...** Cerita ini Fiktif dan penuh khayalan dari penulis. Masih banyak kekurangan di dalamnya, baik segi jalan cerita atau tulisan yang berantakan. Karena ini hanyalah amatiran. Terima Kasih **...
...🍀...
Ini bukan lagi yang pertama atau pun kedua. Namun sudah hampir dua puluh kali dan tidak ada hentinya sampai kesepuluh jarinya mengerut. Tidak lagi bisa dibiarkan. Perempuan itu membuatnya kesal setengah mati.
Perempuan itu melakukannya lagi dan lagi dengan sengaja untuk memantik api perseteruan. Terus saja diulang sampai membuat emosi Raina merayap hingga ubun-ubun dan timbullah rasa ingin menghajarnya.
"Nih, cuci lagi."
Brak! Tumpukan piring kotor menggunung lagi.
Tangan Raina terkepal. Hampir saja ia layangkan sebuah tinjuan jika ia tak memikirkan nasibnya sendiri yang masih membutuhkan pekerjaan.
"Di depan sedang ramai. Jadi, cepat selesaikan supaya piring ini bisa digunakan lagi."
Setelah berkata begitu, Marella kembali ke depan untuk melayani pelanggan.
Raina mendesah. Memang ini pekerjaannya, tapi sudah dua jam yang lalu seharusnya ia berhenti di jam istirahat. Bisa-bisanya Marella membuatnya tak bisa bernapas barang sejenak.
Dengan berat Raina meraih satu piring kotor untuk dicuci. Namun tangannya yang lemas dan basah membuat piring itu terlepas dari genggamannya.
TRANG!!
Raina terkesiap dan kaget saat piring itu pecah berantakan. Buru-buru Raina berjongkok dan mengambil salah satu serpihan kaca.
"Ayolah. Jangan masuk, ku mohon."
Berulang kali Raina melirik pintu, memohon agar tak ada yang masuk setelah mendengar suara piring pecah tadi.
Raina memejamkan mata, lalu mengumpulkan kekuatan untuk ia salurkan pada serpihan piring, dan...
"Kau memecahkan sesuatu??"
Raina menoleh ke arah pintu dan mendapati Marella masuk berjalan cepat ke arahnya.
"Tidak." Rai berdiri, menggenggam satu piring utuh di tangannya.
Marella memperhatikan sekitar. Dia yakin tadi mendengar suara keramik jatuh. Tapi tak ada apapun di lantai.
"Rai, kau sudah selesai?"
Lili masuk dan langkahnya melambat saat mendapati Marella juga disana. Tangan gadis itu terlipat di dada, dan wajah ketus itu membuat Lili tahu, Marella lagi-lagi mencari masalah.
"Jangan sembunyikan apapun. Cepat katakan, kau memecahkan sesuatu, kan?" Tuduh Marella.
"Tidak. Kau bisa lihat sendiri di sekitar sini." Jawab Raina dengan santai.
Marella justru menatap Rai dengan tatapan menyelidik. Dia mendengkus dan berlalu begitu saja saat memang tak menemukan apapun yang ia tuduhkan pada Raina.
"Dia memang gila." Bisik Lili dengan tatapan terus ke arah Marella sampai gadis itu menghilang dibalik pintu.
"Biarkan saja dia." Ucap Raina, kembali menuang sabun cair dan menggosok piring.
"Apa kau memang menjatuhkan piring?"
Raina mengangguk. "Iya. Tidak sengaja. Untung saja aku cepat memperbaikinya."
Gadis dengan rambut yang bergelombang itu mendekat, lalu berbisik pada Raina. "Kau menggunakan kekuatanmu?"
Raina menghela napas. "Terpaksa."
"Bagus, Rai. Kalau tidak, aku yakin Marella akan mengadukanmu pada tuan Adam. Oh, ya. Waktu istirahatku sudah terpakai. Aku akan pulang satu jam lebih cepat."
Raina berhenti dan menoleh kebelakang. "Apa boleh begitu?"
"Tentu. Aku akan bilang pada manager. Enak saja mereka, mau memakai waktu luangku secara gratis!" Gerutu Lili, sahabat Raina.
"Kau sudah mengisi energi?" Lili mengambil apel dalam kulkas, lalu menggigitnya.
"Belum. Kurasa sebentar lagi akan habis."
"Bulan depan akan masuk musim kemarau. Isilah energi banyak-banyak."
"Lalu kau, bagaimana?" Tanya Raina balik.
"Aku juga belum. Berhubung cara mengisi energi kita sama, bagaimana kalau malam ini?"
Raina menoleh ke jendela yang terbuka, memprediksi cuaca. "Malam ini? Sepertinya tidak akan hujan."
"Kita ke Densy. Disana dingin dan sering hujan."
Densy? Kota yang agak jauh dari tempat tinggalnya. Tapi dia butuh energi tambahan.
"Baiklah. Aku akan menunggumu di tempat biasa." Ucap Raina akhirnya.
Lili buru-buru membuang apel ke tempat sampah saat telinganya mendengar suara. "Hm.. sepertinya dia datang lagi dengan piring kotornya. Mau kubantu?"
Raina terbelalak. "Lagi? Ah..." Rasanya letih sekali. Dia mencuci tanpa henti sejak pagi.
"Biar aku saja." Ucap Lili sembari menggosok kedua tangannya dengan senyum jahil.
Ah, terserah saja. Sebab Raina tidak tahu bagaimana cara Lili membantunya.
"Kuhitung sampai tiga.." Lili sedikit berbisik. "Satu.. dua.... Happ!!"
PRANG!!!
Suara berisik membuat Raina terkesiap sementara Lili tertawa pelan.
Detik berikutnya, tuan Adam selaku penanggung jawab kafe pun datang dan berdiri di depan pintu dapur yang sudah penuh dengan pecahan kaca dari piring dan gelas kotor yang dibawa Marella dari depan.
"Astaga! Kenapa ini bisa terjadi??" Seru Adam.
"Aah. Anu, pak. Maaf, ada tali yang terpasang disini sampai kakiku tersandung." Jawab Marella terbata. Dia mencoba mencari tali yang ia maksud. Tapi tak ada apapun disana.
Raina melirik Lili yang kini tawanya mereda. Itu memang ulahnya.
"Bereskan ini dan segeralah ke ruanganku!" Adam melangkah pergi, sementara Marella terlihat gusar saat tak mendapati apapun yang menjadi penyebabnya terjatuh.
"Heii, kalian. Aku tahu ini ulah kalian!" Seru Marella kesal.
"Bicara apa kau, hah?" Lili menyenggol Raina dengan sikunya. "Cepat selesaikan. Aku menunggumu di belakang." Ucap Lili kemudian pergi melangkahkan kakinya melewati pecahan kaca.
"Hei, Raina! Cepat bantu aku membereskan semuanya!"
Raina mengibaskan kedua tangannya yang basah dan melepaskan apron dari tubuhnya.
"Maaf, pekerjaanku sudah selesai." Raina melenggang keluar dapur, membuat Marella mengepalkan tangannya kuat-kuat.
"Dasar jal*ng! Aku akan balas kalian!" Desisnya berang.
...🍀...
"HAHAHAHAHA!!"
Lili masih saja tertawa mengingat kejadian tadi. Dia merasa lucu dengan wajah Marella saat ternyata manager mereka datang memarahinya.
"Sudah, nanti kotak tertawamu habis."
Mendengar itu, Lili kontan diam. "Sial, kau percaya itu?"
Raina terkekeh. Dia berjalan sambil mendorong sepedanya.
"Tapi, kau tidak perlu melakukan itu, Li."
"Dia memang perlu dikasih pelajaran, tahu!" Lili membalikkan tubuh dan berjalan mundur menatap sahabatnya dibelakang.
"Ayolah, Raina. Sesekali balas saja dia. Aku ingin dia tahu kalau kau tidak lemah dan dia bisa Stop mengerjaimu."
"Untuk apa. Dia itu sudah sangat membenciku."
"Makanya, kasih dia pelajaran supaya dia berhenti mengganggumu. Tunjukkan kalau kau hebat."
Raina menghela napas perlahan. "Aku sedang tidak ingin menjadi jahat, Li."
"Aah! Itulah yang membuat mereka terus menindasmu!"
Melihat Raina tak bersuara lagi, Lili memutar bola matanya kesal. "Terserahlah. Aku duluan, kau hati-hatilah di jalan." Lili berlari kearah yang berbeda dari Raina.
Melihat temannya pergi, Raina menaiki sepedanya dan mulai mengayuh sampai ia tiba di rumahnya.
Gadis itu memarkirkan sepeda di depan rumah dan masuk kedalam.
"Aku pulang."
Rumah itu terasa sepi. Tak ada siapapun yang menyahut.
Raina masuk kedalam kamar ayahnya. Dia tertegun melihat sang ayah duduk diatas tempat tidur dengan tatapan kosong. Di bawah tempat tidur, terdapat beberapa botol alkohol.
"Ayah." Raina mendekat. Dipegangnya tangan sang ayah. "Sudah kubilang, jangan minum terus. Ayah tidak mau mendengarkanku."
Damian menatap tangan yang digenggam sang anak. Seketika tubuhnya merasa seperti ada aliran halus yang membuang energi buruk dalam dirinya. Mata sayu dan kesadaran yang sempat hilang karena alkohol pun perlahan lenyap.
"Raina.."
"Istirahatlah." Raina membantu ayahnya merebahkan tubuh, lalu menyelimutinya.
"Raina, jangan terus gunakan kemampuanmu untuk ayah. Berhematlah.."
"Aku mengerti." Raina melangkahkan kakinya menuju pintu. Sebelumnya, ia berhenti memperhatikan berkas yang tertumpuk diatas lantai.
"Raina."
Kembali gadis itu membalikkan badan menatap sang ayah.
"Ayah mohon. Bawalah berkas itu dan cari cucu mendiang tuan William. Anak itu pasti akan mengabulkan permintaan kakeknya."
Raina menghela napas. Sudah berapa kali sang ayah meminta hal yang sama.
"Ayah, itu perjanjian zaman dulu sekali. Dia tidak akan percaya, atau dia akan menolak sekalipun perjanjian itu asli dari kakeknya. Ayah pikir ada orang yang mau melaksanakan isi dari perjanjian itu?"
"Raina, bukan kita yang membutuhkan mereka. Tapi mereka yang membutuhkan kita. Setidaknya ayah ingin menepati janji ayah pada William."
Raina meraih kertas itu lalu menunjukkannya pada Damian. "Baiklah. Akan aku coba."
Damian tersenyum, walau ia tahu mungkin anaknya itu tidak bersungguh-sungguh.
Raina keluar dari kamar ayahnya. Dia duduk di sofa sambil membaca ulang isi perjanjian itu.
"Elian Givariel William.." Raina membaca nama cucu seorang William, orang yang selalu dipuja-puji oleh ayahnya.
"Dimana aku harus menemui pria tua bernama Elian ini?" Gumam Raina.
Tuk!
Raina mengutip sebuah foto yang terjatuh dari lembaran kertas yang ia pegang.
Dibacanya nama belakang di foto itu. Elian dan William. Oh. Inikah orangnya?
Raina membalikkan foto itu dan diperhatikannya dengan seksama gambaran seorang lelaki muda dengan setelan jas hitam.
Bukankah lelaki ini wajahnya familiar?
Raina terus menatap wajah anak muda yang ia yakini adalah Elian. Siapa, ya. Raina seperti pernah melihatnya.
Lalu pandangan Raina teralihkan pada tahun dimana foto itu diambil.
Sudah beberapa tahun berlalu sejak foto itu diambil. Jika saat itu lelaki ini berusia 17 tahun, artinya sekarang usianya sekitar 31 tahun.
Hah? Raina terkaget sendiri. Bagaimana jika di foto ini dia sudah 20 tahun? Atau 25, 27?
Raina terduduk lesu. Artinya pria ini sudah sangat tua. Dibanding dirinya yang baru 20an tahun, pria ini lebih cocok jadi pamannya.
Tapi, yah, cari dulu pria ini. Siapa tahu dia sudah menikah, maka Raina akan terbebas dari permintaan ayahnya.
...♡♥︎♡...
Makasih udah hadir di Novel terbaru akuu❤️
Semoga syukaaaa.
Beberapa tahun yang lalu....
"Bagaimana, Damian. Kau menyetujuinya, kan?"
Daminan meletakkan beberapa lembar kertas di atas meja. Dia sudah membaca isi perjanjian tertulis yang dibuat oleh lelaki tua bernama William Olimpus.
"Aku berhutang banyak pada anda, tuan. Tapi..."
Mata Damian beralih pada sang putri semata wayang. Satu-satunya harta berharga yang ia miliki.
"Damian, jika putrimu menolak, aku pun tidak akan memaksanya. Tapi, aku berharap banyak pada kalian."
Damian menarik napasnya. Lalu memanggil sang putri untuk duduk mendekat.
"Ada apa, Ayah?"
Damian mengelus rambut Raina. "Nak, dengarkan ayah."
Raina diam menunggu ayahnya menyelesaikan ucapannya.
"Raina, jika besar nanti, menikahlah dengan Elian. Dia cucu dari tuan William." Damian tak tahu harus bicara apa pada putrinya. Dia hanya ingin Raina mengingat itu dalam pikirannya sampai ia besar, bahwa dirinya telah dijodohkan oleh seorang bernama Elian.
"Siapa Elian?" Tanya Raina polos.
"Raina, pergilah jalan-jalan. Kelilingi rumah ini. Jika bertemu dengan laki-laki yang tampan, dialah yang akan menikah denganmu nanti." William tersenyum. Dia yakin Raina mengerti ucapannya.
Gadis kecil itu mengangguk, lalu ia pun mulai melangkah mengelilingi rumah besar bak istana itu.
Saat menuju taman, Raina mendapati sebuah ruangan yang sangat berantakan. Serpihan kaca dari guci dan perabotan lain berserak di atas lantai.
Raina mendekat. Dilihatnya sebuah lemari kayu dengan bekas cakaran yang besar. Gadis itu menyentuhnya. Ini bukan tangan manusia. Ini.. apa?
Perlahan Raina menyentuhkan ujung jarinya ke lemari itu. Dia ingin melakukan sesuatu sebelum kembali mengelilingi rumah besar ini.
Setelah selesai, Raina kembali berjalan. Kali ini dia memutuskan keluar untuk melihat-lihat tanaman yang sangat cantik, sampai tanpa sadar langkah Raina cukup jauh dari rumah besar itu.
Taman itu sungguh luas dan indah. Mungkin satu hari saja tak membuatnya puas berkeliling dan menikmati taman. Raina berniat pulang saat tersadar dia telah berjalan terlalu jauh. Namun ada hal yang membuatnya tertarik hingga mengurungkan niat untuk kembali. Dia melihat seorang laki-laki duduk di bangku taman.
Keputusan yang bagus, pikir Raina. Sebab tempat ini, tepat dibawah pohon rindang, memang sesuai untuk bersantai.
Raina semakin mendekat. Dilihatnya lengan lelaki itu ada bercak darah dan kakinya juga berbulu halus. Lebih lebat dari bulu di kaki ayahnya.
"Kakak, apa yang kakak lakukan disini?" Kepala gadis kecil itu sampai miring melihat orang yang tengah fokus membaca buku itu.
Orang itu tidak menjawab. Dia bahkan mengabaikan suara anak kecil yang sempat mengganggu konsentrasinya.
"Oh. Apa kakak yang dijodohkan denganku?"
Barulah lelaki itu menoleh. Alisnya berkerut. "Dijodohkan?" Ulang Elian dan Raina mengangguk cepat.
"Kata tuan William, lelaki bernama Elian akan menikahiku jika dewasa nanti."
Elian mendengkus mendengar pernyataan itu. Kakeknya serius soal perjodohan yang dibuatkan untuknya. Elian menurunkan lipatan kakinya, lalu tersenyum miring. "Kau tahu apa itu menikah, anak kecil?"
"Eumm.." jari telunjuk Raina menempel di bibir. "Ayah dan Ibuku menikah dan mereka bahagia. Saling membantu, saling menyayangi, dan saling bercanda gurau."
"Kau pikir menikah seperti itu?"
Raina mengangguk. "Jadi, apa kakak akan bermain dan bercanda denganku saat aku dewasa nanti?"
"Menikah, ya?" Elian menutup buku, lalu ditatapnya mata gadis kecil itu beberapa detik, sampai mata Elian membulat.
Alis gadis itu berkerut. "Kenapa kakak menatapku seperti itu?"
Elian memiringkan posisi duduknya ke arah Raina. "Fokuskan matamu, tatap aku sebentar. Bisa?"
Walau tak tahu apa yang ingin dilakukannya, Raina menuruti. Beberapa detik kemudian, Elian berdiri. Dia memijit keningnya, merasa ada yang janggal.
Tidak, ini tidak benar. Kenapa dia tidak bisa...
"Kakak ganteng." Kata gadis itu dengan senyum lebar. "Aku mau menikah kalau sama kakak."
Nama gadis itu dipanggil dari jauh. Dia menyahut.
"Sebentar, Yah.." teriaknya. Lalu kembali menatap Elian. "Kalau gitu, sampai bertemu saat dewasa, kak. Jangan jatuh cinta pada perempuan lain, yaaa." Ucapnya, kemudian berlari dan melampaikan tangan.
Elian masih berdiri dengan bingung. 'Kenapa.. aku.. tidak bisa membacanya?' Gumam Elian sembari terus memperhatikan kepergian gadis itu.
~
Elian kembali ke rumahnya setelah puas beristirahat di halaman depan. Sejak tadi pikirannya terkuras pada gadis kecil yang tak bisa ia baca isi kepalanya. Seolah dia telah memblok Elian supaya tak bisa menerawang pikirannya.
Langkah Elian terhenti saat mendapati kakeknya duduk di ruangan pribadinya. Buru-buru Elian masuk dengan pandangan tak percaya. Dia ingat betul, kalau ruangan ini tadi menjadi pelampiasan amarahnya. Barang-barang di dalam yang semula hancur kembali utuh. Padahal guci besar itu, dia menghancurkannya tadi. Pecah menjadi seribu bagian. Juga lemari kayu yang ia cakar dengan kuku panjangnya. Tapi tak ada bekas apapun disana.
"Kau terkejut kan, Elian?" Suara sang kakek membuyarkan pikirannya. Ya, dia memang terkejut. Siapa yang melakukannya?
William berdiri, mendekati sang cucu. "Itulah sebabnya aku menjodohkanmu dengan gadis kecil itu. Karena aku tahu, dia pasti bisa membantumu."
William bangkit dan berlalu. Dia memang memaksa Elian untuk menikahi gadis kecil bernama Raina itu. Lalu Elian, manusia campuran yang tak bisa menahan gejolak amarah itu langsung berubah bringas dan menghancurkan seisi ruang, memberontak tak terima dengan keputusan sang kakek.
Menikah dengan anak kecil yang baru berusia 9 tahun? Awalnya, dia mengira sang kakek gila. Tapi melihat apa yang terjadi saat ini, dia sadar, kakeknya lebih mengetahui apa yang terbaik untuknya.
...🦊...
"Rainaaa. Cepat kesini. Hujannya deras, Rainaa." Lili menari dibawah guyuran hujan. Gadis pecinta air itu takkan bisa tenang jika turun hujan.
Lili pernah membayangkan, bagaimana jika dia punya kekuatan air saja? Dari pada kekuatannya yang sekarang. Yah, walaupun dia juga menyukainya. Tapi alangkah seru jika air bisa keluar dari jari-jarinya.
Raina menggelengkan kepala tanda sebuah penolakan pada Lili. Dia tak ingin mandi hujan malam-malam. Walau dia tak bisa semudah itu jatuh sakit.
Raina hanya duduk meneduh dan membiarkan kedua kakinya saja yang tersiram air hujan. Itu sudah cukup mengisi energinya yang terkuras untuk sang ayah. Ah, ayah. Mengingat lelaki tua itu membuat pikiran Raina kembali terarah pada foto Elian.
Dia yakin pernah melihatnya. Tapi dimana? Raina benar-benar lupa.
"Ah, tidak seru. Jauh-jauh datang ke kota ini supaya kita bisa menyerap energi dari hujan. Tapi kau malah cuma duduk." Keluh Lili yang sekarang ikut meneduh walau badannya sudah basah kuyup.
"Kau ada masalah, ya?" Tanya Lili saat Raina hanya bergeming sejak tadi.
"Ah. Tidak."
"Hei, Raina. Aku sahabatmu. Mana bisa kau berbohong padaku." Ucapnya lalu menekan ujung ibu jari kakinya ke tanah, seketika keluar akar yang menjalar dan mengikat tubuh Raina.
"Lili! Apa yang kau lakukan!" Pekik Raina, berusaha melepaskan tubuhnya dari akar yang melilit.
"Akan aku lepaskan setelah kau bercerita padaku."
Raina menghela napas. Lili memang begini. Selalu menggunakan kekuatan jika Raina berusaha menutup diri. Yah, memang sebenarnya tak semua bisa diceritakan, kan?
"Baiklah."
Raina akhirnya menceritakan apa yang diminta sang ayah padanya. Pelan-pelan Raina bercerita hingga tanpa sadar hujan telah berhenti.
"Kau.. dijodohkan dengan lelaki tua?" Sepanjang itu Raina bercerita, mulai dari bagaimana sang ayah berutang budi pada tuan William, sampai akhir dimana ia terpaksa mencari cucu tuan William, namun yang di dapat Lili hanya itu saja.
"... artinya usia pria itu sekarang adalah..." Lili berpikir sejenak. "33 tahun?"
Raina mengangguk. Ya, jarak usianya dengan pria itu adalah 12 tahun. Diusianya yang 21 tahun ini, haruskah ia menikah dengan pria berkepala tiga?
Namun tiba-tiba, keduanya menegang saat mendengar lolongan anjing. Tidak, ini berbeda. Seperti...
"Rai, ini.. seperti lolongan serigala." Desis Lili takut. Matanya mulai mencari kesana kemari.
"Wajar saja. Kita di dekat hutan. Hei, Li. Cepat lepaskan ini!"
Akar yang melilit Raina langsung melonggar dan kembali masuk kedalam tanah.
"Li, sebaiknya kita pul.." Kalimat Raina terhenti saat menyadari tak ada Lili disampingnya. Gadis itu berdiri menghadap pintu hutan larangan, lebih tepatnya, mematung disana.
Raina mendekat. "Ada apa-"
"Ssstttt!" Buru-buru Lili mendekap mulut Raina, lalu menujuk kedalam hutan.
Mata Raina ikut membulat. Dia melihat sosok yang tengah bersandar pada pohon. Sosok itu aneh sekali. Dari pinggang hingga kepala adalah manusia, namun kakinya seperti kaki anjing berbulu lebat. Kedua tangan sosok itu pula berkuku tajam dan berbulu. Tapi ada yang berbeda, nampaknya dia terluka. Raina bisa melihat darah yang mengalir dari tubuhnya.
"Rai, ayo kita pergi." Lili mundur. Jelas ia takut, sebab kali pertama baginya melihat manusia setengah hewan.
"Raii.." Krek! Lili menginjak ranting pohon, membuat manusia setengah anjing itupun menoleh kearah mereka.
"Rai, lari, Rai!" Dengan langkah seribu, Lili berlari kencang.
Berbeda dengan Raina yang terpaku disana menatap wajah pria setengah anjing itu. Raina tahu betul siapa pemilik wajah yang tengah menatap berang kearahnya karena belakangan ia sangat memikirkannya.
Entah takdir apa yang membawanya kesini hingga ia bertemu dengan pria itu. Tapi, setengah hewan? Benarkah dia... Elian?
Raina menelan ludah. Manusia itu berjalan kearahnya dengan kaki anjingnya. Raina ingin kabur. Tapi kakinya seperti terpaku hingga ia sulit sekali bergerak.
Manusia setengah hewan itu benar-benar dekat. Tepat saat berhadapan satu meter, Raina mulai bisa menggerakkan kakinya dan mencoba mundur. Taring tajam yang sengaja dimunculkannya membuat Raina sangat takut dan gemetar. Tapi, Raina melihat luka yang cukup dalam di perut manusia itu.
"Pergi atau aku akan membunuhmu." Manusia setengah hewan itu berbicara dengan suara berat, namun Raina tahu dia menahan sakitnya.
"K-kau.. terluka."
Terdengar erangan dari mulut lelaki itu, persis erangan hewan buas. Raina bisa merasakan bahwa dia ini.. sangat mengerikan.
"Biarkan aku menyembuhkanmu." Lanjut Raina. Walau takut, dia tetap ingin melakukan itu.
"Aku bilang, pergi, manusia sialan!" Pekiknya berang, membuat Raina lagi-lagi menelan ludah dengan susah payah. Apalagi bola mata manusia itu menjadi merah menyala.
"Aku.. aku akan menyembuhkan lukamu... Elian."
Manusia setengah hewan itu berhenti mengerang saat namanya disebut. Sedikit syok, lalu dia mencoba menguasai diri saat tubuhnya terhuyung. Dengan sigap ia kembali berusaha berdiri tegak di tengah kesakitannya.
"Siapa kau?" Desisnya, memegangi luka besar yang berdenyut sembari menatap tajam pada Raina. Merasa terusik saat gadis itu menyebut namanya.
Sementara Raina menahan napasnya saat ternyata lelaki itu benar-benar Elian. Dia persis sama dengan yang ada di foto. Wajahnya tidak banyak berubah. Dia Elian, pria yang berbeda 12 tahun darinya. Pria yang ia pikir terlihat tua namun ternyata tidak. Elian justru tidak terlihat seperti berusia tiga puluhan.
"Percaya padaku. Aku.. akan menyembuhkanmu." Tangan Raina terulur, ingin menyentuh luka di tubuh pria itu.
"Ghaarrghh!!" Manusia setengah hewan itu menyerang tangan Raina dengan kuku tajamnya, hingga membuat tangan gadis itu berlumur darah. Raina meringis.
"Jangan coba-coba menyentuhku!"
Raina mengeraskan rahang menahan sakit di punggung tangannya. Namun sesuatu membuat mata lelaki itu membulat saat melihat luka di tangan Raina tiba-tiba saja mengecil, terus mengecil hingga hilang tanpa bekas dan hanya menyisaka darah yang sempat keluar.
"Kau lihat, kan. Aku bisa menyembuhkanmu."
Tangan Raina terulur. Perlahan ia mencoba menyentuh luka yang menganga di perut Elian.
"Raaaii!"
Teriakan Lili membuatnya tersentak. Begitu juga Elian.
Lelaki itu menarik tangan Raina dan berlari masuk kedalam hutan. Sangat cepat. Saking cepatnya, hanya satu detik tempat mereka berdiri sudah berbeda.
Raina merasa pusing dengan kecepatan itu. Ia langsung terduduk saat Elian melepaskan tangannya. Kepalanya seperti berputar dan tiba-tiba perutnya juga terasa mual.
"Cepat! Sembuhkan aku."
Raina mendongak. Dia memegangi perutnya yang serasa berputar. "Tunggulah sebentar."
Elian tak sabar. Dia terus menatap langit dengan awan yang bergerak cepat.
Raina bisa melihat kegelisahan Elian. Walau di tengah hutan, tapi malam sangat terang.
Apa malam ini adalah malam gerhana bulan?
Ah, Raina ingat. Katanya, setiap malam gerhana bulan, kekuatan orang-orang semakin kuat dan bertambah. Entah itu benar atau tidak, Raina belum pernah merasakannya.
Suara lolongan membuat Raina terkesiap. Dia mulai takut apalagi ini di tengah hutan. Raina mulai menyesali keputusannya untuk menyembuhkan Elian. Bisa-bisanya ia ditarik masuk kedalam hutan belantara. Belum tentu pula Elian ini makhluk yang baik.
"Arrghh.." Elian kembali mengerang. Dia terduduk bersandar pada pohon besar karena sudah tak kuat menahan sakit.
"Cepat lakukan sekarang. Aku tidak mau berlama-lama disini."
Raina berjongkok di depan Elian. Dia juga tak ingin berlama-lama disini. Raina memejamkan mata untuk berkonsentrasi dan mulai menyentuh luka lebar di perut Elian.
Dalam diam, lelaki itu menatap wajah Raina. Dia ingin tahu apa yang ada dipikiran gadis yang menyembuhkan lukanya ini. Sejak berhadapan pertama kali, Elian tidak bisa membacanya.
Lalu, darimana perempuan ini tahu namanya? Dia yakin, dia tak pernah bertemu gadis ini.
Elian memperhatikan tangan yang menyentuh lukanya. Luka itu benar-benar mengecil walau prosesnya lamban.
Saat itu pula, Elian merasa seluruh tubuhnya seperti teraliri oleh sesuatu yang dingin. Dia juga merasa tubuhnya mulai segar. Bukan hanya luka, namun kekuatannya juga kembali pulih. Sakit dan denyut yang sejak tadi menyiksa perlahan memudar. Dilihatnya lagi luka yang disentuh gadis itu. Perlahan mengecil dan hilang tanpa bekas sedikitpun.
Elian benar-benar merasa tubuhnya ringan. Lelah dan luka, semua hilang. Siapa gadis ini? Kekuatannya sungguh luar biasa.
"Siapa kau?"
Raina membuka matanya. Luka Elian sangat besar, membuat energi yang baru ia isi habis separuh.
"Kenapa kau mengenalku?" Pertanyaan Elian terdengar mengintimidasi. Dia terusik saat Raina mengetahui dirinya.
Raina menelan ludah. Dia lupa kalau sesi ini akan timbul. Bagaimana caranya mengelak? Tak mungkin dia langsung mengatakan bahwa mereka telah dijodohkan sejak belasan tahun yang lalu.
"A-aku... tidak mengenalmu."
Elian berdiri. "Kau menyebut namaku tadi. Jangan berbohong. Siapa kau, hah?"
Raina tak berani menatap mata Elian yang merah. "Aku... aku tidak tahu. Maafkan aku, manusia anjing." Raina menunduk sebagai permohonan maaf. Dia takut Elian akan memangsanya.
"A-anjing?"
Raina menghela napas. Padahal dia sudah membantu. Tapi manusia setengah hewan ini bukannya berterima kasih malah membuatnya takut dimakan.
Suara lolongan terdengar lagi. Kini bukan cuma satu, melainkan sangat ramai sampai-sampai Raina berdiri ketakutan.
"Tolong, antar aku keluar dari sini." Pintanya dengan nada bergetar.
Elian terus memperhatikan bulan yang terang. Sebentar lagi akan gerhana bulan. Dia tidak bisa terus bersama gadis ini.
"Tunggu disini. Aku akan kembali."
"Apa? Heii!"
Teriakan Raina diabaikannya. Elian sudah menghilang entah kemana.
Raina terdiam disana saat menyadari bahwa dia sendirian di tengah hutan. Matanya berjaga kiri dan kanan, takut jika ada hewan buas yang menyerangnya.
"E-elian.." lirih Raina. Dia memanggil nama lelaki itu pelan, berharap dia muncul lagi sebab tingkat ketakutan Raina kian bertambah.
Raina belum bergerak sama sekali dari tempatnya. Suara lolongan masih saling bersambut. Gadis itu hanya terus menatap sekelilingnya. Berharap tak ada apapun yang mengganggunya.
Tiba-tiba saja dunia berubah gelap. Cahaya yang tadi membantunya melihat isi hutan, perlahan meredup.
Suara berisik terdengar di telinganya. Raina melebarkan mata, memandang sekeliling dengan keringat dingin. Tubuhnya bergetar hebat. Hutan tak seterang tadi.
Terdengar suara tawa berat di dekatnya, membuat Raina bergidik ketakutan. Dalam hatinya mengutuk Elian yang keterlaluan meninggalkannya sendirian.
Sosok bertubuh besar hitam berdiri tak jauh darinya. Raina menutup mulutnya dengan tangan, dia hampir menjerit melihat apa yang ada disana. Apakah dia yang tertawa tadi?
Sosok itu berjalan perlahan mendekat. Raina yang tak ingin menjadi santapan makhluk aneh di hutan itupun berlari kencang kearah tadi Elian membawanya. Mungkin saja jalan itu bisa membawanya kembali.
Raina berlari kencang melewati semak belukar. Rasa takut yang luar biasa membuatnya berani melangkah lebar walau bisa saja dia masuk kedalam jurang saat menerjang gelapnya malam.
Kaki Raina memberi rem dadakan hingga membuat tubuhnya hilang keseimbangan dan terduduk di tanah. Sosok hitam itu sudah berdiri di depannya.
Raina beringsut mundur dengan tubuh bergetar. Keringat bercucuran di dahinya. Makhluk apa itu? Dia bukan hewan sebab sosok itu mirip manusia.
Sosok itu tiba-tiba berjongkok di depan Raina. Disaat itu pula terlihatlah wajahnya dari sisa cahaya bulan yang ada. Dia tersenyum pada Raina yang ketakutan.
"Hai."
Hah? Raina melongo. Sosok yang tadi terlihat sangat menyeramkan itu ternyata berwajah hangat. Bola matanya berwarna oranye, tidak tampak mengerikan. Berbeda dengan Elian.
"Kau tersesat?"
Raina melepas napasnya. Dia menelan ludah karena kerongkongannya kering setelah berlari kencang.
"Kenapa kau bisa ada disini? Ingin menjadi santapan hewan buas?"
Raina tidak ingin menjawab apapun. Keringatnya bercucur deras. Walau lelaki di depannya tampak ramah, dia tetap merasa was-was.
Sedetik kemudian, suasana hutan menjadi hening. Lolongan anjing tak ada lagi. Hutan menjadi lebih gelap sampai Raina tidak bisa melihat apapun di sekelilingnya. Tentu ini membuatnya tegang.
"Jangan takut. Sini, pegang tanganku."
GHAARGGHH!!!
Terdengar erangan keras yang sangat dekat dengan Raina. Mata gadis itu terbelalak. Apa yang terjadi? Dia tidak bisa melihat apa-apa di dekatnya.
Tak lama, sinar bulan kembali terang. Dilihatnya siluet tubuh tinggi tegap berdiri di depannya.
Cahaya bulan yang mulai kembali terang membuat Raina dengan jelas melihat Elian yang membelakanginya.
Kini tampilannya berbeda. Elian memiliki banyak bulu di sekujur tubuhnya. Bahkan ada ekor di belakangnya. Tadi Elian belum sampai seperti ini, kan. Dia.. mengerikan.
"Kubilang tunggu disana! Kenapa kau tidak mendengarkanku?!" Suara berat Elian membuat Raina bergidik. Taring, mata merah, bulu di wajah Elian memang tak bisa membuatnya tenang walau dia sudah hadir kembali.
"Wah. Apa ini.." lelaki tadi berdiri. Dia menepuk-nepuk pelan bajunya yang kotor. Nampaknya ia diserang oleh Elian saat gelap gulita tadi.
".. aku tidak bermaksud mengganggu. Aku hanya ingin membantu gadis yang tersesat." Ucap lelaki bermata oranye itu dengan senyuman di wajahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!