya juga sih Neng. Tapi kakeknya si Mila kan…”
“Yang jadi bapaknya si Mila itu Mang Udin. Mamang yang lebih berhak atas diri si Mila. Kecuali kalau Mang Udin punya pemikiran yang sama seperti bapaknya Mang Udin yang beranggapan kalau anak perempuan tidak perlu sekolah.” Ucapan Nindya terdengar pedas.
“Tidak begitu Neng. Mang Udin mah malah ingin sekali anak-anak jadi pintar,” ungkap Udin.
“Bagus. Nanti ajaran baru, Mang Udin daftarkan si Mila untuk masuk sekolah dasar. Sebentar lagi tahun pelajaran baru. Nanti saya bantu daftarnya.”
“Terima kasih, Neng.” Udin mengucapkan terima kasih dengan bibir bergetar. Ia merasa bersalah karena selama ini telah mengabaikan hak anak perempuannya untuk bersekolah.
“Alhamdulillah, sudah sampai Neng.” Udin menghentikan motornya di depan rumah Nindya.
“Terima kasih, Mang.” Nindya turun dari motor dan memberikan dua lembar uang pecahan seratus ribu.
“Eh, tidak usah Neng. Niat saya kan mengantar Neng Inda sampai ke rumah dengan selamat, bukan memberikan jasa ojek,” ucap Udin.
“Ini uangnya buat beli peralatan sekolah si Mila,” ujar Nindya sembari tersenyum.
“Alhamdulillah. Terima kasih Neng. Semoga Allah membalas semua kebaikan Neng Inda.
“Sama-sama Mang Udin.”
***********
to be continued...
“Assalamualaikum!” teriak Nindya memberi salam.
Euis yang mendengar suara anak bungsu kesayangannya langsung meninggalkan ikan yang sedang digorengnya.
“Waalaikumsalam,” jawab Euis tak kalah antusias.
“Mbu, Neng kangen sama Ambu. Akhirnya Neng kembali juga ke rumah tercinta.” Nindya langsung berlari menuju Euis dan memeluknya erat.
“Ambu juga kangen. Kenapa Neng gak kasih kabar sama Abah dan Ambu kalau Neng mau pulang hari ini?” Euis juga memeluk Nindya tak kalah eratnya.
“Surprise! biar jadi kejutan atuh Ambu.”
Euis menciumi pipi anak kesayangannya itu berkali-kali.
“Sudah, sudah atuh Mbu. Neng kan bukan anak kecil lagi. Masa diciumi seperti ini.” Nindya berusaha melepaskan diri dari Euis yang terus saja menciumi pipinya.
“Bagi Ambu, Neng akan selalu jadi anak kecilnya Ambu,” ucap Euis sambil mencubit gemas pipi Nindya.
“Sakit, Ambu!” protes Nindya.
“Dicium tidak mau, dicubit juga tidak mau. Jadi Neng maunya apa?’ tanya Euis sambil tertawa.
Nindya memanyunkan bibirnya manja.
“Abah mana, Mbu?”
“Abah masih di kebun, lagi memanen pisang,” jawab Euis.
“Mbu, Neng lapar. Mau makan!” pinta Nindya dengan nada bicara seperti anak kecil.
“Ambu lagi goreng ikan. Ikan nila kesukaan Neng.”
“Eh, ini bau apa, Mbu? Seperti bau gosong.”
“Astaghfirullah, ikan nilanya gosong.” Euis berlari menuju dapur teringat ikan nila yang masih di dalam penggorengan yang tak terselamatkan karena ia lupa untuk mengangkat ikannya.
“Gosong, Mbu?” goda Nindya ketika sampai di dapur.
“Ini sih gara-gara Neng.”
“Loh kok bisa gara-gara Neng sih?” tanya Nindya tidak terima.
“Karena Neng seenaknya kasih kejutan sama Ambu, jadi ikannya gosong.” protes Euis.
Nindya tertawa mendengar perkataan ibunya.
“Memang ikannya ada berapa ekor?” goreng saja ikan yang lain. Yang gosongnya kasiin saja sama si mpus.” Nindya memberikan ide pada ibunya.
“Hus, sembarangan. Masa memberikan ikan gosong sama kucing sih. Kalau kamu mau memberi sesuatu itu harus yang baik, walaupun hanya memberi pada hewan. Kasihan atuh si mpus kalau dikasih ikan gosong. Tidak akan enak dimakannya juga.”
“Hihihi…Ambu mah ada-ada saja. Sama kucing juga sampai segitunya.”
“Ya iya atuh Neng. Kucing juga kan mahkluk hidup yang punya rasa juga. Tidak boleh kita berbuat zalim sama makhluk hidup.” Euis memberikan ceramah pada Nindya.
“Iya, iya, ikan gosongnya dibuang saja,” akhirnya Nindya mengalah dan mengakui kebenaran yang dikatakan oleh ibunya.
“Untung saja ikan yang gosongnya cuma satu,” ujar Euis lega
Nindya mengambil piring dari rak dan membuka magic com yang ada di atas meja makan.
“Neng mau makan sekarang?” tanya Euis.
“Iya atuh Ambu. Neng sudah lapar dan gak sabar mau makan masakan Ambu. Neng kangen masakan Ambu yang enak. Selama Neng Kuliah, Neng jarang makan masakan Ambu. Sekarang Neng bisa makan masakan Ambu lagi setiap hari,” seru Nindya menyuarakan kegembiraannya.
Euis memberikan dua ekor ikan yang sudah digorengnya pada Nindya dan menyisihkan dua ekor ikan goreng untuk suaminya.
“Neng mau makan ikan gorengnya sama sambal?”
“Mau pisan atuh, Mbu. Memang ada sambalnya?” tanya Nindya celingukan mencari wadah sambal.
“Sambalnya tinggal buat saja. Ambu sudah mengiris bawang merah, jahe dan cabe rawit. Tinggal ditambah sama kecap.
Nindya menikmati makan siangnya dengan sangat lahap. Ia benar-benar rindu masakan ibu yang sangat jarang ia nikmati semasa kuliah. Dua ekor ikan nila goreng dan semangkuk kecil sambal kecap langsung ludes disantapnya.
Euis memperhatikan anaknya yang sedang makan. Ada rasa bangga pada anak bungsunya yang berhasil lulus kuliah dengan nilai yang sangat memuaskan. Euis masih teringat ketika nama suaminya dipanggil ke depan di hadapan para wisudawan lain karena Nindya berhasil menjadi salah satu lulusan terbaik dari jurusannya. Setiap lulusan terbaik dari masing-masing jurusan diberikan keistimewaan untuk berdiri bersama orangtua mereka di hadapan semua wisudawan.
“Kapan mulai mengajar, Neng?” tanya Euis.
“Minggu depan Neng baru mau menghadap sama Kepala Sekolah dulu. Mungkin mulai mengajarnya di tahun pelajaran yang baru, dua bulanan lagi.” jawab Nindya.
Euis juga merasa bangga karena setelah lulus kuliah, Nindya berhasil lulus tes CPNS dan diamanahi tugas mengajar di sekolah yang tidak jauh dari desanya. Nindya akan mengajar di SMP Negeri satu-satunya yang ada di kecamatan tempat mereka tinggal.
“Sudah beli pakaian untuk mengajar?” tanya Euis.
“Nanti saja kalau sudah dekat waktunya untuk mengajar. Neng juga mau melihat dulu bagaimana guru-guru di sini berpakaian. Pasti kan berbeda dengan pakaian yang dipakai di kota besar.”
“Masa sih bisa beda? Jadi guru kan pakaiannya sudah standar,” tanya Euis heran.
“Beda atuh, Ambu. Di kota besar mah, guru-gurunya juga pakai baju yang modis-modis, ikut tren fesyen. Neng khawatir kalau mengikuti fesyen guru-guru di kota besar malah jadi aneh kelihatannya,” tutur Nindya.
“Ih Eneng mah gak tau fesyen di sini. Sama saja lah Neng. Di sini juga orang-orangnya ngikutin fesyen. Apalagi sekarang mah zaman internet.”
“Oh gitu ya, Mbu?” tanya Nindya sedikit kaget dengan perkataan ibunya. Ia tidak menyangka jika internet sudah merambah ke desa.
“Ya sudah ada internet lah. Neng lihat tidak tiang tinggi yang ada di ujung jalan itu? Nah itu tiang internetnya,” ujar Euis bangga dengan kemajuan di desanya.
“Wah hebat dong kemajuan di sini. Neng bisa dong nonton streaming pakai internet,” seru Nindya senang karena dengan adanya akses internet akan mempermudahnya untuk mendapatkan berbagai macam informasi.
“Tapi suka lemot, Neng. Apa lah itu istilahnya….” tampak Euis mengingat-ingat istilah yang ia lupa.
“Gak ada jaringan? Jaringannya lemot? Gak ada sinyal?” tebak Nindya.
“Ya gitu lah, sinyalnya lup lep kalau kata orang sini mah.” Akhirnya Euis menemukan istilah yang sering dipakai oleh warga.
“Yaaah… kalau jaringannya gak bagus, sayang atuh internetnya tidak bisa dinikmati sama semua warga sini.” Nindya merasa kecewa mendapatkan kenyataan kalau jaringan internet yang ada di desanya tidak sebagus di kota besar.
Nindya bertekad untuk mengusulkan ke pihak terkait agar memberikan fasilitas jaringan internet yang memadai sehingga bisa dimanfaatkan oleh semua warga di desanya.
**********
to be continued...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!