"Hahahaha… dasar anak yatim." Sekelompok anak nakal mencaci Inara, gadis lima tahun dengan kelainan mata kiri sejak lahir. Mereka menertawainya tanpa belas kasihan.
"Sana pergi, dasar anak haram! Jangan berdiri di sini terus, merusak sekolah nenekku!"
"Sudah aneh, tak punya ayah, dan ibunya juga cacat. Kasihan, hahaha." Caci maki itu menusuk hati Ara yang kini wajahnya telah bersimbah air mata.
"Bellentti! Inalla bukan anak halam, pellgi kalian! Jangan ganggu dan ejek Mommy Ala!" Inara yang terisak dan tak sanggup lagi menahan ejekan harian mereka, memungut sebuah batu dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Ia tak mau lagi ditindas.
"Kalau kalian ndak mawu pellgi, Inalla lempall kalian!" Ancam Inara. Namun, gertakannya itu justru membuat mereka mendorongnya.
Brugh!
"Aduh… sakit," ringis Inara, beringsut ke belakang.
"Hahaha, makanya jangan berani sama kita, dasar cacat!" pungkas salah satu dari mereka. Merasa lebih tua dan besar dari Inara, mereka mengacak rambut pendek gadis kecil itu dengan kejam. Tak hanya itu, mereka juga merusak dan menendang tas Ara hingga robek.
"HEI, KALIAN! APA YANG SEDANG KALIAN LAKUKAN DI SANA?!" Seorang satpam berteriak ke arah mereka.
"Gawat, cepat kabur!" seru salah satu anak, lalu mereka semua melarikan diri, meninggalkan Ara yang diam terduduk, terguncang hebat melihat tas hadiah ulang tahunnya hancur. Padahal, uang untuk membeli tas itu didapatkan dengan susah payah oleh kelima kakak kembarnya.
"Uwaaa…. tas Inalla lusak," isaknya seraya mengusap kedua matanya.
"Inalla ndak pellnah jahat, tapi kenapa Inalla telus diganggu?" Tangis Ara pecah di hadapan satpam yang kebingungan bagaimana menenangkannya. Satpam itu pun mengikat kembali rambut Ara dan merapikan seragam sekolahnya, namun tas Ara sudah tak layak dipakai lagi.
"Hik, melleka tellus ganggu Inalla, tapi Inalla ndak pellnah jahat, kenapa melleka selalu begitu, Om?" tanya Inara lagi, kini sedikit lebih tenang.
Pak Satpam hanya bisa terdiam, bingung harus menjawab apa. Ia ingin menjawab, namun takut dipecat, sebab salah satu anak yang menindas Inara adalah cucu dari pemilik yayasan sekolah tersebut.
Tiba-tiba, sebuah suara memanggil dari belakang mereka.
"Ara!!!"
Ara mengangkat wajah imutnya dan melihat salah satu kakak kembarnya datang. Chloe terkejut melihat seragam adik bungsunya kotor dan tas Ara yang rusak.
"Om! Siapa yang sudah melakukan ini pada adik kami?" tanya Chloe, langsung diliputi amarah.
"Kamu siapa?" tanya Pak Satpam sambil memperhatikan Chloe yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Tentu saja, untuk tahun ini, hanya Inara yang bersekolah, sementara kelima dari enam bersaudara kembar itu tidak bisa ikut bersekolah karena sibuk mencari nafkah untuk adik dan ibu mereka yang cacat.
"Saya kakak kedua Ara," jawab Chloe sedikit lebih sopan setelah menyadari bahwa pria dewasa di depannya itu telah membantu Ara.
"Oh, begini dek…" Satpam pun menjelaskan apa yang telah terjadi.
"Kakak… Inalla minta maaf, galla-galla Inalla ndak bisa pulang sendili, tasnya lusak sama olang," ucap Ara menunduk, takut dimarahi. Namun, Chloe mengambil tas adiknya lalu menggenggam tangan mungilnya.
"Om, terima kasih sudah menolong Ara, kami pulang dulu, permisi." Chloe pun membawa adiknya pulang. Melihat kedua anak itu, Pak Satpam merasa iba. Ia ingin sekali mengadopsi mereka, namun apa daya, ia juga terhimpit kesulitan ekonomi.
Setibanya di rumah, Chloe membuka pintu apartemen kumuh tempat mereka tinggal. Serta-merta, Chloe meletakkan jari telunjuknya ke bibir sebelum keempat saudara laki-lakinya bersuara.
"Sst, Ara lagi tidur. Jangan membangunkan dia." Chloe masuk, membawa Ara yang berada di pundaknya ke dalam kamar. Ia membaringkan Ara dengan hati-hati agar tak terbangun dari tidurnya. Seketika, keempat anak laki-laki di belakangnya segera diam mematung saat Chloe melirik sinis ke arah mereka.
"Axel! Kenapa tidak ada yang memberitahuku kalau Ara ditindas di sekolah? Apa kalian tidak kasihan melihat dia diganggu?" Chloe, sebagai anak kedua, merasa marah dan kecewa karena tak ada yang memberitahukan kondisi Ara di sekolah.
Axel, Nathan, dan Arzqa mendorong Zee ke depan. Sebagai juru bicara di rumah, mereka bertiga mengandalkan Zee.
"Itu, kami disuruh tutup mulut sama Ara dan kami juga sebenarnya mau melawan mereka, tapi kami ingat pesan Mommy jangan balas kejahatan dengan kejahatan, itu tidak baik," kata Zee menenangkan Chloe.
"Benar sekali! Kalau saja mereka bukan anak-anak, kami berempat sudah membalas perbuatan mereka!" tukas Axel, Nathan, dan Arzqa serempak.
Chloe mengembuskan napas kasar, tak habis pikir keempat saudara kembarnya itu menunda-nunda balas dendam mereka.
"Dalam kamus Chloe, anak-anak atau orang dewasa, jika mereka berani melukai sedikit pun Inara dan Ibu, maka aku pasti balas dengan sepuluh kali lipat penderitaan mereka." Chloe masuk ke dalam kamar.
Sebagai seorang ahli komputer dengan IQ IT di atas rata-rata orang dewasa, ia mulai beraksi untuk menghancurkan karier dan usaha orang tua anak-anak itu, hanya bermodal komputer bekas dari tempat sampah.
"Baiklah, sebelum Ara bangun, aku pergi masak lagi," ucap Axel, juru masak profesional di rumah mereka.
"Nath, yuk kita masuk ke kamar Mommy." Arzqa menarik Nath, namun seketika di belakang mereka tampak seorang wanita cantik, bak model menawan, dan bertubuh tinggi ideal keluar dari kamarnya. Nyaris sempurna berkat perawatan anak-anaknya.
"Axel, apa yang terjadi, sayang? Kenapa ribut sekali di luar sini?" Hanya saja, wanita itu cacat sejak lahir. Ia mengalami kebutaan dan kini hanya bisa berada di rumah kecil dan sempit itu, layaknya tahanan rumah.
"Mommy, Axel pergi masak dan maaf, kami tadi berisik karena barusan menyambut Ara pulang dari sekolah," jawab Nathan seraya meraih tangan kiri ibunya.
"Terus, Ara sama Zee mana?" tanya wanita itu, bernama Aizhe Aza Evelin.
"Ara di kamar lagi tidur, kalau Zee ada di kamar jaga Ara," jawab Arzqa menarik tangan kanan ibunya, menuntun Aizhe duduk di kursi.
"Syukurlah, kalian setiap hari rukun, Mommy senang punya anak seperti kalian, saling sayang dan menjaga satu sama lain. Maaf ya, kalau sampai saat ini Mommy hanya menyusahkan kalian," kata Aizhe membelai rambut Nath dan Arzqa.
Walau kembar identik, masing-masing memiliki suara khas, gaya rambut berbeda, dan letak tahi lalat yang juga tak sama. Bagi Aizhe, hanya suara yang bisa membedakan mereka berenam.
"Tidak, Mommy jangan bilang begitu. Kami sebaliknya senang dan tidak pernah kecewa. Kami sangat bersyukur hidup bersama Mommy." Nath dan Arzqa memeluk ibu mereka dengan penuh cinta.
Satu-satunya keluarga mereka setelah kematian nenek mereka dua tahun lalu.
"Sayang sekali, Mommy tidak bisa melihat wajah kalian," ucap Aizhe, salah satu impiannya yang ingin melihat rupa keenam anak kembarnya.
"Mommy, jangan khawatir, kalau Arzqa sudah besar. Mommy boleh pakai mata Arzqa!" ujar Arzqa. "Tanpa mata, Arzqa masih bisa jaga Mommy," lanjutnya, membuat Aizhe terharu.
"Tidak, sayang. Tidak perlu, Mommy merasa sudah cukup mendengar suara kalian." Aizhe menolak, tidak mau merebut kebahagiaan anaknya. Walaupun harus mengorbankan impian terbesarnya, Aizhe rela buta selamanya demi anak-anaknya tidak bernasib malang sepertinya.
Di lubuk hatinya yang paling dalam, Aizhe begitu bahagia dan bersyukur memiliki enam malaikat menggemaskan seperti mereka. Tetapi sayang sekali, Aizhe yang buta tidak tahu kejeniusan mereka.
Jangankan itu, ia juga tak tahu siapa ayah biologis dari enam anak kembarnya. Yang jelas, AIzhe sangat benci pada pria tak bertanggung jawab itu dan berharap anak-anaknya tak bertemu dengan ayah jahat mereka.
Esok harinya, karena hari Minggu, giliran Ara di rumah menjaga Aizhe. Sementara kelima kakak laki-lakinya, seperti biasa, pergi pagi-pagi mencari nafkah dengan menjual susu botolan kepada para tetangga di apartemen yang sama.
Mereka tak hanya membeli susu, tetapi juga sering meminta bantuan Axel, Nathan, Zee, Chloe, dan Arzqa untuk mengerjakan pekerjaan rumah: mencuci piring dan baju, menyapu, mengepel, dan bahkan merawat bayi. Itulah yang selalu dilakukan kelima anak itu, banting tulang demi bertahan hidup dan mengumpulkan biaya operasi mata Ibu mereka.
Meski hanya terkumpul lima puluh ribu rupiah per hari, jumlah itu sudah cukup untuk membeli kebutuhan pokok selama tiga hari. Makan nasi dan lauk seadanya pun sudah cukup memenuhi isi perut mereka.
Sambil menunggu kelima jagoan Aizhe pulang, Ara terkejut saat Aizhe tiba-tiba perlahan duduk di sebelahnya dan mengajak putri kecilnya bicara.
"Ara, lagi mengerjakan apa, sayang?" tanya Aizhe. Ara menunduk, diam, dan menatap tas sekolahnya yang rusak.
"Ara, kenapa diam, sayang? Ara tidak mau bicara sama Mommy ya?" Aizhe mengulurkan tangan, mencari kepala Ara untuk dibelai, tetapi gadis itu bergeser sedikit dan mengelak.
"Hm, kenapa Ara menjauh? Ara lagi marah sama Mommy?" tanya Aizhe, merasakan putrinya sedang bersedih. Ara meremas kedua tangannya, menahan gemuruh di hatinya, dan mencoba untuk tidak bicara. Namun, melihat wajah Aizhe yang sedih, Ara tak tahan membendung air matanya. Ia maju menyerbu ke pelukan Aizhe dan menangis pilu.
"Mommy, Ala sayang Mommy," ungkap Ara memeluk erat. Aizhe memegang wajah Ara kemudian mencium kepalanya.
"Ya sayang, Mommy juga sayang sama Ara. Maaf ya, kalau Mommy tidak bisa memberikan apa-apa pada ulang tahun kalian kemarin," lirih Aizhe dengan suara bergetar. Ia merasa bersalah pada putrinya yang menurut orang-orang memiliki kelainan, tidak seperti kelima anaknya yang terlahir sehat tanpa kekurangan fisik.
Memang terlihat, mata Ara yang aneh. Mata kanan berwarna hitam, sedangkan mata kiri berwarna biru. Karena itu, hanya Ara satu-satunya yang memiliki mata biru di dalam keluarganya. Memang aneh, tetapi bagi Aizhe, Ara adalah putri paling imut dan unik dalam hidupnya.
"Sekarang, Ara sudah tenang?" tanya Aizhe.
"Hm, sudah, Mommy!" jawab Ara antusias dan tersenyum. Aizhe menghela napas lega, kemudian menarik Ara untuk duduk di pangkuannya.
"Oh ya, Mommy boleh tanya sesuatu?"
"Boleh, Mommy mawu tahu apa?" tanya Ara sambil bersandar di dada empuk ibunya dan merasakan rambutnya disisir dengan lembut.
"Bagaimana sekolah, Ara? Apakah di sana Ara sudah punya teman baru?" tanya Aizhe tidak sabar mendengar cerita putrinya tentang sekolah.
Jangankan punya teman, Ara sendiri takut bicara pada teman kelasnya.
"Kenapa diam lagi, sayang?" Aizhe mulai cemas tak mendengar suara Ara. Tiba-tiba Ara berbalik badan dan memeluk Aizhe. Aizhe pun kaget merasakan Ara kembali sesenggukan.
"Mommy, Ala ndak mawu sekolah. Ala mawu di lumah jaga Mommy," lirihnya memohon.
"Kenapa? Apa yang membuat Ara tiba-tiba begitu? Bukannya Minggu lalu Ara ingin sekali masuk sekolah, kan? Kenapa sekarang tidak mau, sayang?" tanya Aizhe menyentuh dan menghapus air mata Ara.
Ara meraih kedua tangan ibunya, dan memohon, "Ara ndak bisa telus ke sana. Sekallang tas Ala sudah lusak, tellus teman-teman di sekolah ndak ada yang mawu main sama Ala, melleka telus bilang kalau Ala anak halam dan punya Ibu yang cacat, Mommy," jawabnya jujur.
Aizhe terdiam sesaat, syok mengetahui putrinya ditindas di sekolah. Kali ini bukan tangis Ara yang terdengar lagi, tetapi emosi Aizhe yang meluap.
"Mommy, kenapa? Apa Ala sudah salah bicalla?" tanya Ara khawatir dan panik melihat air mata ibunya berjatuhan. Aizhe sangat terguncang; penderitaannya benar-benar berlanjut kepada anak-anaknya.
"Mommy! Mommy!" Ara kaget melihat ibunya pingsan. Gadis kecil itu segera lari keluar, mencari kelima kakaknya. Saat hendak membuka pintu, secara kebetulan Axel, Chloe, Nathan, Zee, dan Arzqa telah pulang sore itu.
"Hei, Ara. Lihatlah, aku dapat tas baru dari tetangga baik, sekarang kamu bisa—" ucap Axel terdiam, begitu pun yang lainnya kaget melihat Ara panik dan menangis.
"Kakak, Mommy! Mommy pingsan, Kakak!"
"Apa?" Mereka berlima bergegas masuk dan benar saja, Aizhe tak sadarkan diri. "MOMMY!" pekik mereka, semuanya panik. Axel, Chloe, dan Nathan membawa bantal dan kasur dari kamar, membaringkan ibu mereka. Sementara Arzqa menenangkan Ara, dan Zee keluar mencari bantuan. Beruntung ada tetangga baik yang mau mendengarkan permohonan Zee, dan segera menelepon dokter untuk datang memeriksa kondisi Aizhe.
Ting Tong.
"Arzqa, coba buka pintunya, Nak," suruh tetangga itu yang duduk di samping Ara. Tak hanya menelepon dokter, tetangga baiknya juga datang melihat kondisi anak-anak Aizhe.
"Selamat datang, Dokter," sambut Arzqa dengan ramah. Ia mendongak dan diam sejenak memandangi dokter itu yang cukup tinggi, tampan, dan bermata biru.
"Terima kasih," balas Dokter itu tersenyum ramah.
"Oh ya, apa benar ini alamat Nona Aizhe?" tanyanya.
"Be-benar, ini rumah Mommy kita," jawab Arzqa membuat Dokter itu terkejut dalam hati. Ia merasa tak percaya, karena dari informasi tetangga Aizhe, pasiennya masih muda berumur 22 tahun, tetapi rupanya sudah memiliki anak berumur sekitar lima tahun dan fasih berbicara. Bahkan, "Kita?" Itu artinya anaknya lebih dari satu!
"Kalau begitu, boleh Dokter masuk melihat Mommy kalian?" tanya Dokter.
"Silakan, tolong periksa sampai Mommy sembuh!" pinta Arzqa.
"Baiklah. Kamu tenang saja, itu memang tugas Dokter. Kamu tidak perlu khawatir dan terus berdoa demi kesembuhan Mommy kalian." Dokter menepuk pelan kepala Arzqa kemudian masuk. Begitu terkejutnya ia setelah melihat wajah pasiennya, Dokter itu terkesima dengan paras cantik Aizhe. Bagaikan berlian yang sengaja disembunyikan. Ia pun juga kagum melihat ada lima anak laki-laki tampan di sampingnya. Kecuali ia tidak melihat Ara, karena gadis itu sedang berada di dalam kamar, takut dengan yang namanya Dokter.
"Bagaimana kondisinya, Dok?" tanya sang tetangga.
"Nona Aizhe mengalami depresi berat. Ini cukup bahaya kalau dia terus-menerus seperti ini, kemungkinan bisa menyerang kejiwaannya. Saran dari saya, bawa dia periksa sesekali ke rumah sakit. Saya selalu ada di sana dan pasti akan bersedia meluangkan waktu untuknya."
"Terima kasih, Dok. Kapan-kapan, kalau ada waktu," ucap tetangga itu dan melihat kelima anak kembar di sampingnya menunduk lesu. Mereka sedih karena belum ada biaya untuk membawa ibu mereka periksa ke rumah sakit.
"Baiklah, kalau begitu, saya pergi dulu, masih ada sesuatu yang perlu saya kerjakan hari ini. Dan untuk kalian, tak perlu cemas, ibu kalian akan segera siuman. Nih, Om Dokter berikan obat gratis untuk meringankannya."
"Terima kasih, Dok!" Kata mereka berlima senang.
"Yosh, sampai jumpa." Dokter membelai kepala Axel. Kemudian keluar. Belum ada dua langkah, tiba-tiba seseorang menghubunginya.
"Heii, bajingan! Ke mana kau sekarang? Kenapa tak sampai juga? Kau memang mau Nenek mati sekarang hari ini? Cepat, ke sini!" marah pria yang berada di seberang telepon.
"Mohon maaf, Tuan Muda. Hari ini ada keadaan darurat jadi—"
"Ck, tak usah banyak alasan! Hidup Nenek saya lebih berharga daripada nyawa pasienmu yang lain!" kata orang itu lagi dengan sombong.
"Baik-baik, saya akan segera ke sana."
Tuutt…
"Buset dah, galak amat jadi manusia! Memang benar kata orang, hanya dia Presdir paling galak, cerewet, dan tidak berperikemanusiaan di kota ini!" Dokter mengembuskan napas panjang, kemudian bergegas ke kediaman Ericsson.
"Terima kasih sudah bantu kami, Tante," ucap Axel kepada tetangga baiknya yang hendak pulang.
"Sama-sama, jangan sungkan kalau kalian butuh bantuan. Pergilah minta pada Tante," jawab tetangga itu tersenyum. Ia pun kembali ke apartemennya. Usai menutup pintu, Axel bergabung dengan yang lain.
"Kakak…" lirih Ara, berdiri di dekat pintu kamar yang terbuka.
"Ara, kamu jangan takut, Dokter sudah pergi." Kelima bersaudara itu tersenyum melihat Ara sudah keluar.
"Tellus, Mommy sekallang bagaimana? Apa Mommy sudah sembuh?" tanya Ara, duduk di samping Aizhe.
"Kata Dokter, tidak perlu cemas. Mommy hanya kecapean. Ara jangan nangis lagi," jawab Nathan, menghibur adiknya yang paling kecil.
"Sudah jam lima sore, kita makan duluan yuk!" ujar Zee yang sudah kelaparan.
"Sebentar! Kalian tunggu di sini, biar aku dan Arzqa yang menyiapkan makan malam." Axel berdiri, menarik si adik kelima pergi ke dapur.
Tok tok tok…
Mendengar ketukan pintu, Ara langsung pindah duduk di dekat Zee dan Chloe.
"Hei, Nath. Berdiri dan lihat siapa itu," suruh Chloe kepada adik ketiganya.
"Siap!" Nathan bergegas menuju pintu.
"Siapa itu, Kak?" tanya Ara.
"Hm, tidak tahu, tapi mungkin tetangga yang datang minta bantuan kita lagi," jawab Zee, merasakan tangan Ara menggenggam erat tangannya. Ia menyadari adiknya ketakutan.
Dua menit berselang, terdengar pintu ditutup. Nathan pun datang membawa sebuah rantang kecil.
"Woah, apa yang kamu bawa, Nath?" tanya Axel dan Arzqa yang baru datang memanggil mereka makan.
"Hehe… malam ini kita dapat makanan gratis dari Tante tadi." Nathan meletakkan rantang itu di depan mereka. Seketika, suara perut mereka saling bersahutan melihat lauk rendang berisi paha ayam yang lezat. Termasuk Ara yang mengelus perutnya yang rata, melihat wajah bahagia penuh syukur dari kelima kakaknya yang lucu, seolah-olah tak pernah merasakan daging ayam sebelumnya.
"Hei, Axel. Bawa saja nasi dan piringnya ke sini!"
"Iya, nih… ambil bagian kalian!" Axel membagi ketujuh piring. Mereka duduk rapi dan sopan di dekat Aizhe. Sebenarnya mereka ingin menunggu Aizhe bangun, tetapi mendengar perut Ara sudah keroncongan, mereka akhirnya mengizinkan adik kecil mereka makan dulu.
"Hm, kenapa Inalla saja yang makan?" Ara bertanya, karena paha ayam hanya diberikan untuknya, sedangkan yang satu disisihkan untuk Aizhe.
"Ara, 'kan harus cepat besar. Kalau tidak makan banyak-banyak, Ara nanti tidak kenyang dan susah tidur. Nih, makan saja, Dek." Walaupun harus menelan ludah berkali-kali, mereka tetap kekeh memberikan ayamnya kepada Ara.
"Telima kasih, Ala senang punya lima kakak sepellti kalian." Ara mengecup pipi Axel, lalu mencicipi makanannya duluan. Sementara mereka berlima hanya makan campuran nasi dengan air kuah dari rendang saja. Tiba-tiba, di suapan terakhir Nathan, Aizhe menggeliat perlahan.
"Mommy!" panggil Ara pelan. Chloe dan Zee yang sudah selesai makan duluan, berdiri membantu ibu mereka duduk. Tanpa mendengar cerita dari mereka, Aizhe paham dirinya telah pingsan lagi.
"Mommy." Mereka memeluk tubuh lemah Aizhe, kecuali Chloe yang hanya tersenyum lega. Setelah suasana kembali normal dan tenang, Axel dan Arzqa berdiri membereskan piring mereka.
"Hm, kalian habis makan ya?" tanya Aizhe mencium aroma rendang di tangan Ara.
"Hm, Iya! Kami dapat rendang dari tetangga, Mommy. Sekarang kami sudah kenyang, giliran Mommy yang makan," ucap Zee dan Nathan.
"Mom, ini Chloe bawa ayam," sahut Chloe. Seketika Zee dan Nathan segera berebutan menyuapi Aizhe.
"Biar aku saja, kemarin kamu sudah dapat giliran," kata Nathan ketus.
"Tidak, yang kemarin diambil sama Axel!" Tolak Zee.
Melihat keduanya berdebat, Chloe merebut piring di tangan Zee dan mendengkus sebal. "Daripada kalian berdua, mendingan Ara yang suapin Mommy." Nathan dan Zee cemberut, karena Chloe selalu ikut campur dalam perdebatan mereka, tapi kalau ia sudah bicara, tak ada yang berani melawan.
Puff… "Tak perlu bertengkar, kalian boleh bergantian suapin Mommy." Aizhe menegur ketiga putranya. Tapi ujung-ujungnya tetap Ara yang menyuapi.
Selesai makan, Axel dan Arzqa datang membawa obat.
"Hm, dari mana kalian beli obat ini?" tanya Aizhe sebelum meminum obat itu.
"Dari Om Dokter!" jawab mereka serempak.
"Bayar?"
"Tidak, ini gratis, Mommy."
"Syukurlah, kalian bertemu Dokter yang baik."
Aizhe pun memakannya, lalu meneguk setengah air putih dari Arzqa. Setelah itu, memanggil putri kecilnya.
"Ara, sini, sayang."
"Kenapa, Mommy?" tanya Ara mendekat. Kelima anak laki-laki Aizhe juga mendekat. Mereka pun kaget melihat Aizhe melepas anting-anting emas dari telinganya.
"Ara, ini ada hadiah kecil dari Mommy, Ara terima ya, sayang."
"Hm, ndak usah. Mommy saja yang pakai," tolak Ara cepat.
"Hmm, jangan ditolak, sayang. Mommy nanti sedih kalau Ara tolak," lirih Aizhe lesu.
"Tapi ini hadiah telakhill dali Nenek buwat Mommy," ucap Ara memandangi anting-anting cantiknya.
"Sayang, Ara kan sudah besar. Lebih cantik dan manis kalau pakai ini, ambil ya, sayang," mohon Aizhe.
"Tapi, Mom, Ara belum pernah tindik telinga," kata mereka berlima. Aizhe menunduk murung, merasa payah menjadi seorang ibu. Hal itu saja dia tak bisa mewujudkannya, apalagi menjamin kehidupan mereka di masa depan.
Melihat Aizhe diam, Ara mengambil anting-anting ibunya. "Mommy, Ala bellubah pikillan! Ala mawu simpan ini!" Aizhe tersenyum getir. Ia pun mendekap Ara dan kelima anak laki-lakinya. Ia merasa senang dan terharu pada mereka yang paham kekurangannya. Kalau saja tak ada mereka, hidup Aizhe sangat hampa dan kesepian.
"Terima kasih, sayang."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!