Jian menguap, matanya terbuka menutup sambil mendengar Ibu Guru menjelaskan. Kehidupan sekolah yang begini-begini saja tampak membosankan bagi Jian.
Melihat temannya mengantuk, Rui menyikut lengan Jian, "Hei, kalau tidak mau disuruh maju ke depan, jangan tampak seperti mengantuk, Jian," bisik Rui.
Jian hanya mengangguk, tidak terlalu mendengarkan saran dari Rui. Ibu Guru di depan sudah menyelesaikan penjelasan, kini, mata di balik kacamata itu menatap seluruh kelas, mencari mangsa untuk menggantikannya berdiri di depan. Jian bergegas fokus dengan bukunya, berpura-pura mendengarkan dan sedang menyalin.
"Jian. Bisakah kamu mengulangi penjelasan Ibu tadi?"
Puh! Jian langsung menyembunyikan wajahnya, bagaimanapun dia bersembunyi dan pura-pura, telunjuk Ibu Guru selalu mengarah ke wajahnya.
Rui terkekeh kecil, "Sudah aku katakan, Jian. Lain kali jangan cuma mengangguk, ya."
"Kenapa harus dijelaskan ulang, Bu? Ibu kan sudah menjelaskan. Jika aku menjelaskan ulang, sia-sia tenagaku nanti." Jian menjawab dengan gaya keren.
"Berdiri, Jian!"
Jian mengembuskan napas panjang.
...----------------...
Jian menghela napas, menatap mangkuk baksonya tidak selera. Melihat Rui yang makan dengan lahap, Jian semakin tidak selera makan.
"Kenapa kamu tidak makan?" Rui bertanya.
"Mood-ku buruk sejak dihukum Ibu Guru. Sebaiknya kamu jangan mengganggu," Jian bersungut-sungut.
"Baru disuruh berdiri sudah mengeluh tidak selera makan. Aku nih, diusir dari kelas, selera makanku tetap bagus," seorang laki-laki menyahut dari belakang mereka.
Jian semakin kesal lagi, "Diam kamu, Neo. Ini pembicaraan khusus perempuan, kamu tidak boleh asal sahut saja!"
Neo menoleh, "Kudengar ruangan baru di perpustakaan sudah boleh digunakan. Ada banyak properti keren di sana. Cocok untuk Jian yang menyukai barang-barang berbau fantasi," jelasnya mengalihkan pembicaraan.
Wajah Jian langsung cerah, "Benarkah? Apakah di sana ada semacam tongkat sihir?"
Rui langsung mencubit perut Jian, "Dia hanya membual, Jian. Kamu sebaiknya tidak perlu percaya," bisiknya pelan.
"Tunggu dulu, Rui. Aku juga mendengar dari kakak kelas dua belas kalau ruangan baru itu berbeda jauh dengan perpustakaan pada umumnya. Mungkin ucapan Neo tidak salah. Kita bisa datang ke sana, kan?" Jian menarik lengan Rui menuju perpustakaan.
"Tapi, tapi makananku belum—"
"Nanti saja kamu habiskan, sebentar saja, hanya memeriksa apakah ucapannya benar." Jian tidak memberi ruang untuk Rui menghabiskan baksonya.
"Eh, Para Gadis! Tunggu!" Neo panik begitu Jian memutuskan percaya padanya begitu saja, "Padahal kan aku hanya membual," gumamnya.
Neo berlari menuju ke kelas sebelum Para Gadis itu menyadari kalau mereka sedang di bodohi.
Bel berbunyi setelah beberapa menit, Neo melihat Jian dan Rui memasuki kelas dengan wajah menahan tawa. Mereka tampak sedang membicarakan hal yang menarik sepulang dari perpustakaan.
"Jika saja dunia fantasi itu benar-benar ada, bukankah menyenangkan, Rui? Kamu melihat betapa kerennya tongkat sihir di sana. Juga seragam akademi sihir. Itu menyenangkan," Jian tertawa kecil.
Rui mengangguk, "Menurutmu, ruangan itu untuk apa, ya? Kenapa banyak sekali barang-barang aneh yang tidak kita ketahui?"
Neo menguping pembicaraan itu. Dia bingung kenapa Jian dan Rui tidak memarahinya padahal dia sudah membohongi mereka.
"Mungkin itu ruangan untuk ekstra kurikuler drama teater. Kudengar anak kelas dua belas akan membuat drama teater berjudul akademi sihir," Jian menjawab.
"Jadi ruangan itu benar-benar sudah diisi peralatan teater? Tadi kulihat hanya ruangan kosong dengan peralatan melukis saja." Neo membatin, merasa heran kenapa yang dia lihat berbeda dengan yang dilihat Para Gadis.
Neo memutuskan untuk melihatnya kembali, apakah ruangan baru itu benar-benar ruangan drama teater, atau ruangan seni seperti yang dia lihat sebelumnya.
Begitu tiba di sana, Neo membukanya. Di dalam sana ada beberapa anak kelas dua belas sedang merapikan kanvas dan cat lukis.
Neo menelan ludah, menutup pintunya lagi. Kemudian membuka pintu lagi, yang dia lihat benar-benar hanya ruangan melukis biasa yang berisi barang-barang biasa seperti yang pernah dia lihat sebelumnya.
Karena merasa terganggu dengan kehadiran Neo yang hanya membuka dan menutup pintu, anak kelas dua belas itu berseru kesal, "Woi, Dek! Kalau tidak mau masuk, setidaknya jangan mengganggu yang sedang di dalam."
Neo nyengir lebar, kemudian menunduk meminta maaf dan kembali ke kelasnya.
"Jian, Rui!" serunya.
Jian dan Rui menoleh.
"Sebenarnya apa yang kalian lihat di dalam ruangan itu?" Neo bertanya dengan perasaan takut, "Kalian jangan membohongiku! Ruangan itu hanya ruangan biasa. Tidak ada barang-barang sihir yang aneh dan tidak kita ketahui. Itu hanya ruangan melukis yang baru."
Jian dan Rui saling menatap, "Apanya ruangan melukis? Itu mungkin ruangan teater baru."
"Ruangan teater bukan di dalam perpustakaan, Rui. Dia terpisah dari perpustakaan," Neo semakin geram.
"Terserah kamu saja. Yang jelas kamu yang mengada-ngada. Sudah jelas ruangan teater drama baru. Kalau bukan, kenapa isinya properti drama teater Akademi Sihir kakak kelas dua belas?" Jian menatap Neo malas.
"Jian, mungkin latihan teater itu akan dimulai sepulang sekolah nanti, kau mau melihatnya denganku?" Rui bertanya. Jian mengangguk dengan senang.
Karena merasa ada yang tidak beres dengan teman-temannya, Neo memutuskan untuk mengikuti Jian dan Rui ke ruangan itu pulang sekolah nanti.
...----------------...
Sekarang Jian dan Rui sudah berdiri di depan ruangan baru yang mereka sebut Ruangan Drama Teater. Ruangan itu terkunci. Jian dan Rui tidak bisa membukanya. Mereka bingung kenapa ruangan ini terkunci padahal sekolah belum ditutup.
Neo bersembunyi di balik rak buku. Berpikir mungkinkah yang dilihatnya salah?
Sebuah kunci tiba-tiba terjatuh dari udara. Neo melihatnya dengan matanya sendiri yang nyaris tidak berkedip melihat keanehan di dalam perpustakaan sekolahnya ini.
Jian dan Rui melihat kunci yang terjatuh itu, mereka mendongak, dari mana kunci ini jatuh? Tanpa berpikir, Rui memungutnya, mungkin kunci pintu ruangan ini.
kemudian memasukkannya ke lubang kunci di depan mereka. Kunci itu terbuka. Jian tersenyum puas. Meskipun latihannya belum di mulai, setidaknya mereka bisa masuk ke ruangan ini untuk mencoba hal baru. Mereka segera masuk.
Neo menyusul, mengintip lewat celah pintu, tapi yang dilihatnya hanya ruangan melukis saja. Dan di dalamnya tidak ada Jian dan Rui.
"Ini tidak sesederhana yang mereka pikirkan," gumamnya.
Neo berusaha masuk ke sana untuk menarik Jian dan Rui kembali ke perpustakaan sekolah. Tapi masuknya saja Neo tidak tahu harus seperti apa agar dimensinya sama dengan dimensi yang dilihat Jian dan Rui.
"Aaaaaaaa!!!" Neo mendengar suara teriakan.
Dia kembali berdiri diam di depan pintu, mungkin dia harus mengikuti cara Jian dan Rui masuk agar bisa tiba di ruangan dan dimensi yang sama.
"Jian, Rui, kalian di mana!" Neo berseru. Suaranya bergema, Neo melihat sekeliling, perpustakaannya sekarang sudah berbeda. Buku-buku terbang tak terkendali, Neo menatap tanpa berkedip, dia tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Tapi sejak Jian dan Rui membuka pintu menggunakan kunci itu, semuanya menjadi berubah total! Menatap sekeliling, Neo menyadari semuanya menghilang begitu saja. Perpustakaan dan isinya, semuanya lenyap dan berubah menjadi ruangan putih tak berdasar, Neo merasa kakinya melayang tapi juga menjejak lantai.
"Pintu itu tidak menghilang!" Neo berseru melihat pintu di depannya masih utuh tanpa kurang sedikitpun. Neo segera membukanya, dan tidak memikirkan apa yang terjadi begitu dia melewati pintu itu.
Neo membukanya, tubuhnya terjun bebas ke dalam pusaran portal menuju dimensi yang berbeda. Neo memejamkan nata karena terlalu silau.
"Aku tidak mengerti ini apa!"
Blup!
Neo menahan napas. kepalanya terkubur ke dalam tanah empuk, kakinya berada di atas. Neo segera berdiri, dan menyadari dirinya mendarat pada sesuatu yang empuk tapi terlihat menjijikkan.
"Iuh! Ini apa?" Neo bergedik, segera menyingkir dari sesuatu yang empuk itu. Warnanya kuning cerah, dan berbau aneh. Tapi banyak hewan-hewan kecil yang datang mengumpulkannya ke dalam wadah kecil untuk dibawa ke suatu tempat.
"Ini sebenarnya tempat apa?" Neo bergumam pelan, dia memeriksa sekeliling dan hanya menemukan gumpalan-gumpalan empuk berwarna kuning itu di beberapa tempat.
Neo melihat ada padang rumput luas jauh di depan sana. tampaknya rumput itu tinggi menjulang, lebih tinggi dari tinggi badannya saat ini. Di mana Neo bisa menemukan Jian dan Rui di tempat antah-berantah ini?
"Jian! Rui!" Neo berseru sambil meletakkan kedua tangannya di depan mulut.
"Kalian di mana?!"
"Apakah kalian mendengar suaraku?!"
Neo terdiam cukup lama setelah berteriak kencang. Menyadari tidak ada sahutan, Neo mengembuskan napas kecewa, "Tahu begini seharusnya aku tidak perlu ikut campur dan terseret masuk ke sini. Jika saja aku tidak membuntuti mereka, mungkin aku sedang dalam perjalanan pulang ke rumah." Neo menyesali perbuatannya yang terbilang mengada-ngada ini.
"Tapi jika bukan aku yang melihat mereka masuk, mereka mungkin tidak bisa kembali lagi," Neo membayangkan konsekuensi yang dia dapatkan jika tidak ikut masuk ke dalam ruangan. Jian dan Rui akan menghilang dan mungkin tidak akan kembali dalam waktu lama. Dia tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.
"Baiklah. Mari kita berkeliling sebentar. Sambil mencari makanan, mungkin aku akan bertemu dengan mereka lagi. Walaupun kami tidak pernah berteman dengan baik, setidaknya mereka akan berutang budi padaku jika aku menyelamatkan mereka dari dunia aneh ini." Neo bertekad dalam hati. Memang hanya dia yang bisa menyelamatkan Jian dan Rui, tapi entah apakah Neo bisa menyelamatkan dirinya sendiri di tempat yang mungkin saja berbahaya ini?
Neo masuk ke hutan di belakangnya. Hutan itu dipenuhi gumpalan-gumpalan empuk berwarna kuning itu. Neo sampai menutup hidung karena hutan ini dipenuhi bau aneh dari gumpalan itu.
"Sebenarnya mana buah yang aman dikonsumsi?" Neo mendongak, semua pohon tinggi ini memang berbuah. Tapi buahnya memiliki warna terang yang tidak umum seperti buah-buah yang dia lihat selama hidup.
"Sebenarnya ini dunia apa? Aku harus segera menemukan Jian dan Rui agar bisa segera mencari jalan pulang." Neo memanjat salah satu pohon. Pohon itu berbuah lebat, ada sekelompok burung kecil yang memakan buahnya, Neo yakin buah satu ini tidak beracun dan aman dikonsumsi.
Neo mengambil buah itu sebanyak yang dia bisa. Begitu terkumpul banyak, Neo segera turun dan memakan satu buah, dia menyimpan yang lain di dalam ransel sekolahnya, "Jian dan Rui pasti lapar saat kami bertemu nanti," begitu pikirnya.
Neo keluar dari hutan bergumpalan kuning, dia melihat langit cerah yang dipenuhi hewan-hewan terbang dan sesuatu yang terbang lebih tinggi. Neo tidak bisa melihatnya karena terlalu tinggi dan terlihat kecil dari bawah.
...----------------...
Di padang rumput yang luas itu, Jian dan Rui sedang bermain petak umpet dan berlarian dengan tawa yang menyenangkan.
"Rui, lihat aku!" Jian berseru, tubuhnya dipenuhi kapas dari ilalang yang mengelilingi mereka. Ilalang tinggi itulah yang memenuhi padang rumput ini. Rui tertawa renyah, "Kamu terlihat seperti putri kapas, Jian, keren sekali!" Rui bertepuk tangan.
"Eh, eh! Rui, apa yang terjadi padaku?! Rui! Aku akan terbang, tariklah tanganku, Rui!" Jian berseru panik. Kapas-kapas di tubuhnya membawanya terbang sangat tinggi. Rui melompat-lompat berusaha meraih Jian yang terbang semakin tinggi.
"Jangan khawatir, Jian! Aku akan menangkapmu!" Rui berlari di bawah, sesekali mendongak memastikan ke mana angin membawa Jian pergi.
"Rui! Ternyata ini menyenangkan! Pasanglah kapas-kapas itu di tubuhmu, Rui! Kamu akan menyusulku terbang! Cepatlah!" Jian berseru, Rui segera memanjat ilalang tinggi, kapas-kapas itu menempel sendiri di tubuhnya, tapi dia tidak langsung terbang seperti Jian.
"Jian, kenapa aku tidak terbang sepertimu?!" Rui berseru khawatir. Dia takut Jian akan terbang tinggi hingga dia tidak mampu menjangkaunya.
"Tambah lagi kapasnya, Rui!" Jian berseru, suaranya semakin jauh.
Rui segera menambah kapasnya, perlahan, tubuhnya terangkat, Jian tertawa melihat Rui yang berteriak panik begitu tubuhnya terangkat ke udara.
"Rui! Cepat kejar aku!" Jian berseru, kini tubuhnya melesat cepat di antara awan-awan rendah yang mengambang di langit.
Rui tertawa, "Ini menyenangkan, Jian!"
Tanpa disadari, mereka terbang menjauhi wilayah padang rumput penuh ilalang kapas itu. Begitu keluar, angin yang semulanya mampu menerbangkan tubuhnya yang penuh kapas itu pun mulai menghilang.
Kapas-kapas di tubuh Rui dan Jian terlepas dari tubuh mereka. Jian dan Rui berteriak panik. Kini tubuh mereka terjun bebas dari ketinggian ratusan meter.
"Aaaaaaaaaaaaa!"
Teriakan itu terdengar hingga tempat Neo istirahat. Neo mendongak, "Itu apa?" dia bertanya-tanya.
Mata Neo menyipit, "Itu orang jatuh?"
Mata Neo segera membulat begitu mengetahui apa ya6bg sebenarnya jatuh itu, "Jian, Rui!"
Neo segera mencari cara agar Jian dan Rui tidak jatuh dengan rasa sakit. Dia menyadari gumpalan kuning mampu melindunginya dari rasa sakit ketika terjatuh dari portal dimensi.
Neo segera mengumpulkan gumpalan itu seperti yang dilakukan hewan-hewan kecil. Dengan tangannya yang lebih besar dari wadah-wadah hewan kecil, Neo mengumpulkan gumpalan dengan waktu yang cukup singkat.
Blup!
Jian dan Rui jatuh dengan kepala terbenam ke dalam gumpalan kuning. Neo tertawa terpingkal melihatnya. "Kalian konyol!"
Jian dan Rui segera berdiri. Merapikan seragam sekolah mereka, dan melihat Neo dengan benar.
"Neo?" Jian dan Rui saling tatap, "Kamu sedang apa di sini?"
Neo menepuk dahi, "Kamu yang sedang apa! Jelas-jelas aku datang untuk menyelamatkan kalian. Kalian tampak bersenang-senang, seharusnya tidak perlu kuhiraukan." Neo bersungut-sungut kesal.
Jian dan Rui sekali lagi saling menatap, "Apa yang kamu bicarakan, Neo?"
"Huh!" Neo mengeluh, "Seharusnya aku yang bertanya. Bagaimana kalian bisa menemukan dunia antah-berantah ini? Dan memasukinya dengan mudah? Kau tidak tahu, jika kita sekarang tidak berada di sekolah kita lagi. Kita mungkin bahkan sudah tidak berada di bumi lagi! Kita tersesat di dunia lain, Jian, Rui!" Neo menjelaskan dengan penuh emosi, "Kita harus mencari jalan keluar agar kita bisa pulang!"
Jian dan Rui saling tatap lagi, Rui menunduk, "Tapi tempat ini menyenangkan," gumamnya.
Neo memandang Rui dengan jijik, "Kamu anak kelas sebelas SMA apakah masih tidak bisa berpikir rasional? Meski aku bodoh, aku tahu apa yang seharusnya dihindari dan apa yang seharusnya dihadapi. Sekarang kita berada di situasi yang harus kita hindari sejauh mungkin!" Neo mengetuk dahi Rui dengan gemas, "Dengar, Rui. Kita terjebak di dunia lain. Sedangkan di dunia kita, kita menghilang entah ke mana, guru-guru pasti panik begitu menyadari tiga muridnya hilang begitu saja di perpustakaan sekolah. Orang tua kita yang mendengarnya pasti lebih panik lagi dan menelepon polisi untuk menemukan kita. Sedangkan kalian di sini bersenang-senang tanpa memikirkan itu? Kita saja sekarang entah apakah bisa pulang atau tidak. Jangan asik-asikan di sini bermain kapas terbang. Lebih baik segera mencari jalan keluar sebelum gelap."
Jian dan Rui terdiam. Sepertinya penjelasan laki-laki bodoh di depan mereka ada benarnya. Bersenang-senang sebentar tidak akan membuat mereka senang selamanya. Mereka pasti akan mengalami masa di mana mereka ingin pulang dan merindukan keluarga mereka.
...----------------...
Lelah memarahi Jian dan Rui, Neo memutuskan untuk mengajak mereka beristirahat dengannya, "Makanlah, buah ini aman dikonsumsi. Aku menebak kalian belum memakan apapun dan memilih bermain-main." Neo menyodorkan beberapa buah kepada Jian dan Rui.
"Sebenarnya kapan kamu datang ke sini, Neo? Kau bahkan sempat mengambil beberapa buah." Jian bertanya saat pikirannya sudah tenang.
"Aku datang beberapa menit setelah kalian, mungkin." Neo cuek mengeluarkan pulpen dan buku.
"Apa yang kau lakukan?" Jian bertanya lagi melihat yang dilakukan Neo.
"Apalagi? Ini adalah jurnalku. Aku akan mencatat apa saja yang kita lakukan selama berada di dunia ini. Mungkin jika kita menceritakannya di stasiun TV saat kita kembali nanti, kita akan jadi sangat terkenal, " Neo tertawa pelan, "Itu keren, kan?"
Jian dan Rui tidak menanggapi.
"Baiklah, bagi kalian biasa-biasa saja." Neo merengut kesal.
"Neo, bisa berikan satu buah lagi?" Rui menyeka tangannya di baju. Lalu menyodorkan kembali tangan kanannya di depan Neo.
Neo menatapnya jijik, "Kamu ini pintar tapi sangat rakus! Kita harus membagi jatah makanan kita. Makanan ini bukan mudah didapatkan di mana saja. Harus memasuki hutan itu! Itu pun sulit sekali menemukan buah aman dimakan. Beberapa diantaranya beracun dan tidak layak makan." Neo dengan baik hati menjelaskan.
"Sebaiknya kita mulai berjalan saja, Rui, Neo, kamu bilang kita harus mencari jalan keluar, kan?"
Rui dan Neo mengangguk, mereka segera merapikan ransel sekolah mereka, Neo memimpin jalan. Jian bilang dia dan Rui tidak melihat hutan gumpalan kuning saat mendarat tadi, langsung menjejak di Padang Rumput, mereka tidak tahu ke mana harus pergi. Alhasil, Neo hanya membawa mereka berkeliling memeriksa jalan mana yang bisa mereka lewati.
"Hei, menurutmu, apakah tempat ini ada makhluk hidupnya?" Rui bertanya acak.
Neo menepuk dahi, "Jika tidak ada makhluk hidup, kita akan kelaparan, Rui."
Rui yang mengerti maksud jawaban Neo segera menimpuknya, "Maksudku, bukan hewan dan tumbuhan. Tapi manusia seperti kita."
Jian mengangguk, "Mungkin ada, tapi kita belum tiba di pemukiman mereka saja. Sejauh ini memang hanya ada padang rumput, kan?"
"Ada, Teman-teman." Neo menghentikan langkahnya. Jian dan Rui ikut berhenti. Neo mengeluarkan suara 'sstt' untuk menyuruh Jian dan Rui diam.
"Kalian dengar itu? Seruan itu suara manusia. Meski kita tidak mengerti bahasanya, tidak mungkin hewan yang berseru dengan nada dan intonasi seperti teriakan minta tolong." Neo maju sedikit, "Tolooonggg!!!!" dia berteriak sangat keras hingga Jian dan Rui menutup telinga mereka.
Begitu Neo berteriak, suara teriakan dari kejauhan itu hilang, Neo menunggu mereka berteriak lagi.
"Siapa di sana?" itu adalah suara teriakan dari jauh, tetapi menggunakan bahasa yang tidak dimengerti mereka.
Jian, Rui dan Neo saling menatap, ini mungkin petunjuk pertama mereka!
Jian, Rui dan Neo berlari ke arah teriakan itu. Mereka menemukan sekelompok manusia berbadan kecil dan sedikit gempal sedang menarik rekannya yang terjebak dalam formasi cahaya aneh.
Cahaya itu menari-nari sambil terus menyeret salah satu kurcaci untuk masuk ke dalamnya. Tiga rekannya membantu menarik kurcaci itu agar tidak terseret ke dalam.
Neo berlari mendekati mereka, "Ayo kita tolong mereka!"
"Heh, Neo. Kita tidak bisa asal membuat keputusan. Bagaimana jika mereka berbahaya? Lalu berniat memakan kita setelah kita menyelamatkan mereka?" tampaknya Rui memiliki pikiran rasionalnya sendiri.
"Hei, apakah mereka tampak menyeramkan hingga membuatmu berpikir kalau mereka akan memakan kita? Lihatlah tampang mereka yang menggemaskan itu, tidak mungkin mereka pemakan manusia." Neo menepis kekhawatiran Rui yang berlebihan.
Mereka memutuskan membantu para kurcaci menarik rekannya yang nyaris terseret lingkaran cahaya menari-nari.
"Fiuh!" Neo menyeka keringat di dahi. Akhirnya kurcaci itu berhasil di keluarkan dan kembali berkumpul dengan teman-temannya.
Jian dan Rui saling menatap. Mereka semua tidak mengerti apa yang dikatakan kurcaci-kurcaci, begitu juga sebaliknya.
Sampai pada akhirnya, satu kurcaci mengeluarkan sebuah alat yang sangat kecil di mata Jian, Rui dan Neo. Itu seperti benda bulat mirip earphone karena diletakkan di telinga.
"Hei, apakah dengan begitu mereka akan mengerti perkataan kita?" Neo berbisik. Jian dan Rui mengangkat bahu.
"Jika mereka memang akan mengerti, bukankah tetap sulit karena mereka tidak bisa bahasa kita?" Neo berbisik lagi.
"Sebaiknya kamu jangan berisik, Neo. Kita akan dianggap aneh jika mereka benar-benar mengerti bahasa kita lewat alat aneh itu." Rui balas berbisik.
"Nah, Nona, Tuan. Silakan berbicara," kurcaci yang memakai alat itu berbicara dengan bahasa manusia di bumi.
Neo terperanjat, "Kau!"
"Ah, aku Ao. Aku kurcaci yang tinggal di daerah ini. Kau penyihir dari mana, Kawan? Terima kasih sudah menyelamatkanku dari pusaran sihir jahat itu," ucap Ao.
"Neo, sebaiknya kita tinggalkan saja mereka," Rui berbisik di telinga Neo, "Yang penting kita sudah menyelamatkan mereka, kan?"
Neo tersenyum lebar, "Itu dia, Rui. Kau sebagai juara kelas tidak perlu bertingkah bodoh untuk menghadapi hal semacam ini. Kau harus mengerti, di dunia manapun, tidak ada sesuatu yang gratis. Kita harus meminta bayaran sepadan pada mereka karena kita sudah menyelamatkan nyawa mereka." Neo menjelaskan sambil berbisik juga.
Rui mengangguk paham, kemudian kembali diam menunggu Neo bernegosiasi lagi.
"Kami ingin berterima kasih kepada kalian, Nona, Tuan Muda. Tapi, kalau boleh tahu, nama kalian siapa, dan dari akademi mana?"
Neo terdiam sejenak, Jian dan Rui menyikut lengannya karena tak kunjung menjawab.
"Eh, hm ... namaku Neo, yang rambutnya hitam namanya Jian. Yang rambutnya pirang itu namanya Rui, kami dari Akademi Sains 2," Neo memperkenalkan masing-masing temannya juga.
"Yang dimaksud akademi itu sekolah, kan?" Neo berbisik tidak yakin di telinga Jian.
"Akademi Sains? Apa itu? Tidak ada akademi sihir dengan nama itu di kota kita, kan, Ao?" tanya kurcaci lain dengan bahasa mereka sendiri.
"Eum ... mungkinkah kalian dari kota lain?" Ao bertanya pada Neo begitu mendengar pertanyaan temannya.
"Ah, iya. Kami bukan dari kota ini, juga bukan dari dunia ini." Neo menjawab jujur. "Jadi, bisakah kalian menjelaskan pada kami, di mana dunia ini dan apa namanya? Lalu, apakah kalian bisa mengantar kami kembali ke dunia kami?" tanya Neo.
Para kurcaci saling menatap. Mereka bingung kenapa dan untuk apa Neo bertanya seperti itu. Neo menjelaskan kalau anggap saja mereka menganggapnya sebagai tamu.
"Ah, Sobat, apa kamu datang dari Kota Luse?" tanya Ao.
Neo menatap kedua temannya, "Hei, Kota Luse itu yang mana?"
Jian dan Rui menggeleng, "Mungkin itu kota tetangga mereka."
Neo menggaruk tengkuk, "Begini, anggap saja kami datang dari dunia berbeda. Bahkan jika menyebutkan nama negaranya, kalian mungkin tidak akan mengerti ...," Neo menatap Ao dengan wajah yang tidak meyakinkan.
"Baiklah, dari suatu tempat yang berbeda dari Benua Biru kami." Ao mengangguk.
"Eh, jadi ini bukan Benua Asia lagi?" Rui bertanya kepada Jian. Jian mengangkat bahu.
"Eh, apa? Dunia yang berbeda?" Ao tampak terkejut setelah menyadari kalimatnya sedikit janggal, "Bagaimana kalian bisa dari dunia lain?"
Jian dan Rui saling menatap, "Apakah mereka juga seperti kita? Tidak tahu kalau ada dimensi lain di bumi?"
Neo mengangguk, "Mungkin mereka sama seperti manusia pada umumnya, Jian. Dunia mereka adalah satu-satunya di alam semesta bagi mereka sendiri. Anggap saja begitu."
Neo kembali menatap Ao, "Jadi, apa kalian bisa membantu kami kembali ke dunia kami?"
Ao terlihat berdiskusi dengan teman-temannya, setelah beberapa menit, dia berhadapan dengan Neo lagi, "Kami memang tidak bisa, Kawan. Tapi ratu kami bisa. Bolehkah aku membawa kalian ke Istana Ratu untuk melaporkan keluhan kalian dan mencari penyelesaiannya?"
Neo menatap Jian dan Rui, "Bagaimana? Kalian mau bertemu ratu yang mereka maksud atau tidak? Mungkin saja dia satu-satunya yang tahu cara kita kembali pulang ...," Neo meyakinkan Jian dan Rui agar mereka mengikuti sarannya selama perjalanan di benua asing ini.
Jian dan Rui mengangguk, "Lagipula kamu terlihat lebih berpengalaman."
Neo berpikir sejenak, "Eh, tapi ini kali pertamaku. Aku hanya menyesuaikan diri saja," ungkapnya malu-malu.
----------------
Mereka tiba di Istana Ratu dalam sepersekian detik saja. Rupanya Ao membawa mereka menggunakan portal teleportasi. Begitu memasuki portal, akan langsung keluar di tempat tujuan, seperti membuka pintu dan keluar melalui pintu itu.
Jian menelan ludah, "Istana ini megah sekali."
"Persis seperti istana di dalam komik fantasi milikmu, Jian," Rui menyahut.
Mereka asyik melihat interior Istana Ratu yang begitu megah. Tapi Neo punya pemikirannya sendiri tentang istana megah ini.
"Jika dipikirkan, dunia ini sungguh sangat maju jika mereka mau, tapi mereka lebih mengandalkan sihir daripada teknologi. Hanya orang lemah saja yang menggunakan teknologi."
"Seperti kurcaci itu?" tambah Rui.
Neo mengangguk, "Itu mungkin sebuah alat penerjemah otomatis yang bisa membuatnya mengerti sekaligus mengucapkan kalimat dalam bahasa yang sama. Kita lihat saja apakah ratu yang mereka maksud juga menggunakan alat yang sama atau sihir untuk memahami bahasa kita."
Jian mengangguk-angguk, "Lihatlah, tidak ada televisi atau laptop di mana pun di istana ini."
"Mereka tidak membutuhkannya, Jian. Mungkin di Benua Biru ini, teknologi sudah ditemukan ratusan tahun lalu, tapi penduduknya lebih tertarik dengan sihir yang lebih mudah dan instan. Kau lihat dinding di atas sana," Neo menunjuk ke atas dengan tangannya, pandangan Jian dan Rui langsung menuju tangan itu menunjuk.
"Lihat angin yang berhembus dari sana. Tidak ada ventilasi, AC, atau kipas angin di sana, tapi angin berhembus sangat sejuk. Itu pasti sihir, seperti sihir otomatis." Neo menjelaskan singkat.
"Neo, kamu lebih mirip pemandu wisata dari pada seseorang yang baru mengunjunginya," Jian menceletuk, menatap Neo yang terlihat sangat memahami dunia sihir ini.
"Eh, aku hanya menyesuaikan diri," Neo menggaruk tengkuk.
Ao dan teman-temannya sudah berbelok ke lorong berikutnya, Jian, Rui dan Neo terus berjalan di belakang mereka. Tampaknya ini lorong terakhir. Lorong itu langsung menghadap sebuah pintu besar berwarna perak yang mengagumkan.
Jian, Rui dan Neo sampai membuka mulut saking kagumnya dengan pintu raksasa yang megah itu. Tiba-tiba Neo menyikut lengan Jian dengan jahil, "Jika kita menggaruknya sedikit, mungkin kita bisa menjual potongan kuku kita dengan harga yang mahal. Itu terlihat seperti logam mulia yang berharga," bisiknya.
Jian melotot tidak senang, "Kamu jangan gegabah di rumah orang!"
Neo malah mengeluarkan suara 'sstt' untuk menyuruh Jian diam, matanya menatap lurus ke depan saat pintu raksasa itu terbuka. Di dalamnya ada singgasana bernuansa perak yang sangat indah dari sudut manapun.
"Jian, bukankah kita lebih mirip sedang berada di surga?" Rui memegang erat tangan Jian, bukan antusias seperti Neo, justru dia merasa ketakutan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!