Alex Kenedy, sama persis seperti apa yang selalu Mama ceritakan. Pria itu tinggi dan berkulit gelap, dan Bella belum pernah melihat orang setampan ini. Meski wajahnya terlihat lelah, manun dia tetap telihat seperti pangeran dalam cerita yang dibacakan Mama.
Jantung Bella berdegup kencang, ia begitu amat gembira bisa bertemu dengan papanya. Ia mengenakan rok hijau terbaiknya dan atasan putih. Dan Mama mengepang rambutnya dengan pita merah jambu dan biru. 'Apakah Papa menyukai penampilannya? Mama bilang hijau adalah warna kesukaannya, papa kenapa dia tidak tersenyum? Apakah Papa sedang ada masalah?' batin Bella, ia berdiri tegak dan diam seperti apa yang di perintahkan Mama.
Mama bilang, Papa akan menyukainya, jika Bella bersikap manis. Tapi kenyataannya Papa sama sekali tidak terlihat senang.
"Bukankah putrimu sangat cantik, Alex?" ucap Caludia, dengan suara tegang, seperti tersedak. "Bukankah dia gadis kecil paling cantik yang pernah kamu lihat?"
Bella melihat mata gelap Papanya, Papanya sama sekali tidak terlihat bahagia, dia justru tampak marah, sama seperti Mamanya ketika Bella terlalu banyak bicara atau terlalu banyak bertanya
"Hanya beberapa menit saja," ucap Caludia dengan wajah ketakutan. “Hanya itu yang aku minta, Alex. Itu akan sangat berarti baginya.” Alex Kenedy menatap Bella, dengan mulut yang terkatup rapat.
Bella memiliki dagu dan hidung mirip Papanya, serta rambut lurus dan kulit putih seperti Mamanya. Matanya juga seperti Mamanya, meskipun lebih coklat. Bella ingin Papanya berpikir jika dia cantik, dan Bella menatapnya dengan penuh harap.
Tapi sorot mata papanya tidak bagus. “Apakah kamu sengaja memakaikan dia baju warna hijau, Claudia?” tanya Alex.
"hijau adalah warna kesukaannya."
Bella merasa bingung, mengapa orang tuanya terlihat sangat dingin. Bella menarik jas papanya. "Papa ..."
"Jangan panggil aku seperti itu."
Bella berkedip, ketakutan dan bingung dengan sikapnya Papanya. Bella berpikir bahwa Papanya marah karena Bella tidak mengucapkan terima kasih atas hadiah yang selama ini di kirimkan oleh Papanya. “Aku ingin berterima kasih atas hadiahmu...”
“Sst, Bella,” ucap caludia dengan cepat, ia meletakkan tangannya di bahu Bella. Bella bisa merasakan jari-jari mamanya gemetar, tapi papanya membungkuk ke arahnya sembari tersenyum. "Hadiah apa?" tanya. "Katakan padaku, Nak."
"Aku selalu suka permen yang kau kirimkan untukku," ucap Bella, ia merasa sena g papanya perhatian padanya. "Dan yang paling terbaik dari hadiah itu adalah angsa kristal yang kau berikan” Bella tersenyum lagi, matanya berbinar gembira karena Papanya mendengarkannya dengan dengan penuh seksama.
Alex menatap Caludia dengan tajam "Aku sangat senang mengetahui betapa berartinya hadiah itu."
Bella menatap Papanya dengan penuh rasa gembira. “Aku meletakkannya di ambang jendela. Sinar matahari menembusnya dan membuat warna-warna indah menari di dinding. Apakah Anda ingin melihatnya?” Bella meraih tangan Papanya hendak mengajaknya melihat angsa kristal itu.
Bella tersentak dan terluka ketika Papanya mengibaskan tangan yang pegang olehnya. 'Apa yang aku lakukan adalah salah?' batin Bella, ia melihat ibundanya napak ketakutan.
Claudia menghampiri Bella, ia menyentuh bahu putrinya dengan lembut. "Sayang, pergilah bermain keluar," pinta Caludia.
Bella mendongak, selaki lagi batinnya bertanya. Apakah aku telah melakukan sesuatu yang salah?
"Tidak bisakah aku tetap di sini? Aku tidak akan bicara apa pun," ucap Bella, bukan ia tak ingin menuruti perintah Mamanya, hanya saja ia masih ingin melihat Papanya.
Alex membungkukan badannya ke arah Bella. "Aku ingin kamu keluar dan bermain," ucapnya. "Aku ingin berbicara berdua saja dengan Mamamu," ia tersenyum dan mengelus pipi Bella dengan lembut.
Bella tersenyum karena Papanya telah menyentuhnya. Apakah Papa menyayanginya? Seperti yang selalu mama katakan. "Bisakah aku kembali lagi setelah kalian selesai berbicara?"
Papanya menegakkan tubuh dengan kaku. “Mamamu akan datang dan menjemputmu setelah kita selesai. Sekarang, kau pergilah keluar!"
“Baik Papa,” Bella masih ingin tatap di ruang tamu, tetapi dia ingin menyenangkan Papanya, sehingga ia pun keluar dari ruang tamu, melewati dapur ke belakang pintu. Bella memetik beberapa bunga aster yang tumbuh di taman belakang kediamannya. Dia memetik kelopaknya. “Papa menyayangiku, Papa tidak menyayangiku, Papa menyayangiku, Papa tidak....” Bella terdiam ketika kelopak terakir di dapatkan 'Papa tak menyayanginya'.
Padahal Bella selalu bermimpi jika Papanya menggendongnya, mengajaknya bermain, dan membiarkannya duduk di pangkuannya sembari membacakan buku cerita.
Jendela ruang tamu terbuka, dan Bella bisa mendengar suara-suara. Ia berjalan ke dekat jendela itu, kemudian Bella duduk dan mendengarkan pembicaraan mereka.
“Apa yang harus kulakukan, Alex? Agar kau mau menghabiskan waktumu semenit saja bersama Bella. Apa yang harus saya katakan padanya? jika Papanya tidak pernah peduli? Jika Papanya tidak pernah menginginkannya bahkan dari semenjak dia belum dilahirkan?”
Bibir Bella terbuka. Papa, menolak kehadiranku di dunia!
“Aku memungut angsa kristal yang kamu berikan pada anakmu yang disana, tapi anakmu itu justru membuangnya, dia sama sekali tak menghargai pemberianmu. Lalu angsa itu aku berikan pada Bella, dan Bella begitu senang ketika aku mengatakan itu pemberian darimu!!"
Bella duduk di tanah, tidak peduli dengan gaun cantiknya kotor, jantungnya melambat dari detaknya.
“Alex, tolong. Bella sama sekali tidak bersalah, pagi ini dia bertanya kepadaku, apakah dia sudah cukup umur untuk bertemu denganmu? Dia bertanya padaku setiap saat ketika dia tahu kamu datang. Dia tidak mengerti mengapa kau mengabaikannya, begitu juga dengan aku.”
“Kau tahu bagaimana perasaanku padanya?"
“Bagaimana kamu bisa mengatakan perasaanmu? Kau bahkan tidak mengenalnya. Bella anak yang cantik, Alex. Dia sangat pintar dan menawan dan dia tidak takut pada apapun. Dia mirip sepertimu dalam banyak hal. Kamu tidak bisa mengabaikannya keberadaannya. Dia putrimu.…”
“Aku punya cukup banyak anak dari istriku. Anak-anak yang sah. Aku sudah bilang aku tidak menginginkan anak darimu.”
“Bagaimana kamu bisa mengatakan itu? Bagaimana bisa kamu tidak mencintai darah dagingmu sendiri?"
“Aku sudah memberitahumu sejak awal, tetapi kamu tidak mau mendengarkan. Dia seharusnya tidak pernah lahir, Claudia, tapi kamu bersikeras untuk melahirkannya, padahal aku sudah menyuruhmu menggugurkannya."
“Aku tidak bisa melakukannya. Bagaimana kau bisa menyuruhku untuk membunuh anak yang sedang aku kandung? Apakah kamu tidak mengerti bahwa itu adalah dosa besar?”
“Kamu menghabiskan terlalu banyak waktu di gereja,” ucapnya mengejek. "Jika kau menyingkirkan anak itu sebelum dia lahir tentu, sekarang tak akan jadi masalah."
"Aku menginginkannya!" ucap Claudia putus asa. “Dia adalah bagian dari dirimu, Alex, dan bagian dari diriku. Aku menginginkannya bahkan jika kamu tidak...."
“Apakah kau mengiria, jika kau melahirkan dan membesarkannya, kau akan memilikiku seutuhnya?? Tidak Caludia. Tidak. Kau tidak akan pernah memilikiku."
"Kamu jahat, Alex," ucap Caludia sembari menangis. “Aku sudah menyerahkan segalanya untukmu! keluargaku, teman-temanku, harga diriku, semua yang aku yakini.…"
“Aku membelikanmu rumah ini, aku memberi uang untuk memenuhi semua kebutuhanmu," ucap Alex.
Suara Claudia meninggi. “Apakah kamu tahu bagaimana rasanya aku berjalan di kota ini? Kamu datang dan pergi sesuka hatimu. Dan mereka tahu siapa kamu, dan mereka tahu siapa aku. Tidak ada yang mau berbicara kepadaku dan juga Bella, bahkan Bella pernah bertanya padaku tentang hal itu sekali. Aku hanya bisa mengatakan kepadanya bahwa kami berbeda dari orang lain. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya."
“Aku muak mendengar tentang anak itu, dia merusak segalanya di antara kita. Apakah kau ingat betapa bahagianya kita dulu sebelum ada anak itu? Kita tidak pernah berterngkar, dan aku selalu tidak sabar untuk datang menemuimu, dan bersama denganmu. Aku berharap dia tidak pernah di lahirkan, permisi." Alex bersiap untuk pergi dari rumah Claudia.
"Tidak, jangan Alex. Kau tidak boleh pergi aebelum kau bermain dengan Bella," cegah Claudia.
“Aku tidak ada waktu untuk anak itu." Alex tetap melangkah pergi.
Claudia meneriakkan nama Alex, hingga membuat suara yang mengerikan. Bella yang ketakutan langsung berlari melewati bunga-bunga dan melintasi halaman. Dia berlari sampai dia tidak bisa berlari lagi. Bella terengah-engah, sisi tubuhnya terbakar, dia jatuh ke rerumputan tinggi, bahunya terisak-isak, wajahnya dipenuhi air mata.
Dia mendengar suara deru mobil, ketika ia mengintip dari balik rerumputan, ia melihat itu adalah suara mobil Papanya yang menjauh dari kediamannya. Bella merunduk, dia meringkuk di rerumputn sembari menangis, dan menunggu Mamahya datang menjemputnya. Tapi Mamanya tidak datang dan tidak ada suara Mamanya yang memanggil namanya.
Setelah beberapa saat, Bella mengembara keliling desa, ia kembali ke taman di belakang rumahnya, ia duduk di dekat tanaman merambat berbunga dan menunggu lebih lama. Mamanya datang ketika air mata Bella sudah kering, namun ia masih gemetar karena percakapan kedua orangtuanya tadi.
Bella berusaha tersenyum seperti biasanya. “Dari mana saja kamu, Sayang? Mama dari tadi mencarimu,” ucap Claudia.
Bella tahu Mamanya tidak mencarinya, karena sedari tadi Bella justru menunggu Mamanya memanggilnya. Claudia mengambil saputangan dari sakunya, kemudian ia menyeka noda dari pipi Bella. “Maaf, Papamu sudah pergi, tadi ada telepon dari kantor sehingga dia harus pergi meeting."
"Apakah dia akan kembali?" tanya Bella. Sebenarnya ia takut, ia tidak ingin melihatnya lagi, karena pria itu telah menyakiti Mamanya dan membuatnya menangis.
“Mungkin tidak untuk waktu yang lama. Kita harus menunggu. Papamu orang yang sangat sibuk dan penting," jawab Claudia.
Bella tidak berkata apa-apa lagi, dan Mamanya mengangkat tubuhnya dan memeluknya erat. “Tidak apa-apa, Sayang. Bagaimana jika kita membuat hari yang seru berdua? Kita mengganti baju kita, lalu kita berkemas untuk piknik dan pergi ke sungai. Apakah kamu suka itu?"
Bella mengangguk dan melingkarkan lengannya di leher Mamanya. Mulutnya bergetar, ia berusaha untuk tidak menangis. Jika dia menangis, Mamanya mungkin akan tahu jika tadi ia menguping dan kemudian Mamanya akan marah padanya.
Caludia memeluk Bella erat-erat, wajahnya terkubur di rambut Bella. “Kita akan melalui ini semua sama-sama, sayang."
...****************...
Alex tidak kembali,hal itu membuat Claudia menjadi kurus dan lemah. Claudia mengalami insomnia, dan bangun lebih siang dari biasanya, ia enggan melakukan aktivitas seperti biasanya. Ketika tersenyum, mata Claudia napak kosong dan tidak bersinar.
Sang asisten rumah tangga mengingatkan Claudia untuk makan lebih banyak, ia mengatakan banyak hal yang tak cukup enak untuk di dengar oleh Bella, yang berada cukup dekat dengan mereka. “Pria itu masih mengirimimu uang, nyonya Claudia. Nyonya tak perlu risau.”
"Aku tidak peduli dengan uangnya." Mata Claudia berkaca-kaca. “Aku tidak pernah peduli tentang itu."
"Nyonya akan peduli jika, pria itu tidak mengirim uang lagi dan nyonya tidak punya uang."
Bella berusaha menghibur Mamanya dengan membawa bunga yang ia petik di halaman, tak hanya mmembawakan bunga juga membawakan batu-batu cantik yang ia temukan di halaman, Bella mencucinya dan memberikannya sebagai hadiah.
Claudia tersenyum dan berterima kasih pada putrinya, tapi tidak ada binar di mata indahnya. Bella mencoba menyanyikan lagu-lagu yang diajarkan Mama padanya, seperti lagu Bunda dan lagu Mama.
“Mama, kenapa Mama tidak ikut bernyanyi denganku?” tanya Bella, sembari naik ke tempat tidur bersamanya dan meletakkan bonekanya di selimut yang kusut.
Claudia menyisir rambut pirang panjangnya perlahan dengan menggunaka jari-jemarinya. “Maafkan Mama sayang, Mama sedang banyak pikiran sekarang.”
Bella merasakan beban tumbuh di dalam dirinya, itu semua salahnya. Semua salahnya. Seandainya dia tidak lahir ke dunia, Mama pasti akan bahagia. “Akankah Alex akan kembali, Mama?"
Claudia menatapnya, tapi Bella tidak peduli. Dia tidak akan memanggilnya Papa lagi karena pria itu telah menyakiti mamanya dan membuatnya sedih. Sejak Alex pergi, Mamanya hampir tidak memperhatikannya lagi. Bella bahkan pernah mendengar Mamanya berkata pada asisten rumahtangganya, bahwa cinta bukanlah berkah, melaikan sebuah kutukan.
Bella melirik wajah Claudia, dan hatinya tenggelam. Ia tahu Mamanya memikirkan Alex, Mamanya ingin Alex kembali. Bella pernah melihat Mamanya menangis di malam hari karena Alex tak kunjung datang. Claudia membenamkan wajahnya ke bantal ketika menangis, tapi Bella masih mendengar isak tangisnya. Bella menggigit bibirnya sembari meringkuk agar Mamanya tak mengetahui dirinya masih tejaga dan mendengarnya menangis.
“Ma, bagaimana kalau aku sakit dan meninggal?”
"Kamu tidak akan sakit," ucap Claudia sambil meliriknya, kemudian tersenyum. “Kamu masih terlalu muda dan sehat untuk mati.”
Bella memperhatikan Mamanya yang masih menyisir rambutnya, Mamanya sangat cantik. 'Bagaimana mungkin Alex tidak mencintai mama?' “Tapi jika aku mati, apakah Alex akan kembali dan tinggal bersama Mama?”
Claudia berbalik dan menatap Bella dengan tatapan yang mengerikan, hingga membuat gadis kecil itu takut. 'Seharusnya aku tidak mengatakan itu, sekarang Mama mungkin mengira jika aku mendengar mereka bertengkar saat Alex datang'.
“Jangan pernah berpikir seperti itu, Bella.”
"Tetapi..."
"TIDAK! Jangan pernah menanyakan pertanyaan seperti itu lagi. Apakah kamu mengerti?"
Mamanya tidak pernah meninggikan suaranya sebelumnya. Bella merasakan dagunya bergetar. "Baik, Mama."
“Jangan pernah lagi!” ucap Claudia dengan lebih lembut, ia mengulurkan tangan untuk menarik Bella ke dalam dirinya lengannya dan membelainya dengan lembut. “Aku mencintaimu, Bella. Aku sangat mencintaimu lebih dari apa pun atau siapa pun di seluruh dunia ini.”
Kecuali Alaex, pikir Bella. 'Kecuali Alex Kenedy. Bagaimana jika Alex datang kembali? Bagaimana jika Alex membuat Mama memilih antara aku atau dia? Lalu apa yang akan Mama lakukan?' batin Bella, ia menempel pada Mamanya dan berdoa untuk kebahagiaan Mamanya.
Seorang pemuda datang menemui Claudia, saat ia tengah berbincang dengan pemuda itu, Bella bermain dengannya boneka di dekat perapian. Bella tak mengenal pemuda itu karena satu-satunya orang yang datang ke rumahnya ini adalah Pak Pandu dan Boby, orang yang membawakan kayu bakar.
Boby menyukai asisten rumah tangganya, setiap kali dia datang, Boby selalu memberikan lelucon kepada Bik Kara, dan hal itu kembuat Bik Kara tertawa bahagia, meski menurut Bella lelucon Bobby sama sekali tak lucu.
Pemuda itu memberikan surat kepada Claudia, tetapi ia tidak membukanya. Claudia malah menawarinya minum teh. Entah mengapa Bella merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan Mamanya, Claudia duduk terlalu tegak dan ia berbicara sangat lembut.
"Dia gadis kecil yang cantik," ucap pria itu dan tersenyum padanya.
"Ya dia memang cantik. Terima kasih."
“Dia mirip denganmu. Cantik seperti matahari terbit.”
Claudia tersenyum pada pria itu kemudian beralaih ke Bella. “Bella, kenapa kamu tidak pergi keluar dan memotong beberapa bunga untuk meja.”
Bella mengambil bonekanya dan pergi dari ruang tamu tanpa membantah, ia ingin menyenangkan Mamanya. Dia mengambil pisau tajam dari laci dapur dan pergi keluar ke taman bunga.
Mamanya sangat menyukai bunga mawar, sehingga ia mengambil lebih banyak mawar ketimbang aster, hingga keranjang jerami di lengannya penuh. Ketika Bella kembali ke dalam, pemuda tadi sudah pergi. Surat itu terbuka di pangkuan Mamanya. Matanya cerah dan pipinya penuh warna cerah, Claudia tersenyum sambil melipat surat itu dan menyelipkannya ke saku bajunya.
Claudia berdiri dan mendatangi Bella, mengangkatnya dan mengayunkannya dengan gembira. "Terima kasih sudah mengambil bunga, sayang.” ia mencium putrinya. Saat Claudia menurunkan Bella, Bella meletakkan keranjang di atas meja.
“Aku suka bunga,” ucap Claudia. “Bunga-bunga in sangat cantik, bukan? Untuk kali ini bagaimana jika kamu yang merangkainya? Mama ingin mengambil sesuatu di dapur. Oh, Bella! Ini hari yang sangat indah, bukan?”
'Ini adalah hari yang buruk,' pikir Bella. Ia mengangkat vas besar dari meja dan membawanya keluar, membuang bunga layu di atas kompos. Dia menisi air ke vas, kemudian kembali lagi ke atas meja.
Bella tidak memotong batang atau membuang daun, ia langsung memasukannya saja ke vas. "Alex Kenedy akan kembali," ucap Claudia, saat ia kembali ke ruang tamu bersama Bik Kara.
“Oh, sayang. Bik Kara telah membuat rencana untuk pergi ke pantai minggu ini dan dia ingin membawamu bersamanya. Bukankah itu ide yang hebat?”
Jantung Bella berdetak cepat dan keras.
"Bukankah Bik Kara sangat manis, ingin mengajakmu jalan-jalan?" Claudia melanjutkan dengan ceria. “Bibi punya teman yang memiliki sebuah penginapan di pinggir pantai, dan dia sangat menyukai gadis kecil.”
Bella menatap Mamanya. “Aku tidak mau pergi, Ma. Aku akan tetap di sini bersama Mama."
Bella tahu apa yang sedang terjadi, Mamanya menyuruhnya pergi karena Papanya tidak menginginkannya. Mungkin Mamanya juga tidak menginginkannya sekarang.
"Omong kosong," Claudia tertawa. “Kamu belum pernah ke mana pun kecuali berkeliling desa ini dan kamu perlu melihat sesuatu dari dunia. Kamu akan menyukai lautan, Bella. Tempat itu begitu cantik, kamu bisa duduk di atas pasir dan mendengarkan ombak. Kamu bisa membangun kastil dan menemukan kerang. Tunggu saja sampai kamu merasakan busa menggelitik jari kakimu.
Claudia tampak seperti hidup kembali, Bella tahu itu surat dari Alex yang akan datang menemui Mamanya. Mamanya tidak ingin kejadian kemarin terulang sehingga Mamanya menyingkirkan dirinya. Bella melihat wajah Claudia bercahaya. “Ayo sekarang, sayang. Ayo siapkan dirimu untuk pergi.”
Bella memperhatikan barang-barangnya dilipat dan dimasukkan ke dalam tas. Mamanya terlihat tidak sabar untuk menyingkirkannya. "Di mana bonekamu?" ucapnya sambil melihat sekeliling. "Kamu pasti ingin membawanya bersamamu."
"TIDAK."
"Mengapa tidak? Kamu tidak pernah lepas dari boneka kesayanganmu.
"Bonekaku ingin tetap di sini bersama Mama."
Claudia mengerutkan kening. "Tapi dia tidak bisa berbicara dari mana kamu tahu?"
Saat Claudia selesai merapihkan barang-barang Bella, Bik Kara datang dan mengajak Bella untuk naik taxi menuju stasiun kereta.
Bibik membeli tiket sebelum mereka naik kereta, petugas mengambil alih tas milik Bella, dan Bibik mengangkat Bella masuk ke gerbong. Ketika mereka duduk dengan nyaman, saling berhadapan, Bibik tersenyum. "Kita akan berpetualang, Bella."
Bella ingin melompat keluar dari kereta dan berlari pulang ke Mamanya, tapi Mamanya pasti akan kembali menyuruhnya pergi. Bella menempel ke jendela, semakin jauh mereka pergi, semakin Bella merasa sunyi.
“Kita akan menginap di Pantai Selatan,” ucap Bibi yang terlihat senang.
Sementara Bella hanya diam, ia sedih karena tidak pernah jauh dari Mamanya selama berjam-jam. Tapi sekarang Bella tidak berbuat apa-apa, Alex akan datang, jadi dia harus pergi.
“Mereka punya makanan enak dan kamar yang nyaman,” ucap Bik Kara padanya. “Dan kamar itu dekat sekali dengan laut, kamu bisa berjalan di sepanjang jalan berumput kecil dan sampai di tebing. Ombak menghantam bebatuan. Itu suara yang indah, dan baunya udara asin lebih baik dari apapun.”
'Lebih baik dari apapun…' Bella menyukai rumah dan taman bunga di belakang kediamannya, ia menyukai duduk di samping rumah bersama Mama, kaki telanjang mereka menjuntai di sungai kecil.
Sambil menahan air mata, Bella melihat ke luar jendela lagi. Matanya perih dan tenggorokannya menjadi sakit, jam-jam berlalu dengan lambat. Bella lelah dan hampir tidak bisa membuka matanya, tetapi setiap kali dia menutupnya, kereta akan membuat suara yang bising, membuatnya takut dan terjaga.
Kereta mengalami kerusakan ketika berhenti si stasiun yang Bella tidak ketahui, para penumpang di perbolehkan turun sampai kereta selesai dalam perbaikan. Bik Kara mengajak Bella ke gerbong belakang, ketika Bella menoleh ke belakang, Bik Kara tidak terlihat. Bella berlari ke gerbong yang tadi dan meneriakkan nama Bik Kara.
“Hentikan teriakanmu! Astaga, kenapa kamu ribut sekali?" ucap Bik Kara, bergegas ke arahnya. “Orang akan berpikir kamu adalah ayam tanpa induknya, jalanlah seperti biasa, aku hanya di depan sana."
"Bik Kara dari mana?" tanya Bella, air mata mengalir di pipinya. "Mama bilang kita harus tetap bersama!"
Alis Bibi melengkung. “Yah, nona. Tapi tadi aku hanya ingin melihat orang berjualan di sana." ia mengulurkan tangan dan meraih tangan Bella, menuntunya keluar dari kereta lalu berjalan ke gedung stasiun.
Istri manajer stasiun yang sedang berdiri di ambang pintu tersenyum pada Bella. "Gadis kecil yang cantik," sapanya. "Apa kau lapar, sayang? Bagaimana dengan semangkuk sup sambil menunggu keretanya di perbaiki? Anggaplah sebagai permintaan maaf karena keretanya rusak dan mengganggu perjalananmu."
Bella menunduk malu-malu. "Tidak terima kasih, Bu.”
"Kamu anak yang baik," ucap wanita itu.
"Ayo, Bella!" ucap Bik Kara sembari mendorongnya ke dalam.
Wanita itu menepuk punggung Bella dengan lembut saat dia mengantarnya ke meja. "Aku rasa kau akan menyukai sop buntut," ucapnya, kemudian ia memesankannya ke juru masaknya.
Bik Kara duduk dan mengambil cangkir teh. “Kau perlu makan sesuatu sebelum kita pergi.”
"Aku tidak lapar."
Bik Kara mencondongkan tubuh ke depan. "Aku tidak peduli apakah kau lapar atau tidak," ucapnya dalam suara rendah. “Kamu harus melakukan apa yang aku perintahkan. Masinis tadi mengatakan perbaikan akan berlangsung selama setengah jam, dan itu artinya akan menjadi tiga atau empat jam lagi sebelum kita mencapai pesisir. Aku tidak ingin mendengar nanti kau merengek kelaparan. Ini kesempatan kita makan enak dan gratis."
Bella menatap Bik Kara, ia berjuang untuk tidak menangis. Bik Kara menghela nafas berat, lalu mengulurkan tangan untuk menepuk wajah Bella dengan lembut. "Makan-lah sedikit, Bella," ucapnya.
Dengan patuh, Bella mengambil sendoknya dan mulai makan. 'Kata Mama perjalanan ini direncanakan untuknya, tetapi mengapa Bik Kara sangat menyebalkan. Jelas mama menyuruhnya pergi untuk menyingkirkannya.'
Selesai makan mereka mengucapkan terima kasih, lalu kembali ke gerbong. Bella terdiam, ia duduk di samping jendela dan menatap keluar, tangan kecilnya tergenggam di pangkuannya.
Sementara Bik Kara tertidur dengan lelap. Ketika Bik Kara terbangun, dia tersenyum pada Bella. “Bau udara laut,” ucapnya.
Mereka tiba di Pantai Selatan setelah matahari terbenam. Bella menggenggam tangan Bik Kara ketika mereka turun dari mobil yang membawanya ke penginapan yang di tuju. Bella mendengar raungan yang hebat seperti monster dan ketakutan. “Suara apa itu, Bik?”
“Laut yang menerjang bebatuan. Hebat, bukan?”
Bella mengira itu adalah suara paling menakutkan yang pernah ia dengar. Itu angin melolong di pepohonan seperti binatang buas mencari mangsa berdarah panas.
Bella menyeret tasnya ke depan pintu penginapan yang ternyata adalah sebuah bar, penginapannya berada di lantai duanya. Sementara Bik Kara mendorong pintu membuka dengan bahunya dan masuk, Bella mengikuti tepat di belakangnya.
Bik Kara melihat sekeliling ruangan, lalu tersenyum, Bella mengikuti pandangannya dan melihat pria di meja bar tengah bergulat dengan pelaut berotot. Seorang pria besar yang sedang menuangkan bir, langsung melihat ke arah Bik Kara. Dia membungkuk untuk menyenggol pria yang sedang bergulat dan mengangguk ke arah Bik Kara dengan tenang.
Bella menyaksikan semua itu dengan rasa ketakutan, terlebih ketika pria yang dipukuli itu bangkit dan memukul pelaut di mata kanannya, membuatnya jatuh ke lantai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!