Jakarta, 2033
Nada pemberitahuan di ponsel terdengar beberapa kali. Sambil mengenakan jaket biru tua yang tampak kekecilan di tubuh, aku melirik ke layar dan membaca pesan dari Asosiasi Hunter.
[Dungeon Event akan dimulai pukul 15.00 WIB. Seluruh Hunter yang akan berpartisipasi harap berkumpul di Stasiun Jakarta Kota pukul 14.00 WIB].
Jam dinding menunjukkan pukul setengah dua, aku masih punya cukup banyak waktu sebelum keberangkatan ke dalam dungeon.
Aku memandang wajah bundar berlemak yang memantul di cermin gantung. Kedua alisku tebal seperti Shinchan, hidungku pesek dengan kedua mata sipit karena terhimpit lemak pipi. Sambil mengenakan kacamata kotak dengan frame hitam, aku merapikan poni rambut yang gelap.
Padahal model rambutku sudah cukup trendy mengikuti gaya coma seperti oppa-oppa Korea. Apa daya, kata teman game online-ku malah justru terlihat seperti babi yang mengenakan topi mangkok.
Aku beralih mengenakan rompi coklat yang dibuat dari kulit monster dungeon. Ada bekas tusukan di sana sini, tali pengikatnya bahkan sudah lepas tapi masih berusaha kurekatkan dengan lem. Tidak lupa aku mengambil perisai abu super tipis yang sudah penyok dan lecet di beberapa bagian.
Walau bentuknya menyedihkan, aku tidak bisa membuang perisai ini. Bukan karena perisai ini benda berharga, tapi harganya sangat mahal. Dengan uang yang kumiliki sekarang, aku bahkan tidak bisa membeli perisai dengan kualitas yang kurang lebih sama dari ini.
Lalu aku menyampirkan tempat pedang di pinggangku yang lebar. Pedang dengan panjang lengan orang dewasa itu tampak seperti mainan anak-anak di sebelah pinggangku. Penampilanku tampak konyol, tapi ini SOP yang harus dipenuhi untuk bekerja sebagai Hunter.
Semakin rendah tingkat Hunter, semakin ketat prosedur kesalamatan yang harus dikenakannya.
“Oke, waktunya bekerja, Arka,” gumamku, menyangati diri sendiri.
Aku turun ke lantai satu dan menyapa Tante Tara yang sedang nonton TV di ruang tamu.
“Tante, aku berangkat dulu ya!” ucapku seraya memakai sepatu.
“Hati-hati, Arka! Jangan pulang bawa luka lagi ya!” balas Tante Tara.
Tante Tara adalah adik Ibuku, tapi mereka bagai bumi dan langit. Sepertinya Tante Tara mendapatkan gen terbaik dari nenek dan kakekku. Rambut ikal coklatnya selalu digerai, kulitnya masih kencang di usia kepala empat. Tubuhnya bagus dan ia cocok mengenakan pakaian apa pun. Senyumnya membuatmu ingin berlari ke pelukannya untuk menceritakan berbagai keluh kesah.
Aku menutup pintu dan berjalan ke depan kompleks perumahan. Tidak lama, ojek online yang kupesan datang dan kami langsung menuju ke Stasiun Jakarta Kota.
Di siang hari yang panas dan terik di Jakarta, kota tersebut seperti menjadi medan perang panas. Jalanan yang biasanya sudah padat menjadi lebih parah saat siang hari. Mobil-mobil dan motor-motor berjajar panjang, berusaha bergerak maju dalam laju yang sangat lambat. Klakson terdengar berdentam-dentam di sepanjang jalan, mengiringi desah putus asa para pengemudi yang terjebak dalam kemacetan. Panasnya suhu membuat para pengendara terlihat gerah dan berkeringat di balik setir mereka.
Motor ojek online akhirnya sampai di stasiun. Aku mengelap keringat di dahi yang sudah banjir. Kalau bukan karena pekerjaan, aku pasti malas keluar rumah siang-siang begini. Sesampai di depan Stasiun Jakarta Kota, sudah banyak sekali Hunter yang berkumpul.
Di tengah lapangan berdiri tenda-tenda merah tua milik Asosiasi Hunter. Asosiasi Hunter adalah organisasi yang bekerjasama dengan pemerintah. Tugas utama mereka adalah melindungi masyarakat dari ancaman monster dungeon. Mereka menciptakan sistem Peringkat Hunter, melakukan pemetaan lokasi dan memberi kabar kemunculan dungeon. Organisasi ini juga menjadi fasilitator bagi para pedagang yang berniat melakukan jual-beli material dari dungeon, mulai dari bahan baku obat sampai bahan bangunan.
Sementara “Dungeon” adalah sebutan bagi portal yang muncul di stasiun. Kami para Hunter bertugas untuk membersihkan setiap dungeon yang muncul di stasiun. Kalau misi di dalam dungeon itu tidak diselesaikan dalam tiga hari, maka monster-monster yang ada di dalam portal itu akan keluar ke dunia manusia—seperti yang terjadi 10 tahun lalu.
Tentunya, tidak ada seorang pun yang mau tragedi itu terulang kembali, termasuk aku.
Walau sudah 10 tahun berlalu, aku masih mengingat dengan jelas fenomena kemunculan Dungeon pertama kali pada 31 Desember 2023. Saat itu, aku masih berusia 13 tahun. Aku menyaksikan streaming yang direkam oleh seseorang pengguna KRL.
Streamer itu sedang naik KRL dari Stasiun Tebet menuju Stasiun Manggarai. Namun, kereta listrik itu tidak pernah sampai ke Stasiun Manggarai. Ia duduk di gerbong kedua dan menyaksikan munculnya lingkaran putih bercahaya di depan peron. Kereta itu tidak bisa dihentikan dan akhirnya masuk ke lingkaran. Begitu kereta keluar dari lorong putih panjang, ternyata mereka sudah berada di tempat antah-berantah.
Sekeliling mereka adalah hutan yang lebat, lalu muncul monster kecil berbulu dengan taring dan cakar. Mereka tidak tahu harus berbuat apa, tapi para monster itu akhirnya membunuh semua orang, termasuk perekam video. Tidak lama, muncul lingkaran putih yang sama di tengah kota dan monster-monster yang tadi membantai penumpang keluar dari sana.
Kejadian itu terjadi serempak di seluruh dunia. Semua stasiun tiba-tiba berubah menjadi portal dungeon. Mereka yang masuk dan tidak bisa menyelesaikan dungeon akan mendapatkan hukuman. Portal yang sama akan muncul secara acak di kota, lalu monster-monster itu akan keluar dari portal dan membuat kekacauan. Kejadian ini disebut sebagai “Outbreak”.
Outbreak yang terjadi di Jakarta 10 tahun lalu tidak hanya menyebabkan sebagian infrastruktur lumpuh, tetapi juga memakan korban jiwa sampai ribuan orang. Outbreak baru berhasil ditangani setelah seluruh tentara dikerahkan untuk membunuh para monster. Herannya, fenomena itu hanya terjadi di Ibukota seluruh dunia, seperti menargetkan tempat dengan kepadatan populasi yang tinggi.
Setelah kejadian itu, semua stasiun ditutup dan hanya dijadikan sebagai tempat membersihkan dungeon. Transportasi massal dialihkan ke bis dan taxi online.
Para Hunter yang bertugas membersihkan dungeon hanya bisa memasuki portal menggunakan kereta. Maka, Jepang bekerjasama dengan Hunter Association menciptakan kereta khusus tanpa masinis untuk mengantarkan para Hunter masuk ke dalam dungeon. Ini dinilai lebih aman. Mereka menamai keretanya Dungeon Rapid Train atau DRT.
Aku berjalan ke salah satu posko berisi tiga petugas dari Asosiasi Hunter. Ketiga pria itu mengenakan setelan jas hitam yang tampak seperti eksekutif-eksekutif di SCBD.
“Bapak mau ikut event juga?” tanya resepsionis berambut klimis di depan meja.
Aku sedikit tersinggung dipanggil “Bapak”. Usiaku kan baru 23 tahun. Aku mengeluarkan handphone dan membuka aplikasi kartu ID Hunter-ku. Pria itu cukup melakukan scan lalu muncul foto beserta identitas singkat di layar komputer.
“Kamu.. Hunter Tanpa Peringkat?” tanyanya, sedikit kaget saat membaca dataku. “Kau yakin mau masuk ke dungeon? Walau ini event tapi syaratnya minimal Hunter Rank E.”
“Tidak apa-apa, aku disini hanya sebagai Porter.”
“Ah, Porter.” Ia manggut-manggut. “Baiklah, tidak masalah kalau begitu.”
Pria itu mengetikkan sesuatu di keyboard-nya. “Oke, perizinanmu sudah kuurus, selamat berburu, Hunter.”
Aku meninggalkan meja itu sambil menghela napas panjang. Sebenarnya reaksi tadi bukan yang pertama kali kualami. Dungeon memiliki beberapa tingkat, tapi bahkan Dungeon paling mudah pun memiliki persyaratan minimal Hunter Rank E. Sementara aku adalah Hunter Tanpa Peringkat yang artinya statusku bahkan berada di bawah Hunter paling lemah sekali pun.
Di antara sekian banyak pilihan profesi, sebenarnya aku menjadi Porter karena terpaksa. Orang tuaku meninggalkanku dengan banyak utang. Tante Tara sudah menampungku tinggal di rumahnya, tidak mungkin aku merepotkannya lagi untuk melunasi utang orang tuaku.
Untuk mendapatkan banyak uang salah satunya adalah dengan menjadi Hunter. Namun, kemampuanku tidak cukup untuk menjadi Hunter, itu sebabnya aku berakhir menjadi Porter.
“Oh itu dia orangnya! Hei, Arka! Disini!”
Aku mendengar ada yang menyebut namaku. Kulihat ke sumber suara, tampak seorang pria berotot dengan lapisan armor perak di tubuh melambai kepadaku di dekat pintu masuk stasiun. Ia dikelilingi oleh 9 orang lain yang merupakan anggota party-nya.
Langkahku gontai mendekat ke arahnya. Sebenarnya, aku malas bekerja dengan party orang itu. Pengalamanku bersama mereka tidak pernah mengenakkan. Tapi mau bagaimana lagi, Party bernama BotHunter itulah yang paling sering memperkerjakanku sebagai Porter.
Bug!
Sebuah pukulan kecil mendarat di perutku. Karena itu tenaga Hunter, jelas rasa sakitnya berkali lipat dibanding pukulan manusia biasa. Pukulan itu didaratkan oleh Rozak, anggota BotHunter bergaya rambut cepmek. Ia mengenakan pakaian seperti pendekar jaman pertengahan, lengkap dengan pedang perak panjang di pinggangnya.
“Udah dibayar mahal, malah dateng telat!” makinya.
“Rozak, sayang, jangan kasar gitu dong,” sahut Fani, pacarnya yang juga anggota Party BotHunter.
Fani bisa dibilang satu-satunya anggota party yang baik padaku. Dia juga punya bodi sintal yang menggoda. Sekarang pun ia mengenakan pakaian Mage wanita yang terkenal seksi dengan belahan dada rendah dan stoking hitam yang membalut kakinya sampai paha.
Rozak sepertinya menangkap kemana arah mataku tertuju, ia langsung melayangkan satu pukulan lagi di perut.
“Ugh!” Aku meringis sambil jatuh terduduk di lantai stasiun, beberapa orang langsung memperhatikan kami.
“Rozak!” Fani mencubit lengan pacarnya, gemas. Lalu, gadis itu membantuku berdiri. “Maafin Rozak ya, Arka.”
Aku mengangguk malu-malu. Sebagai bentuk kebaikan hatinya, aku pun menawarkan diri untuk membawakan tasnya.
“Biar kubawakan,” kataku sambil meraih tas Fani dan mengenakanya di punggung.
“Hei, punyaku juga, jangan yang cewek doang!” Anggota pria BotHunter lain, Malih, melemparkan tas punggungnya ke arahku. Terpaksa, kubawakan juga tasnya.
Total akhirnya adalah tiga tas yang kubawa di tangan, satu di punggung dan satu di dada. Memang seperti ini pekerjaan seorang Porter—pembawa barang party yang akan masuk Dungeon. Pekerjaan Porter biasanya diambil oleh Hunter level rendah, seperti Rank E dan Tanpa Peringkat.
Ketua Party BotHunter, David, menyuruh kami semua masuk ke dalam stasiun karena sudah terdengar pengumuman pembukaan Dungeon. Saat masuk, sudah ada banyak Hunter yang berkumpul di ruang tunggu. Pintu DRT terbuka dan Hunter-Hunter itu masuk ke dalam.
Kami kebagian tempat di gerbong kedelapan. Interiornya mirip seperti rangkaian Rapid Train pada umumnya, tapi DRT hanya memiliki sepuluh rangkai gerbong. Kereta ramai dan sesak karena banyak yang tertarik dengan Dungeon Event. Aku menaksir mungkin ada sekitar 500 Hunter yang berpartisipasi kali ini.
Terdengar suara pluit, kereta pun bergerak meninggalkan peron. Di ujung lintasan stasiun, tampak sebuah lingkaran berwarna ungu yang berpendar. Kereta memasuki portal itu, pemandangan gedung-gedung pencakar di Jakarta seketika menghilang dan berganti lorong ungu yang panjang. Tidak sampai lima menit, kereta keluar dari terowongan dan tiba di area hutan yang terendam oleh rawa.
Intercome di gerbong mengeluarkan suara. “Welcome to The Dungeon, Hunter!”
Kereta berhenti di stasiun yang ada di dalam dungeon. Entah bagaimana bisa berdiri sebuah stasiun di tempat seperti ini. Stasiun itu sangat kecil, benar-benar hanya tempat untuk menurunkan para Hunter. Di sekeliling stasiun dungeon terdapat garis biru melingkar. Itu adalah batas Safe Area.
Jika melangkah keluar dari Safe Area maka secara otomatis akan mengaktifkan misi di dalam dungeon. Biasanya, kami akan masuk setelah mendengar aba-aba dari perwakilan Asosiasi Hunter yang ikut ke dalam dungeon.
Semua Hunter, termasuk party BotHunter dan aku sudah bersiap di tepi garis Safe Area. Lalu seorang pria dengan setelan jas hitam bicara dengan lantang dari stasiun.
“Event kali ini adalah berburu Flushy, monster kelas E. Setiap party minimal memburu 100 Flushy, seluruh material yang didapat adalah hak milik party. Kami akan membayar 500 Copper untuk setiap 100 Flushy”
Mendengar pemberitahuan itu, semua Hunter bersorak. Hadiahnya memang tidak terlalu besar, tapi mengingat misi yang diberikan sangat mudah, tentu saja semua girang. Apalagi monster bernama Flushy ini bukanlah mahluk yang sulit dibunuh.
“Kita bunuh 200 agar dapat lebih banyak bayaran!” perintah David kepada anggota party-nya yang dibalas dengan seruan setuju. Bagi party BotHunter, kesempatan mengikuti event seperti ini tidak akan disia-siakan.
Party BotHunter beranggotakan Hunter Rank C dan D. Mereka biasanya hanya memasuki Dungeon Tingkat 1 yang berisi monster-monster lemah dan hadiah yang terlalu sedikit untuk dibagi ke 10 orang. Makanya, keberadaan event bisa menjadi ajang untuk menambah pundi-pundi rupiah sekaligus mengumpulkan material unik yang hanya tersedia di event.
Aku pun tergiur ingin ikut mengumpulkan material, tapi mengingat pekerjaan sebagai Porter sudah menyita banyak tenagaku, rasanya itu mustahil. Kurasa aku hanya akan memungut material-material dari monster yang mereka kalahkan—seperti biasanya.
“Selamat berburu, Hunter!” Asosiasi Hunter sudah mengizinkan kami masuk ke Safe Area.
Seluruh Hunter serentak melewati garis biru dan masuk ke genangan rawa-rawa. Rawa itu memiliki air berwarna kecoklatan, sebagian tertutup oleh lumut. Banyak pohon-pohon berdiri dan terendam oleh air.
Rawa itu juga memiliki kedalaman yang bervariasi. Beberapa orang langsung tercebur sampai setengah badan ketika mereka mulai menjelajahi dungeon. Party BotHunter sepertinya cukup beruntung karena dapat bagian rawa yang dangkal. Airnya hanya setinggi betis.
“Aku melihatnya!” Fani berseru sambil menunjuk ke kumpulan Flushy yang sedang berjalan di atas rawa.
Mahluk itu berbentuk seperti kepiting, tapi tubuhnya lunak seperti jeli. Kedua matanya panjang, memiliki capit merah muda dan enam kaki yang bisa berjalan di atas air.
“Ayo, serbu!” David dan anggota party BotHunter mulai memburu satu per satu Flushy. Pedang menebas tubuh mahluk itu menjadi dua. Flushy pun mati seketika.
Pria lain dari BotHunter menghantamkan palu godamnya, menghancurkan tubuh jeli Flushy menjadi serpihan-serpihan kecil.
Fani yang centil dan seksi melakukan pose sambil mengayunkan tongkat mantranya. Ia satu-satu Mage di party itu. Jarum-jarum dari es terbentuk dan menebas banyak Flushy sekaligus.
Melihat para Hunter itu mengayunkan senjata atau memakai sihir benar-benar membuatku iri. Kami memang sama-sama Hunter, tapi aku berbeda dari mereka. Para Hunter yang ‘asli’ adalah orang-orang yang mengalami Rebirth. Sedangkan aku tidak.
Saat manusia biasa memasuki Dungeon untuk pertama kali, akan terjadi dua hal. Orang itu akan mengalami Rebirth atau tetap menjadi manusia biasa. Rebirth adalah kondisi ketika manusia yang melewati portal beradaptasi dengan kondisi dungeon, tubuh mereka mengalami evolusi yang meningkatkan kekuatan, kecepatan, bahkan regnerasi lebih cepat dari manusia biasa. Ditambah, mendapat kemampuan untuk mengendalikan elemen.
Para manusia yang mengalami Rebirth ini kemudian disebut sebagai Hunter. Pihak asosiasi kemudian akan menggolongkan para Hunter sesuai dengan kemampuannya, mulai dari Rank E—yang paling lemah, sampai Rank S yang langka dan sangat amat kuat. Rank ini bersifat permanen karena kemampuan para Hunter tidak dapat diubah.
Sayangnya, aku bahkan tidak digolongkan ke satu pun peringkat tersebut. Waktu aku lulus SMA lima tahun lalu, aku mencoba untuk menjadi Hunter. Hunter adalah profesi yang didambakan oleh semua orang. Menjadi Hunter tidak hanya membuatmu terlihat keren dan dihormati masyarakat, tapi pekerjaan ini bisa menghasilkan uang yang sangat banyak.
Saat itu aku menaiki KRL dan ikut masuk ke Dungeon Tingkat 1. Aku tidak ikut bertarung, hanya menunggu di Safe Area, menanti momen Rebirth yang kudamba-dambakan. Sayangnya, sampai dungeon itu berhasil dibersihkan, aku tidak mengalami Rebirth sama sekali.
Aku kembali ke dunia manusia dengan wajah kecewa. Pihak Asosiasi Hunter yang saat itu sedang melakukan pendataan kepada calon Hunter juga mengkonfirmasi bahwa aku tidak mengalami Rebirth. Artinya, aku tidak bisa jadi Hunter.
Aku terpuruk dalam depresi sampai mengabaikan ujian masuk universitas. Akhirnya aku menganggur setahun dan menghabiskan seluruh waktu dengan bermain game online. Di tahun berikutnya, aku mencoba masuk ke kampus swasta di Jakarta dan berhasil diterima.
Aku pulang ke rumah, berniat mengabari orang tuaku. Namun, di rumah yang dingin tersebut hanya ada dua tubuh yang sudah menggelepar di kasur. Mereka minum racun bersama-sama dan akhirnya tidak terselamatkan. Mereka pergi saja, meninggalkan setumpuk utang yang tidak bisa kulunasi. Entah ujian macam apa yang menimpaku saat itu. Aku yang sudah terperosok,malah jatuh makin dalam.
Keinginanku untuk menjadi Hunter kembali menguat setelah tinggal bersama keluarga Tante Tara. Aku tidak enak membuatnya harus menanggung kebutuhan hidupku. Apalagi setiap bulan selalu ada orang yang datang ke rumah untuk menagih utang orang tuaku. Hal itu membuatku bertekad untuk mencari pekerjaan. Aku meninggalkan kuliah dan memutuskan bekerja sebagai Hunter.
Asosiasi Hunter memiliki satu lowongan bagi para manusia biasa untuk bergabung dalam profesi Hunter. Namun, karena tidak mengalami Rebirth, orang-orang ini tidak bisa digolongkan ke dalam Peringkat apa pun. Jadinya, mereka disebut sebagai Hunter Tanpa Peringkat.
Pekerjaan Hunter bisa sangat berbahaya bagi manusia biasa. Itu sebabnya Hunter Tanpa Peringkat biasanya hanya mengekor sebuah party dan diberi pekerjaan sebagai Porter. Tugas Porter hanya membawa barang para Hunter lainnya atau memungut material dari mayat para monster. Pekerjaan tidak berbahaya itu berbanding lurus dengan upah yang diperoleh, yaitu hanya 3% dari total seluruh pendapatan Party.
Diluar dugaan Asosiasi Hunter, ternyata cukup banyak manusia biasa yang berminat menjadi Hunter Tanpa Peringkat, termasuk diriku. Walau perlakuan para Hunter biasanya tidak terlalu baik pada kami. Memang sih, kami terlihat lebih seperti kacung daripada Hunter sejati yang bertarung membersihkan dungeon.
Aku tersadar dari lamunan karena seseorang melempar wajahku dengan gumpalan daging kenyal Flushy.
“Heh, babi, jangan bengong saja! Cepat ambil materialnya!” Anto, Tanker Party BotHunter meneriakiku dari kejauhan.
Aku benci dipanggil “babi”, tapi akhirnya aku menurut juga.
Tubuhku membungkuk seraya memunguti gumpalan daging-daging jelly yang dijatuhkan oleh Flushy, lalu memasukkannya ke kantong coklat yang disediakan oleh Asosiasi Hunter.
Flushy ini monster yang jarang muncul di dungeon, tapi dagingnya sangat enak, seperti tekstur cumi tapi lebih lembut dengan rasa umami yang dominan. Setelah ini pasti restoran-restoran banyak yang menghubungi Asosiasi Hunter untuk membeli daging tersebut.
Kantong yang kubawa dengan cepat terisi penuh. Mungkin karena tekstur dagingnya dan monster ini tidak punya cangkang, jadi material yang kubawa terasa lebih ringan dari biasanya. Event ini mungkin akan berakhir dengan cepat karena tidak ada tantangan selain membunuh Flushy. Aku lihat party BotHunter juga sudah membunuh hampir mendekati 300 ekor.
“Alchenimble!” Fani berseru sambil mengangkat tongkat sihirnya, merapalkan mantra andalannya.
Aku sudah sering melihatnya menggunakan sihir tersebut untuk menciptakan lingkaran dan memangil bongkah-bongkah es runcing. Serangan dengan model Area of Effect (AoE) yang bisa menghabisi banyak musuh sekaligus.
Anggota Party BotHunter tepuk tangan setelah melihat aksi Fani. Gadis itu tersenyum bangga sembil mengibaskan jubah merahnya. “Ini tidak seberapa,” sahutnya sambil memasang pose menggoda—yang dibalas oleh tepuk tangan lebih meriah.
Fani cantik sekali. Sial, Rozak sangat beruntung. Lagi-lagi aku dibuat iri oleh para Hunter ini.
“Babi, sudah selesai belum?” tanya Anto sambil menempeleng kepalaku. “Jangan melamun!”
Aku mengusap-usap kepalaku, sebal.
“Sudah penuh kantongnya,” kataku.
“Wah, mantab!” David datang sambil memijit kedua tangannya. “Kita pesta malam ini!”
Fani dan Rozak bergabung dengan David dan anggota Party BotHunter lainnya. Aku melotot melihat lengan Rozak melingkar di pinggang ramping Fani. Bikin iri saja, bisa tidak bucinnya jangan di tempat umum begini?
Sambil menunggu Event ditutup, mereka pun asik membicarakan rencana ke kelab malam setelah pulang dari dungeon. Aku menghela napas panjang saat melirik tiga kantong coklat yang menggelembung, penuh dengan daging Flushy. Pasti akan merepotkan saat membawanya di kereta.
“David!” Suara Malih mengalihkan diskusi kelompok tersebut. Mereka sontak menoleh ke sumber suara yang berada jauh di belakang rimbun pepohonan.
“Ngapain masih di rawa?” tanya David, setengah berteriak. “Misi kita sudah selesai daritadi!”
“Aku menemukan sesuatu, cepat kalian kemari!” Panggilnya, bersemangat.
Merasa tertarik dengan temuan Malih, kami pun menuju ke tempatnya. Aku terpaksa ikut karena Anto memerintahku. Berhubung tidak ada yang menjaga barang bawaan, akhirnya aku membawa semua tas dan kantong berisi material mereka.
“Lihat, lihat, aku menemukan Sub-Event!” Malih berujar seperti anak kecil yang menemukan mainan baru. Wajahnya yang berkumis tampak berseri-seri.
Sub-Event adalah ruang rahasia yang ada di dalam Dungeon Event. Biasanya, ruangan ini berisi peti emas dengan hadiah yang lebih besar. Jarang ada yang menemukan Sub-Event karena letaknya yang tersembunyi. Malih benar-benar beruntung.
“Kamu yakin?” Rozak tampak ragu.
“Aku pernah melihat video Hunter yang menemukannya, bentuknya persis seperti ini,” balas Malih, berapi-api. “Ayo, kita masuk ya.”
“Kalau isinya harta sih, siapa yang menolak,” David setuju.
“Tunggu dulu,” Rozak tiba-tiba menyahut. “Lebih baik kita cek dulu.”
Mata pria itu melirik padaku.
“Kamu yang masuk duluan,” perintah Rozak dengan suara dingin.
“Hah?” Aku terkejut bukan main. “Ta-tapi aku jaga barang disini.”
“Ahmad saja yang jaga barang, selain dia, semua masuk ke dalam!” Suara Rozak meninggi. “Dimulai dari kamu, babi!”
David dan Malih menyibak dua sisi semak yang menghalangi pintu Sub-Event. Tampak di balik rimbun dedaunan ada retakan yang membentuk lubang bercahaya pelangi.
“Buruan masuk!” Rozak mendorong punggungku. Tubuhku yang tambun seketika terhuyung ke depan, hampir terjatuh.
“Iya, iya! Ini aku masuk!” Aku berjongkok di depan lubang kecil tersebut lalu merangkak ke dalam. Jujur saja, jantungku berdebar kencang karena antusias melihat isinya apa.
...***...
Aku keluar di sebuah dinding yang berlubang. Pelan-pelan aku berdiri dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sebuah lorong gua. Pencahayaannya sungguh minim sampai aku terpaksa menyalakan senter dari handphone.
“Hei! Apa ada sesuatu?”
Aku terperanjat kaget. Begitu berbalik ada kepala David menongol dari dalam lubang.
“Aman, sejauh ini tidak ada apa-apa,” kataku sambil membantu pria itu berdiri. Tidak lama di belakangnya menyusul Rozak dan anggota Party BotHunter lainnya.
Anto mengangkat perisai kecilnya, benda berpelat logam itu mengeluarkan cahaya terang. Ia bisa mengendalikan elemen cahaya. Pria itu berinisiatif memimpin party berjalan melewati lorong yang gelap.
Di ujung, terlihat sebuah pintu ganda dengan ujung melengkung. Ada ukiran simbol pohon berkanopi lebar dengan dua bulan yang beririsan di daun pintunya. Dua obor biru menyala di kedua sisinya.
“Memang yang di youtube ada pintu kayak gini?” tanya Anto pada Malih.
Pria itu menggeleng. “Di youtube tidak ada sih.”
“Mungkin setiap dungeon berbeda,” tanggap Rozak. “Ayo kita cek dulu.”
Rozak dan David melangkah ke depan pintu dan mendorongnya bersamaan. Di luar dugaan mereka, pintu itu lumayan enteng dan terbuka begitu saja. Cahaya keemasan memancar dari dalam ruang. Mereka masuk ke dalam dan melihat tumpukan barang mewah berlapis emas, batu permata, pedang, zirah dan tongkat sihir yang tampak mahal dan berkualitas.
“Luar biasa.”
Aku berdecak kagum. Air liurku rasanya ingin menetes melihat kilau emas tersebut. Informasi soal hadiah berlimpah itu tidak bohong ternyata. Tempat ini adalah surga bagi para Hunter miskin sepertiku.
“Ini nyatakan? Aku sedang tidak bermimpi kan?” Fani mencubit pipinya sendiri
Aku yang berdiri di sebelahnya tertawa kecil melihat tingkahnya. “Rasanya seperti bohongan, tapi memang inilah kenyataannya,” kataku.
Fani merespon dengan senyum manis. “Kamu benar.” Mata kacang almondnya yang berwarna coklat memandangku dari ujung kepala sampai kaki. Jantungku berdegup seketika. Belum pernah ada perempuan cantik yang memperhatikanku seperti itu sebelumnya.
“Ini kesempatan bagus buatmu juga, Arka,” ucapnya sambil meraih tanganku. “Ayo, kubantu carikan armor yang bagus untukmu.”
Aku merasakan pipiku menghangat. “Ah iya, yuk.” Kugenggam tangannya dan kami berdua berjalan menghampiri tumpukan armor perak di sudut ruang tersebut. Syukurlah Rozak tidak melihat kami berpegangan tangan. Bisa-bisa tanganku ditebas sampai putus oleh si posesif itu.
Sambil menunggu Fani mencari armor, aku mengamati ruang harta tersebut. Ruangan itu berukuran sekitar 4000 meter persegi. Lantainya berlapis emas. Dinding-dinding ruangannya memiliki lukisan yang tertutup oleh tanaman rambat. Dari pintu masuk sampai ke pinggir ruangan semua dipenuhi tumpukan barang-barang mewah. Ada beberapa kantong koin yang tertumpuk dekat patung-patung malaikat yang berjejer.
Aku membayangkan berapa banyak uang yang bisa kudapat setelah ini. Koin-koin berwarna emas itu satu kepingnya bisa mencapai jutaan rupiah. Aku bahkan bisa pensiun dini sebagai Porter, menggunakan semua uang yang kudapat untuk membuka bisnis. Terdengar seperti mimpi siang bolong, tapi rasanya tidak mustahil lagi.
“Aku menemukan sesuatu!”
Terdengar suara David menggema di ruangan tersebut. Fani menghembuskan napas dengan ekspresi jengkel, ia baru saja menyodorkanku beberapa pilihan armor padaku.
“Nanti lagi deh cari armornya, kita ke tempat David dulu,” ajak Fani.
Aku menurut. Kuletakkan kembali armor yang tadi sempat kucoba. Sayangnya baju besi itu tidak muat saat tadi kupakai. Mungkin bisa kubawa pulang saja lalu kumodifikasi di toko blacksmith.
Langkah kakiku membuntuti Fani yang berjalan di depan. Kami berjalan melewati tumpukan perabot berlapis emas yang menggunung. Jalanan berliku-liku sampai akhirnya sampai di tempat David berada. Pria itu berdiri di tengah ruangan, bersama dengan anggota BotHunter lainnya.
Beberapa langkah dari mereka ada sebuah singgasana berlapis karpet merah. Di atasnya terdapat sebuah patung wanita ksatria setinggi tiga meter. Patung itu terbuat dari batu putih, ukirannya sangat detail. Rambutnya panjang bergelombang, ada ornamen bunga mawar di baju zirahnya. Di atas kepalanya ada mahkota dengan bunga mawar. Patung itu juga membawa sebilah pedang besar yang digenggam oleh kedua tangannya. Kepala pedangnya diposisikan kebawah, menempel pada permukaan tanah.
Perhatianku tertuju pada benda yang ada di hadapannya. Di sana terdapat sebuah peti besi dengan penutup bundar. warnanya merah besar dengan pelat emas melapisi tiap sisi-sisinya. Berlian dan permata menghiasi setiap jengkal permukaannya. Itu adalah peti harta termewah yang pernah kulihat selama empat tahun memasuki Dungeon.
“Gila, kita tidak perlu bekerja lagi kalau bisa mendapatkan peti itu!” ucap Rozak, terkagum-kagum.
“Kotaknya saja kalau dijual sudah bisa membuatku kaya sampai mati,” imbuh Anto.
“Daripada kita memungut satu-satu benda yang ada disini, lebih baik kita langsung bawa peti ini,” usul David.
“Aku setuju,” tanggap Rozak.
“Mungkin tidak masalah membawa beberapa kantong koin, bisa disematkan di ikat pinggang,” Malih menambahkan. Pria berambut ikal itu sejak tadi memang sudah sibuk memilah kantong koin. Tampak di pinggangnya tergantung kantong-kantong gendut berisi koin gold.
“Itu boleh juga,” respon David. “Tapi sekarang, kita ambil dulu petinya.”
Ia lalu memerintah empat orang anggota baru BotHunter untuk mencoba mengangkat peti itu. Keempat orang yang memakai armor sederhana naik ke atas singgasana. Mereka mengelilingi peti dan mengulurkan tangan untuk menyentuh kotak besi tersebut.
Tiba-tiba patung wanita di belakang peti itu menggerakkan kedua tangannya. Pedang besar yang tadi dalam posisi terbalik ia angkat ke atas. Dalam sekejap, mata pedangnya yang tajam menebas anggota Party BotHunter yang ada di dekat peti.
Dua orang kepalanya terpenggal dan dua lainnya mati dengan tubuh terpotong dua. Darah mengucur dari jasad keempat orang tersebut, membuat genangan merah di atas singgasan. Sebagian cairan tampak mengalir ke tangga sampai ke lantai bawah.
Aku memandang genangan darah itu dengan pandangan horor. Perutku terasa seperti diaduk-aduk saat bau anyir mulai menyebar ke seluruh ruang.
“Mereka mati seketika,” Fani menggigil ketakutan.
David juga memandangnya penuh ekspresi keterkejutan. Ia melihat ke arah peti itu lagi. Kali ini, muncul lingkaran segel merah menyala di sekeliling peti itu. Padahal sebelumnya tidak ada. Sementara patung wanita itu kembali ke posisinya semula.
“Ternyata patung itu adalah penjaga peti harta,” ucap David.
“Sial! Apa itu artinya kita tidak bisa mengambil peti itu secara cuma-cuma?” tanya Anto. Ia sangat ingin membawa peti harta itu keluar dari dungeon.
“Sudahlah, kita ambil harta yang lain saja, lalu keluar dari sini,” bujukku, mencoba mencari jalan tengah. Lagipula, membawa beberapa barang disini juga sudah lebih dari cukup. Itu jauh lebih baik daripada harus berisiko melawan patung tersebut.
Lagipula, kita tidak tahu patung itu termasuk ke monster kelas apa. Walau dari analisa singkat yang bisa kulakukan, mungkin monster itu berada di peringkat A atau S. Penjaga harta besar di dalam dungeon biasanya berada di peringkat tersebut.
“Aku sangat ingin peti itu,” Rozak berkata dengan geram. Kedua tangannya terkepal menahan emosi.
Aku dan Fani sudah berniat berbalik meninggalkan peti harta itu. Namun, David, Malih, Anto dan Rozak masih berada di sana.
“Mereka sepertinya masih mencari cara,” gumamku. Entah mengapa firasatku tidak enak. Beberapa Hunter bisa sangat ceroboh saat sudah melihat hadiah dalam jumlah besar, bahkan kadang sampai mengabaikan logika dan akal sehat.
“Tunggu, aku tidak melihat itu tadi,” sahut Anto tiba-tiba. Jarinya menunjuk ke sebuah altar yang entah muncul kapan.
Aku mencoba mengingat-ingat. Saat patung wanita itu kembali ke posisinya, memang terdengar suara batu yang bergeser. Hanya saja aku tidak tahu kalau suara itu berasal dari munculnya altar di tengah ruangan.
Mereka berjalan mendekati altar itu, Fani juga mengajakku ke ke sana. Tampak sebuah dudukan berbentuk lingkaran dengan simbol pohon yang sama seperti di depan pintu. Disekeliling akar itu terdapat enam lilin yang menyala.
David menyentuh permukaan altar dan disaat bersama terdengar suara menggema di ruangan.
“Pertukaran yang adil.”
Kami saling bertatapan bingung. Darimana suara itu berasal? Aku melihat ke arah patung dan seketika tercekat. Kepala wanita itu menoleh ke arah kami. Sorot matanya memancarkan cahaya merah.
“Patung itu yang bicara,” kataku, memberitahu yang lain.
Mereka semua seketika menoleh ke arah patung wanita.
“Apa maksudnya pertukaran yang adil?” tanya Rozak.
“Apa ini soal peti harta?”
Pertanyaan dari Fani memantik antusiasme anggota BotHunter lainnya. Mereka merasa seperti menemukan solusi dari permasalahan yang sejak tadi dihadapi.
David melangkah mendekati patung. Entah dapat ide darimana, ia berlutut dengan satu kaki dan menundukkan kepalanya.
“Wahai Ksatria Suci, bagaimana cara melakukan pertukaran yang adil?”
Dia gila. Bagaimana mungkin dia mengira bisa berbicara begitu saja kepada patung tersebut. Memangnya patung itu mau menanggapinya?
Kami semua menanti dengan tegang. Termasuk David, bulir keringatnya sudah membanjiri tengkuk, ia pasti sangat ketakutan saat ini, terlihat dari tangannya yang tidak berhenti gemetar.
“Apa menurutmu kita juga harus berlutut dan bertanya pada patung itu?” tanya Fani pada Rozak.
“Benar juga.”
Rozak lalu mengajak kami semua berlutut di hadapan patung wanita tersebut dan mengucapkan kalimat yang sama dengan David.
“Wahai Ksatria Suci, bagaimana cara melakukan pertukaran yang adil?”
Aku bahkan tidak tahu patung di hadapanku ini ksatria suci atau bukan. David pasti mengarangnya untuk mengagung-agungkan sosok patung itu.
Terdengar suara besi yang bergesekan dengan lantai. Napasku terasa seperti berhenti saking tegangnya. Aku takut patung wanita itu akan menebas leher kami berenam sekaligus. Namun, dugaanku salah.
Patung wanita itu berbicara. “Pertukaran yang adil harus setara dengan bobot benda.”
Kami semua terkejut saat mendengar persyaratannya.
“Bobot benda? Apa maksudnya?” Fani masih belum bisa mencerna maksudnya, tapi berbeda dengan empat pria lain di party BotHunter.
Senyum orang-orang itu mengembang seketika.
“Jadi begitu,” gumam David sambil menyeringai. Matanya melirik pada Rozak yang dibalas dengan anggukan. Mereka memikirkan hal yang sama, begitu pun dengan Anto dan Malih.
Berkebalikan dengan mereka berempat, aku justru meraskan firasat yang amat tidak enak. Berbicara soal bobot dan pertukaran, aku tidak bisa memikirkan hal lain selain… tumbal.
Jika yang dimaksud si patung wanita dengan bobot benda itu adalah berat dari peti harta, artinya ia ingin melakukan pertukaran dengan sesuatu yang beratnya minimal seperti benda tersebut. Dilihat dari bentuknya, mungkin peti itu beratnya di atas 80 kilogram. Semua pria yang ada di dalam ruangan saat ini bisa kupastikan memiliki bobot di angka kisaran tersebut.
Namun, kalau harus mencari amannya, jelas lebih baik menukar peti itu dengan bobot yang jauh lebih besar angkanya. Ini buruk. Diantara kita berenam akulah yang memiliki bobot paling berat. Aku menimbang terakhir kali saat pembaruan data Hunter tahun lalu. Saat itu bobotku mencapai 130 kilogram.
“Arka,” David memanggilku tiba-tiba. “Kemari.”
Bulu kudukku meremang. Aku tidak pernah merasakan diriku setakut ini terhadap manusia. Lirikan mata David terlihat berbeda. Ada hasrat yang menggelora di sana, tapi tidak ada ruang untuk simpati dan rasa kasihan.
Aku menggeleng pelan, menolak.
“Oh, tidak mau?” Rozak tiba-tiba menyahut, nada suaranya terdengar mengejek. Ia mengedikkan kepalanya pada Anto, memberi kode.
Anto mengangguk paham. Tanpa berkata apa pun, pria itu bangkit dan menarik tubuhku sampai berdiri.
“Anto, apa yang—?”
Aku belum selesai bicara, tapi pria itu langsung menghujamkan ujung perisainya yang berat di kedua kakiku.
“Aaaaaa!” Aku menjerit kesakitan. Darah muncrat dari pori-pori sepatu bersamaan dengan suara remukan tulang.
Kedua tanganku berusaha mendorong tubuh Anto. Namun, Malih dengan semangat menarik pedang melengkungnya dari sarung. Tanpa ragu, ia menebas kedua tanganku sampai putus dengan pedang itu.
“Aaaa! Sakit! Hentikan! Kumohon!” Aku berteriak-teriak minta ampun, tapi tidak digubris oleh mereka.
Melawan rasa sakit di kaki, aku melepaskan diri dari cengkraman tangan Anto dan berlari ke arah Fani. Aku terhuyung, dan terjatuh tepat di depan kakinya.
Menengadah, aku menatapnya penuh iba.
“Kumohon, jangan biarkan mereka melakukan ini padaku, Fani!” pintaku, sungguh-sungguh. “Kamu yang selama ini selalu baik padaku, kumohon tolong aku!”
Fani menatapku dengan ngeri. Tangannya bergetar. Namun, lama-kelamaan ekspresi di wajahnya berubah menjadi senyuman. Ia tertawa keras sambil mengibaskan tangannya yang lentik.
“Oh, Arka, kamu salah paham denganku.” Gadis itu melenggang ke tempat Rozak dan bergelayut manja padanya. “Selama ini aku hanya mencoba bersikap ramah. Tapi pandanganku padamu tidak berbeda dengan mereka.”
Sesuatu seperti menembus dadaku, rasanya begitu menyakitkan mendengar kalimat yang diucapkan Fani. Aku pikir, selama ini ia simpati padaku. Gadis cantik yang mau berbaik hati pada laki-laki menyedihkan sepertiku.
“Jika ini demi peti harta itu, aku tidak keberatan mereka melakukan apa pun padamu,” tambah Fani.
Rozak, David, Anto dan Malih ikut tertawa setelah mendengar perkataan Fani.
“Kamu lucu sekali, babi,” sindir Rozak. “Pacarku ini sangat mirip denganku, apa yang kamu harapkan darinya?”
Fani memukul pelan dada Rozak, wajahnya cemberut. “Banyak yang bisa kamu harapkan padaku ya!”
“Oh tentu saja sayang,” Rozak mengecup bibir gadis itu. “Aku mengharapkan malam yang panas setelah ini.”
Mereka melanjutkan bercumbu sementara aku memandang kedua sejoli itu dengan penuh kebencian. Tidak hanya hatiku sakit dipermainkan, tapi aku juga merasa tidak dihargai sebagai manusia. Orang-orang di party ini memang sejak awal menganggapku seperti babi sungguhan. Mereka bahkan tidak segan melukai dan memutilasiku, padahal kita masih sama-sama manusia.
“Cepat bawa dia ke altar!” Perintah David.
Anto berusaha mengangkat tubuhku, tapi ia kesulitan. “Babi ini berat sekali! Hahaha! Ksatria wanita itu pasti senang petinya kita tukar dengan benda yang lebih berat!”
“Aku bukan benda!” teriakku.
Tangan Anto seketika meninju wajahku sekuat tenaga. Hidung dan beberapa gigiku patah. Aku terhempas ke lantai sambil mengerang kesakitan. Anto dibantu oleh Rozak dan Malih kemudian mengangkutku ke atas altar. Mereka juga meletakkan tanganku yang putus di atas perut.
David lalu berlutut lagi di hadapan patung wanita itu.
“Pertukaran yang adil sudah dilaksanakan.”
Setelah itu muncul sinar di sekeliling altar. Tubuhku tersegel oleh tulisan berwarna kuning yang berputar di sekeliling altar, sementara segel yang mengikat peti harta itu hancur menjadi keping-keping merah.
“Kita dapat petinya!”
David dan Anto langsung berlari menyerbu peti itu. Mereka mencoba mengangkatnya dengan dua tangan.
“Berat banget!” komentar Anto.
“Argh! Pantas peti ini sepadan dengan bobot si babi!” timpal David. Keduanya tertawa terbahak-bahak. Malih dan Rozak langsung ikut bergabung dengan mereka berdua. Keempatnya menghitung mundur lalu mengangkat peti itu bersama-sama.
“Hufh, dibawa empat orang pun masih berat,” kata Mahil.
“Bertahanlah, kita akan kaya raya setelah ini.” Perkataan David menyemangati mereka semua.
Tanpa memedulikan kondisiku, kelima orang itu melangkah meninggalkan ruang harta. Hanya Fani yang berbalik sebentar ke arahku untuk melambaikan tangan. Setelah itu, sosoknya ikut menghilang di balik pintu ruangan.
“Tunggu, jangan tinggalkan aku.”
Aku memandang kepergian mereka dengan air mata mengalir di pipi. “Jangan.. Kumohon..”
Seiring dengan menghilangnya suara langkah kaki mereka, pintu ruangan itu bergerak dan perlahan menutup. Tersisa aku seorang diri di ruangan dingin tersebut. Aku masih menangis. Rasa perih di sekujur tubuhku tercampur aduk dengan ketakutan.
Aku mendengar langkah kaki berat mendekat bersamaan dengan suara besi yang terseret. Kepalaku mendongak dan menemukan patung wanita sudah berdiri di depan altar. Ksatria itu mengangkat kedua tangannya yang menggenggam pedang besar.
Aku bisa melihat wajahku yang putus asa dari pantulan pedangnya. Aku membatin, jadi seperti ini wajah orang yang berada di hadapan ajalnya.
Seiring pedang itu diayunkan, aku merasa seperti waktu melambat dan kilas balik kehidupanku berputar di kepala.
Aku yang sejak kecil sering dirundung karena gendut dan bau, akhirnya menghabiskan sebagian besar waktu bermain game online. Orang tuaku baik dan rela melakukan apa pun untukku, tapi mereka malah berakhir minum racun di kamar.
Andai mereka tahu kalau tindakan egois mereka sangat menyakitiku. Aku kesepian sejak kehilangan mereka. Bahkan Tante Tara dan keluarganya tidak bisa menggantikan sosok mereka. Aku ingin minta maaf jika selama ini menjadi anak yang tidak bisa diharapkan.
Lalu aku menjadi Hunter Tanpa Peringkat. Setiap hari terasa seperti neraka karena aku selalu diejek dan dirundung oleh Hunter lain. Mereka menyebutku “babi”, bahkan kadang saking melekatnya panggilan itu ada beberapa Hunter yang tidak tahu nama asliku. Menyedihkan.
Gadis-gadis menjauhiku karena rupaku Aku tidak masalah jika mereka sejak awal cuek, tapi tidak sedikit yang menggodaku di awal hanya untuk mempermaikanku dan dijadikan ajang taruhan. Fani, aku yakin ia salah satu diantara gadis yang hanya suka mempermainkanku. Bodohnya, aku terjebak berkali-kali dengan pola ini.
Aku begitu putus asa ingin dicintai seorang gadis, mendapatkan pacar dan bisa bercinta dengannya. Itu mimpi yang terlalu tinggi. Ujung-ujungnya aku tetap akan mati dalam keadaan perjaka.
Mati ya? Tidak kusangka hari ini akan datang lebih cepat. Sejujurnya, melihat sepak terjangku di dalam dungeon, aku mengira akan mati di tahun pertamaku sebagai Hunter. Aku pernah terkena semprot racun monster lipan sampai kulitku terbakar, tersesat di dalam dungeon dan masuk ke sarang bos, bahkan tidak sekali aku pulang dengan beberapa tulang patah.
Tubuhku berkali-kali terluka. Namun, aku selalu berhasil keluar, sembuh, dan kembali masuk ke dungeon. Namun, rutinitas itu akan berhenti di sini.
Sial. Kupikir aku akan berakhir seperti pahwalan, mati dan dikenang jasa-jasanya. Kenyataannya, aku mati karena dijadikan tumbal sekumpulan Hunter kotor dan menjijikkan. Aku benci mereka, aku tidak akan memaafkan mereka.
“Uagh!” Aku memuntahkan darah saat bilah pedang besar itu mulai menusuk dadaku.
Patung wanita itu mencabut pedang besarnya, lalu menancapkannya lagi di perutku. Ia mencabutnya lagi, lalu menusuk pinggangku. Berulang kali ia menusuk-nusuk tubuhku dengan pedang besar itu.
Rasa sakit yang tak terhingga memantik kemarahanku. Aku seharusnya tidak semenderita ini kalau bukan karena party BotHunter itu. Wajah anggota party itu silih berganti muncul di pikiranku. Aku muak membayangkan suara tawa mereka. Aku ingin mereka juga menderita sepertiku.
“Sialan! Aku tidak ingin mati! Aku masih ingin hidup dan membunuh kalian semua!”
Aku berteriak dalam kemarahan, benci dan dendam. Aku memikirkan seluruh perbuatanku pada mereka. Aku tidak pernah menyakiti mereka, aku selalu mencoba bersikap baik—kepada siapa pun. Namun, lihat apa balasannya? Aku dipermainkan, dikhianati, dan dikorbankan seakan aku hanyalah benda tak berguna.
Mungkin, ini adalah takdir orang lemah. Mereka yang statusnya berada di bawah memang tidak akan pernah dihargai, dihina dan diremehkan. Aku lelah mengemis minta tolong dan mengiba untuk dikasihani. Aku muak menjadi lemah.
Andai ada kesempatan kedua. Aku berjanji akan berlatih, terus belartih sampai menjadi kuat—sangat kuat sampai tidak ada seorang pun yang bisa menyakitiku.
Mulutku memuntahkan darah, bersamaan dengan itu, tusukan di tubuh berhenti. Patung wanita itu mengangkat pedang besarnya dan kali ini menebas leherku sampai putus. Pandanganku berputar seiring dengan kepalaku yang jatuh menggelinding di lantai. Aku masih bisa melihat kaki patung wanita itu bergerak menjauhi altar, lalu pandanganku mulai memudar. Semua berubah menjadi gelap.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!