Dengan kemeja hitam berlengan panjang, sosok tampan bertubuh tinggi berdiri di depan kaca.
Matanya yang cokelat menatap dingin saat tangan besar berbulunya mengatur rambut hitamnya secara acak.
Kaki panjang berbulunya terbalut jins biru yang sangat pas. Kulitnya yang cokelat matang akibat paparan matahari terlihat saat jemari pria bernama lengkap Niko Lais itu membuka kancing kemejanya.
Drtt... Drtt...
Getaran ponsel mengalihkan Niko. Dilihatnya benda pipih itu bergetar dan nama Handoko Lais sebagai pemanggil.
Tanpa menunggu Niko segera menekan radial. "Halo, Pa?"
"Niko, minggu depan papa akan pulang. Papa harap kamu akan mempertemukan papa dengan calon menantu yang baik."
Niko berdecak. "Aku belum ingin menikah, aku masih ingin bersenang-senang."
"Papa tidak mau tahu, pokoknya begitu papa tiba kau harus menunjukkan wanitamu pada papa."
Tut! Tut!
Dengan kesal Niko menatap ponselnya. "Memangnya kamu siapa, seenaknya saja memerintahku?"
Tak mau memikirkan hal itu, Niko segera berbalik dan keluar dari kamar.
"Brian!" teriak Niko saat ia hendak keluar.
Sosok lelaki tua pun muncul. "Iya, Tuan?"
"Aku ingin menyetir sendiri. Kau di rumah saja. Kalau papa telepon dan menanyakanku bilang saja aku tidak ada."
"Baik, Tuan."
Tanpa berlama-lama Niko segera menuju garasi mobil. Dengan wajah selalu datar ia menyalahkan mesin mobil kemudian meninggalkan halaman.
Dalam perjalanan tiba-tiba ponsel Niko bergetar. Niko memelankan laju mobil kemudian menoleh ke arah indikator, di mana ponselnya di letakkan.
"Wina?" Niko segera menyapa, "Ada apa?" tanya Niko begitu panggilannya terhubung. Wajahnya datar dan tatapannya pun garang.
"Nanti malam aku mau nonton. Kamu mau kan nonton bersamaku?"
"Aku ada acara bersama teman-teman. Kau ajak orang lain saja."
"Kamu egois Niko, kamu hanya mementingkan temanmu daripada aku."
Niko menyeringai. "Memangnya kamu siapa, hah?"
"Siapa?! Aku ini pacar kamu, Niko."
"Apa kita pernah jadian? Apa aku pernah menyatakan cinta padamu?"
"Kita sudah tidur bersama, Niko."
"Aku bukan pria satu-satunya yang pernah tidur denganmu, Wina."
Sosok di balik telepon terdiam.
"Kau bukan pacarku, aku juga bukan pacarmu. Paham?"
"Iya, tapi___"
Tut! Tut!
Niko memutuskan panggilan dengan kasar. "Dasar perempuan. Dia pikir aku ini pria bodoh yang mau dijebak, hah?!"
Brak!
Niko melemparkan ponsel itu hingga mengenai dinding pintu mobil. Saking malasnya Niko melempar asal benda itu ke samping dan jatuh ke bawah.
Ia terkejut. "Brengsek, ini gara-gara Wina."
Melihat jalanan sepi membuat Niko nekat tanpa memperlambat Iaju mobil. Ia mengulurkan tangan sebelah, menunduk untuk mencari ponselnya.
Jalur yang ia lewat merupakan perkebunan sepi yang kurang dilewati kendaraan lain. Hal itu menyebabkan Niko berani menyetir tanpa melihat ke depan.
Setelah berhasil menemukan ponsel itu Niko kembali ke posisinya. Baru hendak menegakkan badan, Niko terkejut melihat beberapa hewan yang menyebrang jalan secara tiba-tiba.
Klakson panjang pun terdengar.
Niko mengutuk hewan-hewan itu dengan kata-kata sarkas yang sering dilontarkannya.
Merasa jalan itu selalu sepi, Niko menoleh ke belakang tanpa melihat ke depan. Ia masih penasaran melihat banyak kera yang menyeberang jalan untuk pertama kalinya.
"Mungkin mereka lapar," kata Niko kemudian menghadap ke depan. Ia terkejut melihat tikungan yang sudah di depannya.
"Aaaakh!"
Karena mobilnya begitu cepat Niko segera membanting setir mobil dan menghantam sebuah pohon.
Brak!
***
Dengan balutan pakaian dinas yang sering dikenakannya setiap hari, sosok wanita berwajah lembut mengemudikan mobil sedannya dengan kecepatan rendah.
Rambut cokelatnya disanggul rapi. Lekuk tubuh yang indah sangat terlihat meskipun ia sedang duduk. Kulit putih mulusnya begitu kontras dengan interior mobil yang gelap.
Saat ini wanita bernama lengkap Wulan Tanujaya itu dalam perjalanan menuju kantor. Karena jalur yang ia lewati adalah jalur yang sepi, Wulan melajukan mobil sambil menyanyikan lagu yang diputarnya melalui audio bluetooth.
(Panggilan masuk)
Dering ponsel menggantikan musik yang baru saja dinyanyikannya. Wulan menoleh, meraih ponsel, melihat siapa yang menghubunginya.
Melihat nama si pemanggil adalah adiknnya, Wulan segera menekan radial dan mendengar suara sang adik melalui sambungan perangkat.
"Halo, Ka?"
"Ada apa, Lan?" sambil mengemudi dan fokus di jalan Wulan menyapa adiknya.
"Malam ini Kakak mau ke mana?"
"Tidak. Kenapa?"
"Aku ingin mengajak Kakak nonton. Kalau Kakak mau, aku akan segera membeli tiketnya lewat aplikasi."
"Terserah kamu saja, Lan. Aku ikuti saja."
"Terima kasih, Kakakku sayang. Aku tutup dulu, ya. Sampai nanti."
Sambil tersenyum Wulan membiarkan panggilannya terputus. Musik yang tadi terhenti sekarang terdengar kembali.
Wulan hendak bernyanyi, tapi nyanyian itu terhenti saat matanya melihat mobil hitam yang bagian depannya hancur dan berasap. Wulan pun segera memelankan volume bersama laju mobilnya.
Sambil mengerakan mobil sedan hitamnya Wulan membuka jendela dan melihat ke arah kecelakaan.
"Ya ampun, masih pagi begini sudah terjadi kecelakaan. Mungkin supirnya mabuk."
Saat melewati mobil itu mata Wulan melihat siluet di bangku kemudi. Penasaran dengan hal itu, Wulan menghentikan mobilnya kemudian memperhatikannya dengan jelas.
"Astaga! Pengemudinya masih ada di dalam."
Wulan panik dan ingin minta tolong, tapi jalanan sangat sepi. Ia ingin turun dan memeriksa kondisi sang pengemudi, tapi rasa takut tiba-tiba menyerangnya. Asap yang keluar dari depan mobil membuatnya takut.
"Bagaimana ini? Apa pengemudinya sudah mati atau masih hidup, ya?"
Rasa bersalah pun menyerang Wulan saat membayangkan pengemudi itu mati tanpa pertolongannya.
Tanpa rasa takut lagi Wulan memberanikan diri untuk keluar dari mobil. Ia berlari ke arah mobil itu kemudian memeriksa kondisi sang supir.
"Ya, Tuhan."
Wulan terkejut melihat wajah sang pengemudi berlumuran darah. Saking terkejutnya Wulan tidak memeriksa, apakah sang supir masih hidup atau tidak. Spontan ia segera meraih ponsel untuk menghubungi polisi.
"To-long, tolong aku."
Di waktu bersamaan panggilan Wulan segera direspon. Senang melihat sang pengemudi masih hidup, dengan antusias ia memberitahukan lokasi kejadian kepada sosok di balik telepon.
"Sebaiknya cepat, pengemudinya banyak mengeluarkan darah."
"Baik, kami akan segera ke sana."
Setelah panggilan terputus perhatian Wulan teralih kepada si pengemudi pria.
"Polisi akan segera datang. Bertahanlah."
Tangan pengemudi itu terangkat. Tangan besar, berbulu dan berlumuran darah itu hendak menyentuh Wulan.
"Tolong, tolong aku."
Wulan dengan cepat menangkap tangan itu. "Aku ada di sini, aku akan menolongmu. Aku tidak akan meninggalkanmu. Ayo, aku akan membantumu keluar."
Tanpa peduli risiko yang terjadi, Wulan membantu pria itu keluar dari mobil. Asap yang semakin banyak membuat Wulan tak peduli meski baju dinasnya terkena darah.
"Bertahanlah."
Tepat di saat itu mobil polisi dan ambulance muncul. Wulan lemas sekaligus senang.
"Syukurlah mereka datang. Kamu akan selamat."
Beberapa polisi dan petugas medis pun langsung membantu Wulan.
Wulan pun dengan pasrah menyerahkan tugas itu kepada mereka.
Dilihatnya petugas medis meletakkan tubuh pria itu di atas brankar.
Meski tak mengenalnya, Wulan meneteskan air mata saat melihat tubuh pria itu terbujur kaku di atas brankar. Rasa sedih, kasihan dan sayang bercampur menjadi satu.
'Selamatkan dia, Tuhan.'
"Permisi, Nona."
Suara petugas polisi mengejutkan Wulan. Sambil menghapus air mata ia menatap mereka.
"Ya, Pak?"
"Anda harus ikut kami untuk memberikan keterangan."
"Baik, Pak. Tapi bisakah aku ikut ke rumah sakit bersama mereka?"
"Anda mengenalnya?"
"Tidak. Aku ingin melihat kondisinya?"
"Baiklah, ayo."
Bersambung_____
Ambulance yang membawa Niko akhirnya berhenti di rumah sakit terbesar di kota Jakarta, diikuti mobil Wulan yang dikendarai oleh polisi muda itu.
"Saya akan masuk ke dalam, saya akan menemaninya sampai keluarganya datang," kata Wulan.
"Silahkan, Nona. Ini kunci mobil Anda. Kalau butuh sesuatu hubungi saja kami."
"Terima kasih banyak, Pak."
Wulan pun masuk ke dalam bersama petugas medis yang mendorong brankar yang di tumpangi pria itu. Sambil berlari mengikuti mereka Wulan kembali berdoa.
'Tuhan, selamatkan pria ini. Aku tak mengenalnya, tapi aku ingin dia selamat. Selamatkan dia, Tuhan ... kumohon.'
"Maaf, Anda tidak boleh masuk, Nona!"
Suara suster mengejutkan Wulan. Dengan tubuh kaget ia berhenti kemudian duduk di depan ruangan.
"Tuhan, sembuhkan pria itu. Sembuhkan pria itu, Tuhan."
"Permisi."
Suara petugas medis dari arah lain membuat Wulan menoleh. "Iya, ada apa?"
"Maaf, apa Anda keluarga pasien?"
"Bukan."
"Apa Anda mengenal keluarganya, kami butuh mereka untuk menyelesaikan administrasinya."
Wulan berdiri. "Aku saja. Berapa totalnya, Suster?"
"Mari ikut saya."
Wulan menurut dan mengekor di belakang wanita itu. Begitu tiba di meja administrasi, Wulan meminta izin untuk mengambil dompetnya di dalam mobil.
"Suster, ini tanda pengenal pasien. Mungkin Anda bisa menghubungi keluarganya untuk memberitahukan kondisi pasien."
"Tentu saja. Terima kasih, Pak polisi."
Begitu polisi itu pergi, Wulan kembali sambil membawa tasnya. Ia mengeluarkan dompet dan kartu hitam dari sana.
"Berapa totalnya, Suster?"
Suster itu menyebutkan nominalnya.
"Apa pihak kepolisian sudah memberitahu keluarganya?"
"Sudah, Nona. Saya baru saja menghubungi keluarga pasien dari tanda pengenal yang diberikan polisi tadi."
"Syukurlah. Semoga saja mereka cepat ke sini."
"Ini kartu Anda, Nona. Silahkan tanda tangan di bawah ini."
"Oh, baik."
Selesai bertransaksi Wulan pun kembali ke ruangan, di mana pria itu dirawat. Ia duduk di bangku panjang tepat di depan ruangan itu.
'Tuhan, bantu pria itu. Pulihkan dia dan selamatkan dia, Tuhan.'
"Itu dia!"
Suara berat dari ujung koridor mengejutkan Wulan. Dilihatnya salah satu petugas polisi berjalan cepat bersama lelaki tinggi berjas hitam. Wulan mengerutkan alis, penasaran.
"Ini wanita yang menolongnya, Pak."
Lelaki yang berdiri di depan Wulan segera menunduk hormat kemudian mengulurkan tangan untuk berjabat.
"Terima kasih banyak, Nona. Terima kasih banyak, Anda telah menyelamatkannya."
Wulan berdiri. "Kebetulan saya memang lewat di sana. Anda tidak perlu berterima kasih, Pak."
"Saya harap Anda tidak akan menolak jika kami memberikan kompensasi untuk Anda, Nona."
"Itu tidak perlu, Pak."
Clek!
Bunyi pintu terbuka membuat mereka menoleh.
"Keluarga pasien?"
"Saya, Suster," jawab lelaki berjas hitam.
"Pasien sudah sadar."
Lelaki berjas itu mengabaikan Wulan dan masuk ke dalam. Ia bahkan lupa menyebutkan nama saking senang mendengar majikannya sudah sadar.
Wulan jyga ikut senang mendengarnya. Namun, tidak ada keterikatan keluarga membuatnya sungkan untuk melihat kondisi pasien. Ia pun kembali duduk, menunggu lelaki berjas yang tidak diketahui namanya itu keluar.
'Terima kasih, Tuhan. Terima kasih.'
(Panggilan masuk)
Getaran ponsel mengejutkan Wulan. Dengan cepat ia merogoh tas, melihat siapa yang memanggil.
"Halo, Fan?"
"Lan, kamu di mana? Sekarang sudah jam sembilan. Kamu tidak masuk kantor hari ini?"
Wulan berdiri menjauhi ruangan. "Aku di rumah sakit, Fan."
"Rumah sakit?! Siapa yang sakit, Lan?"
Wulan menjelaskan kronologinya kemudian melirik jam tangan. "Satu jam lagi aku akan tiba."
"Baiklah. Sampai nanti."
Panggilan pun terputus. Wulan menoleh, menatap ruangan di mana lelaki itu di rawat.
'Dia sudah sadar. Keluarganya juga sudah datang. Terima kasih, Tuhan.'
Di sisi lain.
Dengan kondisi lemah dan terbalut perban di bagian kepala dan tangan, sosok pria tampan sedang berbaring sambil menatap lelaki berjas hitam yang ada di depannya.
"Apa kata dokter, Brian?"
"Anda butuh istirahat saja, Tuan. Luka di kepala Anda akibat benturan keras. Dahi Anda sobek dan harus dijahit. Luka di tangan akibat terkena pecahan kaca jendela. Kata dokter itu tidak parah, cukup mengkonsumsi obat secara rutin lukanya akan cepat kering."
"Mungkin kalau wanita itu tidak datang, aku pasti sudah mati. Di mana wanita itu, aku ingin bertemu dengannya?"
"Di depan, Tuan. Tunggu sebentar, saya akan memanggilnya."
Niko menatap tubuh Brian. Begitu lelaki itu menghilang, ia memikirkan saat dirinya lemas dan sosok wanita cantik muncul di hadapannya.
Niko tersenyum. "Kau malaikatku."
Clek!
Bunyi pintu terbuka membuat wajah Niko kembali datar. Dilihatnya Brian masuk sendirian kemudian menutup pintu lagi.
"Di mana dia, Brian?"
"Maaf, Tuan. Tadi waktu saya datang wanita itu ada di depan. Begitu aku keluar, di depan sudah tidak ada siapa-siapa. Mungkin dia sudah pulang, bajunya penuh darah."
"Bajunya penuh darah?" Niko terkejut.
"Iya, Tuan."
Niko mengingat kembali kejadiaan saat wanita itu mengeluarkannya dari mobil.
"Dia yang mengeluarkanku dari mobil, Brian. Kalau tidak ada dia, mungkin aku sudah mati. Kumohon cari dia, Brian. Cari wanita itu sampai ketemu, aku ingin berterima kasih padanya."
Tok! Tok!
Ketukan pintu membuat Brian dan Niko spontan menoleh.
Sosok perawat cantik masuk sambil membawa file.
"Permisi. Maaf mengganggu sebentar, Pak."
Brian mengangguk. Niko hanya diam dengan wajah datar menatap lembaran kertas di tangan perawat itu.
"Saya ke sini untuk menyerahkan bukti pembayarannya."
Dengan sigap Brian menerima lembaran tersebut.
"Berapa totalnya, Brian?" tanya Niko.
"Lima juta enam ratus ribu rupiah, Tuan. Di sini juga tertulis pembayarannya lunas."
"Niko terkejut. "Lunas?"
"Iya, Tuan."
Niko menatap Brian.
Brian pun paham dan langsung menatap perawat itu. "Bisa kami tahu siapa yang melunasinya?"
"Wanita yang membawa Anda ke sini, Pak. Dia yang melunasi pembayaran tadi saat dokter menangani Anda."
"Siapa namanya?" tanya Niko cepat.
Si perawat memeriksa catatan lain yang ada di tangannya. "Namanya Wulandari Tanujaya."
Niko menyimpan nama itu di memorinya.
Brian menjawab, "Terima kasih banyak, Suster."
"Sama-sama, Pak. Saya permisi dulu."
Begitu si perawat berlalu, Niko menatap sosok berjas hitam di depannya.
"Cari dia, Brian. Bagaimana pun caranya, kau harus membawa dia padaku."
"Baik, Tuan."
Hampir tiga jam terbaring begitu nyenyak akibat obat yang ditelannya, Niko terbangun saat kantong kemihnya terasa penuh.
"Brian."
Sosok yang sedang duduk di sofa segera beranjak. "Iya, Tuan?"
"Aku ingin ke kamar kecil."
Dengan sigap Brian segera membantu Niko turun dari ranjang. Kecelakaan tadi membuat Niko sulit berjalan. Tidak parah, tapi kakinya terasa sakit saat digerakan.
"Kau sudah menemukannya?" sambil berjalan Niko bertanya.
"Belum, Tuan. Tapi saya tahu di mana kantornya."
Sejenak Niko menatap Brian. "Tunggu di sini, aku ke dalam dulu."
Brian nyaris tertawa melihat ekspresi bahagia di wajah majikannya. Selama puluhan tahun menjadi supir sekaligus pengawal Niko, Brian tidak pernah melihat majikannya tersenyum lebar seperti tadi.
Hanya memakan waktu lima menit Niko keluar dari toilet.
"Bagaimana, Brian? Apa katamu tadi?"
Bersambung____
Brian membantunya kembali ke ranjang.
"Saya telah menyuruh orang untuk mencari ciri-ciri seperti wanita itu, Tuan. Tapi mereka tidak menemukannya. Namun, saat jam makan siang saya melewati kawasan Kitten Group, saya melihat ada wanita yang berseragam yang sama berjalan di troator depan pertokoan. Saya berhenti dan bertanya padanya."
"Waktu menolongku dia memakai seragam bank kalau tidak salah. Kau menemukannya, Brian? Apa katanya? Dia mau menemuiku, kan, Brian?" tanya Niko tak sabar.
"Aku tidak bertemu wanita itu, Tuan. Kata mereka dia sudah pulang."
Ekspresi Niko sedikit kecewa. "Besok pagi kau ke sana lagi dan temui dia. Bilang padanya aku ingin bertemu dengannya."
"Baik, Tuan."
***
"Kecelakaanku gara-gara wanita sialan dan kera-kera brengsek itu. Untung Wulan datang tepat waktu, kalau tidak____"
(Panggilan masuk)
Ucapan Niko terhenti saat dering ponselnya berbunyi.
Pelayan wanita yang ditugaskan untuk memegang ponselnya langsung memberikan benda itu.
"Siapa?" tanya Niko.
Ragu-ragu wanita itu menjawab, "Di sini tertulis ... Handoko Lais, Tuan."
Dengan eskpresi malas Niko meraih ponsel. "Itu papa."
Si pelayan wanita dan Brian terkejut. Mereka terheran-heran Niko menyimpan kontak papanya dengan nama yang lengkap.
Dengan malas Niko menjawab, "Hmmm?"
"Bagaimana keadaanmu, Niko? Papa dengar dari Brian kemarin kamu kecelakaan."
"Apa peduli Papa, bukankah Papa tidak pernah peduli padaku?"
"Jangan berkata begitu, Niko. Papa sangat mengkhawatirkanmu, hanya kamu satu-satunya milik papa. Bagaimana keadaanmu sekarang?"
"Brian sudah mengatakannya, bukan?"
"Niko, papa tahu kamu marah. Itu sebabnya papa ingin pulang dan menjelaskan semuanya padamu."
"Tidak perlu. Aku juga belum punya wanita untuk kuperlihatkan kepada Papa."
"Kita akan membahas itu nanti, papa ingin menjelaskan sesuatu yang lebih penting padamu. Besok atau lusa pasti papa sudah di sana."
Tak membalas perkataan sang ayah, Niko memutuskan panggilan sepihak. Ia kemudian memberikan ponselnya kembali kepada pelayan itu.
(Panggilan masuk)
Pelayan wanita yang bernama Magdalena itu melirik Brian. Ia sedikit takut saat mengatakan bahwa orang yang sama kembali menghubungi.
"Tuan besar kembali menelepon.""
"Abaikan saja."
Di sisi lain.
Suasana di ruang makan keluarga Tanujaya begitu hangat, sama seperti cerahnya pagi ini.
Di kepala meja ada sosok lelaki berwajah cukup tampan sedang menikmati sarapannya.
Di samping kanannya ada wanita matang berwajah lembut sedang tersenyum menatap dua wanita muda di depannya.
"Wulan, kalau kamu perlu apa-apa langsung kabari mama, ya?"
"Iya, Ma."
"Seandainya sudah bisa cuti, aku ingin sekali liburan bersama kakak."
"Apa perlu papa menelepon bosmu untuk meminta ijin?"
Wanita yang sering di sapa Lan itu terkejut. "Jangan, Pa. Itu tidak perlu, rencana akhir tahun ini aku ingin minta izin ke luar negeri berapa hari. Jadi, berapa bulan ini aku ingin absenku bersih, agar cutiku bisa keluar."
Semua orang tersenyum.
Wulan menyudahi sarapannya. "Aku sudah selesai. Aku harus ke bandara sekarang, aku tidak mau ketinggalan pesawat."
"Papa akan mengantarmu."
"Mama boleh ikut, tidak?" tanya wanita yang bernama Angelina.
Lan tak mau kalah. "Aku juga, jam kerjaku belum mulai. Aku masih punya waktu satu jam sebelum terlambat."
Wulan senang keluarganya yang sekarang begitu perhatian dan sayang padanya. Walaupun lelaki dan adiknya bukanlah keluarga sedarah, ia bangga memiliki ayah sambung yang baik hati, serta adik tiri yang tak pernah iri kepadanya.
Meskipun sedikit jengkel karena memiliki nama sama dengan sang adik, Wulan sangat sayang padanya dan sudah menganggap dia seperti adik sendiri.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Niko yang sejak tadi menunggu, tampak gelisah dan gerah meski suhu dalam ruangan begitu dingin. Ia bahkan menunda makan siangnya dan menunggu sampai Brian datang.
Tok! Tok!
Bunyi ketukan pintu membuatnya kaget. Dengan cepat ia berseru dan sosok tinggi di balik pintu masuk ke dalam.
Senyum Niko melebar. "Bagaimana, Brian? Apa kau berhasil bertemu dengannya?"
Ekspresi Brian menyedihkan. Tahu majikannya akan mengamuk, Brian langsung mengatakan inti dari informasi yang ia dapatkan.
"Kata orang bank nona Wulan hari ini cuti, Tuan. Aku juga mendatangi rumahnya, tapi kata mereka nona Wulan pagi tadi sudah berangkat ke luar kota."
"Berapa lama?"
"Satu minggu."
Niko lemas. "Aku tidak bisa memperkenalkan dia kepada papa. Kuharap setelah papa tiba dia juga akan segera kembali."
***
Setelah berapa hari dirawat di rumah sakit, hari ini Niko bisa pulang dan menghirup udara segar.
"Akhirnya aku terbebas dari bau obat-obatan."
Saat ini Niko berada di taman belakang bersama dua orang yang sudah mengurusnya sejak usia sepuluh tahun.
Di rumah besar yang bertema alam itu Niko hanya tinggal bersama Brian dan Magdalena.
"Tuan, saya ingin menyiapkan makan siang. Apa ada menu khusus yang ingin Anda makan siang ini?"
"Tidak ada. Terima kasih, Magdalena."
"Baik, Tuan. Saya permisi dulu."
"Brian, apa kau sudah menemukan semua informasi yang kuminta?"
"Sudah, Tuan. Tunggu sebentar."
Niko membiarkan lelaki itu pergi. Sambil duduk sendiri ia kembali memikirkan kejadian saat pertama kali dirinya bertemu Wulan.
'Cantik, lembut, baik hati. Kau wanita pemberani yang pertama kali kutemui, Wulan. Kau bahkan tidak meminta ganti rugi uang yang kau pakai untuk biaya rumah sakitku. Wanita seperti itu lah yang kucari selama ini.'
Brian muncul sambil membawa beberapa lembar kertas putih.
"Ini, Tuan."
Mata Niko yang cokelat menatap sederet huruf yang ada di lembaran itu.
"Wulandari Tanujaya. Usia dua puluh delapan tahun. Tanggal lahir lima belas Juni. Status Account Officer di Bank Central Asia. Hobi nonton, membaca dan makan," Niko tersenyum, "Anak tertua dari dua bersaudara. Ayahnya pemilik Bebbi Residence se kota Jakarta dan Surabaya," Niko menatap Brian, "Dia putri pemilik perumahan elit itu?"
"Benar, Tuan."
Mata Niko kembali menatap lembaran itu. "Kau dapat semua informasi ini dari mana, Brian?"
"Teman kantornya, Tuan. Namanya Fanny."
Tatapan Niko garang. "Apa dia lelaki?"
"Dia wanita, Tuan."
Niko senang kemudian membaca lagi lembaran ke dua. "Menu favorit ayam bakar, sate sapi dan ayam kare, es teh, kopi, susu, mie instan, cotto dan bakso. Selera makanannya sederhana. Aku semakin menyukainya, Brian."
Brian menahan tawa.
"Hal yang tidak disukai adalah menunggu, jalan-jalan, belanja dan keramaian. Suka hal-hal berbau alam dan tidak suka dibohongi," alis Niko berkerut, "Apa maksudnya tidak suka dibohongi, Brian?"
"Kata temannya, nona Wulan pernah kecewa. Jika Anda ingin mendekatinya sebaiknya jangan main-main, nona Wulan ingin menerima pria kalau pria itu serius menjalin hubungan."
"Apa maksudnya berkata begitu?"
"Wanita itu menanyakan tujuan saya mencari informasi nona Wulan. Begitu saya menjelaskan yang terjadi, nona Fanny memberitahu saya soal itu."
"Tidak masalah. Berarti sekarang Wulan tidak punya pacar?"
"Tidak, Tuan. Nona Wulan terakhir pacaran tiga tahun lalu."
Niko tersenyum samar. "Ini akan menjadi tantangan buatku, Brian. Aku harus mendapatkannya dan menikahinya."
(Panggilan masuk)
Dering ponsel mengejutkan Niko. Dengan cepat ia meraih benda itu dari atas meja.
"Halo?"
Bersambung____
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!